1. Apakah dalam pandangan filosof Islam politik itu cendrung korup?
2. Tawaran politik macam apa yang ditawarkan oleh filosof?
3. Adakah sejauh ini seorang filosof telah berhasil membumikan ajaran-ajarannya dalam berpolitik dan bernegara?
Sekain dan terima kasih..
Literatur-literatur tingkatan pertama untuk melakukan penelitian dalam masalah pandangan filosof Islam terkait dengan politik adalah:
1. Ârâ Ahl al-Madina al-Fâdhilah, al-Siyâsah al-Madinah, al-Tanbih ‘ala Subul al-Sa’âdah, Fushush al-Hikmah karya Farabi.
2. Siyâsat Syifâ, karya Ibnu Sina.
3. Tajrid al-I’tiqâd, karya Khaja Nashiruddin Thusi.
Jawaban Pertanyaan Pertama: Kecendrungan esensial politik dan kekuasaan terhadap kerusakan dan korup merupakan pembahasan baru yang mengemuka dalam masalah filsafat politik Islam dan ditulis untuk pertama kalinya oleh Mirza Naini dalam kitab Tanbih al-Ummah wa Tanzih al-Millah. Latar belakang pembahasan ini dapat ditelusuri kembali pada pandangan filosof Barat pada masa Renaissance. Meski di antara para filosof Islam juga terdapat isyarah secara tidak langsung terkait dengan persoalan ini. Sebagai contoh, misalnya Madina Dhâllah yang dikemukakan oleh Farabi sebagai lawan dari Madina Fadhilah.
Demikian juga, Mulla Shadra dalam beberapa disposisi, mengingatkan akan kemestian adanya syariat, wahyu dan intervensi insan kamil sebagai “wali” dalam urusan politik dan sosial sembari menetapkan bagaimana politik dan kehendak urusan keseharian masyarakat apabila diatur oleh orang-orang yang tidak mengenal hakikat-hakikat spiritual maka umat akan digiring kepada sebuah masyarakat mati dan tanpa ruh serta penuh dengan kerusakan dan destruksi.
Jawaban Pertanyaan Kedua: Filosof Muslim dalam pandangan positifnya pada umumnya bersikap hati-hati (prudence) di hadapan kekuasaan politik. Di antara filosof Muslim yang membahas masalah filsafat politik adalah Abu Nashir Farabi, Ibnu Sina, Ibnu Rusyd dan Ibnu Khaldun. Pada kesempatan ini, mengingat ruang dan waktu yang tidak mengizinkan, kami hanya akan menyebutkan dan mengurai pandangan-pandangan politik dua filosof Muslim. Kedua filosof itu adalah Farabi dan Mulla Shadra. Mengapa Farabi? Lantaran ia telah lebih awal membahas masalah ini dan juga tingkat signifikansi pemikiran-pemikirannya dalam masalah ini. Adapun alasan memilih Mulla Shadra lantaran hubungan pemikiran-pemikirannya dengan jawaban atas pertanyaan ketiga.
Jawaban Pertanyaan Ketiga: Di antara filosof Muslim (muta’allihin) hanya Imam Khomeini yang dapat dijumpai yang mampu menggelontorkan teori-teori filsafat politiknya pada tataran dunia nyata. Filsafat politik Imam Khomeini merupakan kelanjutan tradisi filsafat Farabian-filsafat Shadrian dan school of thougth Filsafat Hikmah (Hikmah Muta’aliyah). Beliau barangkali satu-satunya orang yang memiliki syarat-syarat personal dan irfani yang menjadikan gagasan ideal Farabi dengan memiliki tipologi para ruhani yang telah dikenal, untuk memangku jabatan sebagai pemimpin negara ideal (madinah fadhilah).
A. Memperkenalkan Beberapa Literatur Untuk Penelitian:
Kata kunci riset dan penelitian dalam masalah pandangan filosof Islam terkait dengan persoalan politik dan kekuasaan (dalam artian filsafatnya) adalah masalah Madinah Fâdhilah (Negara Ideal)[1] (dengan pendekatan keadilan sebagai poros) dan irâdah (kehendak bebas) atau ikhtiar.
Filosof Islam semenjak Farabi hingga Mulla Shadra masing-masing pada tingkatan tertentu dan dari satu perspektif khusus melontarkan pandangan dan pendapatnya masing-masing terkait dengan dua kata kunci ini. Terdapat beberapa literatur derajat pertama untuk melakukan penelitian dalam masalah pandangan filosof Islam sekaitan dengan masalah politik:
1. Ârâ Ahl al-Madina al-Fâdhilah, al-Siyâsah al-Madinah, al-Tanbih ‘ala Subul al-Sa’âdah, Fushush al-Hikmah karya Farabi.
2. Siyâsat Syifâ, karya Ibnu Sina.
3. Tajrid al-I’tiqâd, karya Khaja Nashiruddin Thusi.
Demikian juga Fushûsh al-Hikam, karya Ibnu Arabi; Misbah al-Uns karya Syamsuddin Muhammad Ibnu Fanari; Al-Syâfi fi al-Imâmah, karya Sayid Murtadha, Thahârat al-A’raq, karya Ibnu Miskawai Razi, Akhlâq Nâshiri karya Khaja Nashiruddin Thusi dan ratusan karya lainnya dalam Fikih Islam seperti Jawâhir al-Kalâm, karya Syaikh Muhammad Hasan Najafi dan Kitab al-Ba’i karya Imam Khomeini yang membahas masalah filsafat politik Islam.
