Untuk mengenal faktor penyimpangan dari jalan lurus meniscayakan pengenalan definisi tentang “shirât” (jalan) dan “mustaqim” (lurus). Secara leksikal, makna shirât (jalan) adalah jalan besar, luas dan jelas. Dan makna “mustaqim” yang diambil dari klausul “qa-wa-ma,” bermakna sesuatu yang tidak menyimpang dan berliku. Dengan demikian, jalan lurus adalah “shirât al-mustaqim” yang berseberangan dengan “jalan berliku-bengkok” adalah sebuah jalan yang terjaga dari penyimpangan dan kesalahan. Ali As bersabda, “al-yamin wa al-syimal mudhillah, wa al-thariq al-wustha hiya al-jaddah.”
Obyek jalan lurus adalah “din qayyim” (agama yang lurus) yang dijelaskan Allah Swt dalam kitab-Nya. Kendati terdapat obyek lainnya terkait jalan lurus ini seperti al-Qur’an dan para Imam Maksum As. Shirât al-Mustaqim tidak lebih dari satu, meski “subuluLlah” (jalan-jalan Allah) berbilang dan banyak serta berada pada jalan-jalan kesesatan. Jalan yang lurus adalah jalan ujung dari jalan-jalan cabang jalan-jalan Allah atau dengan adanya kesatuan yang luas, ia mengayomi jalan-jalan tersebut.
Terdapat banyak faktor, secara terpisah atau senantiasa berbarengan, yang menjadi sebab penyimpangan dan kesesatan manusia dari jalan lurus Ilahi. Di antaranya, kebodohan, keraguan, was-was pemikiran, terjerembab dalam pelbagai syubha, lalai, terpengaruh propaganda buruk atau tarbiyah jelek, dan lingkungan yang tidak sehat, meninggalkan perintah amar makruf dan nahi mungkar di kalangan kaum Muslimin, diamnya ulama di hadapan pelbagai penyimpangan dan kesesatan personal dan sosial, ketidakadilan dan aniaya, berkuasanya para durjana dan kefakiran atas masyarakat, sangat mencintai dunia, tamak dan serakah, berangan-angan panjang dan melalaikan kematian, egoisme, takabur, congkak dan menciptakan peluang berkuasanya setan atas manusia melalui hawa nafsu, was-was yang menguasai akal dan fitrah manusia, berpaling dari para wali Allah, dan bertaklid buta, lemahnya jiwa dan kehendak, tiadanya kesabaran dan peristensi di atas jalan kebenaran, kerasnya hati akibat banyak perbuatan dosa dan akhirnya melupakan kedudukan dan derajat kemanusiaannya sebagai akibat dari melupakan Tuhan dan firman-Nya!
Namun semakin berbilang dan kuatnya faktor-faktor ini, toh ia tidak memiliki kemampuan untuk menafikan kehendak dan kebebasan manusia. Dengan kata lain, manusia sedemikian ia diciptakan sehingga ia, dengan memberdayakan akal, kemampuan manajerial dan pemikiran terhadap pelbagai konsekuensi, dapat terbebas dari pelbagai kebinasaan dan penyimpangan lalu melesak sampai kepada puncak kebahagiaan. Dan semakin hal ini sulit baginya dan beban faktor-faktor penyimpangan semakin bertambah dan ia mampu mengatasinya, maka kenaikan dan pertempuran besar ini akan semakin bernilai baginya. Namun pekerjaan ini, meminjam bahasa orang-orang besar, memerlukan kemauan dan semangat yang tinggi, “Dimana ada kemauan di situ ada jalan.”
Sebelum menjelaskan faktor-faktor yang membuat manusia menyimpang dari jalan lurus, kiranya perlu kita jelaskan makna “shirât” dan “mustaqim,” terlebih dahulu. “Shirât” (jalan) secara leksikal bermakna jalan besar dan terang. Sebagian ahli bahasa memandang bahwa akar kata “shirât” adalah berasal dari “sirât” yang juga bermakna “jalan” karena sifatnya terbuka dan umum, jelas dan terang, seolah-olah menarik dan memajukan pejalannya. Namun sebagian periset redaksi al-Qur’an tidak membenarkan pandangan ini. Mereka menyatakan bahwa shirât berasal dari kata mandiri dan tidak mengalami perubahan.
