Dalam pandangan Islam, pria dan wanita adalah dua entitas dan makhluk yang saling menyempurnakan. Allah Swt menciptakan mereka untuk satu sama lain untuk saling melengkapi. Salah satu kebutuhan pria dan wanita terhadap satu sama lain adalah kebutuhan seksual. Namun kebutuhan ini harus disalurkan pada aturan dan instruksi Islam sehingga mutiara kemuliaan dan kesuciannya masing-masing pihak tetap terjaga.
Dalam pandangan syariat suci Islam, segala jenis hubungan antara anak laki-laki dan anak perempuan tidak dibenarkan dan bermasalah sebelum mereka menikah, terlepas dari hubungan langsung dan tidak langsung, apabila dimaksudkan untuk memperoleh kelezatan (seksual) atau takut timbulnya fitnah dan terjerembab dalam perbuatan dosa dalam hubungan keduanya,
Namun tidak ada masalah apabila hubungan tersebut disebabkan karena adanya hubungan pekerjaan, tuntutan professionalisme, ilmiah dan pendidikan, tidak menimbulkan fitnah dan kerusakan serta tetap menjaga timbangan syariat.
Dalam pandangan Islam pria dan wanita adalah entitas dan makhluk yang saling menyempurnakan. Allah Swt menciptakan keduanya untuk saling melengkapi dan menyempurnakan. Al-Qur’an menyatakan, “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah penciptaan langit dan bumi serta bahasa dan warna kulitmu yang beraneka ragam. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui.” (Qs. Al-Rum [30]:22)
Salah satu kebutuhan pria dan wanita terhadap satu sama lain adalah kebutuhan seksual. Pemenuhan kebutuhan ini harus disalurkan pada aturan dan instruksi Islam sehingga mutiara kemuliaan dan kesuciannya masing-masing pihak tetap terjaga.
Untuk menyalurkan pelbagai kebutuhan pria dan wanita, Islam menetapkan ikatan pernikahan (permanen dan temporer) dan segala jenis hubungan seksual apakah itu obrolan-obrolan mesra, saling bersentuhan, membelai dan sebagainya harus dilakukan setelah akad nikah. Dan bahkan pasangan remaja putra dan putri, muda dan mudi, yang telah bertunangan dan akan melangsungkan pernikahan dalam waktu dekat keduanya, tidak dapat berhubungan badan bahkan pada batasan sekedar obrolan mesra dan bersalaman.
Bagaimanapun dalam pandangan Islam, untuk menyalurkan pelbagai kebutuhan seksual pria dan wanita, maka hal itu harus disalurkan melalui kanal syariat suci. Pernikahan temporer merupakan salah satu jalan keluar namun pernikahan ini memiliki beberapa syarat yang harus dipenuhi. Salah satu syaratnya adalah izin dan restu ayah dan ibu gadis (syarat-syarat lainnya disebutkan pada risalah-risalah amaliah para marja taklid).[1]
Kebanyakan marja taklid kontemporer berfatwa bahwa akad nikah (permanen atau temporer) dengan seorang gadis perawan harus seizin dan memperoleh restu ayah dan apabila ayah tidak ada maka izin harus diperoleh dari kakek dari pihak ayah.[2] Namun izin tidak diperlukan apabila gadis tersebut tidak (lagi) perawan dan ayah serta kakek dari pihak ayah tidak ada.
Adapun terkait dengan apakah dibolehkan atau tidak apabila seseorang sekedar ingin membina hubungan biasa dengan lawan jenisnya?
Jawaban dari pertanyaan ini dapat diperoleh dengan memperhatikan jawaban para marja agung taklid atas pertanyaan yang serupa sebagai berikut:
Pertanyaan 1: Apakah terdapat perbedaan pada pembicaraan antara pria dan wanita non-mahram, baik secara langsung atau dari jarak jauh?
Seluruh marja: Tidak. Tidak ada perbedaan dalam hukum dan kedua kondisi di atas bermasalah apabila dilakukan dengan maksud untuk mendapatkan kelezatan dan takut terjatuh dalam perbuatan dosa.[3]
Pertanyaan 2: Apa hukumnya melakukan chatting dengan lawan jenis dan berbicara satu sama lain secara normal?
Para marja taklid: Tidak dibolehkan apabila disertai dengan adanya ketakutan terhadap fitnah dan terseret dalam perbuatan dosa.[4]
Pertanyaan 3: Apakah dibolehkan pria mengucapkan salam kepada wanita non-mahram atau sebaliknya, wanita mengucapkan salam kepada pria non-mahram?
