Please Wait
10483
‘Adl (keadilan) itu memiliki ragam makna, di antaranya adalah: seimbangnya bagian-bagian yang terdapat pada suatu rangkapan, menjaga hak-hak setiap orang dan menyerahkan hak kepada pemiliknya, menjaga kelayakan dan kepatutan dalam memberikan sesuatu, persamaan dan menafikan segala bentuk diskriminasi. Namun makna yang sesuai dengan pertanyaan tersebut di atas adalah persamaan dan penafian atas segala bentuk diskriminasi dan lawan dari itu adalah kezaliman dan diskriminasi. Artinya bersikap dan bertindak sama rata dan sama rasa dengan seluruh komponen masyarakat dan segala sesuatu dalam kondisi apa pun atau dengan kondisi yang sama bersikap beda dan mendua.
Pengertian hak (haq) dan kelayakan (istihqâq), tentang segala sesuatu yang dinisbahkan kepada Allah Swt memilik arti berhajat dan wujud kontingen (imkan wujud) atau kesempurnaan wujud (kamâl al-wujud). Setiap entitas itu dihukumkan sebagai bukti akan kesempurnaan limpahan dan perbuatan Allah Swt, setiap orang berhak mengambil dan memperoleh apa yang menjadi haknya dan kalau nampak ada kekurangan, itu hanya karena keterbatasan kapasitasnya dalam menerima dan mengambil limpahan-Nya.
Terkait dengan masalah bahwa mengapa Allah Swt menciptakan alam semesta dan segala isinya itu seperti ini dan apakah perbuatan-perbuatan Allah Swt itu dilatari oleh berbagai tujuan tertentu ataukah tidak?
Dalam menjawab pertanyaan ini, Mu’tazilah berpandangan bahwa –berbeda dengan Asy’ariyah–perbuatan-perbuatan Allah Swt dilatari oleh adanya tujuan dan kemaslahatan-kemaslahatan dan berdasarkan pada pilihan yang paling baik dan maslahat, dengan demikian sistem entitas adalah sistem yang terbaik.
Para fiosof Islam Syi’ah –setelah pembagian tujuan itu menjadi dua bagian; tujuan perbuatan dan tujuan pelaku– menganggap bahwa setiap perbuatan itu memiliki tujuan dan Dzat Yang Maha Suci (Allah Swt) itu adalah tujuan dari segalanya, yakni mereka menganggap bahwa Allah Swt merupakan tujuan utama di atas segala tujuan dan segala sesuatu itu berasal dari-Nya dan akan kembali kepada-Nya pula. (wa inna ilaa rabbika al muntahaa).
Bentuk susunan dan sistem seluruh entitas mengikut pada esensi dan substansi keberadaan mereka sedemikian sehingga cukup dengan satu isyarah dan kehendak Ilahi, semuanya bisa terealisasi. Tidak demikian seperti ini bahwa dengan satu kehendak, ia dapat terealisasi dan dengan kehendak lain, ia menjadi sebuah sistem sehingga sebelumnya sudah ada wujud dan hakikat lain.
Ikhtilaf yang ada di alam wujud ini pada dasarnya adalah perbedaan dan bukan diskriminasi dan hal yang bertolak belakang serta bertentangan dengan keadilan adalah diskriminasi tersebut, bukan perbedaan. Berdasarkan pada konsep kausalitas (sebab-akibat), perbedaan merupakan esensi setiap maujud; karena dari setiap sebab akan lahir akibat khusus dan karena sebab itu beragam maka akibat pun beragam; karena pelencengan akibat dari sebab merupakan sesuatu yang mustahil dan akibat dengan sebabnya itu harus memiliki sinkhiyah (keselarasan).
Selain itu pada “perbedaan” terdapat unsur-unsur positif yang tidak ditemukan dalam “persamaan”, misalnya gerakan atau reaksi, bagiannya dan lain sebagainya. Alam ini laksana tubuh manusia dimana untuk merealisirnya secara keseluruhan, maka antara satu bagian dengan bagian yang lain itu harus menyatu.
Dengan ini, untuk mewujudkan sistem terbaik maka mesti harus ada perbedaan (bukan diskriminasi) dan kalau keindahan dan kejelekan itu tidak berdampingan antara satu dengan yang lain, maka tidak akan pernah ada yang namanya keindahan atau kejelekan.
