Dunia memiliki dua dimensi:
Pertama: Sebagai sebuah perkara riil dan faktual, seperti keberadaan bumi, planet-planet yang terdapat di langit, keberadaan manusia, kekuasaan, ilmu, kehendak dan kehidupannya serta realitas-realitas lainnya di alam materi. Dari sudut pandang ini, dunia bukan hanya tidak tercela dan terpinggirkan melainkan terpuji dan tersentralkan. Rasulullah Saw bersabda, “Dunia adalah ladang akhirat.”
Kedua, dunia sebagai perkara non-faktual dan rekaan artinya dunia sebagai tujuan dan puncak asa dan harapan. Lantaran segala sesuatunya dikorbankan untuk mencapai tujuan ini.
Dalam perspektif ini dunia tercela dan tertolak serta menjadi penyebab manusia melupakan Tuhan dan akhirat. Dengan demikian, harta dan kekayaan, apabila menjadi media untuk mendekatkan diri kepada Tuhan dan memakmurkan akhirat maka harta dan kekayaan tersebut terpuji. Akan tetapi, apabila menjadi penyebab manusia lalai dan lupa dari mengingat Allah Swt dan merusak akhiratnya, maka harta dan kekayaan tersebut tercela dan terkutuk.
Apa yang tertolak dalam Islam adalah mental arogan karena adanya kekayaan, bukan kekayaan itu sendiri (an sich). Tapi karena pada umumnya kekayaan, tanpa sadar, memunculkan mental seperti ini. Terkadang mengumpulkan kekayaan juga mendapatkan celaan dan cercaan.
Mengingat sensitivitas kedudukan dan perannya dalam membimbing dan menggembleng masyarakat, kaum ruhaniawan mendapatkan sorotan tajam dan kuriositas masyarakat. Karena itu, seyogianya ia menghindar dari noda-noda dan mental untuk mengejar dunia dan pelbagai bahaya yang dapat ditimbulkan darinya.
Dari ayat dan riwayat dapat disimpulkan bahwa dunia memiliki dua dimensi:
1. Sebagai sebuah perkara riil dan faktual, seperti keberadaan bumi, planet-planet, keberadaan manusia, kekuasaan, ilmu dan kehidupannya. Demikian juga entitas-entitas lainnya dan realitas-realitas alam material. Atas dasar ini, dunia bukan hanya tidak tercela melainkan terpuji. Rasulullah Saw bersabda, “Dunia adalah ladang akhirat.”[1]
2. Sebagai perkara non-hakiki dan non-faktual. Artinya bahwa dunia dijadikan sebagai tujuan dan puncak harapan. Dan segala sesuatunya dikorbankan untuk mencapai tujuan duniawinya. Dalam perspektif ini dunia adalah tercela dan terkutuk serta menjadikan manusia lupa terhadap Allah Swt dan akhirat. Apa yang negatif dalam pandangan Islam adalah mental arogan karena memiliki harta dan kekuasaan. Bukan harta dan kekuasaan itu sendiri. Lantaran pada umumnya, tanpa sadar, harta dan kekuasaan memunculkan mental semacam ini. Terkadang mengumpulkan harta juga mendapatkan celaan. Memerhatikan masalah-masalah perekonomian dapat menjadi media bagi manusia untuk sampai pada pelbagai kesempurnaan maknawi dan meraup nilai-nilai akhlak mulia. Harta dan kekayaan memiliki pengaruh positif dan negatif, yang akan kita kaji bersama-sama di sini: harta dan kekayaan laksana ular yang di samping memiliki racun mematikan juga mempunyai antiracun. Artinya boleh jadi manusia teracuni karenanya dan mungkin juga menolak untuk teracuni.[2]
Karena itu, sebagaimana harta memunculkan pelbagai ketakberaturan pada lahir dan batin manusia, ia juga memiliki manfaat yang dapat mengeliminir pelbagai kerugian darinya. Manfaat dan kegunaan harta dapat dibagi menjadi dua bagian: duniawi dan ukhrawi.