Namun kita tidak boleh lupa bahwa sebagian ulama Islam dengan tulisan-tulisan dan manifesto-manifesto politiknya, asas-asas filsafat politik, meski dalam bentuk ringkas tanpa adanya pasal-pasal di dalamnya, dengan menggunakan metode klasik yang dikumpulkan dalam sebuah himpunan, menyampaikan pandangan-pandangan politiknya sebagaimana berikut ini:
1. Al-Urwat al-Wutsqâ, Sayid Jamaluddin Asad Abadi.
2. Thabâi’ al-Istibdâd, Abdurrahman Kawakibi.
3. Khitâbe-hâye Siyâsi, karya Syaikh Muhammad Khiyabani.
4. Qânun Masyruthe Masyru’a, karya Sayid Abdul Husain Lari.
5. Tanbih al-Ummah wa Tanzih al-Millah, karya Mirza Muhammad Husain Naini.
6. ‘Awâid al-Ayyâm, karya Maula Ahmad Naraqi.
7. Syu’un Ikhtiyârât-e Wali Faqih, karya Imam Khomeini.
8. Hukum^at-e Islâmi, karya Imam Khomeini.
9. Kasyf al-Asrâr, karya Imam Khomeini.
10. Dirâsat fi Wilâyat Faqih, karya Ayatullah Muntazheri.
Di kalangan ulama kiwari juga terdapat beberapa ustad dan guru Hauzah Ilmiah dan universitas yang menyusun karya-karya akademik dan ilmiah dalam masalah ini.
Harap diperhatikan bahwa terkait dengan Syiah yang mendapatkan peluang terbatas untuk membentuk pemerintahan, ilmu ini tidak terlalu berkembang dan menyempurna dan pandangan-pandangan khusus mazhab Syiah dalam masalah ini tidak begitu banyak yang ditulis. Lain halnya dengan Ahlusunnah yang memiliki waktu yang lebih lama untuk duduk di kursi pemerintahan, banyak menyusun kitab dalam hal ini dan merumuskan pandangan-pandangannya. Al-Ahkâm al-Sulthâniyah karya Mawardi adalah salah satu contoh dari jenis ini.
B. Jawaban Pertanyaan Pertama:
Dalam kosmos Filsafat, kita tidak memiliki seorang filosof rigoris dan cukup dikenal yang mengkritisi secara tajam kekuasaan mutlak. Namun untuk pertama kalinya, pada gerakan Masyrutiyat, Mirza Naini seorang juris Syiah dalam kitabnya, Tanbih al-Ummah wa Tanzih al-Millah” secara serius mengkritisi teori kekuasaan mutlak dari sudut pandang agama.
Meski demikian terdapat isyarah yang bercorak universal dan tidak secara langsung seperti Madinah Fâsidah (atau Madinah Dhâllah) yang dikemukakan oleh Farabi sebagai lawan dari Madinah Fâdhilah. Demikian juga Mulla Shadra pada beberapa disposisi, mengingatkan kemestian adanya syariat dan wahyu serta intervensi insan kamil yang disebut sebagai wali” dalam urusan politik dan sosial. Mulla Shadra menetapkan bagaimana politik dan manajemen urusan keseharian masyarakat apabila diatur dan dikelolah oleh orang-orang yang jauh dan asing terhadap hakikat maknawiyah maka masyarakat akan tergiring pada sebuah masyarakat yang mati, tanpa ruh dan penuh dengan kerusakan dan destruksi.
C. Jawaban Pertanyaan Ketiga
Sebelum segala sesuatunya kiranya kita perlu menjelaskan secara global tentang masalah filsafat politik yang merupakan bagian dari filsafat ilmu (falsafeh-ye mudhâf). Filsafat politik membahas masalah penjelasan rasional dan filosofis terhadap pertanyaan-pertanyaan fundamental terkait dengan masyarakat, pemerintah, pengelolaan negara, kehidupan sosial, hak-hak personal, tugas-tugas individual dan sosial terhadap satu dengan yang lain. Demikian juga, filsafat politik ini juga menjelaskan ihwal masalah-masalah lainnya seperti hukum, aturan, kanun, keadilan, kekayaan, kekuasaan dan pemerintahan. Masalah siapa yang harus memerintah dan pemerintahan itu hak siapa saja tergolong sebagai pertanyaan fundamental dalam filsafat politik. Pertanyaan-pertanyaan seperti ini tidak mendapatkan sorotan dan perhatian dalam ilmu-ilmu politik, sebaliknya mendapatkan penekanan dan menjadi obyek kajian dalam filsafat ilmu.[2] Karena itu, masalah-masalah yang terkait dengan domain ilmu-ilmu politik dan ranah filasafat politik harus dipilah dan dibedakan antara satu dengan yang lain.
Jelas bahwa jenis definisi dan klasifikasi seperti ini bertalian dengan stratafikasi baru ilmu-ilmu yang memisahkan ilmu dari filsafat. Pada masa-masa terdahulu, filsafat atau hikmah tergolong sebagai induk ilmu pengetahuan. Filsafat atau hikmah terbagai menjadi dua, filsafat teoritis (al-hikmah al-nazhari) dan filsafat praktis (al-hikmah al-‘amali). Dari pembagian ini, politik atau ilmu pengaturan kota termasuk cabang dari filsafat praktis (al-hikmah al-‘amali).
Pertanyaan yang diajukan, lantaran tiadanya pembedaan antara ranah ilmu-ilmu politik dan domain filsafat politik, menjadi sedikit kabur dan kurang jelas. Bagaimanapun kiranya kita perlu menjelaskan bahwa filosof Muslim lantaran banyak alasan di antaranya boleh jadi adalah adanya percampuran (mixture) secara gradual filsafat Islam dengan Teologi dan Irfan Timur, sehingga tidak mampu memformat arah perjalanannya sedemikian mandiri dan bersandar pada rasionalitas personal.
