Please Wait
Hits
17062
Tanggal Dimuat: 2010/09/12
Kode Site fa10082 Kode Pernyataan Privasi 9926
Tema Hukum dan Yurisprudensi
Ringkasan Pertanyaan
Apa makna hari syak (yaum al-syak) itu? Apakah dibenarkan melihat (rukyat) hilâl (awal bulan) dengan teleskop? Mengapa orang-orang hanya peduli dan sangat concern terkait dengan rukyat hilâl bulan Ramadhan saja?
Pertanyaan
Saya memiliki beberapa pertanyaan terkait dengan penentuan awal bulan Ramadhan dan bulan Syawal.
Mengapa harus ada hari syak (keraguan) sehingga bulan Sya'ban digenapkan sampai 30? Apakah hari syak itu menandakan bahwa tidak ada kepastian berapa hari bulan mengelilingi bumi? Mengapa? Karena harus melihat hilâl? Ataukah disebabkan teknologi yang belum ditemukan saat kenabian hingga harus bersandarkan cara-cara tradisional, yaitu melihat hilâl (bulan)? Apakah hal itu bertitik-tolak dari pemahaman dari ayat "Faman Syahida minkumusy syahra fal yashumhu (Mengapa bukan Faman Syahida minkumul Hilâl fal Yashumhu)? Jika di sini menggunakan "syahra" (artinya bulan dalam pengertian jumlah hari [29 atau 30 hari] bukan wujud bulan) apakah hal itu bisa berarti bahwa perputaran bulan, artinya jika telah masuk awal bulan (dalam pergertian bisa diketahui dengan cara melihat hilâl atau dengan cara yang lain (penemuan saintis)?" Dalam berpuasa kita bersandarkan melihat hilâl, tetapi dalam bulan-bulan lainnya sudah menggunakan penanggalan resmi (yang telah dibuat) tanpa harus memperhitungkan hilâl? Sementara dalam bulan-bulan yang lain ada yang berkaitan dengan waktu-waktu untuk menjalankan ritual tertentu? Mengenai bulan haji, umat Islam yang menunaikan ibadah haji hanya mengikuti penanggalan Saudi dalam penentuan wukuf di Arafah? Bagaimana dengan pertengahan Rajab, pertengahan Sya'ban, hari-hari wilâdah (milad) dan hari-hari syahâdah? Alasan yang mudah dijawab itu hanya sunnah bukan wajib? Apakah Allah sebagai Tuhan yang Mahakasih membeda-bedakan sunnah dan wajib? Maksudnya untuk amalan wajib harus lebih tepat hujjahnya (lebih teliti menentukan), sementara untuk amalan sunnah (mustahab) nggak tepat juga tidak masalah? Alasannya bagi amalan sunnah adalah "yang penting substansi acaranya bisa didapat" masalah tepat hujjah atau tidaknya tidak terlalu penting. Mengapa kita tidak mengatakan kepada bulan Ramadhan, "yang penting substansi bulannya bisa didapat bukan masalah tepat hujjah atau tidaknya"? Terima kasih.
Jawaban Global

Hari syak (yaum al-syak) bermakna suatu hari dimana manusia ragu (syak) apakah hari itu masih merupakan akhir Sya’ban atau sudah memasuki bulan Ramadhan yang tidak wajibkan puasa pada hari itu. Ayat “Faman Syahida minkumusy syahra fal yashumhu”  tidak berada pada tataran menjelaskan boleh atau tidak bolehnya menggunakan mata telanjang atau teleskop. (Awal) Bulan-bulan Qamariah ditetapkan dengan berlalunya tiga puluh hari dari bulan sebelumnya atau dengan melihat hilâl bulan baru dan berdasarkan hal ini tidak terdapat perbedaan di antara bulan-bulan Qamariah. Adapun terkait dengan bulan Ramadhan dan bulan Dzulhijjah, dikarenakan terdapat dua amalan wajib dan penting yang harus ditunaikan di dalamnya (puasa dan haji) maka dari itu signifikansi dan sensitifiasnya sangat tinggi.

