Kode Site
fa22245
Kode Pernyataan Privasi
39463
Ringkasan Pertanyaan
Menurut Imam Ja’far Shadiq As, apa saja kriteria mujtahid yang memenuhi syarat? Kepada siapakah masyarakat awam harus bertaklid?
Pertanyaan
Imam Hasan Askari As meriwayatkan dari Imam Ja’far Shadiq As: “Ada titik persamaan dan titik perbedaan antara masyarakat awam kita dan ulama kita dengan masyarakat awam umat Yahudi dan ulama umat Yahudi. Adapun persamaannya: Tuhan mencela masyarakat awam kita karena bertaklid (mengikuti) ulama mereka, sebagaimana Ia mencela masyarakat awam mereka (umat Yahudi)... maka jika ada di antara para fakih (ahli agama), yang dapat menahan dirinya, menjaga agamanya, dan bertentangan dengan hawa nafsunya, serta mentaati perintah pemimpinnya, maka hendaknya orang-orang awam bertaklid (mengikuti) kepadanya.” Apa maksud dari hadis ini? Dan bagaimana mungkin Imam Hasan Askari As meriwayatkan hadis dari Imam Ja’far Shadiq As? Lalu apakah bisa dikatakan, berdasarkan hadis ini, taklid hanya wajib bagi masyarakat awam saja?
Jawaban Global
Beberapa poin di bawah ini bisa dipaparkan sebagai penjelasan hadis tersebut:
1. Penukilan hadis oleh seorang imam maksum dari imam maksum lainnya (meskipun terbentang jarak waktu yang cukup panjang antara mereka) tidak ada masalah sama sekali; karena silsilah riwayat hadis-hadis seperti ini secara total adalah dari para imam maksum.
Penjelasannya begini, para imam suci selalu menukil hadis-hadis dari ayah dan kakek mereka dengan menyebutkan silsilah sanadnya, dan terkadang mereka juga menukil hadis yang silsilah sanadnya sampai hingga datuk mereka, Rasulullah Saw. Dengan demikian mereka menegaskan bahwa hadis-hadis yang mereka nukil semuanya berasal dari Rasulullah Saw. Para pengikut mereka pun meyakini kemaksuman, ketakwaan dan ilmu para imam, serta kebenaran silsilah hadis-hadis mereka, yang mana hal itu bukan hal yang samar bagi siapapun. Tujuan para imam dalam menyebutkan sanad-sanad hadis tersebut adalah supaya para pengikut mazhab lainnya dapat berpegangan pada hadis-hadis mereka.[1]
Oleh karena itu, tak ada masalah jika Imam Hasan Askari As menukil hadis dari Imam Ja’far Shadiq As. Ini adalah hal yang sudah dibahas dan dibuktikan dalam ilmu hadis, dan sudah difahami dengan jelas oleh para ahli hadis Syiah.
2. Hadis tersebut dinukil dari Imam Hasan Askari As dalam tafsir ayat 78 dan 79 surah Al-Baqarah,[2] dan dalam rangka mencela masyarakat awam umat Yahudi yang selalu mengikuti ulama jahat mereka secara membabibuta. Mereka tidak memahami apapun dari kitab suci mereka kecuali khayalan dan angan-angan, dan tak satupun pelajaran yang telah mereka pelajari darinya.[3]
3. Di sebagian dari hadis ini, Imam Askari As menukil dari Imam Shadiq As kata-kata yang telah disebutkan di pertanyaan di atas, yang secara global berkaitan dengan taklid atau mengikuti ulama yang tak memenuhi syarat; sebagaimana Imam Shadiq As di kelanjutan hadis itu menyebutkan kriteria-kriteria mereka, para musuh yang licik; selain itu beliau juga menyebutkan kriteria-kriteria ulama yang pantas untuk diikuti.
