Kode Site
id24561
Kode Pernyataan Privasi
73012
Tema
Tafsir
Ringkasan Pertanyaan
Apakah yang dimaksud dengan taghut dalam al-Quran?
Pertanyaan
Apakah yang dimaksud dengan taghut di al-Quran?
Jawaban Global
Thaghut berasal dari asal kata “thagha” dan “thaghu” artinya melewati dan naik dari batasan yang dikenal, diterima dan sikap seimbang. Raghib berkata melewati batas dalam kemaksiatan.[1]
Sebagian ahli bahasa berkata bahwa thaghut adalah sighah mubalaghah (hiperbola) seperti kata “malakut” dan “jabarut” yang berbentuk kata hiperbolik (mubalaghah) dalam kepemilikan dan keagungan. Kata ini digunakan dalam beberapa hal yang merupakan sarana bagi tindakan melewati batas (tughyan), seperti bagian-bagian sesembahan-sesembahan selain Tuhan seperti berhala-berhala dan setan-setan dan jin-jin dan para pemimpin yang zalim dari golongan manusia dan setiap pemimpin yang tidak diridhai Allah Swt. Kata ini tidak berubah dan sama dalam bentuk mudzakar dan muanats, mufrad, tatsniyah dan jam’.[2]
Sebagian para mufasir berpendapat bahwa thaghut berasal dari asal kata “tughyan” yang secara leksikal dan makna luasnya terkait dengan segala ego dan tindakan liar atas pikiran dan kebebasan dan hak masyarakat. Bagian-bagian dan kepribadian yang bermakna hal itu seperti setan, pendeta, pemimpin sesat, tindakan liar manusia, jin dan jiwa pemberontak.”[3]
Oleh itu, thugyan itu adalah orang-orang zalim dan keluar dari jalan benar dan fitri. Orang-orang yang berbuat zalim terhadap air adalah orang-orang yang merusak saluran/jalan air dan merusak persawahan. Menzalimi diri sendiri adalah bersikap angkuh atau dominannya sebagian kekuatan-kekuatan hewani atas fitrah dan pelbagai anugerah Ilahi yang diberikan kepada manusia. Bertindak zalim kepada ciptaan adalah menguasai secara paksa atas hak-hak dan anugerah-anugerah Ilahi yang diberikan kepada mereka yang akan berujung kepada kerusakan di muka bumi sebagaimana yang dinyatakan dalam al-Quran:
Sebagian ahli bahasa berkata bahwa thaghut adalah sighah mubalaghah (hiperbola) seperti kata “malakut” dan “jabarut” yang berbentuk kata hiperbolik (mubalaghah) dalam kepemilikan dan keagungan. Kata ini digunakan dalam beberapa hal yang merupakan sarana bagi tindakan melewati batas (tughyan), seperti bagian-bagian sesembahan-sesembahan selain Tuhan seperti berhala-berhala dan setan-setan dan jin-jin dan para pemimpin yang zalim dari golongan manusia dan setiap pemimpin yang tidak diridhai Allah Swt. Kata ini tidak berubah dan sama dalam bentuk mudzakar dan muanats, mufrad, tatsniyah dan jam’.[2]
Sebagian para mufasir berpendapat bahwa thaghut berasal dari asal kata “tughyan” yang secara leksikal dan makna luasnya terkait dengan segala ego dan tindakan liar atas pikiran dan kebebasan dan hak masyarakat. Bagian-bagian dan kepribadian yang bermakna hal itu seperti setan, pendeta, pemimpin sesat, tindakan liar manusia, jin dan jiwa pemberontak.”[3]
Oleh itu, thugyan itu adalah orang-orang zalim dan keluar dari jalan benar dan fitri. Orang-orang yang berbuat zalim terhadap air adalah orang-orang yang merusak saluran/jalan air dan merusak persawahan. Menzalimi diri sendiri adalah bersikap angkuh atau dominannya sebagian kekuatan-kekuatan hewani atas fitrah dan pelbagai anugerah Ilahi yang diberikan kepada manusia. Bertindak zalim kepada ciptaan adalah menguasai secara paksa atas hak-hak dan anugerah-anugerah Ilahi yang diberikan kepada mereka yang akan berujung kepada kerusakan di muka bumi sebagaimana yang dinyatakan dalam al-Quran:
