Please Wait
10891
Penanya dengan yakin mengatakan bahwa “Zaid bin Ali bersaksi atas keabsahan Abu Bakar sebagai khalifah. Tetapi setelah penelitian rigoris, banyak didapati dalam sumber-sumber referensi penelitian kami yang menegaskan bahwa tak ada bukti dan dalil yang menguatkan pernyataan keliru di atas. Karena itu, pertama-tama kami akan memandang anggapan dan klaim Anda benar kemudian kami akan menyanggah klaim dan anggapan ini.
Dalam ayat at-Tathhir disebutkan bahwa “Allah swt berkehendak menghilangkan segala kenistaan dari Ahlul Bait”. Ayat ini menunjukkan kesucian Ahlulbait. Ishmah (terpelihara dari dosa dan nista) yang menjadi hujjah bahwa segala perbuatan seorang maksum adalah tolak ukur kebenaran atas fenomena yang terjadi padanya. Nah, jika Zaid bin Ali sama seperti saudara dan ayah kandungnya yang merupakan Ahlulbait (maksum), maka pengakuan dia yang membenarkan kekhalifahan Abu Bakar, berarti membenarkan pemerintahannya juga. Namun kita tahu sebagaimana dalam banyak hadis dari Syiah dan Ahlussunnah dikatakan bahwa Ummu Salamah, Aisyah dan para kerabat Nabi saw bukanlah termasuk Ahlulbait kecuali
Di sisi lain kata “ahl” merupakan kata dâ’imul idhâfah al-ma’nawiyah (selalu bersandar secara spiritual) dan mudhaf ilaih (kalimat majemuk) melengkapi artinya. Pada ayat tersebut kata “ahl” disandarkan pada kata “al-bait”, dan yang pasti arti “al-bait” di sini bukan rumah atau tempat tinggal. Sebab kalau demikian, Ummu Salamah saat ayat tersebut turun di rumahnya lebih utama dari yang lainnya dan ia menjadi bagian dari ayat itu.
Akan tetapi berdasarkan keterangan riwayat-riwayat yang tak terbilang jumlahnya, Rasulullah Saw tidak menggolongkan Ummu Salamah sebagai bagian dari Ahlulbait. Jadi menurut terminologi yang khas tersebut, Zaid bin Ali bukan termasuk Ahlulbait Nabi As meskipun dia merupakan anggota keluarganya.
Namun siapa yang tidak kenal Zaid bin Ali. Dia orang bertakwa, pemberani dan anti kezaliman. Dia orang yang mendapatkan restu para Imam suci As. Dia seorang pribadi yang tak tahan menyaksikan perampasan hak dan kezaliman Bani Umayyah, sehingga dia bangkit menuntut darah kakeknya yang syahid secara mazhlum, Imam Husain bin Ali As. Dia bangkit dan mengusung perlawanan yang luar biasa.
Kiranya tak mungkin orang yang memiliki latar belakang bersinar seperti dia mengabaikan ayat-ayat al-Qur’an dan hadis-hadis Nabi Saw tentang kepemimpinan kakeknya yang mulia itu.
Oleh karena itu, mengenai apa yang dinisbatkan pada Zaid bin Ali tak lebih dari klaim orang-orang yang hendak merusak kebenaran dengan melimpahkan kesalahan kepada orang-orang mulia seperti dia.
Sebelum menjawab pertanyaan di atas, perlu diingat bahwa penanya tidak membawa satu buktipun yang benar atas klaimnya, dan setelah kami telusuri ternyata tidak ada dalil yang membenarkannya. Oleh karena itu, pertama: klaim dalam satu topik pengetahuan semata tidaklah bernilai. Kedua: melihat beberapa komentar dalam masalah yang menguatkan kekhalifahan Abu Bakar dari pihak Zaid, cara penilaian yang paling baik ialah mengetahui konteks-konteks yang sesuai dalam melemahkan klaim tersebut. Oleh karena itu, pertama perlu menelusuri kepribadian Zaid dan mengkaji konteks-konteks yang menunjukkan keselarasan dan ketidakselarasan spritualitas Zaid dengan tema di atas.