Dengan demikian, para filosof Muslim apabila kita ingin memandangnya secara positif dan optimis, ghalibnya bersikap hati-hati dalam berhadapan dengan kekuasaan politik.
Sebelum membahas persoalan ini kiranya pertama-tama kita perlu mengingatkan beberapa hal sekaitan dengan hubungan para filosof dan kekuasaan politik (pemerintahan pada setiap zamannya).
Filosof-filosof Muslim pertama seluruhnya bekerja pada istana para khalifah Abbasiyah. Kindi filosof Muslim pertama, ayah dan kakeknya, secara berurutan adalah Gubernur Kufah dan Bashrah dan merupakan orang-orang yang berbakti kepada Dinasti Abbasiyah. Kindi sendiri memiliki kedudukan dan makam yang tinggi di sisi Makum, Mut’sahim dan putranya.[3] “Terkadang di istana kekhalifahan, Kindi menyibukkan dirinya dengan ilmu Astronomi dan Medis. Untuk waktu beberapa lama juga bekerja di Dewan Pajak (atau Upeti).[4] Sarkhasi murid utama Kindi adalah guru bagi Mu’tadhid Khalifah Abbasiyah.[5]
Demikian juga, kehadiran Ibnu Sina pada istana para amir Samanid dan Nusan membuat kehidupannya didedikasikan kepada para beberapa amir, yang menjadikan model pemikiran filsafatnya, secara tidak langsung, berada di bawah pengaruh pemerintahan ini. Mulla Shadra juga sebagaimana kebanyakan pembesar filosof lainnya yang berasal dari starata ningrat dan aristoktrat. Mulla Shadra merupakan putra salah seorang menteri Syiraz, karena hubungan dinginnya dengan istana Shafawi, ia tidak terlalu banyak membahas masalah politik dan menyampaikan kritik langsung kepada kekuasaan pada masa Shafawi.
Di antara para filosof yang membahas masalah politik secara rigoris adalah Farabi lantaran model sufistik yang dimilikinya.[6] Karena itu, ia melebihi filosof Muslim lainnya membahas masalah politik. Politik merupakan bagian terpenting dalam filsafat Farabi. Dapat dikatakan bahwa tujuan asasi seluruh filsafatnya adalah politik; karena kecendrungan kepada Syiah, utamanya dalam masalah imâmah, telah mendorongnya untuk melakukan penelitian seperti ini. Namun warna politiknya lebih didominasi oleh teori (nazhariyah) ketimbang praktik (‘amaliyah). Ia bukan seorang tokoh politik juga tidak mengakrabi dan sejalan dengan salah seorang tokoh politik.[7]
Bagaimanapun Farabi adalah seorang yang pertama kali memasukkan wacana filsafat politik ke dalam kebudayaan Islam dan para pemikir seperti Ibnu Sina, Ibnu Bajjah, Ibnu Thufail dan Ibnu Rusyd banyak terpengaruh oleh pemikiran-pemikiran politik Farabi. Demikian seterusnya, Farabi membahas tentang pemimpin ideal dalam kitab, “Ârâ Ahl al-Madinah al-Fâdhilah.” Ia menyerupakan Madinah Fâdhilah (Negara Ideal) laksana sebuah badan, “Badan ini memiliki kalbu (hati) dan seluruh anggota badan mengikutinya. Pemimpin kota laksana kalbu bagi badan.”[8] Farabi, demikian juga, mengulas tentang masalah masyarakat yang berhadapan-hadapan vis à vis dengan Madinah Fâdhilah dan menyebutnya sebagai Madinah Jâhilah, Madinah Fâsiqah, Madinah Dhâllah dan Madinah Mutabaddilah.[9]
Penting untuk disebutkan bahwa filsafat politik dalam dunia Islam, tidak terbatas pada abad-abad sebelumnya saja, melainkan tetap berlanjut hingga abad-abad baru. Dengan kemunculan gerakan fundamentalisme Islam, teori-teori politik Islam kembali mendapatkan perhatian dari beberapa kalangan. Sayid Jamaluddin Asadabadi (Jamaluddin Afghani), Muhammad Abduh, Dr. Ali Syariati dan Imam Khoemini merupakan orang-orang penting yang menjelaskan prinsip-prinsip politik Islam pada abad-abad belakangan. Tentu bukan di sini tempatnya untuk membahas pandangan politik tokoh-tokoh ini dan hanya mencukupkan dengan mengulas pandangan-pandangan politik dua tokoh filosof Islam. Kedua tokoh itu adalah Farabi dan Mulla Shadra.
Mengapa Farabi? Lantaran ia telah lebih dahulu membahas masalah ini dan juga tingkat signifikansi pemikiran-pemikirannya dalam masalah ini. Adapun alasan memilih Mulla Shadra lantaran hubungan pemikiran-pemikirannya dengan jawaban atas pertanyaan ketiga. Meski volume pemikiran-pemikiran Mulla Shadra dalam hal ini, tidak dapat dibandingkan dengan Farabi sebagai filosof politik Islam terpenting.