Adapun mengenai bala dan malapetaka serta bencana dan musibah, harus dikatakan bahwa: pada sistem keberadaan ini terdapat berbagai macam dan bentuk bala, malapetaka dan musibah, di antaranya: Sebagian dari bala dan bencana serta musibah itu merupakan akibat ulah manusia itu sendiri; sebagian bala dan musibah itu merupakan akibat dari keserampangan dan kesembronoan orang lain. Kedua bagian ini berkaitan dengan manusia dan tidak dapat dinisbahkan kepada Allah Swt.
Terkadang juga bala dan petaka itu ada untuk menghapus dosa dan pada dasarnya merupakan kaffarah (tebusan) atas dosa-dosa, musibah-musibah itu bisa menjadi sebab kesadaran dan bangkit dari kelalaian, atau terkadang untuk menguji dan kesempurnaan umat manusia dimana hal ini tidak hanya bertentangan dan kontra dengan keadilan, tapi bahkan ia merupakan substansi rahmat dan kemurahan Allah Swt.
Adapun mengenai pernyataan bahwa yang satu diberi rezeki dan yang lain tidak, itu merupakan hal yang tidak benar; karena rezeki atas semua makhluk adalah tanggungjawab Allah Swt, namun bangkit atau bangun untuk mencari rezeki dan usaha untuk menemukannya, merupakan tanggungjawab hamba-hamba dan formula seluruh urusan sebab-sebab lahiriah dan bukan lahiriah itu ada pada kekuasaan Allah Swt, dan pertama Allah Swt tidak akan pernah menghalangi seseorang untuk menemukan rezekinya. Dalam riwayat-riwayat dijelaskan bahwa rezeki itu ada dua bagian: “rezeki yang mencari” dan “rezeki yang dicari”. “Rezeki yang mencari” adalah suatu rezeki dimana datang kepada orang-orang dan “rezeki yang dicari” adalah suatu rezeki yang mana orang-orang pergi mencarinya. “Rezeki yang mencari” itu berupa wujud dan eksistensi ini, umur dan lain-lain dan “rezeki yang dicari” bisa diraih dan diperoleh ketika melakukan usaha, menyiapkan segala perangkat yang diperlukan.
Terkait dengan masalah hidayah dan non-hidayah (baca; kesesatan) dapat dikatakan bahwa: hidayah Allah Swt itu dibagi menjadi dua bagian, hidayah takwini dan hidayah tasyri’i , dan hidayah takwini itu juga dibagi menjadi hidayah umum dan hidayah khusus. Hidayah takwini umum, rezeki semua hamba-Nya yang mana juga mencakup orang kafir dan juga orang mukmin. Namun hidayah takwini khusus, rezeki untuk hamba-hamba-Nya yang khusus.
Penyesatan (pembiaran) Allah Swt itu bukanlah hal yang ada sejak awal dan Dia yang Maha Suci tidak menyesatkan dan membiarkan seseorang itu dari sejak awal, tapi kalau seorang hamba tidak mau mengikuti seluruh perintah dan larangan (hidayah tasyri’i) Allah Swt dan malah menempuh jalan kesesatan dan dosa, maka Allah Swt akan membiarkannya berada dalam kesesatan itu dan inilah “penyesatan” (idhlâl) Ilahi.
Apakah perbedaan yang terdapat di antara makhluk-makhluk dan khususnya umat manusia itu benar dan sahih? Mengapa Allah Swt memberi rezeki yang satu dan yang lain tidak, menciptakan yang satu dengan indah dan elok sementara yang lain jelek, yang satu diberi hidayah dan yang lain dibiarkan begitu saja, apakah hal seperti ini bertentangan dan bertolak belakang dengan keadilan Allah Swt?
Untuk menjawab pertanyaan ini, pertama kita akan mencoba mengkaji makna “keadilan” itu sendiri. Setidaknya ada empat pandangan yang dibeberkan terkait makna keadilan:
1. Seimbang atau setimbangan: Kalau saja kita mencoba memperhatikan suatu komponen yang di dalamnya itu terdapat bagian-bagian yang berbeda-beda dan hal itu ditujukan pada satu tujuan khusus, maka mesti ada syarat-syarat tertentu yang ada padanya itu dijaga dan dipelihara sedemikian rupa seperti dari sisi ukuran yang harus dipunyai setiap bagian, dari segi kualitas, dan hubungan antara bagian yang satu dengan bagian yang lainnya. Hanya dengan cara inilah komponen tersebut bisa langgeng dan dapat memberikan dampak dan efek positif serta merealisasikan serta memenuhi tujuan yang ingin dicapai. Umpamanya sebuah perkumpulan, kalau ia hendak tetap ada dan eksis maka ia harus menjaga keseimbangan dan lain-lain. Dari aspek keseimbangan dan equality (kesamaan) sosial masyarakat, hal yang penting dan sangat diperlukan adalah neraca segala kebutuhan itu harus diketahui dan menggunakan bujet atau anggaran belanja sesuai dengan apa yang menjadi kebutuhan dan keperluannya. Di sinilah pilar-pilar “maslahat” itu muncul dan kemaslahatan disini; yakni kemaslahatan yang merata secara keseluruhan, sebuah maslahat yang mana di dalamnya ada intensitas dan kelanggengan yang sifatnya menyeluruh dan mempertimbangkan seluruh tujuan yang dicita-citakan dari keseluruhan tersebut.
