Tipologi personal orang beriman dan beragama atau sifat dan karakter orang yang beriman kepada Allah Swt telah dijelaskan dalam al-Qur’an dan sabda-sabda para Imam Maksum As. Di antara karakter menonjol orang beriman adalah menunaikan segala yang wajib[1] dan meninggalkan segala yang diharamkan oleh Allah Swt.[2]
Dalam beberapa riwayat, terlepas dari dua hal ini, telah disebutkan ragam tipologi bagi orang beriman. Namun sebagaimana maklum derajat iman lebih tinggi dari derajat Islam. Mukmin lebih tinggi kedudukannya daripada Muslim. Artinya bahwa untuk masuk dalam Islam dan disebut sebagai seorang Muslim cukup bagi setiap orang membaca dua kalimat syahadat (syahadatain). Namun terdapat jalan panjang dan mendaki yang harus dilalui untuk sampai pada derajat iman dan disebut sebagai seorang mukmin.
Dalam al-Qur’an Allah Swt menyebutkan ungkapan yang sangat menarik ihwal ucapan orang-orang yang beriman secara lahir. Allah Swt berfirman, “Orang-orang Arab Badui itu berkata, “Kami telah beriman.” Katakanlah (kepada mereka), “Kamu belum beriman, tetapi katakanlah, ‘Kami telah tunduk’ karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu. Jika kamu taat kepada Allah dan rasul-Nya, Dia tidak akan mengurangi sedikit pun (pahala) amalanmu; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Qs. Al-Hujurat [49]:14) Benar iman setelah ketaatan kepada Allah Swt dan Rasul-Nya tampak nyata pada setiap bidang. Berititk tolak dari fakta di atas ada baiknya Anda mencermati satu poin hadis berikut ini:
“Suatu hari Imam Ali As bertanya kepada Rasulullah Saw tentang sifat orang beriman (mukmin); Rasulullah Saw menjawab dengan menyebutkan seratus tiga sifat orang beriman yang akan kita sebutkan di sini sebagian dari sifat-sifat tersebut mengingat terbatasnya ruang dan waktu. Orang beriman adalah sosok orang yang sabar dan tabah. Bertutur kata baik dan berhati lapang. Keceriaan nampak pada paras wajahnya dan kesedihan tersembunyi dalam dadanya. Tawanya adalah senyum dan dalam interaksi sosialnya senantiasa menyampaikan pelajaran, memberikan peringatan kepada orang-orang lalai dan mengajarkan orang-orang yang bodoh. Ia tidak akan turut campur pada pelbagai urusan bukan menjadi urusannya. Tidak menggunjing orang dan bersikap hati-hati dalam pelbagai keburaman (syubhat). Sangat pemaaf. Lebih manis dari madu dan lebih kukuh daripada gunung. Tidak mengungkap rahasia seseorang kepada orang lain dan banyak meluangkan waktu untuk beribadah. Sangat dipercaya pada amanah masyarakat. Bertutur kata jujur dan menjaga kehormatan (afif). Memenuhi janji yang diberikannya. Senantiasa mencari ruang dan waktu untuk menanjak jauh tinggi dan lebih unggul. Sedikit pengeluarannya dan banyak ibadahnya. Tidak menerima kebatilan meski dari sahabatnya dan menerima kebenaran meski dari musuhnya. Penghasilannya tidak berbau syubha (apatah lagi haram). Apabila ia bermusuhan dengan seseorang maka permusuhan ini tidak akan keluar dari sikap fair dan apabila ia menyukai seseorang maka ia tidak akan terjerembab dalam kubangan dosa karenanya. Tidak akan memutuskan hubungan silaturahmi (tidak memutus hubungan dengan ayah, ibu dan kerabat dan menaruh hormat kepada mereka utamanya kepada ayah dan ibu). Bersikap lembut dan pemurah kepada anak-anak yatim.[3]
Dengan memiliki karakter seperti ini dan sifat-sifat lainnya yang serupa sebagaimana yang disebutkan dalam riwayat terkait dengan tipologi dan karakter orang beriman kita berdoa kepada Allah Swt semoga kita menjadi manusia teladan dan diterima sebagai insan beragama dan religius.
Untuk telaah lebih jauh kami persilahkan Anda untuk merujuk pada kitab Nahj al-Balâghah khutbah yang lebih dikenal sebagai khutbah muttaqin yang menyebutkan jawaban Amirul Mukminin As atas pertanyaan yang dilontarkan oleh Hammam yang bertanya, “Tolong Anda sebutkan tipologi dan karakter orang bertakwa (muttaqin)?” Kemudian Amirul Mukminin Ali As menjelaskan ciri-ciri, karakter dan tipologi orang bertakwa. Bihâr al-Anwâr, jil. 68, hal. 384. Dua pustaka Syaikh Shaduq, al-Khishâl, jil. 2, hal. 571 dan Sifat al-Syiah, hal. 6. [IQuest]
[1]. Rasulullah Saw bersabda, “Kerjakanlah apa yang diwajibkan Allah Swt atasmu sehingga engkau menjadi insan yang paling bertakwa.” Abu Ja’far Muhammad bin Ya’qub Kulaini, al-Kâfi, jil. 2, hal. 82, Al-Maktabat al-Islamiyah, Teheran, Cetakan Pertama, 1388 H. Demikian juga Baginda Ali As bersabda, “Tiada satu pun ibadah melebihi mengerjakan segala tugas dan kewajiban.” Subhi Shaleh, Nahj al-Balâghah, Hikmah 113.
[2]. Sayidina Ali As bersabda, “Berjibakulah dengan diri Anda dalam meninggalkan dosa sehingga menjadi mudah bagimu melakukan ketaatan dan ibadah.” Abdul Wahid bin Muhammad Tamimi Amadi, Ghurar al-Hikam, hal. 129, Hadis 6410. Demikian juga, Imam Baqir As bersabda, “Tiada satu pun ibadah yang paling bernilai di sisi Allah Swt melebihi menjaga perut dan pangkuan dari hal-hal yang haram.” Ushûl Kâfi, jil. 2, hal. 79.
[3]. Muhammad Baqir Majlisi, Bihâr al-Anwâr, jil. 64, hal. 310, Intisyarat-e Wafa, Beirut.