Ide-ide Farabi
Pada puncak kecerlangan kebudayaan Islam, Abu Nasir Farabi, filosof terkemuka dari Timur Iran, mengemukakan gagasan Negera Ideal dalam kitabya “Ârâ Ahl al-Madinah al-Fâdhilah” dan masyarakat ideal yang berdasarkan pemikiran filosofis dan dalam rangkuman pahaman-pahaman syariat Islam. Terma-terma filsafat politik dalam Islam, pada umumnya diadopsi dan diadaptasi dari al-Qur’an. Ajektif “Fadhilah” merupakan bukti gagasan Farabi dalam mencari kesempurnaan ideal bagi masyarakat (society). Pandangan seperti ini, di samping bersumber dari konsep Islam “Dar al-Salam,” lebih tinggi dari batasan demarkasi geografi bangsa-bangsa. Temuan Farabi dari masyarakat sempurna adalah masyarakat besar yang menyangkut seluruh bangsa-bangsa. Apabila pemimpin ideal memerintah maka Madinah Fâdhilah akan dapat terealisir. Madinah Fâdhilah Farabi adalah sebuah masyarakat yang secara totalitas sarat dengan nilai-nilai (values) dan ajaran-ajaran spiritual-moral sehingga sangat pelik mengilustrasikannya secara detil dan partikulir. Meski pembahasannya sangat luas dan rinci, namun secara keseluruhan Farabi lebih banyak bicara secara global dan tidak menyoroti hubungan politik dan masyarakat sosial. Untuk dapat memahami sistem yang berstrata dalam Negara Ideal (Madinah Fâdhilah) maka kiranya kita perlu mengetahui secara global model filsafat Farabi. Karena struktur negara idealnya merupakan konklusi rasionalnya atas sistem penciptaan alam semesta. Model Filsafat Farabi menyatakan bahwa seluruh ciptaan bersumber dari emanasi Wujud Pertama atau Allah Swt. Seluruh entitas dan makhluk di alam semesta berada pada tingkatan rendah alam penciptaan. Karena itu, setelah Entitas Pertama yang merupakan Sumber Segala Sumber (Mabda al-Mabâdi), silsilah tingkatan seluruh entitas dan makhluk alam semesta secara runut melintasi kesempurnaan menuju kekurangan demi kekurangan (al-anqash falanqash) demikian seterusnya hingga sampai pada satu tingkatan yang setingkat di atas ketiadaan murni. Karena itu, pada negeri ideal Farabi, khair afdhal (kebahagiaan manusia dan kebaikan orang-orang budiman) hanya dapat diperoleh dengan adanya perhimpunan madani bukan pada perhimpunan yang kurang darinya dan manusia sesuai dengan hukum fitrahnya memerlukan dibentuknya sebuah masyarakat dan korporasi dengan yang lain untuk sampai pada kesempurnaan. Seluruh kebutuhan manusia sedemikian beragam dan variatif sehingga tidak seorang pun yang dapat memenuhinya secara sendiri-sendiri.[10] Perhimpunan dan pembagian kerja sosial ini dimana seluruh orang dapat meraih sukses utuk meraih segala apa yang dicita-citakannya. Karena itu, masyarakat madani (civil society) merupakan hasil dari pembagian kerja sosial dan hanya melalui masyarakat madani seperti ini manusia dapat meraih kesempurnaan dan kebahagiaan. Farabi, di samping Ibnu Sina dan Khaja Nashiruddin Thusi, sangat menaruh perhatian pada kedudukan individu dalam masyarakat berdasarkan fitrah dan potensinya masing-masing. Ia meyakini bahwa apabila seseorang dalam masyarakat melakukan pekerjaan yang sesuai dengan bakat alami yang dimilikinya dan silsilah tingkatan sosial dan politik dibentuk berdasarkan pada asas kelayakan (meritokrasi) setiap orang maka Madinah Fâdhilah (Negara Ideal) akan terealisir di muka bumi. Dalam pandangan Farabi, politik (an sich) bukan merupakan tujuan (goal). Yang menjadi tujuan adalah kebahagiaan (sa’âdah) yang hanya dapat diraih melalui adanya perhimpunan dan percampuran di dalam masyarakat.[11]
Berdasarkan tujuan dan sasaran sistem politik, Farabi membagi dua sistem-sistem politik menjadi dua jenis. Pertama, sistem politik fâdhilah (ideal atau utama). Kedua, sistem politik non-fâdhilah. Tujuan kekuasaan pada sistem politik fâdhilah adalah kebahagiaan hakiki dan pada sistem politik non-fâdhilah adalah kebahagiaan asumtif dan rekaan.”[12]
Menurut Farabi, pemerintahan Negara Ideal (Madinah Fâdhilah) adalah pemerintahan yang dapat melembagakan, mengukuhkan dan memiliki pelbagai aktifitas, tradisi dan harta-harta di negeri, bangsa dan bahkan negara itu sendiri dimana manusia dan masyarakat mampu meraih kebahagiaan hakiki melaluinya. Baik pada kehidupan duniawi dan juga sebagai ikutannya adalah kehidupan ukhrawi. Karena itu, ia menyebut pemerintahan, sistem politik dan pemerintahan yang mampu menjalankan kebijakan penting ini, sebagai sistem politik fâdhilah; yang merupakan sistem sempurna dan equiliber (seimbang). Negeri-negeri dan bangsa-bangsa yang mengikut pemerintahan seperti ini disebut sebagai negeri-negeri dan bangsa-bangsa fadhilah.[13]