Alam ini memiliki keseimbangan dan balance, kalau hal ini tidak ada maka alam ini tidak akan tegak dan berwujud, serta tidak akan ditemukan yang namanya keteraturan dan penuh perhitungan.
Catatan mengenai lawan dari keadilan diartikan sebagai “ketidak sepadanan” dan bukan kezaliman atau aniaya. Oleh karena itu, keadilan adalah bukan atau di luar tema-tema kajian seperti diskriminasi-diskriminasi dan perbedaan-perbedaan. Kajian “keadilan” diartikan sebagai “kesepadanan”, lawan dari “ketidak sepadanan” , dari aspek keseluruhan dan semua sistem jagad raya, namun pembahasan“keadilan” sebagai lawan dari “kezaliman”, dari sisi setiap pribadi dan setiap bagian itu tersusun dari bagian-bagian lain.
2. Arti kedua dari ”keadilan” adalah menjaga dan menghargai hak-hak setiap pribadi dan memberikan hak itu kepada pemilik sebenarnya. Dan “kezaliman” adalah menginjak-injak hak-hak orang lain serta melanggar dan merampasnya. Makna dari “keadilan” dan “kezaliman” ini, didasarkan pada bahwa dari satu sisi berasaskan pada prinsip prioritas-prioritas dan dari sisi lain bersumber pada satu kekhususan yang sifatnya inheren pada manusia dimana ia mesti menggunakan suatu rentetan pemikiran-pemikiran yang efektif dan membangun prinsip-prinsip keyakinan dan menggali hal-hal yang baik dan buruk, itu semua merupakan karakteristik manusia dan ia tidak mempunyai apa-apa di hadapan yang Maha Kuasa; karena Ia adalah pemiliki mutlak dan tak ada satu pun yang memiliki prioritas yang melebihi diri-Nya.
3. Menjaga dan menghargai hak-hak dalam penyebaran wujud dan tidak ada larangan atas penyebaran tersebut: Segala sesuatu yang ada di jagad raya ini, antara satu dengan yang lain saling berbeda dari segi kapabilitas dan kemampuan serta kapasitas untuk memperoleh limpahan dari eksistensi (wujud) Pertama. Setiap maujud pada setiap tingkatan itu memiliki hak khusus bagi dirinya sesuai dengan kemampuan dan bakat dalam menerima limpahan dan anugerah. Dzat yang Maha Suci akan mengarunia dan memberikan sesuatu dari wujud dan kesempurnaan wujud itu kepada setiap maujud sesuai dengan kapasitas dan kecakapan serta kesanggupannya dan Allah Swt tidak akan menahan atau menundanya.
Para ahli hikmah meyakini bahwa tidak ada satu pun maujud yang mempunyai hak atas Allah Swt sedemikian sehingga pemberian hak itu (dari Allah Swt), ibaratnya dianggap sebagai “penuaian tanggungjawab” dan “pembayaran hutang”. Keadilan Tuhan merupakan substansi wujud diri-Nya.
4. Makna lain dari “keadilan” adalah “kesamaan” dan penafian terhadap segala bentuk diskriminasi. Kalau yang dimaksudkan “keadilan” adalah mengharuskan tak ada satupun bentuk hak yang dijaga dan dihargai dan segala sesuatu dan semua orang dipandang sama, maka keadilan seperti ini tidak ada bedanya dengan kezaliman (keadilan=kezaliman). Dan jika yang dimaksud “keadilan” adalah menjaga dan menghargai kesamaan pada tataran hak-hak yang sifatnya sama, tentunya inilah yang diinginkan dan dianggap benar. Keadilan itu mengharuskan persamaan-persamaan semisal ini dan kesamaan-kesamaan seperti ini merupakan kelaziman yang ada padanya (keadilan).
