Ihtiyâth adalah sebuah status atau titel yang diperoleh dari teks-teks riwayat. Frase ihtiyâth digunakan terkait dengan amal perbuatan mukallid dan juga tertaut dengan fatwa mujtahid. Setiap mukallaf apakah ia sendiri harus menjadi mujtahid atau mukallid mujtahid atau muhtath (memiliki sikap untuk berhati-hati, sekiranya ia memiliki ilmu dan penguasaan yang mencukupi atas fatwa-fatwa seluruh mujtahid). Frase ini sehubungan dengan mujtahid digunakan pada tiga hal berikut:
- Ihtiyâth wajib.
- Ihtiyâth mustahab.
- Fatwa untuk ber-ihtiyâth.
Apabila marja taklid disebabkan oleh hal-hal tertentu, tidak mengeluarkan fatwa pada sebuah masalah tertentu, seorang mukallid tidak dapat meninggalkan begitu saja marja taklid tersebut, melainkan ia dapat beramal mengikut prinsip ihtiyâth wajib atau dalam sebuah masalah, ia merujuk pada marja taklid lainnya – dengan menjaga prinsip al-‘alam fal a’lam.[1]
Ihtiyâth ini dijelaskan dengan ungkapan-ungkapan seperti “ahwath”, “bemasalah (fihi isykalun), mahall isykal, mahal ta’ammul dan lain sebagainya. Namun apabila marja taklid pertama-tama menjelaskan fatwanya kemudian memilih sikap ihtiyâth dalam sebuah masalah maka hal tersebut dinamakan sebagai ihtiyâth mustahab. Dalam ihtiyâth seperti ini, dibolehkan bagi mukallid untuk meninggalkan amalan tersebut; meski mukallid akan memperoleh pahala dan ganjaran apabila melakukan amalan tersebut.
Karena itu, dalam ihtiyâth wajib, mukallid memiliki kebebasan untuk memilih apakah ia mengikut prinsip ihtiyâth beramal berdasarkan fatwa marjanya atau ia merujuk kepada marja lainnya; namun dalam ihtiyâth mustahab, mukallid dapat memilih melakukan ihtiyâth mustahab dan fatwa yang menyertainya; misalnya seorang mujtahid (marja taklid) berkata, “Wajib hukumnya pada rakaat ketiga dan keempat salat dalam kondisi berdiri membaca sekali tasbih al-arba’ah yaitu, “SubhanaLlah walhamdulillah wa lailaha illaLlah wallahu akbar” dan mengikut prinsip ihtiyâth tiga kali membaca tasbih tersebut. Di sini mukallid boleh memilih antara mengamalkan ihtiyâth mustahab (membaca tasbih arba’ah sebanyak tiga kali) dan fatwa yang menyertainya (membaca sekali tasbih arba’ah).
Terkadang mujtahid mengeluarkan fatwa ihtiyâth dalam beberapa hal yang diharuskan bagi setiap mukallid untuk ber-ihtiyâth; sebagai contoh dalam masalah wudhu dimana tangan harus dibasuh dari siku hingga ke bawah; namun supaya yakin bahwa siku sendiri telah dibasuh secara sempurna, mujtahid, mengikut prinsip ihtiyâth, berkata bahwa bagian atas siku juga harus dibasuh. Ihtiyâth seperti ini dipandang harus dilakukan dan mujtahid mengeluarkan fatwa atas amalan tersebut. Mukallid dalam ihtiyâth ini tidak memiliki hak untuk merujuk pada mutjahid lainnya; berbeda dengan ihtiyâth wajib; karena dalam amalan ini fatwa yang dikeluarkan oleh marja taklid adalah fatwa untuk ber-ihtiyâth; bukan ihtiyâth dalam fatwa sehingga dapat dijadikan dasar untuk merujuk kepada marja taklid lainnya.
Ihtiyâth mujtahid dalam sebuah masalah bukan menjadi dalil atas ketidaktahuan dan ketidakmampuannya dalam melakukan inferensi hukum; melainkan menunjukkan ketakwaan, kewaraan dan kedalaman pengetahuannya. Mujtahid, sesuai dengan perhitungan lahir dan dari sudut pandang keilmuan dan penguasaan dalam pembahasan-pembahasan fikih dan agama, merumuskan hukum Allah, namun dikarenakan beberapa sebab, ia menghindar untuk mengeluarkan fatwa yang telah dijelaskan dalam buku-buku penelaran (istidlâl) hukum-hukum fikih. Salah satu sebabnya ketika seluruh juris atau masyhur menjelaskan satu pendapat tunggal dalam sebuah masalah yang dalam istilah disebut sebagai ijma (konsensus) atau kebanyakan dari para juris memiliki pendapat yang sama yang disebut sebagai pendapat masyhur dan dia sampai pada sebuah penalaran dan pemahaman yang berbeda dengan pendapat masyhur; namun disebabkan oleh ketakwaaan dan prinsip hati-hati ia memilih tidak mengeluarkan fatwa demi menghormati pendapat masyhur. Karena boleh jadi pendapat mereka benar adanya. Sikap menghindar tidak mengeluarkan fatwa ini dijelaskan dalam format “ihtiyâth wajib” dan jelas bahwa tidak wajib bagi seorang mujtahid untuk mengeluarkan fatwa.[2] [iQuest]
Beberapa indeks terkait:
Mengganti Marja Taklid, Pertanyaan 7897 (Site: 8002)
Kebolehan Berpindah dari Marja Taklid Hidup kepada Marja Taklid Lainnya, Pertanyaan 2282 (Site: 2390)
Mujtahid A’lam dan Bagaimana Berpindah dari Selain A’lam, Pertanyaan 2077 (Site: 2542)
Memilih Marja Taklid, Pertanyaan 2820 (Site: 3024)
Tab’idh dalam Masalah Taklid, Pertanyaan 7798 (Site: 7916)
[1]. Dua terma ini merupakan kalimat superlatif yang derivatnya berasal dari kata ‘ilm. Terma ini banyak digunakan tatkala marja taklid memilih ihtiyâth wajib dalam sebuah masalah. Maksud dari kalimat ini dalah bahwa mukallid dapat beramal sesuai dengan fatwa mujtahid lainnya – yang level keilmuanya setingkat di bawah dari marjanya dan lebih tinggi dari marja lainnya. Apabila marja kedua juga menyatakan ihtiyath wajib, maka mukallid kembali dapat merujuk pada marja taklid yang ketiga – yang level keilmuannya setingkat di bawah marja kedua dan lebih tinggi dari marja lainnya.
[2]. Diadaptasi dari Site www.hauzah.net