Nasib para warga Madinah Fâdhilah saling berkaitan secara berkelindan dengan nasib Madinah Fâdhilah (Negara Ideal). Pada Negera Ideal Farabi, tidak mungkin terdapat satu orang bahagia dan yang lainnya sengsara. Hanya terdapat dua kondisi, apakah mereka seluruhnya bahagia atau seluruhnya sengsara dan menderita. Dengan menyebutkan hal-hal ini menjadi jelas bahwa pada Madinah Fâdhilah dan perhimpunan sukses masyarakat tidak akan mungkin dapat dicapai tatkala sekelompok orang menikmati kesejahteraan dan bahagia sementara kebanyakan orang telanjang, tuna wisma, dan terlantar. Karena itu, Farabi memandang masyrakat seperti ini sebagai tertolak dan meyakini bahwa kebahagiaan adalah bersifat keseluruhan dan masing-masing bagian masyarakat madani memiliki saham setara dari kebahagiaan tersebut.[14]
Dengan demikian, keutamaan yang dimiliki masyarakat seperti ini merupakan hasil dari usaha kolektif. Farabi terkait dengan pemimpin dan politik fadhilah berkata, “Pada masyarakat seperti ini, pemimpin yang memerintah adalah seutama-utama (afdhal) manusia dan politiknya adalah politik utama (fadhilah) yang hanya dapat terealisir dalam atmosfer madinah seperti ini.”[15]
Pada Madinah Fâdhilah Farabi yang berlaku adalah perubahan internal sebagai ganti perbaikan-perbaikan internal. Oleh itu, akal manusia untuk menerima pelbagai hakikat, memerlukan penalaran dan hatinya senantiasa menuntut untuk dipuaskan. Farabi memandang bahwa kemenangan dengan cara apa pun, baik dengan paksaan atau berpamer adalah musuh kemuliaan dan kehormatan manusia dan sebuah alternatif yang tidak cocok bagi konsep peradaban dan kemasyarakatan ideal. Apa yang membedakan warga kota negari ideal ini dari yang lain adalah pengetahuan teoritis terhadap prinsip-prinsip samawi dan berpegang teguh secara praktis kepada pelbagai keutamaan (fadhail) dan kemuliaan-kemuliaan akhlak (makârim akhlâk). Farabi berpandangan bahwa warga Negara Ideal distratakan berdasarkan jenis aktifitas dan nilai pelayanan kepada Negara Ideal.[16]
Falsafah wujud (Reason d’etre) Negara Ideal (Madinah Fâdhilah) adalah menyampaikan manusia kepada kebahagiaan. Tujuan utama kepemimpinan dalam Negara Ideal (Madinah Fâdhilah) adalah memudahkan jalan bagi orang-orang di dalammya meraih kebahagiaan. Karena itu, untuk memahami secara utuh falsafah madani Farabi hal itu bergantung kepada bagaimana kita memahami sistem pemikirannya. Berdasarkan definisi ini, Farabi memandang kebahagiaan adalah sejenis pencapaian, gerakan, kenaikan dari sebuah tingkatan yang memerlukan materi, kepada materi yang berbeda dari materi lainnya dan sampainya kepada kesempurnaan eksitensial manusia dan langgengnya ia pada kondisi seperti itu. Menurut Farabi, kebahagiaan adalah identik dengan kebaikan (khair), tujuan dan hal teragung yang dapat dan harus dicapai oleh manusia. Jalan untuk mencapai kebahagiaan juga dalam kaca mata Farabi, adalah mengerjakan pelbagai amalan ikhtiari kebaikan dan berkukuh untuk melaksanakan pelbagai aktifitas keutamaan dan menjauhi segala keburukan, perbuatan-perbuatan keji dan tercela. Kebahagiaan pada hakikatnya merupakan hasil pekerjaan baik dan mengindar dari hawa nafsu.[17]
Prinsip utama yang menjadi obyek perhatian Farabi pada kedua jenis negara adalah “kebahagiaan” (sa’âdah). Namun dalam pandangan Farabi, kebahagiaan hakiki yang dapat menyebabkan perkembangan, kesempurnaan, perluasan politik, penyebaran tradisi, kebiasaan dan kebudayaan serta pelembagaan keutamaan di setiap negeri dan bangsa, hanya dapat diperoleh pada sistem politik fadhilah. Karena itu, prinsip pertama Farabi pada beberapa prinsip filsafat politiknya adalah kebahagiaan “sa’âdah” dan mengenal kebahagiaan serta memperkenalkan kebahagiaan demikian juga membedakan antara kebahagiaan hakiki dan kebahagiaan rekaan. Setelah menyebutkan tipologi sistem politik fâdhilah, kemudian Farabi menjelaskan beberapa tipologi Madinah Fâsidah (Negara Korup). Dalam filsafat politiknya, ia meyakini empat tipologi Madinah Fâsidah sebagaimana berikut ini:
Pertama, Madinah Jâhilah; Sebuah madinah yang masyarakatnya selain tidak mengenal kebahagiaan dan juga kebahagiaan tidak terlintas dalam benak nya. Mereka hanya mengenal kelezatan di antara seluruh kebaikan yang ada.
Kedua, Madinah Fâsiqah; apa yang dikenal warga Negara Ideal (Madinah Fadhilah) terkait dengan Tuhan dan akal aktif namun pada tataran perbuatan laksana orang-orang jahil dan dungu; berkata-kata tapi tidak mengamalkan.
Ketiga, Madinah Mutabaddilah; pendapat dan perbuatannya seperti orang-orang Madinah Fâdhilah namun mereka menodai segala perbuatannya dengan kerusakan.