Zaid bin Ali adalah seorang yang zuhud, dermawan dan pemberani. Dia yang terkemuka di antara saudara-saudaranya setelah Imam Baqir As.[1]
Ayahnya adalah Ali bin al Husain As yang bergelar as-Sajjad. Pada bulan Shafar tahun 120 H ia mati syahid setelah berperang dengan Bani Umayyah. Mengenai kemuliaannya yang amat tinggi cukuplah dengan ucapan Imam Ja’far as-Shadiq As setelah Zaid berangkat untuk berperang; “Celakalah orang yang mendengar seruannya tetapi tidak mau menolongnya.”[2] Imam Ja’far As sangat sedih dengan kesyahidannya dan untuk majlis duka atasnya beliau rela mengeluarkan dana 1000 dinar.[3] Jadi, tidak diragukan bahwa dia dimuliakan dan dihormati oleh para Imam Maksum As.[4]
Namun persoalannya di sini, apakah kejernihan jiwa dan ketakwaannya ini menjadikan perkataannya hujjah atas kebenaran, yang merupakan konsekuensi kemaksuman? Tidaklah mustahil seorang hamba mencapai satu derajat, lulus dalam meninggalkan apa yang diharamkan Allah dan mengamalkan ajaran-ajaran Islam, bahkan ia berpaling dari perbuatan-perbuatan makruh. Manusia biasa, selain para Imam suci pun mampu melakukan hal itu.
Dengan kata lain, bisa saja orang sampai pada derajat kemaksuman. Tetapi hakikatnya, kedudukan ini tidak meniscayakan perbuatan dan perkataannya adalah hujjah atas kebenaran sesuatu.
Yang menjadi tolak ukur di sini adalah kemaksuman yang disertai imâmah yang dideklarasikan oleh Nabi Saw dan seorang imam sebelumnya melalui hadis dan riwayat mutawatir. Jadi, anggaplah Zaid bin Ali menyatakan sahnya kekhalifahan Abu Bakar, hal inipun tak dapat mencapai pembenaran dan hujjah atas kekhalifahan Abu Bakar!
Dalam menjawab pertanyaan di atas harus disampaikan bahwa kata “ahl” dan “âl” jika diartikan secara mutlak maka berarti keluarga,[5] famili dan orang yang dinisbatkan dengan rumah atau pemilik rumah. Tetapi yang dimaksud “ahl” dalam ayat at-Tathir bukanlah itu, tetapi lebih sempit dari makna leksikalnya dan tidak bertentangan dengan makna pertamanya. Sebab banyak hadis yang mengatakan bahwa selain
Banyak sekali riwayat mengenainya baik dari Syiah maupun Ahlussunnah, di antaranya sebagai berikut:
Dalam kitab Nahjul Imân, Ibnu Jabr berkata: “Muhammad bin Muhammad bin Nu’man yang dikenal dengan nama Syekh Mufid Ra, meriwayatkan, “Ayat ini turun di rumah Ummu Salamah, salah satu istri Nabi saw yang mulia.”
Dengan bersandar pada riwayat
Beliau Saw berkata, “Engkau berada dalam kebaikan.”
Syekh Mufid berkata: “Beliau tidak berkata, “Engkau adalah termasuk Ahlulbaitku”.[7]
Hadis-hadis seperti itu dalam Syiah banyak sekali sebagai misal hadis al-Kisa’.[8]
Dalam kumpulan-kumpulan hadis dan tafsir Ahlussunah pun mengenai ayat tersebut berulang kali diartikan untuk
Ibnu Jarir al-Thabari berkata: “Muhammad bin al-Mutsanna (dari fulan bin fulan dan seterusnya), dari Nabi Saw yang bersabda, “Ayat ini turun untuk
Ahlulbait dalam penafsiran Ahlussunnah juga diartikan untuk
Melalui hadis-hadis riwayat dari Syiah dan Sunni, kata “ahl” pada ayat tersebut tidak dipakai dalam bentuk mutlak dan umum. Kita tahu bahwa kata ini da`imul idhofah ma’nawiyah (selalu disandarkan pada kata lain). Yakni supaya makna bahasanya benar, ia harus bersandar pada kata lain seperti ahlul iman (ahli iman), ahlu
Tetapi berdasarkan keterangan hadis-hadis, Ummu Salamah atau Aisyah dan atau istri-istri Nabi saw lainnya, beliau tidak menghitung mereka termasuk dalam Ahlulbait. Jadi yang dimaksud dengan “al-bait” adalah rumah nubuwah dan risalah”.