Setiap orang tahu kegunaan harta duniawi dan termasuk hal-hal yang tidak perlu dipersoalkan lagi. Dalam perspektif ini, kebanyakan manusia menghabiskan usianya untuk mengumpulkan harta dan memanfaatkan harta tersebut. Atas dasar itu, kami mencukupkan diri dengan menyebutkan sebagian manfaat ukhrawi (agama) harta dan kekayaan:
A. Media untuk mencapai akhirat: Harta dapat menolong manusia dalam menjalankan ibadah dan penghambaan kepada Tuhan. Dengan kata lain, manusia dengan perantara harta, menyiapkan beberapa pendahuluan sehingga ia dapat beribadah kepada Tuhan dengn mudah. Imam Shadiq As bersabda, “Kekayaan yang mencegahmu untuk tidak melakukan tindakan aniaya lebih baik daripada kefakiran yang mendorongmu melakukan tindakan aniaya.”[3] Di samping itu, pelbagai ibadah besar yang telah disyariatkan dalam Islam yang hanya dapat dipikul oleh orang-orang kaya seperti, “Jihad dengan harta di jalan Allah, haji dan ziarah, khumus dan zakat, memberikan makan kepada orang beriman (ith’am), memenuhi pelbagai hajatnya, meminjamkan uang dan sebagainya. Sebagai contoh, terkait dengan qardh al-hasanah (pinjaman kebaikan), al-Quran menyatakan, Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan meperlipatgandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezeki) dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan. (QS. Al-Baqarah [2]:245)
B. Menolong orang lain: Orang-orang kaya menolong sesamanya, dengan menyerahkan sedekah dan harta, memperoleh keridaan Tuhan. Al-Quran menandaskan, Hai orang-orang yang beriman, belanjakanlah (di jalan Allah) sebagian dari rezeki yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang hari yang pada hari itu tidak ada lagi jual beli dan tidak ada lagi syafaat. (QS. Al-Baqarah [2]:254). Model infak semacam ini, di samping menolong orang-orang tidak mampu, juga menumbuhkan cita rasa kebaikan dan bersedekah dalam hati orang-orang beriman dan menguburkan sifat-sifat pelit dan serakah dalam dirinya.
C. Melakukan perbuatan-perbuatan baik: Apabila orang-orang kaya meluangkan harta mereka dalam pekerjaan-pekerjaan yang mengandung kemaslahatan umum seperti membangun masjid, jembatan, rumah sakit dan sebagainya untuk mencapai keridaan Tuhan maka selama bertahun-tahun mereka akan mendapatkan keuntungan dari doa-doa orang miskin. Catatan amal kebaikan mereka tidak akan tertutup bahkan setelah mereka mati dan akan dituliskan baginya kebaikan.
D. Penyucian diri (tazkiyah nafs): dengan bantuan harta dan pendermaan hartanya, manusia dapat menjaga dirinya dari kobaran api neraka, dengan mendermakan hartanya di jalan kebaikan yang akan menyebabkan penyucian dirinya. Allah Swt berfirman kepada Rasulullah Saw: “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan menyucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. (QS. Al-Taubah [9]:103)
E. Kemuliaan jiwa (izzah nafs): Manusia yang dari sisi ekonomi cukup beruntung, atas usaha dan hasil keringatnya, ia membuat dirinya tidak memerlukan orang lain, maka sesungguhnya ia telah menjaga kemuliaan dan keagungan dirinya. Imam Shadiq As bersabda, “Wahai hamba Allah, jagalah kemuliaan diri kalian!” Perawi bertanya, “Semoga diriku menjadi tebusanmu. Apakah yang menjadi kemuliaanku?” Imam Shadiq bersabda, “Pagi-pagi engkau beranjak ke pasar (bekerja dan berusaha) dan hasilnya adalah engkau memuliakan dirimu.”[4]
Namun apabila manusia tidak memerhatikan hal ini dan tidak mengindahkan apa yang diperintahkan dalam Islam serta tidak menjadikan hartanya untuk membantunya melintasi dan mencapai kesempurnaan, dengan segala kebaikan dan manfaat yang dimilikinya, terkadang harta tersebut membawa petaka dan problem bagi pemiliknya.