Keempat, Madinah Dhallah; mereka menyatakan akidah rusak terkait dengan Tuhan dan akal. Dan pemimpinnya juga mengklaim diri sebagai nabi dan penerima wahyu.[18]
Antropologi Farabi
Farabi meyakini bahwa untuk bertahan hidup dan mencapai kesempurnaan insaniahnya manusia memiliki banyak kebutuhan yang tidak dapat dipenuhinya seorang diri; pada hakikatnya dalam menyediakan pelbagai kebutuhan manusia hal itu berada pada pembentukan masyarakat yang masing-masing warga masyarakatnya mengemban tugas untuk memenuhi sebagian kebutuhan-kebutuhan tersebut. Karena itu, manusia berdasarkan fitrahnya memiliki kecendrungan bermasyarakat dan berinteraksi sosial serta ingin hidup di sekitar orang-orang yang sejenis dengannya. Sejatinya kebutuhan timbal-balik (mutual need) manusia antara satu dengan yang lain merupakan faktor berdirinya masyarakat-masyarakat yang membuat manusia berkumpul di sekelilingya dan saling tolong menolong untuk semakin mendekat kepada kesempurnaan dan kebahagiaan.[19]
Farabi memandang tidak terdapat perbedaan dan segregasi di antara konsep-konsep seperti akal, wahyu, politik dan syariat. Bahkan lebih dari itu, Farabi banyak melakukan upaya untuk menyelaraskan kesemua konsep ini. Secara asasi, asumsi utama Farabi adalah menggandengkan politik dengan filsafat; karena Farabi berpandangan bahwa tujuan manusia adalah kebahagiaan dan realisasi kebahagiaan berada pada pancaran politik yang penuh kebijaksanaan dan hikmah dimana dalam hal ini hubungan politik dan filsafat menjadi sesuatu hal yang niscaya. Menurut Farabi, jalan manusia untuk sampai kepada kebahagiaan hakiki adalah keadilan dan keadilan adalah poros gerakan manusia dalam perjalanannya meniti kesempurnaan dan kebahagiaan.[20]
Farabi meyakini bahwa suara masyarakat dan tujuan bersama warga masyarakat merupakan syarat untuk sampai kepada kebahagiaan; kepada perbaikan seorang reformis dan kelompok orang-orang yang berpikir cerlang. Reformis yang merupakan pemimpin Madinah Fâdhilah adalah seorang manusia sempurna yang disamping merupakan akal juga ia juga adalah ma’qul (intellegible). Orang ini adalah orang yang ruhnya bersambung dengan akal aktif dan mengadopsi makrifat melalui jalan wahyu dari akal aktif. Pemimpin madinah adalah seorang rasul atau seorang imam.[21] Farabi menentukan dua belas karakteristik bagi pemimpin madinah yang realiasinya merupakan syarat kepemimpinannya.[22] Terlepas dari kandungan karakteristik ini, perhatian filosof ini kepada kepemimpinan madinah menunjukkan signfikansinya dalam pembentukan madinah sedemikian sehingga kelanggengan madinah bergantung kepada kelanggengan pemimpinnya.[23]
Politik Transendental Sadrian
Kita ketahui bahwa Mulla Shadra adalah pendiri mazhab Filsafat Hikmah dalam kosmos filsafat Islam. Sesuai dengan hukum eksistensial Shadra, gerakan dari kosmos potensial (quwwah) menuju kosmos aktual (fi’il), dari huduts (kebaruan) jasmani kepada baqâ (kekekalan) ruhani, maka mau-tak-mau manusia harus berinteraksi dengan majemuk (katsrat) (manusia lainnya dan alam semesta) untuk dapat terwujud. Tanpa perhatian terhadap dimensi somatik entitas manusia dan tanpa adanya interaksi sosial maka kesempurnaan hakiki dalam filsafat Shadrian merupakan sesuatu yang mustahil.
Mulla Shadra menuturkan, “Tujuan eksistensi manusia adalah menjadi penghuni (bumi) dan dalam pergerakan makrifatullah serta menanjak menuju kepada-Nya. Ia memiliki sisi pendaran cahaya dari pancaran-pancaran sinar Ilahi. Manusia lebur dalam cahaya tersebut dan maksud ini tidak akan tercapai kecuali melalui kehidupan di dunia, lantaran nafs (jiwa) pada awal pembentukannya adalah tidak sempurna dan masih berupa potensi. Proses menanjak dari kondisi tidak sempurna kepada kondisi sempurna, tidak akan dapat terlaksana kecuali dengan gerakan (harâkat), zaman dan materi penerima yang merupakan tipologi-tipologi kosmos alam empirik.”[24]
Dalam filsafat politik Shadra, manusia dengan ikhtiarnya harus memilih ketika berdiri pada tapal batas material dan spiritual, sisi ruhani dan jasmani. Manusia senantiasa berada di antara majemuk materi (katsrat maddah) dan kesatuan non-materi (wahdat ruhani), sehingga mau-tak-mau harus bersikap seimbang (ta’âdul) dan berposisi ekuilibrium. Di antara pelbagai kontingen-kontingen material, ia harus memilih kontingen-kontingen (imkân) yang tidak menjadi penghalang perhatiannya kepada lokus non-materi dan perintang kehadiran (hudhur) pada kesatuan-Nya. Dalam konteks pemilihan sebagaimana kaitan nafs (jiwa) dan fakultas jiwa yang memajemuk, manusia senantiasa berada pada tataran “wahdat dan katsrat” (tunggal dan majemuk) dan “katsrat dan wahdat” (majemuk dan tunggal). Contoh sempurna penggabung ini adalah pribadi unggul Nabi Saw[25] yang ketika pandangannya tertuju pada katsrat (urusan kebendaan dan sosial-politik) maka pada saat yang sama perhatiannya tetap tertuju pada maqam wahdat (tunggal). Manusia sebagai salik (pejalan) perjalanan spiritual sepanjang hidupnya dengan memilih antara tarik ulur jasmani dan pelbagai konflik politik-sosial maka ia senantiasa berada pada kondisi memilih di antara jamak dan tunggal.[26]