Jawaban Detil

Beberapa pertanyaan Anda akan dijawab secara runut sebagai beriktu:

1.     Hari syak (yaum al-syak) bermakna suatu hari dimana manusia ragu (syak) apakah hari itu masih merupakan akhir Sya’ban atau sudah memasuki bulan Ramadhan yang tidak wajibkan puasa pada hari itu.[1] Bukan merupakan sebuah keniscayaan bahwa setiap hari syak dapat ditetapkan bahwa bulan Sya’ban terdiri dari tiga puluh hari. Dan boleh jadi akan ditetapkan nantinya bahwa hari syak (yaum al-syak) itu ternyata adalah hari pertama bulan suci Ramadhan.

2.     Dalam masalah rukyat hilâl apakah dilakukan dengan teleskop, kebolehan dan sandaran riwayat-riwayatnya, Anda dapat melihat jawaban atas pertanyaan No. 3195 (Site: 3455, Indeks: Penetapan Awal Bulan dengan Rukyat Hilâl dengan Menggunakan Teleskop).

3.     Kendati sebagian orang memaknai ayat 185 surah al-Baqarah, ““Faman Syahida minkumusy syahra fal yashumhu” (Barang siapa yang melihat bulan maka hendaklah ia berpuasa) dengan bermukimnya dan tidak adanya perjalanan (safar) di bulan suci Ramadhan. Mereka berkata, “Maksud [ayat tersebut] adalah bahwa barang siapa yang tidak melakukan perjalanan di bulan suci Ramadhan maka ia harus berpuasa.”[2] Sebagian lainnya dengan bantuan riwayat memaknai ayat

“Faman Syahida minkumusy syahra fal yashumhu” ini sebagai melihat (rukyat) hilâl (awal bulan).[3] Terdapat kemungkinan untuk menggabungkan dua makna dari ayat ini. Tentu saja masuknya bulan suci Ramadhan ditetapkan dengan rukyat hilâl bulan ini namun ayat terkait tidak berada pada tataran menjelaskan boleh tidaknya menggunakan teleskop atau mata telanjang untuk melihat awal bulan (hilâl).

4.     Bulan-bulan Qamariah ditetapkan dengan melihat awal bulan baru (hilâl) atau dengan berlalunya tiga puluh hari bulan-bulan sebelumnya. Berdasarkan hal ini, tidak terdapat perbedaan di antara bulan-bulan Qamariah. Namun terkait dengan bulan Ramadhan dan bulan Dzulhijjah lantaran terdapat dua amalan wajib dan penting yang harus ditunaikan di dalamnya (puasa dan haji) oleh itu signifikansi dan sensitifiasnya sangat tinggi dalam menetapkan awal bulan (hilâl). Bulan Syawal juga demikian adanya dimana pada hari pertama bulan tersebut (Idul Fitri) kaum Muslimin diharamkan berpuasa. Karena itu, diperlukan ketelitian ekstra untuk menetapkan awal bulan pada bulan tersebut.  Amalan-amalan mustahab yang dianjurkan untuk dilakukan pada waktu-waktu tertentu harus ditunaikan pada waktunya. Namun dengan memperhatikan esensi amalan-amalan mustahab, apabila dikerjakan berdasarkan kekeliruan dalam menentukan awal bulan Qamariah maka amalan-amalan mustahab pada waktu-waktu khususnya tidak akan menyebabkan gugurnya amalan-amalan wajib. [IQuest]

Indeks Terkait:

Pertanyaan 5971 (Site: 6158, Indeks: Keharusan Rukyat Hilâl pada Bulan Ramadhan).

Pertanyaan 3195 (Site: 3455, Indeks: Rukyat Hilâl di Iran).



[1]. Taudhi al-Masâil (al-Muhassyâ li al-Imâm Khomeini), jil. 1, hal. 889.

[2]. Mulla Muhsin Faidh Kasyani,  Tafsir al-Shâfi, jil. 1, hal. 221, Intisyarat al-Shadr, Teheran, 1415 H.

[3]. Yusuf bin Ahmad Bahrani, al-Hadâiq al-Nâdhirah fi Ahkâm al-‘Itrah al-Thâhirah, jil. 13, hal. 240, Intisyarat-e Jame’e Mudarrisin, Qum, 1405 H.