Terkait dengan masalah adanya perbedaan-perbedaan dan ikhtilaf di antara segala entitas, harus dikatakan bahwa: pengertian hak (haq) dan pemenuhan hak (istihqaq) segala sesuatu yang dinisbahkan kepada Allah Swt memilik arti berhajat dan wujud kontingen (imkan wujud) atau kesempurnaan wujud (kamaal wujud) (tersebut kepada Allah Swt). Setiap maujud yang merupakan wujud kontingen yang memiliki sifat kesempurnaan, maka Allah Swt dengan mendasarkan padanya dimana seluruh fa’iliyah dan wajib al fayyadhiyah, menyebarkan dan menebarkan wujud dan atau kesempurnaan wujud. Keadilan Tuhan ibaratnya adalah limpahan yang sifatnya umum dan karunia yang meluas dan merata pada semua eksisten dan entitas yang ada yang merupakan wujud kontingen atau wujud sempurna, tanpa ada bentuk penahanan dan diskriminasi.[1]
Mungkin saja terlintas pertanyaan bahwa, mengapa Allah Swt menciptakan alam semesta dan segala isinya itu seperti ini dan segala sesuatu itu berbeda, baik dari segi kemampuan dan kapabilitas maupun kemungkinan dan kelayakannya? Dan apakah perbuatan-perbuatan Allah Swt sama seperti umumnya manusia; yaitu dilatari oleh tujuan-tujuan tertentu? Apakah pekerjaan-pekerjaan Allah Swt juga seperti pekerjaan dan perbuatan manusia, memiliki rangkaian pertanyaan “mengapa” dan “untuk apa”, dan lain-lain?
Mu’tazilah berpadandanga bahwa Allah Swt memiliki tujuan dan maksud dalam segala perbuatan-Nya dan mereka juga mempredikasikan kalau makna dari Kemahabijakan Allah Swt yang seringkali diulang-ulang dalam Al-Qur’an adalah Dia memiliki maksud dan tujuan dalam setiap perbuatan-Nya dan dengan pengetahuan yang sangat sempurna, Dia melakukan seluruh pekerjaan itu untuk tujuan-tujuan yang jelas dan pasti dengan memilih yang terbaik dan paling maslahat.
Oleh karena itu, sistem maujud merupakan sistem yang paling baik dan paling sempurna; yakni ia diciptakan dalam bentuk dan rupa yang sebaik mungkin.
Namun sebaliknya, Asy’ariyah mengingkari akan ketiadaan tujuan dan maksud Allah Swt pada setiap perbuatan dan pekerjaan-Nya dan ia menjelaskan pengertian “hikmah” yang ada dalam Al-Qur’an itu sama dengan “keadilan”; yakni apa yang dilakukan oleh Allah Swt merupakan hikmah, bukan seperti ini bahwa segala yang memiliki hikmah, Allah Swt akan melakukannya. Menurut Asy'airah adalah keliru sangatlah keliru kita berkata bahwa seluruh perbuatan Allah Swt (dilakukan) hanya karena satu rentetan maslahat-maslahat.[2]
Pada maktab teologi dan filsafat Syi’ah, dalam kaitan dengan masalah tauhid, semua kecenderungan dan kecondongan itu sifatnya monoteistik (tauhid). Dengan demikian, masalah maksud dan tujuan juga setelah pembagian tujuan itu menjadi “tujuan perbuatan” dan “tujuan pelaku perbuatan” dan adalah hal yang cukup jelas bahwa pengertian hikmah tentang Allah Swt adalah sama dengan pengertian ‘inâyah dan sampainya segala sesuatu itu kepada tujuannya masing-masing. Dalam kacamata para filosof Islam bahwa setiap perbuatan memiliki satu tujuan dan maksud dan Dzat yang Maha Suci adalah tujuan keseluruhan, yakni tujuan di atas segala tujuan. Segala sesuatu bersumber dari-Nya dan akan kembali pula keharibaan-Nya. “Wainna ilaa rabbika al muntahaa”.[3]
Apakah “sistem jagad raya” ini merupakan esensi dari alam semesta? Untuk menjawab pertanyaan ini harus dikatakan bahwa: susunan dan sistem segala yang ada adalah esensi keberadaan mereka sendiri yang merupakan anugerah dan limpahan dari Allah Swt. Atas kehendak Yang Maha Hak, mereka itu dikarunia sistem, tapi bukan berarti bahwa dengan satu iradah (kehendak) mereka diciptakan dan dengan iradah lain mereka diberi sistem sehingga diasumsikan bahwa kalau iradah ke sistem itu dicabut dan diambil, maka iradah kepada prinsip penciptaan mereka itu tetap ada. Segala yang ada pada sistem vertikal (thulii) itu berhenti pada suatu penyebab dimana kehendak Allah Swt itu mempunyai korelasi dengannya secara langsung. Dan kehendak Allah Swt itu jika dinisbahkan kepada wujud, adalah substansi dan dzat kehendak wujud segala sesuatu dan seluruh sistem.[4]