Para marja taklid: Tidak ada masalah apabila dilakukan tanpa adanya niat untuk mendapatkan kelezatan atau rasa takut melakukan perbuatan haram.[5]
Pertanyaan 4: Apa hukumnya bercanda dengan non-mahram?
Para marja taklid: Tidak dibolehkan apabila dilakukan dengan adanya niat untuk mendapatkan kelezatan atau takut melakukan dosa.[6]
Pertanyaan 5: Apakah bermasalah hubungan baik antara seorang putra dan putri tatkala melakukan sebuah pekerjaan atau bertamu?
Seluruh marja taklid: Tidak dibenarkan pertemanan antara putri dan putra; mengingat adanya ketakutan melakukan dosa di antara keduanya. Namun tidak ada masalah dalam hubungan pekerjaan apabila tidak disertai dengan kerusakan dan tetap menjaga rambu-rambu syariat.[7]
Pertanyaan 6: Apa hukumnya mengirim surat kepada non-mahram dan mengungkapkan masalah-masalah yang mengumbar syahwat lewat email?
Seluruh Marja Taklid: Bermasalah mengungkapkan masalah-masalah yang berpotensi menimbulkan fitnah dan menyiapkan ruang bagi perbuatan yang merusak.[8]
Dari beberapa hal dan masalah yang mengemuka di atas kita dapat mengambil kesimpulan bahwa segala jenis hubungan muda dan mudi, sebelum mengikat tali perkawinan, apakah itu hubungan langsung atau tidak langsung, apabila disertai dengan niat untuk mendapatkan kelezatan (seksual) atau adanya ketakutan timbul fitnah dan takut melakukan dosa tidak dibolehkan dan bermasalah.
Namun tidak bermasalah dalam hubungan pekerjaan atau professionalisme, ilmiah dan sekolah, apabila tidak menyebabkan timbulnya fitnah dan kerusakan serta tetap menjaga rambu-rambu syariat.[9] [iQuest]
[1]. Taudhih al-Masâil Marâji’, jil. 2, hal. 449-460; Tahrir al-Wasilah, jil. 2, hal. 701-707 dan juga 734-736.
[2]. Secara lahir redaksi ini bahwa hal ini juga merupakan syarat taklif dan juga syarat wadh’i artinya bahwa akad putri perawan (gadis) tanpa izin ayah adalah haram dan batal.
[3]. Untuk telaah lebih jauh silahkan lihat beberapa indeks terkait, 627, 667, 717, 767, dan 754.
Imam Khomeini, Istiftâ’ât, jil. 3, Pertanyaan 52. Ayatullah Bahjat, Taudhih al-Masâil, Masalah 1936; Ayatullah Makarim Syirazi, Istiftâ’ât, jil. 1, Pertanyaan 819; Ayatullah Tabrizi, Istiftâ’ât, 1622; Ayatullah Shafi Gulpaigani, Jâmi’ al-Ahkâm, jil. 2, hal. 1673; Ayatullah Nuri Hamadani, Istiftâ’ât, jil. 2, Pertanyaan 656; Ayatullah Fadhil Langkarani, Jâmi’ al-Masail, jil. 1, hal. 1718; Ayatullah Khamenei, Ajwibat Istiftâ’ât, Pertanyaan 1145; al-Urwat al-Wutsqa jil. 2, al-Nikah, Masalah 3; Ayatullah Siistani, www.siistani.org (Site Internet), Pertanyaan 19 dan 20; Kantor Ayatullah Wahid.
[4]. Ayatullah Siistani, www.siistani.org (Site Internet); Ayatullah Tabrizi, www.tabrizi.org (Site Internet).
[5]. Al-‘Urwat al-Wutsqa, jil. 2, al-Nikah, Masalah 39 & 41.
[6]. Ibid, Masalah 31 & 39; Ayatullah Fadhil, Jâmi’ al-Masâil, jil. 1, Pertanyaan 1720 dan Ayatullah Khamenei, Istiftâ’ât, Pertanyaan 782.
[7]. Ayatullah Khamenei, Istiftâ’ât, Pertanyaan 651 dan 779.
[8]. Imam Khomeini, Istiftâ’ât, jil. 3, Pertanyaan-pertanyaan Lain, Pertanyaan 127.
[9]. Disarikan dari Risâlah Dânesyjui, 16, hal-hal. 191-195.