Madinah Fâdhilah Sadrian
Madinah Fâdhilah Sadrian merupakan media untuk moral transendental dan moral transendental Sadrian adalah media untuk terealisirnya politik transendental. Politik transendental merupakan jenis pemerintahan dan aturan-aturan politik sosial dalam Madinah Fâdhilah. Politik transendental ini berada pada poros aturan-aturan yang berlaku bagi kematangan dan kemenjulangan manusia serta moral fadhilah. Persoalan politik adalah politik legal (masyru’) yang memiliki kelayakan segala pra syarat untuk mengaktualisasikan pelbagai kesempurnaan potensial setiap orang.[27] Penyediaan syarat-syarat seperti ini termasuk di dalamnya adalah urusan eskatologi dan keseharian manusia. Pemisahan kebahagiaan jasmani dan kebahagiaan ruhani merupakan suatu hal yang mustahil; sebagaimana dalam definisi esensi manusia dalam filsafat Sadrian, pemisahan dua dimensi jasmani dan ruhani merupakan hal yang mustahil. Sistem politik ideal dalam Madinah Fâdhila ala Mulla Shadra adalah sebuah sistem dimana pada saat yang sama menyediakan pelbagai kebutuhan manusia pada dua sisi, jasmani dan ruhani, material dan spiritual. Konsep kebahagiaan, keadilan, kebebasan, dan legalitas politik Sadrian ditentukan dan didefinisikan dengan konsep-konsep ini. Dalam Madinah Fâdhilah Sadrian, umat memiliki dua tipologi khas. Pertama, memiliki cita rasa esensial dan murni kepada kesempurnaan eksistensial, termasuk pelbagai kesempurnaan praktis dan teoritis. Setinggi-tingginya keutamaan dalam masyarakat seperti ini adalah mereka yang mampu menggondol derajat tertinggi keilmuan dan berbusana dengan pakaian-pakaian moral serta bentuk-bentuk pelbagai perbuatan baik, menghindar dari perbuatan sia-sia, batil dan sifat-sifat tercela. Kedua, gerakan dan perhatian totalitas kepada tujuan tertinggi yaitu sampai dan perjumpaan dengan Allah Swt. Dalam masyarakat yang menjadikan Tuhan sebagai sentral seperti ini, tentu saja secara natural aturan-aturan Ilahi juga yang berkuasa dan syariat berfungsi sebagaimana ruh bagi seluruh aturan-aturan manusia dan politik yang bermakna modern.[28]
Mulla Shadra juga dalam beberapa disposisi, mengingatkan akan kemestian adanya syariat, wahyu dan intervensi insan kamil sebagai “wali” dalam urusan politik dan sosial sembari menetapkan bagaimana kondisi politik dan kehendak urusan keseharian masyarakat apabila diatur oleh orang-orang yang tidak mengenal hakikat-hakikat spiritual maka umat akan digiring kepada sebuah masyarakat mati dan tanpa ruh serta penuh dengan kerusakan dan destruksi.[29]
D. Jawaban Pertanyaan Ketiga:
Imam Khomeini dari sudut pandang pemikiran politik memiliki pandangan penting terkait dengan pemimpin politik dimana dengan pandangan ini dengan sendirinya telah menjadikan Imam Khomeini pada jajaran filosof politik dunia. Di antara para filosof Muslim, hanya Imam Khomeini yang memperoleh kesempatan baik ini untuk dapat mengimpelementasikan filsafat politiknya pada konteks kemasyarakatan secara praktik. Corak filsafat politik Imam Khomeini merupakan kelanjutan tradisi filsafat politik Farabian-Sadrian dan mazhab Filsafat Hikmah.
Meski dapat dikatakan bahwa pengikut terbesar filsafat Sadrian adalah Allamah Thabathabai, namun ia tidak sendiri pada dunia modern yang mengikuti jalan filsafat politik Sadrian. Dalam hal ini, di samping Allamah Thabathabai, kita harus melirik kepada domain politik-filsafat Imam Khomeini yang merupakan domain filsafat politik yang paling subur dan berkembang maju. Imam Khomeini merupakan orang pertama yang disebut sebagai marja agama sekaligus seorang filosof agama sepanjang sejarah mazhab Syiah. Imam Khomeini muncul menjadi pemimpin sebuah sistem politik yang mengambil sikap tegas dan produktif dalam kaitannya dengan pemerintahan dan esensinya. Imam Khomeini berbeda dengan ilmuan-ilmuan politik lainnya yang semata-mata pada atmosfer keilmuan dan tataran abstraksi yang berhasil membentuk satu sistem filsafat politik. Di samping itu, Imam Khomeini juga menyusun karya tulis dan mandiri terkhusus sistem politik. Namun demikian pandangan-pandangannya dalam masalah politik dan menjadi obyek perhatiannya adalah politik dalam artian sesungguhnya dan falsafah keberadaan dan dalil-dalil utama sistem politik. Imam Khomeini menjelaskan hal-hal tersebut dalam kerangka pelajaran-pelajaran juristik (fikih) pada masa sebelum revolusi dan proses perlawanannnya, serta ceramah-ceramah, korespondensi (surat-menyurat) dengan para pengambil kebijakan dan pelbagai negoisasi. Hal ini telah menjadi asas terlontarnya teori-teori baru dalam masalah pemerintahan dan pelaksanannya yang salah satu contohnya adalah surat beliau kepada Presiden Republik Islam Iran ketika itu (Ayatullah Khamenei) utamanya terkait dengan pelbagai kewenangan wilayah mutlak fakih.
