Dalam teks-teks riwayat kami tidak menjumpai bukti yang menetapkan bahwa kalimat “Setiap Hari adalah Asyura dan Setiap Bumi adalah
Namun redaksi kalimat ini merupakan sebuah kesimpulan yang benar dari sekumpulan peristiwa
Para Imam kita mengajarkan bahwa kita harus berjuang melawan tirani para tiran dan kezaliman kaum penindas. Mereka juga telah melakukan hal ini dan Asyura bukanlah sebuah peristiwa yang terbatas dalam lingkup ruang dan waktu tertentu.
Dalam teks-teks riwayat kami tidak menjumpai[1] bukti yang menetapkan bahwa kalimat “Setiap Hari adalah Asyura dan Setiap Bumi adalah
Namun redaksi kalimat ini merupakan sebuah kesimpulan benar dari sekumpulan peristiwa
Para Imam kita mengajarkan bahwa kita harus berjuang melawan tirani para tiran dan kezaliman kaum penindas. Mereka juga telah melakukan hal ini dan Asyura bukanlah sebuah peristiwa yang terbatas dalam lingkup ruang dan waktu tertentu.
Redaksi kalimat “Setiap Hari adalah Asyura dan Setiap Bumi adalah Karbala” (Kullu Yaumin 'Asyura wa Kullu Ardhin Karbala)” menunjukkan bahwa konfrontasi dan pertarungan antara hak dan batil akan senantiasa ada di setiap tempat dan setiap masa. Asyura dan
Imam Khomeini Ra yang merupakan pengikut sejati Imam Husain As dan bapak pendiri (founding father) Republik Islam Iran serta pengusung perlawanan besar melawan para tiran zamannya, menyebut redaksi “Kullu Yaumin 'Asyura wa Kullu Ardhin Karbala” ini sebagai “kalimat agung” dan menegaskan pembumian pesan Karbala. Tuturnya, “Kalimat “Kullu Yaumin 'Asyura wa Kullu Ardhin
Sejatinya Imam Khomeini Ra dengan keyakinan bahwa persoalan kebangkitan dan kesyahidan Imam Husain (Sayyid al-Syuhada) harus menjadi mizan amal sosial kaum Muslimin. Sejalan dengan itu, beliau menjadikan gerakan Imam Husain sebagai pijakan dan fondasi gerakannya dalam mengusung Revolusi Islam. “Apa yang dijalankan oleh Sayid al-Syuhada (Penghulu Para Syahid), ide yang dimilikinya, jalan yang ditempuhnya, kemenangan yang diraih untuk dirinya dan untuk Islam setelah kesyahidan. Redaksi kalimat edukatif ini (Setiap hari adalah Asyura dan Setiap bumi adalah Karbala) di samping merupakan taklif juga merupakan berita gembira. Disebut taklif karena orang-orang tertindas, kaum mustadhafin dengan jumlah yang minim, memiliki tugas untuk bangkit melawan para tiran dengan segala peralatan canggihnya dan kekuataan besarnya laksana Imam Husain As. Disebut berita gembira lantaran para syahid menempatkan kita dalam barisan para syahid
Pemimpin Besar Revolusi ini pada hari-hari peperangan Irak-Iran (imposed war) berkata, “Perang Asyura, meski dari sudut pandang waktu merupakan peperangan yang paling singkat (setengah hari) namun dari sisi tensi dan ulurannya merupakan peperangan yang paling panjang melawan angkara murka dan kebatilan. Sedemikian sehingga setiap waktu setiap pengharap berharap bahwa sekiranya mereka berada di Karbala dan berjuang di samping Imam Para Syahid, sehingga mereka meraih kemenangan besar (fauz ‘azhim) kesyahidan (syahadah) (Ya Laitana Kunna Ma’akum fanafuzu fauzan ‘azhima).[4] Medan Karbala dan peperangan Asyura senantiasa ada di setiap zaman.[5]
Dengan ungkapan lain, sebagaimana Imam Husain As adalah pewaris Adam, Ibrahim, Nuh, Musa, Isa (salam Allah Swt semoga tercurah kepada mereka) dan Muhammad Saw, maka setiap orang yang bermental Asyura juga merupakan pewaris garis merah jihad dan kesyahidan. Mereka tidak akan membuat panji Asyura jatuh ke bumi dan demikianlah substansi seorang Syiah dalam dimensi politik sebagaimana Imam Husain As sendiri bersabda, “Falakum fiya Ushwatun” (Padaku terdapat teladan bagi kalian).[6]
Pandangan ini adalah pandangan yang menolak konsep bahwa
Syiah adalah orang yang berjalan mengikuti langkah
Kemanapun mentari bersinar cerah
Syiah adalah orang yang dahaga piala Bala
(Menjadi) Syiah adalah kebangkitan
Syiah adalah refleksi langit
Manifestasi warna-warni pelangi
Dari bibir seruling aku mendengar nadamu
Nada “Inni laa ara al-Maut”[7] mengalun merdu darimu
Syiah adalah kebangkitan dari niyâm[8]
Aku pendekkan ucapan ini Wassalam”[9]
Salah seorang penulis menulis, “Kami yakin bahwa apabila Imam Husain As hidup pada masa kita, maka ia akan menjadikan Quds, Libanon Selatan, dan kebanyakan negeri Islam sebagai Karbala Kedua. Ia akan bersikap sebagaimana sikapnya di hadapan Muawiyah dan Yazid.”[10] [IQuest]
[1]. Namun sebagian dari ucapan di atas diriwayatkan tanpa referensi dari lisan Imam Shadiq As. Silahkan lihat, Payâm-e Âsyurâ, Abbas Azizi, hal. 28. Farhangg-e Asyura, Jawad Muhadditsi, hal. 371.
[2]. Sebagian orang menyebutkan beberapa indikasi yang menjelaskan bahwa kalimat ini bukan merupakan hadis para maksum. Silahkan lihat, Majalle-ye ‘Ulum Hadits, No. 26.
[3]. Shahife-ye Nur, jil 9, hal. 202.
[4]. Ziarah Asyura.
[5]. Shahife-ye Nur, jil 20, hal. 195.
[6]. Târikh Thabari, jil. 4, hal. 304.
[7]. Aku tidak melihat kematian.
[8]. Tidur.
[9]. Bait-bait Matsnawi (berbaris dua), “Syiah Nâme”, Muhammad Ridha Aqasi, Keyhan, 12-6-71 S.
[10]. Al-Intifâdhât al-Syi’iyyah, Hasyim Ma’ruf al-Hasani, hal. 387.