Menurut ulama bahwa hanya ada satu cinta sejati yaitu cinta kepada Allah Swt di alam semesta ini dimana selainnya adalah cinta semu atau cinta metaforis. Bahkan sebutan cinta untuk selain Allah Swt adalah salah sebab sebutan untuk selain Allah adalah “rindu” (syauq), bukan cinta (isyq). Ciri-cirinya ialah bahwa tatakala seorang belum mendapatkan cinta kekasihnya, api cintanya masih akan terus membara dan ketika ia sudah mendapatkan cinta kekasihnya, gejolak cintanya akan mulai berkurang secara perlahan dan bahkan akan menghilang. Lain halnya dengan cinta hakiki, dimana seseorang ketika telah mendapatkannya, perasaan cintanya akan semakin membara dan bertambah besar.
Cinta metaforis dapat membantu melembutkan hati seorang pesuluk sebab seorang pecinta senantiasa memikirkan kekasihnya dan akan berusaha keras untuk mendapatkan hati kekasihnya serta siap mengorbankan segala sesuatu demi kerelaan kekasihnya.
Cinta metaforis dapat membebaskan diri seseorang dari ketergantungan hati kepada hal-hal duniawi. Sebab segala angan-angan serta keinginannya hanya akan terfokus pada satu hal yaitu sang kekasihnya saja dan hal ini bisa lebih memudahkannya untuk mengalihkan perhatiannya kepada cinta hakiki dibandingkan dengan yang lain. Karena bagi pecinta metaforis, setelah terbebas dari ribuan ketergantungan kepada hal-hal duniawi, ia hanya perlu melepaskan satu hal saja untuk sampai kepada kekasih hakiki yaitu berpaling dari cinta metaforis menuju ke arah cinta hakiki. Sementara bagi selainnya, terlebih dahulu harus berjuang keras melawan ribuan keinginan serta ketergentungan tersebut dan setelah ia berhasil menempuh perjalanan panjang yang sulit denga membasmi ribuan ketergantungan duniawi ini, maka ia baru akan sampai kepada sang kekasih hakiki.
Sebagian orang tidak memiliki potensi dalam dirinya untuk bisa sampai kepada kekasih hakiki secara langsung namun terkadang akibat dari kesan cinta metaforis dalam diri seseorang, akan menjadikannya sadar bahwa Allah-lah Sang Kekasih hakiki semata yang layak untuk dicintai dengan sepenuh hati.
Kebanyakan ulama tidak memberikan pandangannya secara pasti berkenaan dengan cinta metaforis. Sementara pada umumnya, urafa` dan para sufi mendukung adanya cinta metaforis. Adapun para fukaha` dan teolog sangat menentang adanya cinta metaforis dan mereka menganggap hal tersebut sebagai penyimpangan dari cinta hakiki, bahkan merupakan penyimpangan dalam agama. Pada dasarnya mereka menganggap sebutan kekasih untuk Allah adalah salah sebab sebutan tersebut berasal dari para sufi akibat pengaruh kecenderungan biologis atau pengalaman patah hati (broken heart).
Cinta sejati adalah kecintaan kepada dzat Ilahi dan pada dasarnya kecintaan kepada selain dzat Ilahi bukan merupakan cinta akan tetapi sebagai suatu kerinduan. Perbedaan antara “cinta” (isyq) dan “rindu” (syauq) adalah bahwa rindu yaitu seseorang mencari dan mengejar sesuatu yang ia sukai dan kemudian setelah beberapa saat ia mendapatkannya secara perlahan rasa suka tersebut mulai berkurang. Lain halnya dengan cinta bahwa baik sebelum atau setelah seseorang mendapatkan sesuatu yang ia sukai, bukan saja perasaan cinta tersebut lambat laun akan memudar, namun bahkan sebaliknya bahwa perasaan cinta tersebut akan semakin bertambah besar dan tak akan pernah sirna. Cinta ini hanya khusus kepada dzat suci Allah swt sebab terkadang seseorang setelah memperoleh sesuatu yang ia sukai, menjadi sadar bahwa ternyata sesuatu yang ia sukai tersebut tidak ada nilainya atau bahkan ia mentertawakan dirinya atas kebodohannya bahwa mengapa ia begitu menyukai sesuatu yang tak berniali tersebut.[1] Dengan demikian cinta hakiki dan sejati ialah kecintaan kepada Allah semata. Urafa` memiliki alasan atas pandangan mereka terkait dengan cinta metaforis (cinta kepada selain Allah swt) yang merupakan jembatan menuju cinta hakiki. Ibnu Sina dalam “Isyârat” berkenaan dengan pembahasan tingkatan-tingkatan urafa` menuturkan: “Seorang pesuluk membutuhkan sebuah pembenahan diri yang memiliki tiga tujuan.”
