Hari syak (yaum al-syak) bermakna suatu hari dimana manusia ragu (syak) apakah hari itu masih merupakan akhir Sya’ban atau sudah memasuki bulan Ramadhan yang tidak wajibkan puasa pada hari itu. Ayat “Faman Syahida minkumusy syahra fal yashumhu” tidak berada pada tataran menjelaskan boleh atau tidak bolehnya menggunakan mata telanjang atau teleskop. (Awal) Bulan-bulan Qamariah ditetapkan dengan berlalunya tiga puluh hari dari bulan sebelumnya atau dengan melihat hilâl bulan baru dan berdasarkan hal ini tidak terdapat perbedaan di antara bulan-bulan Qamariah. Adapun terkait dengan bulan Ramadhan dan bulan Dzulhijjah, dikarenakan terdapat dua amalan wajib dan penting yang harus ditunaikan di dalamnya (puasa dan haji) maka dari itu signifikansi dan sensitifiasnya sangat tinggi.
Beberapa pertanyaan Anda akan dijawab secara runut sebagai beriktu:
1. Hari syak (yaum al-syak) bermakna suatu hari dimana manusia ragu (syak) apakah hari itu masih merupakan akhir Sya’ban atau sudah memasuki bulan Ramadhan yang tidak wajibkan puasa pada hari itu.[1] Bukan merupakan sebuah keniscayaan bahwa setiap hari syak dapat ditetapkan bahwa bulan Sya’ban terdiri dari tiga puluh hari. Dan boleh jadi akan ditetapkan nantinya bahwa hari syak (yaum al-syak) itu ternyata adalah hari pertama bulan suci Ramadhan.
2. Dalam masalah rukyat hilâl apakah dilakukan dengan teleskop, kebolehan dan sandaran riwayat-riwayatnya, Anda dapat melihat jawaban atas pertanyaan No. 3195 (Site: 3455, Indeks: Penetapan Awal Bulan dengan Rukyat Hilâl dengan Menggunakan Teleskop).
3. Kendati sebagian orang memaknai ayat 185 surah al-Baqarah, ““Faman Syahida minkumusy syahra fal yashumhu” (Barang siapa yang melihat bulan maka hendaklah ia berpuasa) dengan bermukimnya dan tidak adanya perjalanan (safar) di bulan suci Ramadhan. Mereka berkata, “Maksud [ayat tersebut] adalah bahwa barang siapa yang tidak melakukan perjalanan di bulan suci Ramadhan maka ia harus berpuasa.”[2] Sebagian lainnya dengan bantuan riwayat memaknai ayat
“Faman Syahida minkumusy syahra fal yashumhu” ini sebagai melihat (rukyat) hilâl (awal bulan).[3] Terdapat kemungkinan untuk menggabungkan dua makna dari ayat ini. Tentu saja masuknya bulan suci Ramadhan ditetapkan dengan rukyat hilâl bulan ini namun ayat terkait tidak berada pada tataran menjelaskan boleh tidaknya menggunakan teleskop atau mata telanjang untuk melihat awal bulan (hilâl).
4. Bulan-bulan Qamariah ditetapkan dengan melihat awal bulan baru (hilâl) atau dengan berlalunya tiga puluh hari bulan-bulan sebelumnya. Berdasarkan hal ini, tidak terdapat perbedaan di antara bulan-bulan Qamariah. Namun terkait dengan bulan Ramadhan dan bulan Dzulhijjah lantaran terdapat dua amalan wajib dan penting yang harus ditunaikan di dalamnya (puasa dan haji) oleh itu signifikansi dan sensitifiasnya sangat tinggi dalam menetapkan awal bulan (hilâl). Bulan Syawal juga demikian adanya dimana pada hari pertama bulan tersebut (Idul Fitri) kaum Muslimin diharamkan berpuasa. Karena itu, diperlukan ketelitian ekstra untuk menetapkan awal bulan pada bulan tersebut. Amalan-amalan mustahab yang dianjurkan untuk dilakukan pada waktu-waktu tertentu harus ditunaikan pada waktunya. Namun dengan memperhatikan esensi amalan-amalan mustahab, apabila dikerjakan berdasarkan kekeliruan dalam menentukan awal bulan Qamariah maka amalan-amalan mustahab pada waktu-waktu khususnya tidak akan menyebabkan gugurnya amalan-amalan wajib. [IQuest]
Indeks Terkait:
Pertanyaan 5971 (Site: 6158, Indeks: Keharusan Rukyat Hilâl pada Bulan Ramadhan).
Pertanyaan 3195 (Site: 3455, Indeks: Rukyat Hilâl di Iran).
[1]. Taudhi al-Masâil (al-Muhassyâ li al-Imâm Khomeini), jil. 1, hal. 889.
[2]. Mulla Muhsin Faidh Kasyani, Tafsir al-Shâfi, jil. 1, hal. 221, Intisyarat al-Shadr, Teheran, 1415 H.
[3]. Yusuf bin Ahmad Bahrani, al-Hadâiq al-Nâdhirah fi Ahkâm al-‘Itrah al-Thâhirah, jil. 13, hal. 240, Intisyarat-e Jame’e Mudarrisin, Qum, 1405 H.