Please Wait
11463
Husain bin Mansur Hallaj lahir di Baidha (salah satu daerah di bilangan Syiraz) namun kemudian tumbuh besar di Irak. Hallaj merupakan sosok arif paling kontroversial dalam dunia Islam dan banyak mengungkapkan syathiyyât. Para juris banyak mengkafirkannya dan memvonis hukuman gantung bagi Hallaj pada masa kekuasaan Bani Abbasiyah.
Berbicara tentang Husain bin Mansur Hallaj, yang sebagian orang memandang bahwa ia adalah manifestasi dan lebur dalam Tuhan, sedangkan sebagian lainnya menyebutnya sebagai orang kafir dan tukang sihir, memerlukan keberanian ekstra.
Dari sudut beragam dan dengan menggunakan aneka metode ilmiah kita dapat mengkaji dan meneliti sosok terkenal dan berpengaruh dalam dunia irfan islami ini. Diantaranya, kita dapat mengkaji secara rigoris tentang pandangan historis dan faktual yang berkembang pada masa Mansur Hallaj dengan merujuk pada dokumen-dokumen sejarah dan mengungkap pelbagai hal yang tak terungkap dalam masalah ini.
Dari sudut pandangan irfan teoritis, kita tahu bahwa Hallaj menjelaskan pandangan-pandangannya, di samping apa yang terdapat pada karya-karya tertulisnya. Juga pada tuturan-tuturannya ketika berdialog dengan masyarakat dan berceramah serta ketika ia berada di tiang salib untuk dihukum, dan lain sebagainya, yang dewasa ini dapat dengan mudah diakses. Kesemua itu merupakan penjelas kesatuan wujud irfani, baik dalam praktik atau teori, dalam penjelasan atau penyaksian (syuhud) irfani yang dipraktikkan Mansur Hallaj.
Secara umum, teori kesatuan wujud Ibnu Arabi dan kesatuan wujud filosofis Mulla Shadra dari sudut pandang historis lebih belakangan dari Hallaj. Teori ini kemudian berkembang secara perlahan pasca penyaliban Hallaj. Meski demikian, nama Mansur Hallaj bahkan di kalangan para arif, disebut dengan hati-hati dan disinggung dengan menggunakan bahasa kiasan demi menimbang kemaslahatan.
Dengan deskripsi ini, sepanjang sejarah, sosok dan pandangannya dipuji dan diterima oleh para arif dan kebanyakan filosof serta sebagian ulama syariat.
Sebagian orang dengan mencaplok nama Hallaj ingin dengan cara menghadap-hadapkannya dengan syariat mencari dalih untuk kabur dari keharusan beragama dan menghamba kepada Tuhan. Dan hal ini bertitik-tolak dari kesalahpahaman dalam mencermati sosok-sosok besar dunia Irfan.[1]
Dari sudut pandang irfan praktis, mengkaji biografi Mansur Hallaj menunjukkan bahwa ia secara praktis dan bukan hanya secara teoritis semenjak awal-awal metodenya, untuk sampai kepada Kekasih, telah bertekad menuju kefanaan dan menyambut kematian:
Bunuhlah aku wahai orang-orang kepercayaanku
Sesungguhnya dalam kematianku terdapat kehidupan
Dan kematianku dalam kehidupan
Kehidupan dalam kematianku.[2]
Dalam sebagian kitab Akhbâr Hallâj, sehubungan dengan disalibnya Hallaj, kita membaca, “Ibrahim bin Fatik berkata, “Ketika mereka membawa Hallaj untuk disalib.... Hallaj meminta untuk menunaikan dua rakaat shalat dan ia berdiri di dekatku... Tatkala ia mengucapkan salam, ia mengalunkan kata-kata melalui lisannya yang tidak semuanya kami ingat. Namun apa yang dapat kami ingat adalah sebagai berikut, “Tuhanku! Mereka ini adalah para hamba-Mu yang berkumpul untuk membunuhku karena sikap fanatik terhadap agama-Mu dan dengan niat untuk mendekat kepada-Mu. Ampunkanlah mereka Ya Allah! Karena apabila apa yang Engkau singkapkan untukku juga Engkau singkapkan untuk mereka maka tentu saja mereka tidak akan melakukan hal ini. Demikian juga apa yang Engkau sembunyikan bagi mereka juga Engkau sembunyikan bagiku tentu Aku tidak akan mengalami malapetaka seperti ini. Segala puji bagi-Mu atas apa yang Engkau lakukan dan inginkan..”[3]
Pada bagian lain munajat-munajat ini disebutkan,
“Tuhanku! Engkau memanifestasi dari segala penjuru dan muncul dari segala penjuru (Engkau ada di setiap tempat dan tiada di setiap tempat).. sebagaimana ke-nasut-anku berada pada lahuti-Mu – tanpa harus bercampur – menyatu, Lahuti-Mu juga berada pada nasut-ku, tanpa harus bersentuhan - mendominasi.”
