Suap atau sogok dalam bahasa Arab disebut "rashwah" dari akar kata "ra' syin dan wauw" yang digunakan denga fathah, kasrah dan dhammah ra'. Kata ini adalah dalam bentuk singular. Plural dari kata rashwah ini adalah "rusya" atau "risya" yang bahasa Persia-nya berarti "muzd" atau "upah."[1] Secara teknis terminologis, suap adalah membayar seseorang dengan tujuan agar orang itu memenuhi apa yang ia inginkan.[2]
Para ahli fikih beralasan dengan empat dalil dalam menyatakan haramnya suap: Al-Qur'an, sunah, ijma', dan akal.[3]
1. Al-Qur'an
Allah Swt berfirman: "Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui." (Qs. Al-Baqarah [2]:188)
Allamah Thabathabai dalam penafsiran ayat di atas berkata: Pada ayat di atas, Allah Swt menggambarkan orang yang menyuap seorang hakim dengan ilustrasi yang sangat indah. Diilustrasikan penyuap adalah seorang yang menimba air dari dalam sumur. Air sumur itu adalah hukum yang diinginkan oleh penyuap tersebut. Sedangkan timba yang ia gunakan adalah uang suap yang digunakan untuk mengeluarkan air dari dalam sumur.[4] Keniscayaan diharamkannya menyuap, adalah tanda diharamkannya menerima uang suap.[5]
2. Riwayat
Banyak sekali riwayat yang menjelaskan diharamkannya suap dan menyebutnya sebagai bukti kekufuran. Misalnya, Rasulullah Saw bersabda: "Jauhilah suap, karena perbuatan itu adalah kufur. Orang yang memakan uang suap tidak akan mencium bau surga." Imam Shadiq As juga berkata: "Wahai Ammar, adapun tentang suap, itu adalah mengkufuri Allah Swt dan utusan-Nya."[6]
3. Ijma'
Dalil lain diharamkannya suap menurut para ahli fikih adalah adanya ijma' dan kesepakatan semua aliran Islam baik dari kalangan Syiah maupun Sunni.[7]
4. Akal
Suap membawa banyak kerugian bagi masyarakat. Jika ada seseorang yang bisa mendapatkan segala apa yang diinginkannya dengan menggunakan uang, maka orang-orang yang tidak memiliki uang dan bahkan tidak mau menyuap bakal mengalami masalah untuk meraih hak-hak mereka. Ketika semua pihak telah terbiasa menerima suap, maka mereka tidak akan mau menjalankan tugasnya dengan baik terhadap orang-orang yang tidak membayar suap. Akhirnya aturan dan peraturan bakal berantakan. Oleh karena itu, sebagian faqih seperti Muqaddas Ardabili menyatakan bahwa akal adalah satu-satunya dalil yang sangat jelas atas haramnya suap. Sebagaimana yang disebutkan dalam kitab Majma'ul Fa'idah wal Burhan: "Alasan haramnya suap dapat dipahami dari akal, Qur'an, hadis dan ijma'."[8]
Di akhir pembahasan ini, kami ingin membawakan beberapa fatwa dari marja'-marja' taqlid kita:
Para marja' seperti Imam Khumaini, Ayatullah Bahjat, Imam Khamene'i, Ayatullah Shafi, Fadhil Lankarani, Makarim Syirazi, dan Nuri Hamadani mengatakan: "Pembayaran uang atau harta benda oleh seseorang kepada petugas yang berkewajiban untuk memberikan layanan kepada masyarakat akan menimbulkan kerusakan (fasâd) dalam sistem manajemen, yang mana menurut syariat adalah haram hukumnya. Menerima uang suap seperti itu pun haram dan penerimanya tidak berhak menggunakannya.[9]
Ayatullah Tabrizi, Sistani dan Wahid Khurasani mengatakan: "Suap untuk mendapatkan hak-hak dalam selain perkara kehakiman (peradilan) boleh hukumnya. Namun jika suap itu ditujukan kepada orang yang memang berkewajiban untuk melayani kita dalam mendapatkan hak-hak kita, maka tidak boleh."[10]
Ayatullah Mahdi Hadawi Tehrani mengatakan: "Suap secara teknis fikih adalah uang atau harta yang diterima oleh seorang hakim agar ia memberikan hukum dan keputusan yang tidak sesuai dengan kebenaran. Ini jelas-jelas haram. Penggunaan istilah suap dalam kehidupan kita sehari-hari, yang mana seseorang membayar orang lain untuk melakukan suatu perbuatan yang bertentangan dengan hukum dan aturan, itu pun juga haram. Hanya saja tidak ada masalah jika seandainya seseorang terpaksa untuk membayar suap kepada seseorang agar ia dapat meraih hak-haknya." [iQuest]
[1]. Majma' al-Bahrain, jil. 1, hal. 184.
[2]. Ibnu Atsir, Al-Nihâyah, jil. 2, hal. 226.
[3]. Sayid Khu'i, Misbâh al-Faqâhah, jil. 1, hal. 256.
[4]. Al-Mizân, jil. 2, hal. 52, tafsir surah Al-Baqarah ayat 188.
[5]. Misbâh al-Faqâhah, jil. 1, hal. 234.
[6]. Wasâil al-Syi'ah, jil. 12, hal. 63, bab 1, Hadis 1.
[7]. Najafi, Jawâhir al-Kalâm fi Syarhi Syarâi' al-Islâm, jil. 22, hal. 145 dan jil. 1, hal. 263.
[8]. Muqaddas Ardabili, Majma' al-Fâ'idah wa al-Burhân fi Syarhi Irsyâd al-Adzhân, jil. 12, hal. 49, Daftar e Intesharat e Islami, Qum, 1403 H.
[9]. Imam Khumaini, Tahrir al-Wasilah, jil. 2, kitab Qadhâ'; Ayatullah Fadhil, Jâmi' al-Masâ'il, jil. 1, Pertanyaan 972; Ayatullah Makarim Syirazi, Istiftâ’ât, jil. 2, Pertanyaan 664 dan 665; Ayatullah Shafi, Jâmi' al-Ahkâm, jil. 2, Pertanyaan 1540; Ayatullah Khamene'i, Ajwibat al-Istiftâ'ât, Pertanyaan 1246 dan 1247; Ayatullah Bahjat, Taudhih al-Masâei, Muftaraqat, Pertanyaan 16.
[10]. Ayatullah Tabrizi, Istiftâ’ât, pertanyaan 999; Ayatullah Wahid Khurasani, Minhâj al-Shâlihin, jil. 3, Pertanyaan 32; Ayatullah Sistani, Sistani.org, Pertanyaan ihwal suap dalam Software Porseman.