Apabila manusia terjangkiti penyakit (cinta harta) dan (cinta dunia) serta tujuan utamanya adalah mengumpulkan harta benda, maka sesungguhnya perjalanannya menuju kesempurnaan spiritual dan moral terhambat. Penyakit yang menjangkiti manusia ini akan menyebabkan munculnya akhlak tercela pada jiwanya. Kami akan menyebutkan sebagian dari akhlak tercela tersebut:
A. Lalai dari mengingat Tuhan: falsafah keberadaan manusia adalah untuk menghamba kepada Tuhan dan hidup dengan mengingat-Nya. Akan tetapi, cinta harta akan melalaikan manusia dari mengingat Tuhan lantaran watak dan tabiat manusia condong pada harta, juga karena dalam mengumpulkan dan menjaganya manusia berusaha maksimal. Pikiran dan hati yang sibuk dalam mengumpulkan dan memperbanyak harta berseberangan dengan ibadah dan mengingat Tuhan. Al-Quran menyatakan, Hai orang-orang beriman, janganlah hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang merugi” (QS. Al-Munafikun [63]:9) Orang kaya lebih memiliki kekuatan untuk melakukan dosa-dosa, lantaran kemampuan harta dan pelbagai fasilitas lebih yang dimilikinya sementara manusia fakir tidak memiliki kemampuan dan fasilitas seperti ini. Baginda Ali As bersabda, “Banyaknya harta akan membinasakan.”[5]
B. Takabur (sombong): Takabur merupakan salah satu sifat tercela yang disebutkan dalam riwayat sebagai tingkatan terendah dan terhina kembali dari kebenaran (hak).[6] Salah satu faktor yang menyebabkan orang takabur adalah menjadi kaya. Karena itu, sifat tercela ini banyak menyebar di kalangan orang-orang kaya. Orang-orang kaya bersikap pongah terhadap orang-orang miskin dan menyakiti hati mereka dengan perbuatan dan ucapan pongahnya. Al-Quran memandang bahwa banyak harta akan menyebabkan manusia menjadi pengingkar dan pembangkang: Dan Kami tidak mengutus kepada suatu negeri seorang pemberi peringatan pun, melainkan orang-orang yang hidup mewah di negeri itu berkata, “Sesungguhnya kami mengingkari apa yang kamu diutus untuk menyampaikannya.” (QS. Saba [34]:34)
Bagaimanapun, kendati sepanjang perjalanan sejarah banyak manusia semisal Qarun dan Fir’aun lantaran terjangkiti secara serius penyakit cinta dunia dan tertawan oleh hawa nafsu dan sikap pongah yang bersumber darinya telah menodai masyarakat dan juga menghantarkan mereka kepada kebinasaan, Namun ada juga orang-orang, lantaran memiliki kesempurnaan jiwa dengan penggunaan benar dari harta dan kepunyaannya, mereka banyak menyantuni masyarakat. Di antara manusia-manusia yang memiliki kesempurnaan jiwa ini adalah Hadhrat Khadijah Sa. Dengan mendermakan kekayaannya, ia telah melakukan banyak pelayanan bagi kemajuan Islam dan terealisasinya tujuan-tujuan suci Rasulullah Saw.