“Tuhanku! Aku bersumpah demi hak keterdahuluan-Mu atas ke-hadits-anku dan demi hak ke-hadits-anku di bawah keterdahuluan-Mu, Aku tidak memiliki kemampuan untuk bersyukur atas karunia yang Engkau anugerahkan kepadaku, sebagaimana Engkau tampakkan pancaran-pancaran keindahan-Mu kepadaku dan tidak memberikannya kepada orang lain dan memandang rahasia-rahasia tersembunyi-Mu dan Engkau haramkan bagi yang lain.”[4]
Sayid Haidar Amuli salah seorang arif besar Syiah menyebutkan munajat-munajat Hallaj ini dalam bukunya Jâmi’ al-Asrâr.[5]
Mengkaji pelbagai kondisi dan tuturan Mansur Hallaj yang terekam dalam dokumen sejarah menunjukkan bahwa maksud Hallaj berkukuh terhadap teori tajalli dan kesatuan wujud, atau umumnya “Ana al-Haq” sama sekali tidak bertentangan dengan agama, mazhab dan berbicara bernada kufur atau dalam gambaran yang berkembang pada masa itu, melainkan semata-mata tuturan-tuturan irfani yang dapat dibahas secara luas dalam domain filsafat, irfan dan lain sebagainya. Perbedaannya bahwa Hallaj secara praktis dan revolusioner berkukuh pada pandangan-pandangan ini dan tidak semata-mata mengemukakannya terbatas pada penjelasan-penjelasan filosofis dan teoritis yang terbungkus dengan terminologi dan metafora.
Ala al-Daulah Semnani, salah seorang arif abad ketujuh Hijriah[6] meski ia banyak mengemukakan kritikan terhadap konsep kesatuan wujud Ibnu Arabi namun sehubungan dengan Hallaj ia memiliki sebuah penjelasan yang akan kita sebutkan di sini sesuai kutipan dari Tafsir Ruh al-Bayan, “Tatkala kondisi saya panas, saya pergi berziarah ke pusara Husain Mansur Hallaj. Karena saat saya melakukan muraqabah, saya temukan ruhnya berada pada maqam ketinggian (‘iliyyin). Saya berdoa, Tuhanku! Bagaimanakah kondisi Fir’aun yang berkata “Ana rabbukum” dan Hallaj yang berkata “Ana al-Haq”? Keduanya melontarkan klaim namun ruh Hallaj berada pada maqam ‘iliyyin dan jiwa Fir’aun berada pada sijjin (neraka). Seruan terdengar olehku, “Fir’aun terjerembab karena ananiyahnya dan melihat semua sebagai dirinya dan menghilangkan Kami. Dan Hallaj melihat Kami dan menghilangkan dirinya. Alangkah besarnya perbedaan.”
Rumi menggubah syair dalam hal ini:
Fir’aun berkata Ana al-Haq kemudian tersandung
Mansur bertutur Ana al-Haq kemudian melambung
Perkataan “Ana” (Fir’aun) itu dilaknat Tuhan
Perkataan “Ana” (Hallaj) ini dicintai Tuhan
Karena dia (Fir’aun) adalah batu hitam dan Hallaj adalah akik
Itu (Fir’aun) adalah musuh cahaya dan ini (Hallaj) adalah pecinta
“Ana” ini adalah Huwa (Dia) dalam rahasia wahai pericuh
Bukan persatuan dan penitisan.”[7]
Tuturan-tuturan Mansur Hallaj dalam masalah kesatuan wujud (wahdat al-wujud) dibandingkan dengan hal-hal yang telah dikemukakan tidak berbeda dengan karya-karya teoritis filsafat dan irfan konsep kesatuan wujud dan semata-mata perbedaannya terletak pada ketegasan dan kelugasan gaya bicara dan sisi ilmiahnya. Dan kebetulan protes Hallaj kepada para sufi di masanya yang mengeluarkan fatwa melawannya adalah bahwa berbicara tentang kesatuan wujud dan tauhid wujud tidak akan bersatu dengan kecintaan dunia dan cinta kesenangan. Pada masa itu, Mansur Hallaj melihat dengan baik bahwa irfan dan tasawuf hanyalah sebuah media untuk mengelabui masyarakat dan mengaitkan kebodohan dan kemunafikan dalam agama dan syariat. Dan pada tataran perbuatan, seluruh pengklaim ilmu, irfan dan tasawuf bersumber dari istana Dinasti Abbasiyah.