Redaksi “mustaqim” diambil dari klausul “qa-wa-ma” yang menandaskan pada tuntutan berdiri. Istiqâmat, menuntut berdirinya sesuatu dan menuntut berdiri merupakan kiasan dari nampak dan sampainya pada karya-karya dan manfaat segala sesuatu. Dan karena efek-efek dan manfaat-manfaat berada pada jejeran yang sama, tidak berliku dan tidak tersesatnya pejalan, kondisi sedemikian disebut sebagai kondisi qiyam. Dengan demikian, jalan lurus merupakan sebuah jalan yang tidak berliku, tidak bengkoknya jalan yang dituju dan tercapainya jalan ini.[1]
Oleh karena itu, makna shirât mustaqim adalah “jalan istiqâmah” yang berkebalikan dengan “jalan bengkok”. Jalan bengkok dan berliku adalah jalan yang menyimpang dan tidak lurus. Sementara jalan lurus adalah jalan yang terjaga dari kondisi menyimpang dan tidak lurus.[2]
Sebagaimana Amirul Mukminin As yang merupakan obyek nyata shirât al-mustaqim[3] bersabda, “Jalan bagian kanan dan kiri adalah jalan yang menyesatkan. Dan jalan yang tengah adalah jalan yang sebenarnya.”[4]
Obyek (mishdaq) shirât al-mustaqim dalam pandangan al-Qur’an adalah “din al-qayyim” (agama yang lurus) sebagaimana ditegaskan pada surah al-An’am (6), ayat 161, “Katakanlah, “Sesungguhnya aku telah diberi petunjuk oleh Tuhanku kepada jalan yang lurus, (yaitu) agama yang benar, agama Ibrahim yang lurus; dan Ibrahim itu bukanlah termasuk orang-orang yang musyrik.” Dan agama yang lurus adalah agama yang dengan sendirinya tegak dan menegakkan yang lain. Rahasia mengapa agama yang lurus (din al-qayyim) alias jalan yang lurus (shirât al-mustaqim) ini disebut sebagai “millah Ibrahim” (agama Nabi Ibrahim) dan agama disandarkan kepada millah-nya adalah karena Ibrahim mendemonstrasikan seunggul-unggulnya metode dan jalan. “Hanif” bermakna orang yang bergerak di tengah jalan dan kebalikan “hanif” ini adalah “mutajanif” yaitu orang yang memiliki kecendrungan ke kiri dan kanan.[5]
Tentu saja terdapat banyak penjelasan, pencocokan (tathbiq) dan takwil atas shirât al-mustaqim yang dinukil dari para Imam Maksum As dan para ulama. Penjelasan ini kami alokasikan pada kesempatan lain karena akan menjauhkan kita dari pembahasan utama. Namun kita akan mencukupkan hadis yang dinukil dari sabda Imam Shadiq As yang memaknai ayat “ihdinâ al-shirât al-mustaqim”, dimana beliau menegaskan bahwa shirât al-mustaqim adalah sebuah jalan yang menyampaikan manusia kepada kecintaan dan surga Ilahi dan mencegah manusia untuk tidak mengikuti hawa nafsu dan pendapat pribadi yang akan mengantarkannya kepada kebinasaan.”[6]
Menyebutkan poin berikut ini akan sangat bermanfaat bahwa “shirât al-mustaqim” tidak lebih dari satu dan bilangannya tidak banyak. Karena disandarkan kepada Tuhan dan segala sesuatu selain shirât al-mustaqim adalah jalan-jalan sesat “subul al-ghayy”. Namun “subuluLlah” yang banyak dan berbilang adalah kebalikan dari “subul inhiraf” (jalan-jalan kesesatan). Antara hubungan “subulLah” dan “shirât al-mustaqim” ini tidak terpisah atau subul merupakan jalan-jalan cabang yang tersambung dengan shirât (jalan utama), atau shirât al-mustaqim dengan kesatuan luas dan kelapangan, mengayomi jalan-jalan cabang ini.[7]
Allah Swt dalam al-Qur’an berfirman, “Dan Allah mengeluarkanmu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan, dan hati, agar kamu bersyukur.” (Qs. Al-Nahl [16]:78) dan juga berfirman, “Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus di antara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka al-Kitab dan hikmah. Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan utusan) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata.” (Qs. Ali Imran [3]:164); “Ya Tuhan kami, utuslah untuk mereka seorang rasul dari kalangan mereka yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat-Mu, mengajarkan al-Kitab (Al-Qur’an) dan hikmah, dan menyucikan mereka. Sesungguhnya Engkau-lah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”Sebagaimana (Kami telah menyempurnakan nikmat Kami kepadamu dengan perubahan arah kiblat itu), Kami telah mengutus kepadamu seorang rasul dari kalangan kamu (sendiri) yang membacakan ayat-ayat Kami kepadamu, menyucikanmu, mengajarkan kepadamu al-Kitab dan hikmah, dan mengajarkan kepadamu apa yang belum kamu ketahui.” (Al-Baqarah [2]:129 & 151); Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang rasul dari golongan mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, menyucikan mereka, dan mengajarkan kepada mereka kitab (Al-Qur’an) dan hikmah, meskipun mereka sebelum itu benar-benar terjerumus dalam jurang kesesatan yang nyata.” (Al-Jumua’h [62]:2)