Letak perbedaan antara “perbedaan” dan “diskriminasi” adalah bahwa apa yang ada pada penciptaan itu tidak lain merupakan “perbedaan”, dan bukan diskriminasi. “Perbedaan” adalah pada kondisi dan syarat yang tidak sama itu dibedakan, namun “diskriminasi” adalah bahwa pada kondisi dan syarat yang sama serta kelayakan yang seimbang, diberi nilai yang berbeda-beda serta bermacam-macam, inilah diskriminasi, namun kalau setiap siswa diberi nilai dengan cara ujian dan berdasarkan pada potensi kemampuan dan kelayakan, maka perbedaan pun akan terealisasi.[5]
Perbedaan segala yang ada itu adalah substansi atau dzat mereka dan kemestian adanya sistem kausalitas (sebab-akibat), karena seluruh jagad raya, dari awal sampai akhir, terwujud dengan satu kehendak Ilahi, dan bukan dengan kehendak dan iradah yang terpisah-pisah, itu juga dengan iradah dan kehendak yang sederhana (basith), sebagaimana yang dinyatakan Al-Qur’an yang artinya bahwa:”Sesungguhnya kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran dan perintah kami hanyalah satu perkataan seperti kejapan mata”.[6]
Dengan sebab keyakinan ini terhadap penciptaan, ada sistem khusus dan rangkaian tertentu dan dari sinilah muncul konsep kausalitas (sebab-akibat; illat dan ma’lul) dan atau sistem asbaab wal musabbabaat (penyebab dan yang disebabkan); yakni setiap akibat pasti memiliki penyebab khusus dan setiap penyebab pasti memiliki akibat khusus dan tersendiri. Pada sistem kausalitas, setiap maujud memiliki tempat yang jelas dan tersendiri; yakni setiap akibat merupakan akibat dari sesuatu yang jelas dan penyebab sesuatu yang jelas.
Dengan demikian, adalah sesuatu yang mustahil akibat itu akan melenceng dari penyebabnya dan contohnya dari penyebab wujud manusia, tidak akan terealisasi hewan dan sebaliknya; karena kepenyebaban suatu penyebab atas akibat yang jelas dan ke-ma’lulan sesuatu untuk suatu penyebab yang jelas bukanlah sebuah rekayasa dan berupa kesepakatan, akan tetapi dikarenakan kekhususan yang ada pada illat (sebab) dan ma’lul (akibat) dimana hal itu adalah bentuk wujud mereka dan kekhususan tersebut adalah hal yang nyata dan riil dan bukan hal yang sifatnya i’tibari (non-ril) dan ‘aaridhii (aksidental) dan bisa berpindah-pindah. Oleh karenanya, “penyebab” dengan segala dzat dirinya merupakan sumber lahirnya akibat. Setiap sesuatu itu memiliki tempat khusus untuk dirinya dan asumsi hal itu pada selain tempatnya sama dengan kehilangan dzat dan substansinya. Sebagaimana Al-Qur’an Al Karim menyinggung hal ini.[7]
Kosmos sama seperti wujud manusia dimana ia harus terangkai atau tersusun dari beberapa bagian yang berbeda-beda dan setiap bagian itu berada pada tempat yang sesuai. Dengan kata lain, bagian-bagian tersebut juga harus berbeda antara yang satu dengan yang lainnya sehingga komponen ini bisa terealisasi dan juga setiap sesuatu itu berada pada tempat khusus masing-masing sehingga sistem terbaik dapat terwujudkan.[8]
Adanya perbedaan di jagad raya ini merupakan sebuah kemestian. Ketika kita memperhatikan alam ini secara keseluruhan, dengan terpaksa kita pun harus menerima bahwa pada sistem keseluruhan dan pada keseimbangan yang sifatnya umum, keberadaan tinggi dan rendah , naik dan turun, susah dan senang, kegagalan dan kesuksesan adalah hal yang niscaya dan mesti. Kalau ikhtilaf dan perbedaan ini tidak ada, maka maujud yang beragam tidak akan pernah muncul. Keindahan dan kemegahan dunia itu nampak pada bentuk hamparan dan variasi warna warninya. Jelek dan buruk tersebut merupakan manifestasi dan penampakan atas adanya hal yang baik dan bagus lagi indah. Jelek dan buruk itu bukan hanya sebuah kemestian yang dilihat dari sisi bahwa ia merupakan bagian dari komponen alam semesta ini dan sistem keseluruhan itu memerlukan keberadaan mereka (jelek dan buruk itu), bahkan keberadaan mereka (jelek dan buruk) merupakan sebuah kelaziman yang dengannya keindahan dan kecantikan itu pun menjadi nampak nyata dan bisa memanifestasikan keindahan dan kemenawanannya. Kalau saja antara baik dan buruk, indah dan jelek itu tidak berdampingan antara yang satu dengan yang lainnya, maka kita tidak akan pernah melihat yang namanya baik dan buruk, indah dan jelek. Kalau semuanya sama maka tidak akan pernah ada gerakan dan motivasi, daya tarik, pergerakan, dan cinta. Karena persamaan seperti inilah yang melenyapkan segala keindahan dan kecantikan, kebaikan dan keburukan serta kesempurnaan tersebut.