Banyak riwayat yang menunjukkan dengan jelas pembatasan bahwa kata “al-bait” artinya rumah nubuwah dan risalah, dan tak ada rumah yang demikian kecuali rumah Ali dan Fatimah As. “Ahlulbait Nubuwah” meliputi keluarga suci ini sebagaimana yang disebutkan dalam doa-doa ziarah.[10] Selain lima orang itu (Ahlul Kisa’) dan sembilan Imam dari keturunan Imam Husain bin Ali As, perkataan manusia biasa tidak dapat dijadikan pedoman untuk menolak atau menerima dan menguatkan sesuatu. Kecuali berujung pada perkataan para manusia suci (maksumin) atau ayat-ayat al Qur’an atau juga perkataan yang jelas dengan konteks-konteks akal. Oleh karena itu pembenaran apa yang terjadi pasca Nabi saw dari Zaid bin Ali yang memiliki keutamaan dengan mengesampingkan hadis-hadis Nabi saw (tentang pengangkatan Ali as sebagai khalifah) dan
Persoalan pokoknya, benarkah klaim bahwa apa yang berlaku di Saqifah adalah sah bagi Zaid bin Ali As dan mengukuhkan kekhalifahan Abu Bakar ataukah tidak?!
Telah disampaikan sebelumnya bahwa Zaid adalah orang zuhud dan bertakwa. Segala perhatiannya, sepenuhnya dalam meraih ridha Allah. Dengan berani ia tunjukkan bahwa dirinya dia mampu, sehingga para Imam maksum As memuliakannya dan mengingatnya. Ia adalah pribadi yang anti kezaliman. Ia takkan tinggal diam terhadap kezaliman dan penganiayaan dan selalu bangkit melawan orang-orang tiran. Karena jiwa inilah ia bangkit -yang dikenal dengan “kebangkitan Zaid”- menuntut balas atas kesyahidan Imam Husein bin Ali As. Hal ini tidak lain kecuali ia ingin menunjukkan bahwa keluarga Nabi saw tak sejalan dengan Bani Umayyah dan dengan orang-orang zalim yang merampas hak mereka.
Secara mendasar benarkah pandangan bahwa sosok yang berilmu dan berani ini kalah dengan kondisi politik saat itu, dan menolak hadis-hadis Nabi Saw tentang lailatul mabit (malam di mana Imam Ali As menggantikan Nabi Saw tidur di tempat tidurnya saat beliau berangkat hijrah), Ghadir Khum dan seterusnya.
Oleh karena itu, dengan memperhatikan sekilas kehidupan sosok mukmin sejati ini, harus disampaikan bahwa klaim (bahwa Zaid membenarkan kekhalifahan Abu Bakar) tersebut jauh dari kedudukan Zaid bin Ali, dan sengaja dibuat untuk merusak apa yang sebenarnya. Kami pun menagih bukti yang otentik dari orang-orang yang menyebarkan klaim seperti ini, yang sekalipun jika ada di dalam benak kita, maka kita akan menolaknya.[]
Daftar pustaka untuk telaah lebih jauh:
1. Abi Ja’far Muhammad bin Jarir at Thabari, Jâmi’ul Bayân ‘an Ta’wil Âyatul Qur’ân.
2. Al Munjid fil Lughah.
3. Sayid Abul Qasim Khui, Mu’jam Rijal al-Hadits.
4. Zainuddin Ali in Yusuf bin Jabr, Nahjul Imân, Tahqiq Sayyid Ahmad Husaini.
5. Syaikh Shaduq, ‘Uyun Akhbâr al-Ridhâ a.s
6. Ali bin Isa bin Abi al-Fath al-Irbili.
7. Fadhl bin al Hasan at Thabarsi, I’lâmul Warâ bi A’lâmul Hudâ.
8. Qummi, Syeikh Abbas, Mafâtihul Jinân.
[1]. Fadhl bin al-Hasan al-Thabarsi, I’lam al-Wara bi’alam al-Huda, jil. 1, hal. 493.
[2]. Syaikh Shaduq, ‘Uyun Akhbar al-Ridha As, jil. 1, hal. 225.
[3]. Fadhl bin al-Hasan al-Thabarsi, Op Cit, hal. 495.
[4]. Abu al-Qasim Khui, Mu’jam Rijal al-Hadits, jil. 7, hal. 356.
[5]. Al-Munjid fi al-Lugha, hal. 20, klausul Ahl.
[6]. Innama YuriduLlah Liyudzhiba ‘ankum al-Rijsa Ahlal Bait wa Yutahhirakum Tathira. (Qs. Al-Ahzab [33]:33)
[7]. Zaid al-Din ‘Ali bin Yusuf bin Hajar, Nahj al-Iman, hal. 68.
[8]. Syaikh Abbas Qummi, Mafâtih al-Jinân, hal. 1021.
[9]. Abu Ja’far Muhammad bin Jarir al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân ‘an Ta’wil Âyat al-Qur’ân, jil. 22, hal. 9
[10]. Syaikh Abbas Qummi, Op Cit, hal. 901.