Filsafat Politik Imam Khomeini
Pandangan-pandangan politik Imam Khomeini harus ditelusuri semenjak tahun 1326 yang terangkum dalam kitab “Kasyf al-Asrâr” hingga awal pelajaran advanced fikihnya (bahts al-khârij) yang mengangkat tema pemerintahan Islami pada masa-masa pengasingannya ke Najaf. Imam Khomeini dalam “Kasyf al-Asrâr” melontarkan kritikan terhadap model pemerintahan Ridha Khan. Di antara kritikan terpenting tersebut adalah model pemerintahan Ridha Khan yang tidak mengajak ulama dan kaum ruhaniawan untuk bermusyawarah (tradisi yang dilakukan oleh para syah Iran semenjak zaman Shafawiyah yaitu pada masa Syiah menjadi mazhab resmi Iran hingga Qajariyah yang memandang perlu dilakukannya musyawarah, namun pada masa Pahlevi poliltik modern Ridha Khan hal tersebut tidak dilakukan dan bahkan berada pada tataran ingin menghapus peran kaum ulama). Namun setelah itu, pasca terjadinya peristiwa 15 Khurdad 1342 dan bermulanya masa pengasingan secara perlahan Imam Khomeini menyimpulkan bahwa problem masyarakat adalah karena kaum agamawan tidak hadir secara aktif dan langsung pada puncak pengaturan politik dan sosial. Pembaruan pandangan ini disempurnakan dengan pengedaran kitab “Hukumat-e Islâmi” pada tahun-tahun mendekati meletusnya revolusi. [IQuest]
Untuk menindaklanjuti pembahasan ihawl teori politik Islam dan Wilayah Fakih kami persilahkan Anda untuk merujuk pada beberapa indeks terkait berikut ini:
39 (Site: 272)
9295 (Site: 9466)
7163 (Site: 8068)
6783 (Site: 6925)
1319 (Site: 1741)
1725 (Site: 1740)
[1]. Al-Madinah al-Fâdhilah umumnya diterjemahkan secara bebas dalam bahasa Inggris sebagai Utopian State, The Perfect State, The Virtous City, Good State. Adapun dalam bahasa Indonesia terkadang diterjemahkan sebagai Negara Utama, Negara Idaman, Negara Ideal, Republik Impian.
[2]. Dar Âmadi be Falsafe, Abdul Husain Naqib Zadeh, hal. 66, Thahuri, Teheran, 1386.
[3]. Târikh Falsafe-ye Islâmi, Ishaq Husain Kuhsari, hal. 4, Nasyr Bainal Milal, Teheran, 1374.
[4]. Ibid.
[5]. Ibid, hal. 51.
[6]. Ibid, hal. 71. Andisheh Ijtmai Mutafakkiran-e Musalman, Taqi Azad Armaki, hal. 222, Surush, 1374.
[7]. Ibid, hal. 88.
[8]. Ibid, hal. 89.
[9]. Setelah Farabi, para filosof non-expert yang ketenarannya pada domain lain dalam bidang kebudayaan dan peradaban Islam seperti Matematika, Kalam, Sejarah, Tasawuf yang memainkan peran penting dalam melambungkan pemikiran sosial dan politik Islam Farabi. Misalnya Abu Raihan Biruni yang secara sporadis menyebut pemikiran sosial dan politik Farabi dalam karyanya, Imam Muhammad Ghazali dalam “Nashihat al-Muluk, Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah yang mengembangkan pemikiran-pemikiran sosial Farabi minus warna filsafat. Kami menganjurkan kepada Anda yang ingin mengenal lebih jauh pemikiran-pemikiran pemikir ini untuk menelaah Andisyeh Ijtimâ’i Mutafakkiran Musalmân az Fârabi ta Ibnu Khaldun.
[10]. Ârâ Ahl al-Madinah al-Fâdhilah, hal. 78-88.
[11]. Târikh Falsafe-ye Islâmi, Husaini Kuhsari, hal. 88.
[12]. Negâhi be Faiwand-e Qudrat wa Akhlâq dar Falsafe-ye Siyâsi Fârabi, Ishmat Kaikha, Pegah Hauzah, 23 Urdibehesyt, 1385, No. 182.
[13]. Ibid.
[14]. Ibid.
[15]. Ârâ Ahl al-Madinah al-Fâdhilah, hal. 86.
[16]. Negâhi be Faiwand-e Qudrat wa Akhlâq dar Falsafe-ye Siyâsi Fârabi, Ishmat Kaikha, Pegah Hauzah, 23 Urdibehesyt, 1385, No. 182.
[17]. Ibid.
[18]. Târikh Falsafe-ye Islâmi, Husani Kuhsari, hal. 90.
[19]. Barrasi wa Muthâla’a Syakhshiyat wa Andisheh-hâ-ye Siyâsi, Ijtimai Farabi wa Ayatullah Khomeini, Sait-e Rasmi Anjuman-e Ihyagaran-e Falsafe-ye Nu.
[20]. Ibid.
[21]. Ârâ Ahl al-Madinah al-Fâdhilah, hal. 86.
[22]. Ibid, hal. 90.
[23]. Fârabi, Hanna al-Fakhuri dan Khalil al-Jar, hal. 441.
[24]. Mabdâ wa Ma’âd, Shadr al-Din Syirazi, hal. 572-573, terjemahan Ahmad bin Muhammad Ardakani, kompilator Abdullah Nurani.
[25]. Tafsir al-Qur’ân, Mulla Shadra, jil. 6, hal. 277-279.
[26]. Falsafe-ye Siyâsi Mulla Shadra wa Martin Heidegger, Sayid Khalil Rahman Thusi, Fashl Name ‘Ulum Siyasi, No. 43.
[27]. Ibid, hal. 489.
[28]. Silahkan lihat, Mabdâ wa Ma’âd, hal. 490-492.
[29]. Untuk keterangan lebih jauh silahkan lihat, Kasr Ashnam ala-Jâhiliyyah, hal. 217-228, Mabdâ wa Ma’âd, hal. 497, Syawâhid al-Rubûbiyah, hal. 340.