Please Wait
Hits
37469
37469
Tanggal Dimuat:
2015/07/30
Kode Site
id22989
Kode Pernyataan Privasi
47439
- Share
Ringkasan Pertanyaan
Apakah peranan akal dalam agama Islam? Apakah mungkin Islam dapat hadir dalam kehidupan manusia tanpa peran akal?
Pertanyaan
Mungkinkah hukum Islam hadir dalam kehidupan manusia tanpa peranan akal? bagaimana jika terjadi pertentangan antara akal dengan teks al-Quran dan al-hadis?
Jawaban Global
Dalam ajaran Islam akal memiliki tempat yang khusus. Akal menurut Islam, berada di samping wahyu yang termasuk salah satu dalil-dalil dan hujjah. Akal adalah hujjah internal manusia yang membawa mereka pada jalan menuju kesempurnaan dan syariat (agama) mereka, adalah hujjah eksternal yang untuk menyelamatkan manusia dari pusaran pencemaran dan mendorong mereka menuju kesempurnaan dan kebahagiaan. Atas dasar ini hujjah eskternal dan internal tidak mungkin saling bertentangan.
Akal merupakan kekuatan yang paling mulia dalam wujud manusia.[1]
Allah Swt dalam Quran-Nya lebih dari 300 kali mengajak manusia untuk menggunakan, memanfaatkan sumber daya ini (akal) yang telah Allah berikan (untuk manusia).[2] Tetapi bahkan satu ayat pun Allah Swt tidak pernah mengajak hamba-hamba-Nya pada ketidakpahaman atau menjalankan sesuatu secara ikut-ikutan. Tentu saja dengan memperhatikan jangkauan lingkupan pengetahuan manusia, kebanyakan dari persoalan-persoalan harus merujuk pada ketentuan wahyu dan agama. Mungkin karena alasan ini (karena mayoritas manusia) al-Quran dalam beberapa persoalan mengedepankan akal dalam merujuk pada syariat.
Allah Swt berfirman:
«وَ قالُوا لَوْ کُنَّا نَسْمَعُ أَوْ نَعْقِلُ ما کُنَّا فی أَصْحابِ السَّعیرِ»
“Dan mereka berkata, “Sekiranya kami mendengarkan atau memikirkan (peringatan itu), niscaya tidaklah kami termasuk penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala.” (Qs. Al-Mulk [67]:10)
Dengan memperhatikan perkataan Imam Ali AS dalam Nahj al-Balagha – tentang risalah Nabi- dapat diambil kesimpulan bahwa akal dan syariat bukan hanya saling tidak bertentangan akan tetapi bahkan mereka saling mendukung dan sejalan satu sama lain:[3]
“Dan (para Nabi datang) untuk membukakan di hadapan mereka kebajikan-kebajikan dan kebijaksanaan yang tersembunyi.”
Imam Ali As dalam penjelasan di atas, tentang hikmah pengutusan para Nabi mengatakan Allah Swt mengirimkan para nabi kepada umat manusia untuk membangunkan akal-akal mereka yang terkubur.
Dengn demikian, ajaran-ajaran para nabi dan syariat tidak bertentangan dengan akal, apa yang mereka katakan itulah kekayaan akal yang dipengaruhi oleh was-was syaitan, yang diabaikan oleh manusia, para nabi datang untuk mengingatkan ummat manusia pada pikiran dan kekayaan akal mereka. Pada dasarnya tidak ada perbedaan antara metode para nabi dalam mengajak umat manusia pada kebajikan dan hakikat yang diperoleh manusia dari jalan argumen yang benar dan logis. Satu-satunya perbedaan adalah para nabi pengambil pertolongan dari wahyu dan meminum air dari sumber mata air wahyu; oleh itu, agama dan rasionalitas atau syariat dan hikmat yang mana tujuan penempatan dan metode mereka adalah sama, keduanya sama sekali tidak bertentangan. Agama memanggil hakikat manusia sehingga memperoleh keyakinan dari dalil akal pada alam adi kodrati. Akal (‘aql) dan naql memiliki tempat sama dalam garis vertikal. Sebagaimana Imam Kazhim As bersabda, “Allah Swt menempatkan dua hujjah untuk manusia: hujjah secara lahir dan hujjah secara batin, hujjah secara lahir adalah para utusan Ilahi, para nabi dan maksum, dan hujjah secara batin adalah akal.”[4]
Atas dasar ini tidak mungkin hujjah eksternal (zhâhir) dan internal (bâthin) bertentangan antara keduanya. Hujjah berarti dalil dan petunjuk, petunjuk adalah orang-orang yang mengatakan mengenal jalan, tujuan dan titik akhir tersebut.
Menurut riwayat Imam Kazhim As untuk sampai pada Tuhan Yang Esa terdapat dua petunjuk: petunjuk eksternal dan petunjuk internal. Tentu saja harus diperhatikan bahwa kedua hujjah ini merupakan dua jalan yang berdiri sendiri dan tidak bertautan satu sama lain. Manusia akan sampai pada tujuan ketika akhir keselarasan dan koordinasi antara dua petunjuk ini terjalin.