Dalam riwayat Imam Musa Kazhim As disebutkan, “Wahai Hisyam! Tuhan memiliki dua hujjah atas dua manusia; satu hujjah lahir dan satunya hujjah batin; hujjah lahir adalah para nabi, rasul, dan para imam. Dan hujjah batin adalah akal.”[8] Dengan adanya petunjuk batin, melalui jalan akal dan fitrah, melalui jalan petunjuk tasyri’i, pengutusan rasul dan pewahyuan kitab, tidak tersisa dalih dan alasan apabila manusia memilih jalan kesesatan. Dengan adanya kedua pemberi petunjuk ini, maka hujjah bagi mereka tuntas dan tidak tersisa baginya untuk mencari-cari alasan dan dalih.
Imam dalam melanjutkan penjelasannya, sebab-sebab penyimpangan dan kesesatan serta rahasia rusaknya agama dan dunia manusia, bersabda, “Wahai Hisyam! Orang berakal (aqil) yang tidak mencegahnya dari bersyukur kepada Allah atas nikmat dan anugerah halal yang diterimanya. Dan tidak kehilangan kesabaran tatkala didera musibah dan malapetaka! Wahai Hisyam! Barang siapa yang menguasai tiga perkara atas tiga perkara lainnya seolah-olah hawa nafsunya telah mengalahkan akalnya:
1. Yang meruyak cahaya pikirannya dengan angan-angan panjang.
2. Yang menghapus hikmah dan berpikir panjang dengan berlebihan dalam bertutur-kata (banyak bicara).
3. Yang mematikan pendaran pelajaran dari sejarah orang lain dengan mengikuti hawa nafsunya. Orang ini seolah-olah membantu hawa nafsu untuk membinasakan akalnya. Dan orang yang membinasakan akalnya maka sesungguhnya ia telah menghancurkan agama dan dunianya; karena sepanjang akal tidak sehat maka ia tidak akan menjalankan perintah agama dan tidak akan mencapai kebaikan dunia dan akhiratnya.”[9]
Klasifikasi sebab-sebab penyimpangan
Faktor-faktor penyimpangan juga terbagi menjadi faktor-faktor eksternal dan internal. Dengan penegasan terhadap pengaruh dan intensitas faktor yang terpenting; artinya sepanjang faktor internal dan ruang internal tidak tersedia, maka faktor eksternal tidak akan memberikan pengaruh. Faktor-faktor eksternal mengikuti apa yang menjadi faktor-faktor internal. Dengan ungkapan lain, yang menjadi penyebab kesesatan dan penyimpangan orang lain karena dia telah terjerembab dalam kesesatan dan penyimpangan. Dan dari dalam telah terjebak dengan kerusakan jiwa, terlepas apakah ia mengetahui kesesatan ini atau ia memandang hal ini sebagai kebahagiaannya dan menyangka bahwa (orang-orang yang berada di jalan lurus) sebagai orang-orang yang tersesat. (terjangkiti penyakit jahil ganda, jahil murakkab) Sebagaimana Allah Swt berfirman, “Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhan mereka di pagi dan senja hari dengan mengharap keridaan-Nya, janganlah kedua matamu berpaling dari mereka karena mengharapkan perhiasan kehidupan dunia ini, dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingat Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan urusannya senantiasa melewati batas. Dan katakanlah, “Kebenaran itu datang dari Tuhanmu; maka barang siapa yang ingin (beriman), hendaklah ia beriman, dan barang siapa yang ingin (kafir), biarlah ia kafir.” Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi orang-orang zalim itu neraka, yang gejolaknya mengepung mereka. Dan jika mereka meminta minum, niscaya mereka akan diberi minum dengan air seperti besi mendidih yang menghanguskan wajah. Alangkah buruknya minuman itu dan alangkah jeleknya tempat istirahat itu.” (Qs. Al-Kahf [18]:28-29)
Mengikuti dan mentaati orang lain, terpengaruh faktor-faktor eksternal dan usaha untuk menyesatkan orang lain muncul dari penyimpangan internal dan mengikuti hawa nafsu dan panjang angan-angan serta bersikap ekstrem.
