Meski konsensus (ijma) dalam sebagian hal juga mendapat sokongan para juris Syiah, dan dalam Ushul Fikih tergolong sebagai salah satu dari empat dalil standar dalam melakukan inferensi (istinbath) hukum, namun terdapat perbedaan mendasar dalam masalah “suara mayoritas Dewan Garda Konstitusi” dan masalah konsensus; karena berdasarkan konstitusi Republik Islam Iran, para juris dan fakih yang berada di Dewan Garda Konstitusi (Syurâ Negahbân Qânun Asâsi) yang merupakan mujtahid, tidak berada pada tataran mengeluarkan fatwa, melainkan merupakan representasi dari pihak Pemimpin Agung dalam menyelaraskan undang-undang dan aturan-aturan sesuai dengan prinsip-prinsip syariat dan konstitusi yang telah mendapatkan penetapan sebelumnya.
Dalam menjawab pertanyaan ini, perlu kiranya kita perhatikan satu hal, bahwa terdapat perbedaan mendasar atas keluarnya hukum syariat dalam satu masalah universal dan penyelarasan hukum tersebut dengan sebuah obyek tertentu.
Untuk menerangkan masalah ini dan memperoleh sebuah jawaban, kami persilakan Anda untuk memperhatikan beberapa poin berikut ini:
1. Konsensus (ijmâ) dalam sebagian hal juga diterima oleh para juris Syiah; dan atas dalil tersebut, dalam buku-buku Ushul Fikih mazhab Syiah, di samping al-Qur’an, Sunnah dan akal, ijmâ (konsensus) juga diproklamirkan sebagai dalil keempat istinbâth hukum-hukum syariat.
2. Konsensus yang diterima dan menjadi salah satu dalil untuk menetapkan hukum syariat dalam fikih Ahlusunnah—namun tidak diterima oleh para juris Syiah—adalah ijma yang tidak bersandar pada satu pun dalil standar syariat, melainkan bersumber dari analogi, istihsan para alim, yang dengan sendirinya menjadi sumber pengeluaran satu hukum dan fatwa universal.
3. Kebanyakan kaidah-kaidah fikih seperti kaidah “la dharar” dijelaskan dalam bentuk yang sangat universal dan bahkan aturan-aturan yang ada ditinjau dalam bentuk universal.
Sebagai contoh, pasal empat undang-undang terkait dengan kaidah di atas, dinyatakan dengan penjelasan universal, “Tiada seorang pun dapat mengambil haknya dengan merugikan orang lain atau melanggar kepentingan umum.”
4. Berdasarkan pasal empat undang-undang “Seluruh aturan-aturan perdata, pidana, keuangan, perekonomian, administrasi, kebudayaan, militer, politik dan sebagainya harus berdasarkan aturan Islam.” Identifikasi persoalan ini juga diletakkan di pundak Dewan Garda Konstitusi (Syurâ Negahbân Qânun Asâsi).
Dari satu sisi, berdasarkan pasal seratus tujuh undang-undang, “Pemimpin Agung (Rahbar) pilihan Dewan Ahli (Majlis Khubregân) akan terpilih sebagai Pemimpin dan memikul tanggung jawab yang bersumber darinya.”
Adapun terkait dengan bagaimana hubungan dua pasal ini akan dijelaskan pada poin berikutnya.
5. Terdapat perbedaan signifikan diantara fatwa-fatwa mujtahid. Apabila terjadi perbedaan pendapat maka pendapat Wali Fakih yang harus didahulukan. Namun Pemimpin Agung sendiri—dikarenakan volume pekerjaan yang sangat tinggi—tidak dapat menunaikan tugasnya menyelaraskan seluruh peraturan, undang-undang dan lain sebagainya dengan syariat suci dan bahkan dengan fatwa-fatwanya.
Dari sisi lain, dalam proses penyelarasan fatwa-fatwa umum atas obyek-obyek luarannya, tidak disyaratkan bahwa orang tersebut adalah seorang mujtahid yang memikul tanggung jawab ini. Dalam banyak hal, bahkan seorang non-mujtahid juga dapat melaksanakan pekerjaan ini. Namun suatu hal yang wajar apabila para juris adil yang mengetahui perkembangan dan tuntutan zaman serta masalah-masalah keseharian, lebih layak melakukan proses penyelarasan ini; karena itu pada pasal 91 undang-undang dinyatakan bahwa, enam orang dengan persyaratan yang telah disinggung sebelumnya, dipilih oleh Pemimpin Agung, dan pendapat mayoritas merekalah yang menjadi dasar dalam proses penyelarasan hukum-hukum atas obyek-obyeknya.
Dengan demikian kita dapat mengambil kesimpulan bahwa pada hakikatnya, orang-orang yang menjadi anggota Dewan Garda Konstitusi adalah representasi dan wakil Pemimpin Agung dalam menyelaraskan undang-undang dengan syariat. Pada akhirnya pendapat seluruh atau mayoritas anggota Dewan Garda Konstitusi bukan merupakan pendapat final, melainkan pendapat Pemimpin Agunglah yang akan tetap menjadi dasar dan fondasi legalitas undang-undang.
Atas dasar itu, anggota Dewan Garda Konstitusi, meski mereka adalah para mujtahid, namun dalam proses ratifikasi final undang-undang, mereka tidak bekerja sebagai seorang mufti (yang mengeluarkan fatwa) melainkan hanya menyelaraskan dengan kaidah-kaidah syariat dan hukum yang telah ada sebelumnya.
Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh lembaga Dewan Garda Konstitusi kepada Wali Fakih dalam sebagian persoalan, merupakan sebuah dalil atas kenyataan ini.[1]
Dalil lainnya untuk menegaskan pembahasan yang telah dijelaskan adalah, bahwa Pemimpin Agung sendiri, pada akhirnya, dapat menjalankan sebuah pendapat yang tidak sesuai dengan pendapat mayoritas Dewan Garda Revolusi atau mendelegasikannya kepada Dewan Penentu Kebijakan Negara (Majma Taskhish Mashlahat-e Nizhâm).
Dengan memperhatikan beberapa poin yang telah diuraikan di atas, menjadi jelas bahwa dari sudut pandang dasar pemikiran, suara mayoritas Dewan Garda Konstitusi tidak ada hubungannya dengan konsensus (ijmâ). [IQuest]
[1]. Sebagai contoh silakan lihat Shahifeh-ye Imâm, jil. 20, hal. 402, Muassasah Tanzhim wa Nasyr-e Atsar Imam Khomeini Ra, Teheran, 1386, Cetakan Keempat, terkait dengan pertanyaan tentang barang tambang yang ditemukan di sebuah lahan yang dimiliki oleh seseorang.