Karena itu, Hallaj memiliki banyak pengikut dari kalangan masyarakat dan berubah menjadi salah satu ancaman bagi pemerintahan Abbasiyah. Dalam Maqtal al-Hallâj yang ditulis oleh Ibnu Zanji[8] kita membaca, “Karena Hallaj diserahkan di tangan Hamid (menteri), dia berusaha untuk mendapatkan para pengikutnya. Ia berusaha keras menemukan para murid Hallaj. Beberapa orang dari mereka yang merupakan agen intelijen berhasil melacak mereka dan menangkapnya: Haidarah Muhammad bin Kulli Kanani, Abu Bakar Hasyimi yang disebut oleh Hallaj dengan gelar Abu al-Mughits dan menjadikannya sebagai deputinya. Ibnu Hamad adalah sebuah nama yang berhasil kabur dari tawanan mereka namun rumahnya dikepung dan beberapa dokumen berhasil disita dari rumahnya. Diantara dokumen-dokumen tersebut yang ditulis dengan gaya tersendiri, sebagian darinya nama Allah Swt ditulis dalam bentuk lingkaran dan dalam lingkaran ini terukir tulisan dengan nama Ali As yang rahasianya hanya dapat diketahui oleh penulisnya.”[9]
Meski beberapa hari setelah tertangkapnya Hallaj, hakim istana dan mayoritas fakih sesuai dengan tuntutan Hamid (menteri Dinasti Abbasiyah) mengeluarkan hukum kafir, zindik dan Qaramati kepada Hallaj, sehingga sebagian ulama dan figur-figur penting mendukungnya, yang pada akhirnya menyebabkan mereka disiksa dan dibunuh.
Di antaranya, Ibnu Atha, yang merupakan salah seorang ulama terkenal pada masa itu, diminta untuk mengemukakan pandangannya tentang Hallaj. Ibnu Atha dalam menjawab permintaan itu, menulis, “Keyakinan Hallaj adalah keyakinan yang benar. Dan saya sendiri meyakini hal itu. Dan barang siapa yang tidak meyakini hal ini maka ia adalah seorang manusia yang tidak beriman; sebagai akibatnya, Ibnu Atha diminta menghadap oleh Hamid (menteri Dinasti Abbasiyah) dan dipukul secara menyedihkan dan mereka meminta supaya Ibnu Atha dipenjara namun dikatakan kepada menteri, “Orang-orang akan berontak apabila hal ini dijalankan.” Sehingga mereka terpaksa memulangkan Ibnu Atha ke rumahnya. Dan setelah seminggu, Ibnu Atha menghembuskan nafas yang terakhir akibat pukulan mematikan yang dideritanya.[10]
Demikian juga, Syibli yang pada mulanya mengingkari Hallaj, namun demikian, tatkala Hallaj disalib ia bertanya tentang hakikat tasawuf dan irfan, ia kemudian memberikan kesaksian atas kebenaran ucapan-ucapan Hallaj.[11]
Klaim-klaim Laknat atas Mansur Hallaj
Sebagian orang menggambarkan bahwa para hakim, fakih dan aparat kerajaan Abbasiyah dalam membunuh Hallaj memiliki concern terhadap agama, namun kita saksikan mereka juga berlaku demikian terhadap para Imam Maksum As dan mereka mengeluarkan fatwa syar’i untuk mensyahidkan mereka. Kebanyakan orang-orang Syiah dengan tuduhan meyakini kedudukan-kedudukan tinggi irfan para Imam Syiah, disiksa dan dihajar.
Dalam sejarah Irfan dan Syiah, terdapat banyak lika-liku yang menyulitkan untuk mengidentifikasi kawan dan lawan. Terkadang sedemikian pelik sehingga sebagian, mau tidak mau, berpihak pada orang-orang yang tangannya berlumuran darah para Imam dan orang-orang Syiah. Bahkan menginginkan para Imam menyokong perbuatan-perbuatan ini. Atau Mansur Hallaj adalah di antara orang-orang yang mendapat laknat dari Imam Mahdi Ajf.