Tujuan pertama ialah menjauhkan kebatilan dari kebenaran dan yang kedua adalah membuat patuh “nafsu Amarah”, serta yang terakhir yaitu, melembutkan hati agar dengan mudah dapat menerima peringatan dan penyadaran. Kemudian beliau berkata lagi: “
Oleh itu, Ibnu Sina dalam perkataannya mengisyaratkan bahwa cinta metaforis merupakan sebuah jalan bagi seorang pesuluk dan sebagai jembatan menuju ke arah kecintaan Ilahi untuk sampai kepada tingkatan tertinggi irfan. Imam Fakhr ar-Razi dalam menjelaskan ucapan Ibnu Sina tersebut mengatakan: “Kasmaran (merenjana), merupakan dampak dari sebuah cinta dimana seorang pecinta akan senantiasa terbayang gerak-gerik dan diam, datang dan pergi serta kemarahan dan kerelaannya sang kekasih. Tutur kata dan perilaku sang kekasih juga akan senantiasa terlintas di benak sang pecinta sehingga hal ini akan membawanya ke puncak kasmaran. Untuk itu diceritakan bahwa dalam mimpi orang-orang bertanya kepada Majnun, “ Apa yang telah Allah Swt lakukan kepadamu? Majnun menjawab: Allah telah menjadikan aku sebagai bukti atas orang-orang yang mengaku sebagai pecintaNya”. Khajah Nasiruddin Thusi dalam menjelaskan ucapan Ibnu Sina tersebut juga berkata: “Cinta metaforis memberikan kesungguhan dan kelembutan kepada hati manusia dan membebaskan hati manusia dari ketergantungan-ketergantungan duniawi sehingga ia akan berpaling dari selain kekasihnya.
Segala kegundahan, keinginan serta harapannya akan terpusat pada satu tempat dimana hal ini dapat lebih memudahkan perhatiannya kepada sang kekasih hakiki dibandingkan dengan yang lainnya. Sebab ia hanya tinggal melepaskan satu hal saja yaitu mengalihkan cinta metaforisnya ke arah cinta hakiki sedangkan selainnya terlebih dahulu harus berjuang melawan ribuan keinginan dan angan-angan untuk sampai kepada cinta hakiki tersebut.[3]
Dengan demikian, cinta metaforis ialah sebagai sebuah perantara dan langkah awal yang dapat membantu seorang pesuluk untuk memperoleh pengarahan dan perhatian dalam perjalanan sepritualnya. Adapun bentuk bantuan tersebut dalam pandangan Imam Fakhr ar-Razi lebih tertuju pada perhatian seorang pecinta kepada sang kekasih sehingga perhatian tersebut menyebabkan adanya “kasmaran”. Sementara Khajah Nasiruddin Thusi beranggapan bahwa cinta merupakan sebuah pelepas berbagai macam ketergantungan hati seorang pecinta dari hal-hal duniawi sehingga membuka kesempatan untuk lebih memudahkanya sampai kepada sang kekasih hakiki.
Mungkin yang dimaksud dengan kalimat “al-majâz qantar al-haqiqah” “Metafora merupakan jembatan menuju hakikat” adalah bahwa potensi setiap orang untuk sampai kepada kesempurnaan sepritual berbeda-beda. Karena tidak semua orang mampu untuk sampai kepada cinta hakiki (cinta Ilahi) secara langsung. Oleh karena itu, cinta metaforis sebagai pagar yang membentengi pesuluk dari gangguan dan ancaman sehingga menjadikannya lebih berkomitmen dalam mengamalkan “sair wa suluk” serta akan membawanya ke alam spritual.[4]
Persepsi ulama tentang cinta metaforis:
Pada umumnya dalam perkataan kaum arif dan para filosof tidak ditemukan penentangan terhadap cinta metaforis, namun bahkan mereka menganggapnya sebagai jembatan menuju cinta hakiki. Adapun kebanyakan ulama tidak memberikan persepsi mereka secara pasti berkenaan dengan cinta metaforis ini. Akan tetapi sebagian fukaha (juris) dan teolog menentang adanya hal tersebut dan menganggapnya dapat menjauhkan pesuluk dari sepritualitas dan cinta hakiki. Cinta metaforis ini dianggap sebagai sebuah bid`ah yang dibuat oleh kaum sufi sehingga mereka melarang penggunaan kata tersebut berkaitan dengan Allah. Sebab mereka memandang negatif perkara kesufian dan puisi-puisi romantis yang diakibatkan oleh kecenderungan biologis dan pengalaman patah hati.[5][]
[1]. Murtadha Muthahari , Tafsir Sure-ye Hamd.
[2]. Doktor Huseini Malaksyahi, Tarjumeh wa Syarh-e Isyârat wa Tanbihât Ibnu Sina, bab 7, hal. 446.
[3]. Sayid Yahya Yatsribi, Falsafeye Irfan, hal. 332
[4]., Ain al-Qudhat Hamadani, al-Tanbihât, hal. 96. Sayid Yahya Yatsribi, Falsafeye Irfan, hal. 326.
[5]. Dawud Ilhami, Dâwarihaye Mutazhâd darbare-ye Ibnu Arabi. Sayid Yahya Yatsribi, Falsafeye Irfan, hal. 326.