Dengan demikian, tugas-tugas dan tanggung jawab kaum ruhaniawan lebih berat karena rentannya kedudukan dan tugas mereka, yaitu dalam membimbing dan menggembleng masyarakat. Sehingga kelompok besar masyarakat dan berpengaruh ini berada pada sorotan dan kuriositas masyarakat. Dengan demikian, mereka harus sedapat mungkin menjaga diri supaya tidak terkontaminasi oleh mental cinta dunia dan mengumpulkan banyak harta (yang merupakan contoh kekayaan yang tercela) serta bahaya-bahaya yang bersumber darinya.
Apabila kita ingin mencari piagam yang kaya dengan muatan dan sempurna terkait dengan tugas-tugas dan tanggung jawab ini serta mengenal harapan-harapan masyarakat kepada mereka, maka metode Ahlulbait As merupakan sebaik-baiknya piagam. Ahlulbait As merasa bertanggung jawab terhadap orang-orang miskin dan tidak mampu. Para Imam Maksum menyampaikan rasa simpati dan empati kepada mereka. Para Imam Ahlulbait As sendiri hidup seperti laiknya orang-orang miskin sehingga tidak tercipta perasaan terhina dan kekurangan pada diri mereka. Di antara tipologi utama para Imam Ahlulbait As adalah ungkapan simpati dan empati serta partisipasi praktis dalam kesedihan dan duka orang-orang miskin.
Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib As yang hidup asketis pada masa pemerintahannya melebihi masa-masa yang lain, acap kali menandaskan falsafah hidup asketis (zuhud). Baginda Ali As bersabda, “Wahai manusia, sesungguhnya dunia ini adalah suatu lintasan, sementara alam akhirat adalah tempat kediaman yang kekal. Maka ambillah bagian dari lintasan itu [apa yang dapat Anda ambil]. Jangan robek tirai Anda di hadapan Dia yang mengetahui rahasia-rahasia Anda. Jauhkan hati Anda dari dunia ini sebelum jasad Anda pergi darinya karena di sini Anda diuji, sedang Anda diciptakan untuk dunia yang akan datang. Ketika seorang manusia mati, orang bertanya [harta] apa yang ditinggalkannya, sementara malaikat bertanya [amal baik] apa yang akan dikirimkannya ke depan.[7] Demikian juga, beliau mengingatkan dengan tegas kepada para pengikutnya untuk tidak bersikap acuh kepada orang-orang miskin. Baginda Ali As mengingatkan, “Janganlah kalian menghina saudara-saudara miskin kalian, karena barangsiapa yang merendahkan orang-orang beriman, maka Allah Swt tidak akan menyatukan keduanya kecuali ia bertaubat.”[8]
Karena itu, para pemimpin agama, penguasa, dan kaum ruhaniawan—dengan mengikut jalan hidup para Imam Ahlulbait As—sekali-kali tidak mengabaikan dalam menolong orang-orang miskin. Bahkan apabila memungkinkan—dengan memerhatikan kondisi ruang dan waktu, dengan maksud mengungkapkan rasa empati dan simpati—menghindar dari hidup yang penuh gaya dan mengumpulkan harta benda. [IQuest]
[1]. “Al-dunya mazra’t al-akhira,” Bihâr al-Anwâr 70/148, Bab 124.
[2]. Haqâiq, Faidh Kasyani, hal. 109, Dar al-Kitab al-‘Arabi.
[3]. Ghani yajhizuka ‘an al-zhulm khairun min faqri yahmiluka ‘ala al-itsm. Furu’ Kafi, jil. 5, hal. 72.
[4]. Ya Aba Abdillah! Ihfizh ‘Izzak: Wa ma ‘izzi ju’iltu fidak? Qala: Ghuduwwika ila suqika wa ikramuka nafsak…” Bihâr al-Anwâr, jil. 78, hal. 352.
[5]. Ghurar al-Hikam, jil. 3, hal. 351.
[6]. Bihâr al-Anwâr, jil. 73, hal. 231.
[7] .Nahj al-Balâghah [edisi Indonesia: Puncak Kefasihan], Khotbah 202)
[8]. Bihâr al-Anwâr, jil. 72, hal. 42.