Salah satu dalil gambaran ini yang tersimpan dalam benak sebagian orang bahwa Imam Mahdi Ajf mengeluarkan surat yang ditandatangani tentang laknat terhadap Mansur Hallaj, namun kenyataannya tidaklah demikian. Dalam teks surat itu, dengan asumsi sanadnya valid; sama sekali tidak disebutkan nama Mansur Hallaj.
Namun sebagian penulis seperti Thabarsi dan sebagian ulama lainnya dalam ucapan-ucapannya mengklaim bahwa terdapat surat yang berasal dari Imam Zaman Ajf tentang laknat Hallaj, namun dengan merujuk pada sumber-sumber asli kita berhadapan dengan kenyataan bahwa tidak terdapat nama Mansur Hallaj dalam surat itu[12] dan nampaknya kemudian sebagian penulis, berdasarkan ijtihad mereka, menggeneralisir pada beberapa orang termasuk orang seperti Hallaj. Karena itu memandang Mansur Hallaj sebagai orang terlaknat dengan bersandar pada riwayat-riwayat, tidak dapat dibenarkan.
Dalam Danesynameh Jahan Islam, sehubungan dengan surat yang dimaksud, telah dilakukan sebuah riset yang mungkin ada baiknya disebutkan di sini:
“Sanad terpenting dalam menyudutkan Hallaj adalah sebuah surat keluar dari Husain bin Ruh Nubakhti dalam menolak dan melaknat orang-orang yang mengklaim sebagai deputi dan wakil dan yang paling puncak dari semua itu adalah Muhammad bin Ali Syalmaghani yang terkenal sebagai Ibu ‘Azaqir (terbunuh 323 H). Adapun apakah Hallaj termasuk dari orang yang dimaksud dalam surat tersebut atau tidak, terdapat keraguan bahkan kerusakan pada surat tersebut, karena pada dasarnya sebab keluarnya surat tersebut, adalah menentang Syalmaghani dan beberapa orang yang mengklaim diri sebagai Imam Mahdi yang disebutkan nama-namanya di akhir surat. Namun tidak disebutkan nama Hallaj di situ. Pada sanad surat yang paling tua – yang dinukil oleh Syaikh Thusi – tidak disebutkan nama Hallaj. Namun pada naskah lain surat – yang disebutkan oleh Thabarsi – sebelum teks surat, periwayat menyebutkan nama Hallaj diantara orang-orang yang mengklaim Babiyat. Dengan indikasi ini, mereka mengira bahwa redaksi-redaksi akhir surat yang berbunyi, “Wa ‘ala man syaya’ahu wa taba’ahu wa ballagahu”[13] juga mencakup Hallaj. Bagaimanapun bahwa sebagian kritikus tasawuf yang disebutkan dari kalangan ulama Imamiyah dalam melaknat Hallaj lantaran disebutkan dalam sebuah surat, adalah sebuah anggapan yang tidak tepat.”[14]
Akhir kata, supaya kita dapat memahami secara lebih baik kondisi-kondisi sosial dan politik pada masa para Imam Maksum As, sebagai contoh kita akan menyebutkan salah seorang sosok penting dan terkenal dari sahabat para Imam yaitu Zurarah yang pada masa itu dikenal sebagai seseorang yang mendapatkan laknat dari para Imam. Terdapat juga beberapa riwayat, pada kitab-kitab riwayat yang dinukil, melaknat Zurarah. Namun demikian pada riwayat lainnya dijelaskan bahwa penolakan dan laknat ini yang patut mendapat perhatian. Imam Shadiq As bersabda, melalui sebuah pesan yang disampaikan kepadanya melalui anaknya, demikian:
“Setelah engkau sampaikan salam, katakanlah kepada ayahmu bahwa Aku mencelamu sehingga dengan cara seperti ini Aku membelamu karena orang-orang dan musuh-musuh kami berusaha menyerang dan menghabisi orang-orang yang dekat kepada kami dan mendapatkan pujian kami sehingga mereka menghajarnya. Dan engkau adalah seseorang yang dikenal sebagai pendukung kami. Dengan celaan seperti itu, mereka akan (berbalik) mendukungmu dan mereka tidak akan mengganggumu (lagi).[15]
Oleh itu, intensitas taqiyyah terkait dengan orang-orang yang dianggap sebagai pendukung para Imam Maksum As dan terancam jiwanya sedemikian kuat sehingga dalam kondisi-kondisi seperti ini kita tidak dapat menilai dengan mudah situasi politik pada masa itu terkait dengan sikap para Imam Maksum As berkenaan dengan beberapa figur penting tanpa pertimbangan tertentu.