Orang-orang mulia, Nabi Saw dan kaum Mukminin menyeru untuk mentaati titah dan perintah Allah sebagai ganti mengikuti orang-orang tersesat. Kemudian, pencirian azab dan pahala, hajaran dan ganjaran, perasaan menarik manfaat dan menolak kerugian mengajak obyek bicara (kaum Mukminin) untuk memilih jalan lurus dan benar. Dengan demikian, menjadi jelas bahwa sepanjang faktor internal tidak bergerak, maka manusia tidak akan terpengaruh oleh faktor eksternal. Apabila akal dan fitrah memiliki cahaya dan ruang hidayah tersedia, maka jiwa akan terjaga dan cenderung kepada kebenaran (hak) dan mentaati Allah, Rasul dan Wali-Nya. Namun apabila yang dominan adalah hasrat, syahwat, keserakahan dan dunia (semata), dengan mengikuti internal dirinya, membantah dan membangkang perintah Allah serta menuruti langkah-langkah dan bisikan setan. Akan tetapi tatkala ia terjaga bahwa hal ini tidak memberikan keuntungan baginya; karena pada hari Kiamat ia berseru memohon, “Ya Tuhan kami, tunjukkanlah kepada kami dua jenis orang yang telah menyesatkan kami, (yaitu) sebagian dari jin dan manusia, agar kami letakkan keduanya di bawah telapak kaki kami supaya kedua jenis itu menjadi orang-orang yang terhina.” (Qs. Fusshilat [41]:29) Sementara pada waktu itu ia mendengar jawaban dari setan, “Dan setan berkata tatkala perkara (hisab) telah diselesaikan, “Sesungguhnya Allah telah menjanjikan kepadamu janji yang benar, dan aku pun telah menjanjikan kepadamu, tetapi aku menyalahinya. Sekali-kali tidak ada kekuasaan bagiku terhadapmu, melainkan (sekadar) aku menyerumu, lalu kamu mematuhi seruanku. Oleh sebab itu janganlah kamu mencercaku, akan tetapi cercalah dirimu sendiri. Aku sekali-kali tidak dapat menolongmu dan kamu pun sekali-kali tidak dapat menolongku. Sesungguhnya aku tidak membenarkan perbuatanmu mempersekutukan aku (dengan Allah) sejak dahulu.” Sesungguhnya orang-orang yang zalim itu mendapat siksaan yang pedih.” (Qs. Al-Ibrahim [14]:22) Dan para pembesar mereka menjawab “Seandainya dulu Allah memberi petunjuk kepada kami, niscaya kami dapat memberi petunjuk kepadamu. Sama saja bagi kita, apakah kita mengeluh ataukah bersabar. Sekali-kali kita tidak mempunyai tempat untuk melarikan diri.” (Qs. Al-Ibrahim [14]:21)
Untuk mengilustrasikan sebab-sebab penyimpangan manusia dapat diuraikan secara runut di bawah ini, lantaran masing-masing faktor ini merupakan pembuka jalan faktor berikutnya. Atau dengan kata lain, pengaruh faktor berikutnya merupakan hasil dari pengaruh faktor sebelumnya:
1. Mewarisi sifat-sifat tercela dari ayah dan ibu serta terpengaruh tarbiyah buruk, lingkungan yang tidak sehat dan propaganda buruk.