4. Berdasarkan riwayat ini, jika masyarakat kita tahu bahwa ada ulama kita yang tikdak benar dan tak layak, namun menutup mata dan membabi buta mengikuti ulama tersebut, maka masyarakat seperti ini tak ada bedanya dengan umat Yahudi yang disebut di riwayat itu.
Namun jika ada seorang fakih yang menjaga dirinya, menjaga agamanya, tidak mengikuti hawa nafusnya, menjalankan perintah Tuhannya, maka wajib bagi orang awam untuk mengikutinya.
1. Penukilan hadis oleh seorang imam maksum dari imam maksum lainnya (meskipun terbentang jarak waktu yang cukup panjang antara mereka) tidak ada masalah sama sekali; karena silsilah riwayat hadis-hadis seperti ini secara total adalah dari para imam maksum.
Penjelasannya begini, para imam suci selalu menukil hadis-hadis dari ayah dan kakek mereka dengan menyebutkan silsilah sanadnya, dan terkadang mereka juga menukil hadis yang silsilah sanadnya sampai hingga datuk mereka, Rasulullah Saw. Dengan demikian mereka menegaskan bahwa hadis-hadis yang mereka nukil semuanya berasal dari Rasulullah Saw. Para pengikut mereka pun meyakini kemaksuman, ketakwaan dan ilmu para imam, serta kebenaran silsilah hadis-hadis mereka, yang mana hal itu bukan hal yang samar bagi siapapun. Tujuan para imam dalam menyebutkan sanad-sanad hadis tersebut adalah supaya para pengikut mazhab lainnya dapat berpegangan pada hadis-hadis mereka.[1]
Oleh karena itu, tak ada masalah jika Imam Hasan Askari As menukil hadis dari Imam Ja’far Shadiq As. Ini adalah hal yang sudah dibahas dan dibuktikan dalam ilmu hadis, dan sudah difahami dengan jelas oleh para ahli hadis Syiah.
2. Hadis tersebut dinukil dari Imam Hasan Askari As dalam tafsir ayat 78 dan 79 surah Al-Baqarah,[2] dan dalam rangka mencela masyarakat awam umat Yahudi yang selalu mengikuti ulama jahat mereka secara membabibuta. Mereka tidak memahami apapun dari kitab suci mereka kecuali khayalan dan angan-angan, dan tak satupun pelajaran yang telah mereka pelajari darinya.[3]
3. Di sebagian dari hadis ini, Imam Askari As menukil dari Imam Shadiq As kata-kata yang telah disebutkan di pertanyaan di atas, yang secara global berkaitan dengan taklid atau mengikuti ulama yang tak memenuhi syarat; sebagaimana Imam Shadiq As di kelanjutan hadis itu menyebutkan kriteria-kriteria mereka, para musuh yang licik; selain itu beliau juga menyebutkan kriteria-kriteria ulama yang pantas untuk diikuti.
4. Berdasarkan riwayat ini, jika masyarakat kita tahu bahwa ada ulama kita yang tikdak benar dan tak layak, namun menutup mata dan membabi buta mengikuti ulama tersebut, maka masyarakat seperti ini tak ada bedanya dengan umat Yahudi yang disebut di riwayat itu.
Namun jika ada seorang fakih yang menjaga dirinya, menjaga agamanya, tidak mengikuti hawa nafusnya, menjalankan perintah Tuhannya, maka wajib bagi orang awam untuk mengikutinya.
[1]. Sekumpulan penulis, Majalah Fikih Ahlul Bait As, jil. 32, hal. 14 dan 15, Muasasah Dairatul Ma’arif Fiqih Islami, Qum, cetakan pertama.
[2]. Silahkan merujuk: Syaikh Hurr Amili, Wasâil Asy-Syi’ah, jil. 27, hal. 131, Muasasah Alul Bait as, Qom, cetakan pertama, 1409 H.
[3]. Silahkan merujuk: Nasir Makarim Syirazi, Tafsir Nemune, jil. 1, hal. 316 – 318, Darul Kutub Al-Islamiah, Tehran, cetakan pertama, 1374 S.