Model tindakan para Imam Maksum As ini terkait dengan orang-orang seperti Zurarah yang semata-mata hanya menukil riwayat-riwayat dalam masalah furu’ (cabang) fikih sedemikian tinggi tingkat taqiyyah-nya. Apatah lagi terkait dengan para sahabat-sahabat khusus (sirr) para Imam Maksum As.
Contoh lainnya adalah Ibnu Thawus yang menyebutkan beberapa hal[16] sehubungan dengan sebab pelemahan sebagaian sahabat khusus para Imam yang dilakukan oleh sebagian ulama Syiah yang menunjukan bahwa orang-orang ini karena mengetahui ilmu-ilmu dan rahasia-rahasia para Imam menyebutkan beberapa hal yang termasuk sebagai tindakan ghuluw dan kufur berdasarkan ijtihad ulama. Kebanyakan ulama pada masa itu yang tidak memiliki ilmu-ilmu semacam ini dan situasi politik yang berkembang pada masa itu, menentang dengan sengit dan keras pandangan-pandangan irfani.
Mengkaji beberapa pandangan ulama pada masa itu (sehubungan dengan masalah maqam-maqam para Imam) dengan baik menunjukkan pada realitas bahwa kebanyakan pembahasan-pembahasan irfani bahkan terkait dengan para Imam sendiri. Meski dari para Imam sendiri juga tidak dapat diterima.
Dengan memperhatikan beberapa hal yang disebutkan di atas sehubungan dengan Hallaj harus dikatakan bahwa pandangan-pandangannya dalam masalah tajalli (manifestasi) dan wahdat al-wujud (kesatuan wujud) irfani dalam banyak hal berpijak dan bersandar para riwayat.[17] Karena itu, tidak dapat hanya dengan bersandar pada ijithad sebagian ulama yang menentang irfan secara keseluruhan, maka kita mengeluarkan hukum terkait dengan pribadi Hallaj.
Situasi dan kondisi yang berkembang pada masa itu, dengan baik menunjukkan bahwa kita tidak dapat dengan mudah mengemukakan pendapat terkait dengan orang-orang seperti ini karena kebanyakan rahasia-rahasia dan ilmu-ilmu para Imam pada masa tertentu, disebabkan oleh tekanan yang mencekik bahkan dipraktikkan di kalangan ulama Imamiyah sendiri. Namun pada masa lain terbuka kesempatan untuk membahas persoalan itu. [iQuest]
[1]. Syahid Muthahhari dalam buku ‘Ilal Gerâyesy be Mâddigerâi” (Kritik atas Materialisme) dalam menjelaskan model-model baru propagandai Materialisme di Iran. Salah satu model itu adalah mendistorsi beberapa figur tertentu; dan setelah itu sebagai contoh, Syahid Muthahhari menjelaskan dua figur dan menjelaskan pelbagai distorsi tentang mereka; Pertama Syahid Muthahhari membahas masalah distorsi Hafizh dan selanjutnya adalah Hallaj. Ihwal Hallaj, Syahid Muthahhari berkata, “Salah satu figur yang didistorsi oleh puak Materialisme akhir-akhir ini untuk menjustifikasi perbuatan mereka adalah Husain bin Mansur Hallaj. Hallaj adalah seorang figur kontroversial dalam dunia Islam. Di sini saya tidak ingin membahas tentang sosok kontroversial ini di sini. Terkait dengan orang ini, terdapat dua pandangan yang berbeda. Para arif, di antaranya adalah Hafizh, memandangnya sebagai seorang arif yang berkedudukan tinggi yang telah sampai pada maqam fana fillah dan baqa billah. Para arif memandang bahwa berkata “Ana al-Haq” (Akulah Kebenaran) bukanlah perkataan yang mengklaim diri sebagai Tuhan, melainkan klaim kefanaan dan ketersedotan pada Tuhan. Ketersedotan-ketersedotan seperti ini hanya mampu dipahami oleh orang yang merasakan sendiri daya-sedot ini. Hafizh berkata, “Apa yang diketahui oleh orang-orang lalai ihwal rumus rahasia Ana al-Haq
Karena belum lagi tersedot dari tarikan-tarikanSubhani”
Syaikh Mahmud Syabistari dalam menjelaskan “Ana al-Haq” (Akulah Kebenaran) Hallaj mengklaim diri telah fana dan menjadi manifestasi Ilahi bukan klaim uluhiyyah. Syabistari menyinggung tentang kisah Musa dan Wadi Aiman serta pohon Thur yang disebutkan dalam al-Qur’an, “Musa mendengarkan dari pohon yang berkata, “Innani anaLlah.” (Sesugguhnya Aku ini Tuhan).” Kalau kita meninjau tingkatan para arif dan para filosof arif, pada umumnya orang lain memandang Hallaj sebagai tukang sulap yang mengklaim irfan dan reinkarnasi... Di antara para orientalis Barat, nampaknya, tiada yang melebihi Louis Massignon dalam mengapresiasi karya Hallaj. Massignon memandang Hallaj sebagai seorang arif suci, Muslim dan martyr Irfan.