Karena itu, akal adalah salah satu dari Rasul Tuhan, dan agama tanpa akal tidak memiliki arti, dan tidak ada satupun dari ayat al-Quran bertentangan dengan keniscayaan dan kemestian akal, jika terdapat satu riwayat yang bertentangan dengan akal dan tidak ada pembenaran untuk hal tersebut maka riwayat tersebut ditolak. [iQuest]
Akal merupakan kekuatan yang paling mulia dalam wujud manusia.[1]
Allah Swt dalam Quran-Nya lebih dari 300 kali mengajak manusia untuk menggunakan, memanfaatkan sumber daya ini (akal) yang telah Allah berikan (untuk manusia).[2] Tetapi bahkan satu ayat pun Allah Swt tidak pernah mengajak hamba-hamba-Nya pada ketidakpahaman atau menjalankan sesuatu secara ikut-ikutan. Tentu saja dengan memperhatikan jangkauan lingkupan pengetahuan manusia, kebanyakan dari persoalan-persoalan harus merujuk pada ketentuan wahyu dan agama. Mungkin karena alasan ini (karena mayoritas manusia) al-Quran dalam beberapa persoalan mengedepankan akal dalam merujuk pada syariat.
Allah Swt berfirman:
«وَ قالُوا لَوْ کُنَّا نَسْمَعُ أَوْ نَعْقِلُ ما کُنَّا فی أَصْحابِ السَّعیرِ»
“Dan mereka berkata, “Sekiranya kami mendengarkan atau memikirkan (peringatan itu), niscaya tidaklah kami termasuk penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala.” (Qs. Al-Mulk [67]:10)
Dengan memperhatikan perkataan Imam Ali AS dalam Nahj al-Balagha – tentang risalah Nabi- dapat diambil kesimpulan bahwa akal dan syariat bukan hanya saling tidak bertentangan akan tetapi bahkan mereka saling mendukung dan sejalan satu sama lain:[3]
“Dan (para Nabi datang) untuk membukakan di hadapan mereka kebajikan-kebajikan dan kebijaksanaan yang tersembunyi.”
Imam Ali As dalam penjelasan di atas, tentang hikmah pengutusan para Nabi mengatakan Allah Swt mengirimkan para nabi kepada umat manusia untuk membangunkan akal-akal mereka yang terkubur.
Dengn demikian, ajaran-ajaran para nabi dan syariat tidak bertentangan dengan akal, apa yang mereka katakan itulah kekayaan akal yang dipengaruhi oleh was-was syaitan, yang diabaikan oleh manusia, para nabi datang untuk mengingatkan ummat manusia pada pikiran dan kekayaan akal mereka. Pada dasarnya tidak ada perbedaan antara metode para nabi dalam mengajak umat manusia pada kebajikan dan hakikat yang diperoleh manusia dari jalan argumen yang benar dan logis. Satu-satunya perbedaan adalah para nabi pengambil pertolongan dari wahyu dan meminum air dari sumber mata air wahyu; oleh itu, agama dan rasionalitas atau syariat dan hikmat yang mana tujuan penempatan dan metode mereka adalah sama, keduanya sama sekali tidak bertentangan. Agama memanggil hakikat manusia sehingga memperoleh keyakinan dari dalil akal pada alam adi kodrati. Akal (‘aql) dan naql memiliki tempat sama dalam garis vertikal. Sebagaimana Imam Kazhim As bersabda, “Allah Swt menempatkan dua hujjah untuk manusia: hujjah secara lahir dan hujjah secara batin, hujjah secara lahir adalah para utusan Ilahi, para nabi dan maksum, dan hujjah secara batin adalah akal.”[4]
Atas dasar ini tidak mungkin hujjah eksternal (zhâhir) dan internal (bâthin) bertentangan antara keduanya. Hujjah berarti dalil dan petunjuk, petunjuk adalah orang-orang yang mengatakan mengenal jalan, tujuan dan titik akhir tersebut.
Menurut riwayat Imam Kazhim As untuk sampai pada Tuhan Yang Esa terdapat dua petunjuk: petunjuk eksternal dan petunjuk internal. Tentu saja harus diperhatikan bahwa kedua hujjah ini merupakan dua jalan yang berdiri sendiri dan tidak bertautan satu sama lain. Manusia akan sampai pada tujuan ketika akhir keselarasan dan koordinasi antara dua petunjuk ini terjalin.
Karena itu, akal adalah salah satu dari Rasul Tuhan, dan agama tanpa akal tidak memiliki arti, dan tidak ada satupun dari ayat al-Quran bertentangan dengan keniscayaan dan kemestian akal, jika terdapat satu riwayat yang bertentangan dengan akal dan tidak ada pembenaran untuk hal tersebut maka riwayat tersebut ditolak. [iQuest]
[1].Sayyid Muhammad Husain Thabathaba’i, al-Mizân fi Tafsir al-Qur’ân, jil. 3, hal. 57, Nasyr Islami, Qum, 1417 H.
[2]. Ibid.
[4]. Muhammad bin Yakub Kulaini,, al-Kâfi, Ali Akbar Ghaffari dan Muhammad Akhundi, jil. 1, hal. 16, Dar al-Kitab al-Islamiyah, Tehran, cetakaan keempat, 1407 H.
«یَا هِشَامُ إِنَّ لِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حُجَّتَیْنِ حُجَّةً ظَاهِرَةً وَ حُجَّةً بَاطِنَةً فَأَمَّا الظَّاهِرَةُ فَالرُّسُلُ وَ الْأَنْبِیَاءُ وَ الْأَئِمَّةُ وَ أَمَّا الْبَاطِنَةُ فَالْعُقُول».
«یَا هِشَامُ إِنَّ لِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حُجَّتَیْنِ حُجَّةً ظَاهِرَةً وَ حُجَّةً بَاطِنَةً فَأَمَّا الظَّاهِرَةُ فَالرُّسُلُ وَ الْأَنْبِیَاءُ وَ الْأَئِمَّةُ وَ أَمَّا الْبَاطِنَةُ فَالْعُقُول».
Terjemahan dalam Bahasa Lain
Komentar