Makna bahwa kejelekan itu memiliki manfaat sesuatu tidaklah berarti bahwa si fulan yang tadinya bisa bagus, diciptakan jelek secara khusus supaya nilai keindahan yang lain bisa jelas dan kelihatan, atau bahkan dikatakan kenapa hal itu tidak terjadi sebaliknya? Akan tetapi maknanya adalah bahwa selain setiap maujud memperoleh kesempurnaan dan keindahan maksimal yang mungkin akan ada baginya itu, juga pada ikhtilaf dan perbedaan ini terdapat dampak dan efek positif, misalnya arti dan nilai dari sebuah keindahan, adanya daya tarik dan motivasi dan lainnya. Selain itu, bahwa alam semesta merupakan sekumpulan dan rangkaian dari penyebab-penyebab. Akibat-akibat dan setiap akibat itu bisa ada karena ada penyebab khusus dan mustahil melenceng darinya.[9]
Bala dan Musibah
Adapun permasalah mengapa bala dan musibah senantiasa ada di sepanjang kehidupan manusia?
Dalam menjawab pertanyaan ini harus dikatakan bahwa: bala dan musibah itu memiliki bagian-bagian:
1. Bala dan malapetaka yang merupakan akibat ulah tangan manusia itu sendiri. Seperti hal ini bahwa manusia, dengan tangannya sendiri, menjadi sengsara dan menderita. Jenis musibah ini tidak boleh disandarkan kepada Allah Swt. Sebagaimana Al-Qur’an mengisyarahkan akan hal ini bahwa kalau ada kezaliman dan kerusakan di muka bumi, hal itu merupakan hasil dari perbuatan dan ulah manusia-manusia zalim dan penganiaya, dan tidak dapat dinisbahkan kepada Allah Swt.
2. Bala dan bencana yang merupakan akibat dari kelalaian sebagian orang, muncul dalam kehidupan orang lain. Seperti halnya akibat tidak menjaga masalah-masalah kesehatan, dikarenakan kesalahan ayah dan ibu, lahirlah seorang anak yang cacat dan sakit, bagian malapetaka dan musibah seperti ini juga menjadi tanggungjawab manusia itu sendiri dan tidak dapat dinisbahkan kepada Allah Swt.
Sebagaimana telah dikatakan sebelumnya bahwa alam semesta ini merupakan sebuah kumpulan atau rangkaian dari sebab-sebab dan akibat-akibat dan dari setiap sebab akan lahir dan muncul sebuah akibat yang khusus baginya, misalnya: dari sebab yang cacat akan lahir dan muncul akibat yang sakit dan cacat pula.
Demikian juga bahwa dari manusia akan lahir manusia dan dari hewan akan lahir hewan, gandum tumbuh dari gandum. Dengan kondisi ini, Allah Swt dengan kelembutan dan kemurahan yang tak terbatas yang dimiliki-Nya serta atas keutamaan-Nya akan menganugerahkan kepada manusia seperti ini dengan mengganti segala kegundahan dan deritanya di akhirat kelak.