Sebagian puak Materialis kontemporer ingin mencetak Hallaj sebagai seorang materialis yang mengingkari keberadaan Tuhan. Dia tidak hanya tidak memiliki keyakinan terhadap Tuhan, Hallaj sama sekali tidak ingin dengan klaim reinkarnasi Tuhan dalam dirinya ia telah sampai pada Tuhan dan mempropagandakan bahwa dirinya telah menjadi Tuhan. Hallaj ingin mempropagandakan pemikiran anti-Tuhan. Sesuai dengan pendapat pengklaim ini, Hallaj bukan hanya seorang Materalis loyalis melainkan juga sebagai pengikut logika dialektika. Artinya Materialisme Hallaj adalah Materialisme dialektika. Silahkan lihat, buku-buku Fitrat, Tamâsyagâne Râz, dan ‘Ilal-e Gerâyesy be Mâddigari,” dari sekumpulan karya-karya Syahid Muthahhari.
[2]. Sayid Haidar Amuli, Jâmi’ al-Asrâr, hal. 206, Intisyarat-e Ilmi wa Farhanggi, 1368 S.
[3]. Ali bin Ahmad al-Syirwani, Akhbâr al-Hallâj, kutipan dari Cahâr Matn az Zendegi Hallâj, hal. 151-152, Riset: Louis Massignon, Penerjemah, Qasim Mir Akhuri, Nasyr Yad Awaran, Teheran, 1379 S.
[4]. Ali bin Ahmad al-Syirwani, Akhbâr al-Hallâj, kutipan dari Cahâr Matn az Zendegi Hallâj, hal. 151, Riset: Louis Massignon, Penerjemah, Qasim Mir Akhuri, Nasyr Yad Awaran, Teheran, 1379 S. unajat Hallaj ini disebutkan oleh Sayid Haidar Amuli salah seorang arif besar Syiah dalam teks buku Jâmi’ al-Asrâr, hal. 206, Intisyarat-e Ilmi wa Farhanggi, 1368 H:
«قول منصور (الحلاج) منهم، فی دعائه الجامع لجمیع هذه المراتب مع زیادة أخرى، الصادر عنه حال قتله «اللّهمّ! أنت المتجلّى من کلّ جهة، المتخلّى عن کلّ جهة. بحقّ قیامک بحقی، و (بحقّ) قیامى بحقّک، و قیامى بحقّک یخالف قیامک بحقّی، لانّ قیامى بحقّک ناسوتیّة، و قیامک بحقّی لاهوتیّة و کما أنّ ناسوتیّتى مستهلکه فی لاهوتیّتک، غیر ممازجة إیاها، فلاهوتیّتک مستولیة على ناسوتیّتى، غیر مماسة لها و بحقّ قدمک على حدثى، و حقّ حدثى تحتملابس قدمک أن ترزقنی شکر ما أنعمت علىّ، حیث غیبت أغیارى عمّا کشفت لی من مطالعة وجهک، و حرّمت على غیرى ما أبحت لی من النظر فی مکنونات سرّک! و هؤلاء عبادک قد اجتمعوا لقتلى تقرّبا إلیک و تعصّبا لدینک، فاغفر لهم، فانّک لو کشفت لهم ما کشفت لی، لما فعلوا (ما فعلوا) و لو سترت عنى ما سترت عنهم، لما ابتلیت بما ابتلیت. فلک الحمد دایما».
