1.Apakah yang dimaksud dengan menyerahkan fisik sepenuhnya itu?
2.Apakah –berdasarkan hukum ini- suami dibolehkan menikmati bagian tubuh istrinya yang mana saja ia sukai sekalipun dengan cara memaksanya?
3.Apa hukum wanita yang tidak mau mentaati keinginan seksual suaminya atau pelayanannya sangat lemah sehingga mengecewakan suaminya?
Assalamu'alaikum Wr. Wb.
Perhatikanlah beberapa jawaban yang kami peroleh dari sebagian kantor marja' agung taklid berikut ini:
Kantor Hadhrat Ayatullah Agung Imam Ali Khamene'i Hf:
Jawaban atas pertanyaan 1 dan 2
Maksud dari penyerahan fisik sepenuhnya bukanlah berarti bahwa si suami dibolehkan melakukan hal-hal yang dianggap tidak etis atau sangat dimakruhkan (makruh syadid) atau memaksa istrinya sehingga menyebabkan ia sakit hati. Tetapi yang dimaksud dengan penyerahan fisik sepenuhnya ialah bahwa si suami dibolehkan melampiaskan syahwat seksualnya kepada istrinya kapan saja ia kehendaki sesuai dengan yang wajar dan dibenarkan oleh syariat Islam. Dan istri pun diwajibkan mentaati kehendak suaminya ketika tidak terdapat suatu halangan apapun, baik secara syar'i (seperti haid), aqli (menurut akal sehat) maupun 'urfi (menurut pandangan masyarakat umum).
3.Apabila istri menolak untuk menyerahkan fisiknya (untuk dinikmati oleh suaminya sementara tidak terdapat halangan apapun) maka ia berdosa besar dan kewajiban suami dalam memberikan nafkah menjadi gugur.
Kantor Hadhrat Ayatullah Agung Fadhil Langkarani Ra:
Yang dimaksud dengan penyerahan fisik sepenuhnya oleh pihak istri adalah penyerahan yang wajar dan logis. Dan melakukan hubungan seksual dengan istri melalui dubur hukumnya –secara ihtiyâth wâjib- adalah haram. Dan jika dilakukan dengan restunya pun hukumnya adalah sangat dimakruhkan (makruh syadid). Suami pun tidak dibolehkan memaksa istrinya untuk mengisap alat vitalnya. Dan hukumnya haram memaksa istri untuk melakukan hal-hal yang tidak wajar dan tidak logis.
Kantor Hadhrat Ayatullah Agung Ali Sistani Hf:
Pertama –sehubungan dengan pengamalan terhadap hukum-hukum syariat- bahwa tugas si mukallaf adalah mengamalkan fatwa seorang marja' taklid yang a'lam (lebih pandai dalam melakukan istinbâth hukum) karena penafsiran itu tidak bisa dianggap sebagai penjelas hukum syariat (bagi si mukallid).
Kedua bahwa seorang istri diwajibkan untuk menyerahkan fisiknya sepenuhnya kepada suaminya demi melampiaskan syahwat seksualnya di antaranya adalah melakukan hubungan suami istri (jimak) yang dilakukan secara syar'i (dan sesuai dengan fitrah insaniah). Terdapat banyak riwayat yang menjelaskan hal itu. Jika istri tidak mentaati suaminya (dalam hal itu dan tidak terdapat halangan apapun) maka ia dianggap telah nusyuz (membangkang) sehingga ia terkena hukum-hukum wanita nusyuz (di antaranya adalah nafkah atasnya menjadi gugur). Untuk mengetahui penjelasan secara rinci silahkan rujuk kitab "Taudhih al-Masâil". Wallahu al-'Alim.
Kantor Hadhrat Ayatullah Agung Makarim Syirazi Hf:
Yang dimaksud dengan peyerahan fisik istri sepenuhnya ialah bahwa istri wajib merestui kehendak suaminya untuk melakukan hubungan seksual pada batas-batas yang wajar dan logis. Adapun hal-hal yang tidak wajar dan tidak syar'i seperti melakukan jimak (senggama) lewat dubur, maka istri tidak diwajibkan mentaati kehendak suaminya. Dan jika pada hal-hal yang wajar istri tidak mau mentaati suaminya, maka ia dianggap sebagai wanita nusyuz (pembangkang). [IQuest]