«الَّذِینَ طَغَوْا فِی الْبِلادِ* فَأَکْثَرُوا فِیهَا الْفَسادَ»
“Yang berbuat sewenang-wenang di dalam negeri, lalu mereka berbuat banyak kerusakan dalam negeri itu.” (QS Al-Fajr [89]: 11-12)
Sumber kezaliman adalah jiwa dan keinginan-keinginan jiwa dimana ia tidak memerlukan peran Tuhan yang ada pada dirinya sendiri. Berhala itu bisa harta, kekuatan atau pengetahuan yang menimbulkan keraguan dan kecongkakan.[4]
Sumber kezaliman adalah jiwa dan keinginan-keinginan jiwa dimana ia tidak memerlukan peran Tuhan yang ada pada dirinya sendiri. Berhala itu bisa harta, kekuatan atau pengetahuan yang menimbulkan keraguan dan kecongkakan.[4]
«کَلَّا إِنَّ الْإِنْسانَ لَیَطْغى أَنْ رَآهُ اسْتَغْنى»
“Tidaklah seperti yang kamu sangka. Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas.” (Qs Al-‘Alaq [96]: 6)
Oleh itu, setiap sesembahan selain Allah Swt adalah taghut apakah hal itu adalah setan ataukah berhala atau sesuatu lainnya. Thaghut adalah setiap orang yang memerintahkan orang lain untuk keluar dari jalan yang lurus dan menggiring manusia ke arah kesesatan.[5]
Terkait dengan hal ini dalam hadis disebutkan bahwa setiap penguasa yang berkuasa selain dengan ajaran kami, Ahlulbait As maka ia adalah thaghut.[6] Karena kita tahu berdasarkan hadis Tsaqalain, Ahlulbait As seperti al-Quran sebagai rujukan hukum dan tentu saja segala sesuatu yang bertentangan dengan keduanya adalah zalim dan bertindak sewenang-wenang terhadap Allah Swt dan rasul-Nya. [iQuest]
Oleh itu, setiap sesembahan selain Allah Swt adalah taghut apakah hal itu adalah setan ataukah berhala atau sesuatu lainnya. Thaghut adalah setiap orang yang memerintahkan orang lain untuk keluar dari jalan yang lurus dan menggiring manusia ke arah kesesatan.[5]
Terkait dengan hal ini dalam hadis disebutkan bahwa setiap penguasa yang berkuasa selain dengan ajaran kami, Ahlulbait As maka ia adalah thaghut.[6] Karena kita tahu berdasarkan hadis Tsaqalain, Ahlulbait As seperti al-Quran sebagai rujukan hukum dan tentu saja segala sesuatu yang bertentangan dengan keduanya adalah zalim dan bertindak sewenang-wenang terhadap Allah Swt dan rasul-Nya. [iQuest]
[1] Raghib Isfahani, Husain bin Muhammad, Al-Mufradāt fi Gharib al-Qurān, Riset: Dawudi, Shafwan ‘Adnan, hal. 520, Damaskus, Dar al-Qalam al-Syamiyah, cet. 1, 1412 H.
[2] Musthafawi, Hasan, Tafsir Rausyan, jil. 3, hal. 323, Tehran, Markaz Nasyr Kitab, cet. 1, 1380; Thabathabai, Sayid Muhammad Husain, al-Mizān fi Tafsir al-Qurān, jil. 2, hal. 344, Qum, Daftar Intisyarat Islami, cet. 5, 1417 H.
[3] Thaliqani, Sayid Mahmud, Partui az Qurān, jil, 2, hal. 20, Tehran, Syerkat Sahami Intisyar, cet. 4, 1362.
[4] Partui az Qurān, hal. 207-208.
[5] Rasyiduddin Mabidi, Ahmad in Abi Sa’d, Kasyf al-Asrār wa Uddat al-Abrār, Riset: Hikmat, Ali Asghar, jil. 1, hal. 69, Tehran, Amir Kabir, cet. 5, 1371 S.
[6] Ibnu Hayun, Nu’man bin Muhammad Maghribi, Da’āim al-Islām, Riset: Faidzi Asaf, jil. 2, hal. 530, Qum, Muasasah Ali al-Bayt As, cet. 2, 1385 H.
«کُلُّ حَاکِمٍ یَحْکُمُ بِغَیْرِ قَوْلِنَا أَهْلَ الْبَیْتِ فَهُوَ طَاغُوت»