[5]. Sayid Haidar Amuli, Jâmi’ al-Asrâr, hal. 205, Intisyarat-e Ilmi wa Farhanggi, 1368 S.
[6]. Paruh kedua abad ketujuh Hijriah.
[7]. Ismail Haqqi Barousawi, Ruh al-Bayân, jil. 10, hal. 322, Intisyarat Dar al-Fikr, Beirut, Tanpa Tahun.
[8]. Abul Qasim Ismail bin Abi Abdullah bin Zanji salah seorang reporter istana. Ia seperti ayahnya bergantung pada Nazhar al-Mazhalim, semenjak tahun 309 hingga 323. Pendapat Nazhar al-Mazhalim adalah pendapat pengadilan yang memerika pelbagai pelanggaran orang-orang penting. Ayahnya juga adalah pencatat resmi pengadilan Hallaj. Cahâr Matn az Zendegi Hallâj, hal. 62. Riset oleh Louis Massignon, , Penerjemah, Qasim Mir Akhuri, Nasyr Yad Awaran, Teheran, 1379 S.
[9]. Ibnu Zanjani, Maqtal al-Hallaj, Cahâr Matn az Zendegi Hallâj, hal. 76, Riset: Louis Massignon, Penerjemah, Qasim Mir Akhuri, Nasyr Yad Awaran, Teheran, 1379 S.
[10]. Abdurrahman Silmi, Tarikh Shufiyah, nukilan Cahar Matn az Zendegi Hallaj, hal. 105, Riset: Louis Massignon, Penerjemah, Qasim Mir Akhuri, Nasyr Yad Awaran, Teheran, 1379 S.
[11]. Kemudian saya melihat Abu Bakar Syibli pergi mendekati salib kemudian bertanya apa tasawwuf itu? Hallaj menjawab, “Serendah-rendah derajatnya yang sekarang ini Anda saksikan dan setinggi-tinggi derajatnya akan Anda saksikan besok: Tasawuf adalah gaib Ilahi yang aku tampakkan dan tersembunyi bagimu.... keesokan harinya mereka membakar jasad Hallaj kemudian abunya di bawah di atas menara supaya ditebarkan oleh angin.” Ibnu Bakwai Syiraz, Bidâyat Hâl al-Hallâj wa Nihâyatuhu” kutipan dari Cahâr Matn az Zendegi Hallâj, hal. 129, Riset: Louis Massignon, Penerjemah, Qasim Mir Akhuri, Nasyr Yad Awaran, Teheran, 1379 S.
[12]. Software Pârsemân, terkait dengan laknat Mansur Hallaj sesuai kutipan kandungannya.
[13]. Dan atas orang-orang yang menyebarkannya, mengikutinya dan menyampaikannya.”
[14]. Dânesy Nâme Jahân-e Islâm, pada huruf H: Hallaj.
[15]. Syaikh Hurr Amili, Wasâil al-Syiah, jil. 11, hal. 257, Muassasah Ali al-Bait, Qum, 1409 sesuai dengan kutipan kandungannya.
[16]. Mirza Musa Hairir Askawai, Ihqâq al-Haq, hal. 378, Mansyurat Maktabat al-Hairi al-Amma, Karbala, al-Taba’at al-Tsaniyah, 1385. Demikian juga silahkan rujuk pada Sayid Ibnu Thawus, Fallâh al-Sâil, hal. 11-14, Intisyarat-e Daftar Tablighat Islami, Qum, Tanpa Tahun.
«شدت اختصاص و جلالت قدر برخی از اصحاب ائمه باعث شده است که ائمه آنان را بر سرائر حالات خود مطلع سازند و مطالبی را برای آنان بازگو کنند که از اغیار مصون می داشتند لذا با نقل این مطالب متهم به غلو و سایر اتهامات شده و از این روی منزلت آنان نزد شیعه تضعیف شده است».
[17]. Seperti redaksi yang diungkapkan pada khutbah bagian pertama Nahj al-Balâghah, “la bersama segala sesuatu tetapi tidak berjarak. la berbeda dari segala sesuatu tetapi tidak terpisah.” Atau redaksi kalimat ini pada Khutbah 185 Nahj al-Balâghah, “Dia Esa, tetapi bukan dengan bilangan. la kekal tanpa batas. la maujud tanpa topangan.