3. Bala dan malapetaka untuk menghilangkan dan menghapus segala pengaruh dan dampak dosa dan ini tidak hanya bertentangan dengan keadilan Allah Swt, akan tetapi hal ini meupakan tuntutan dari Rahmat dan Kelembutan-Nya; karena sejatinya ia (musibah) merupakan denda dan kafarah (tebusan) atas segala dosa supaya pada hari kiamat beban dosa manusia akan lebih ringan. Kendatipun bala dan musibah tersebut sifatnya hanya sepintas dan seukuran dunia saja, namun gantinya adalah bebas dari azab alam akhirat.
4. Musibah dan bencana yang dapat membuat orang-orang semakin sadar akan keberadaan sang Pencipta dan atau orang-orang yang lalai, keluar dari kelalaian dan kelupaan dirinya dan mengakui segala kesalahan dan dosanya dimasa lalu. Bagian ini juga sesuai rahmat dan kelembutan Allah Swt.
5. Bala dan bencana dalam kehidupan manusia dapat menyebabkan kemajuan dan kesempurnaan umat manusia dalam berbagai bidang dan aspek. Kalau manusia yang ada sekarang ini dan juga kondisi yang ada pada masa ini mengalami kemajuan yang cukup pesat, itu semua merupakan akibat dari adanya masalah-masalah seperti ini.
6. Bala dan musibah yang datang untuk menguji orang-orang dan atau meninggikan derajat para wali dan kekasih-kekasih Allah Swt. Sesuai dengan pernyataan Al-Qur’an, suatu sunnah dan tradisi yang tidak bisa dirubah dan diganti dan akan selalu hadir bersama umat manusia. Al-Qur’an menyatakan bahwa:”Dan sungguh akan kami berikan cobaan kepadamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar”.[10]
Rezeki
Adapun masalah bahwa yang satu diberi rezeki dan yang lain tidak, merupakan pernyataan yang tidak benar dan tidak berdasar, karena rezeki seluruh makhluk hidup, baik yang di bumi maupun di langit adalah tanggungjawab Allah Swt,[11] dan tak seorang pun yang dapat memberi rezeki kecuali Dia. Akan tetapi diperlukan usaha untuk memperoleh rezeki yang telah ditetapkan dan ditentukan, karena bangun dan bangkit untuk mencari merupakan tanggungjawab setiap hamba dan kelanjutannya segala perkara dan sebab-sebab, baik yang nampak maupun yang tidak nampak dimana mayoritasnya diluar kemampuan dan ikhtiar manusia, itu menjadi urusan dan tanggungan Allah Swt[12] dan sejak awal Allah Swt tidak pernah menghalangi rezeki dan nikmat itu untuk sampai kepada hamba-hamba-Nya. Tentunya seseorang yang tidak mau berusaha untuk sampai dan memperoleh rezeki yang telah ditakdirkan, maka sang hamba itu pun tidak akan pernah mendapatkannya. Pada akhirnya, sampai atau tidaknya kepada rezeki, itu semua tergantung ilmu dan izin Allah Swt dan tak ada satu orang pun yang mandiri dalam memperoleh rezeki dan nikmat.[13]
Dalam beberapa riwayat, rezeki dan nikmat itu dibagi menjadi dua bagian; “rezeki pencari” dan “rezeki yang dicari”. “Rezeki pencari” adalah suatu rezeki yang datang dan menemui orang-orang dan ia selalu mengikutinya, rezeki semacam ini, bersumber dari ketetapan (qadha) Allah Swt dan tidak bisa dirubah dan diganti. “Rezeki pencari” yang dimaksud adalah rezeki wujud dan keberadaanya, umur, fasilitas-fasilitas dan lingkungan keluarga dan potensi dan lain-lain dimana dari dimensi bagian rezeki ini, akan muncul kemampuan dan kekuatan yang lazim dan ketelitian dan lain-lain untuk melakukan pekerjaan.
“Rezeki yang dicari” , dimana orang-orang datang kepadanya, adalah rezeki yang telah ditakdirkan kepada pencarinya. Kalau ia pergi mencarinya dan ia menyiapkan seluruh syarat-syarat dan fasilitas yang lazim dan mesti untuk mencapai hal itu, maka ia akan memperoleh rezeki tersebut.[14]
Hidayah
Adapun mengenai masalah kenapa Allah Swt memberi hidayah kepada sebagian dan sebagiannya lagi tidak dan dibiarkan saja (sesat), secara singkat dapat dikatakan bahwa: [15] Hidayah Ilahi itu terbagi dua: 1. Hidayah takwini umum yang mencakup seluruh apa yang ada di jagad raya ini dan setiap eksisten berhajat untuk mendapatkan petunjuk dari-Nya, 2. Hidayah takwini khusus, dimana hanya mencakup hamba-hamba khusus Allah Swt. Penyandang hidayah takwini ini, selain menerima hidayah umum Ilahi, dengan mengamalkan seluruh perintah dan larangan (hidayah tasyri’i) Allah Swt, mereka akan mendapat perhatian khusus dari Allah Swt yang mana jenis hidayah ini dari satu dimensi, dapat dinamakan sebagai “hidayah Tsanawi” (hidayah kedua).
Hidayah tasyri’i akan terpenuhi dengan perantaraan diutusnya para rasul dan penurunan kitab-kitab suci (syari’at Ilahi). Jenis hidayah ini mencakup kedua-duanya, orang kafir dan mukmin. Namun ada golongan hamba-hamba yang dengan menyalahgunakan ikhtiar, berjalan diatas jalan kesesatan. Dengan demikian, tentu saja mereka akan mendapat balasan azab dari Allah Swt.
Akan tetapi, pensesatan Ilahi, tidak pernah dalam bentuk yang dua itu (sebagaimana pembagian hidayah) dan Allah Swt tidak menyesatkan siapa pun semenjak lahir. Namun kalau manusia tidak mensyukuri nikmat Allah Swt dan tidak mengikuti segala aturan dan larangan-Nya dan menentang penciptaan dan fitrahnya, ia akan mengalami kehancuran dan kesesatan dan Allah Swt akan membiarkannya dalam keadaan seperti itu, melepaskannya. “Membiarkan” disini yang dimaksud adalah ia tersesat dan terperosok. Dan ini tidak lain adalah pensesatan Allah Swt (idhlaal Ilaahi). Bagi Anda yang ingin menelaah lebih jauh tentang pembahasan masalah ini, kami persilahkan Anda untuk merujuk ke beberapa kitab tafsir.[16][]
[1] .Murtadha Muthahari, ‘Adl-e Ilaahi, hal 54-60; Mulla Shadra, Asfar al-Arba’ah, jil. 2, pembahasan mengenai wujud di alam semesta.
[2] .Murtadha Muthahari, ‘Adl-e Ilahi, hal 23, Intisyaaraat-e Shadra, 1380 Syamsi; Ja’far Subhani, Ilaahiyyât, jil. 1, hal 273-292.
[3] .Qs. al-Najm (53) :42, ‘Adl-e Ilahi, hal 30.
[4] .Ibid, hal 97, Ma’ârif-e Islâmi, hal 94-104, Intisyaaraat-e Samt.
[5] .Ibid, hal 101.
[6] .Qs. al-Qamar (54):49-50.
[7] .Qs. as Shaffaat (37):164.
[8] .Muhammad Husein Thabathabai, al-Mizân, jil. 13, hal 194; Murtadha Muthahari, ‘Adl-e Ilahi, hal 107; Muhammad Husein Thabathabai, Nihâyatul Hikmah, bagian 8, hal 156 (jaami’ah al mudarrisin); Mulla Shadra, Asfar al-Arba’ah, jil. 2, bahasan illat (sebab) dan ma'lul (akibat), hal 268; Misbah Yazdi, Âmuzesy Falsafeh, pelajaran 35 dan 36.
[9] .Murtadha Muthahari, ‘Adl-e Ilahi, hal 143 dan 144.
[10] .Qs. al Baqarah (2):155; Ja’far Subhani, Ilahiyyat, jil. 1, hal 290; Ma’ârif-e Islâmi, hal 100; Mulla Shadra, Asfar al-Arba’ah, bahasan “syuruur” (jelek, buruk), hal 445; Muhammad Husein Thabathabai, Nihâyat Al-Hikmah, bagian 12, pasal 17 dan 18, hal 308; Imam Khomeini, Arba’un Haditsan, hadits ke 39.
[11] .Qs. Hud (11):6.
[12] .Imam Ruhullah Khomeini, Syarh-e Cihil Hadits, hal 560.
[13] . Lihat indeks: Peran manusia dalam Mencari Rezeki.
[14] .Nahjul Balâghah, surat ke 31.
[15] . Lihat indeks: Hidayah dan Penyesatan Ilahi.
[16] .Al-Mizân, jil. 1 hal 43-45; Abdullah Jawadi Amuli, Tafsir Tasnîm, jil. 1 hal 516-527, 457-478, 493, juga jil. 2, hal 515-521; Abdullah Jawadi Amuli, Hidâyah dar Qur’ân.