2. Kejahilan, keragu-raguan, kelalaian dan was-was pikiran dan terjerembab pada pelbagai syubha dan plot.
3. Meninggalkan amar makruf dan nahi mungkar (atau melakukan hal sebaliknya, mengerjakan yang mungkar dan melarang yang makruf) di kalangan kaum Muslimin dan diamnya para ulama di hadapan pelbagai penyimpangan personal, sosial, dan pemerintahan Islam.
4. Penyimpangan institusi penguasa dan para ulama yang berpengaruh. Menyebarnya kefakiran, kezaliman, ketidakadilan, dan penindasan di tengah masyarakat;[10]
5. Tersedot hati dan pikirannya kepada dunia disertai dengan hasrat yang membumbung, dan angan-angan panjang, lalai mengingat kematian dan pengawasan Tuhan di dunia dan perhitungan baginya di akhirat (lemahnya iman dan tertipu oleh pesona dunia).
6. Egosentris, congkak, angkuh dan keras kepala, membangkang Tuhan, Rasul dan walinya.
7. Penetrasi setan pada lintasan-lintasan pencerapan manusia dan penguasaannya atas akal dan fitrah, perasaan dan afeksinya;
8. Lemahnya jiwa dan kehendak;
9. Tidak bersabar dan ajeg (istiqamah) dalam menunaikan segala yang wajib dan meninggalkan yang haram;
10. Kerasnya hati akibat dosa dan mengkonsumsi harta haram;
11. Melupakan kedudukan, derajat dan makam insaniah (baca: khalifah) dalam sistem penciptaan;
12. Tiadanya semangat dan kepuasaan terhadap kenikmatan dunia dan terikatnya hati pada syahwat dan angan-angan hewani dan melampiaskannya tanpa batas;
13. Kejatuhan secara perlahan dan sibuk dengan foya-foya dan pelesiran dan menggunakan segala nikmat Ilahi tanpa batas (istidraj);
Manusia hingga akhir hayatnya memiliki kemampuan untuk memperbaiki jiwa dan menyingkirkan pelbagai faktor ini. Apabila semasa mudanya ia memiliki tekad untuk memperbaiki jiwanya maka hal itu lebih baik ketimbang masa tuanya; karena dalam lintasan perjalanan waktu segala perbuatan dan kebiasaan buruk akan semakin membekas dan mengakar pada pribadi manusia sehingga untuk mencabut akar keburukan tersebut ia akan menghadapi pelbagai kesulitan. Karena dengan bertambahnya faktor-faktor dan melewati pelbagai derakat (tingkatan), keterpurukan, dan terbebas dari pelbagai sifat tercela tersebut akan semakin susah, sedemikian sehingga boleh jadi ia tersungkur pada langkah-langkah perdana, dan karam ada lautan keputusaaan, namun pada detik-detik ini, apabila jiwanya masih menyimpan energi, seruan wahyu memberikan kepadanya kehangatan dan bara dan memotivasinya untuk melanjutkan perjalanan, “Katakanlah, “Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan kembalilah kamu kepada Tuhan-mu, dan berserah dirilah kepada-Nya sebelum datang azab kepadamu, kemudian kamu tidak dapat ditolong (lagi). Dan ikutilah sebaik-baik apa yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhan-mu sebelum datang azab kepadamu dengan tiba-tiba, sedang kamu tidak menyadarinya.” (Semua perintah bertujuan) supaya jangan ada orang yang mengatakan, “Amat besar penyesalanku atas kelalaianku dalam (menunaikan kewajiban) terhadap Allah, sedang aku sesungguhnya termasuk orang-orang yang memperolok-olokkan (agama Allah).” Atau supaya jangan ada yang berkata, “Kalau sekiranya Allah memberi petunjuk kepadaku, tentulah aku termasuk orang-orang yang bertakwa.” Atau supaya jangan ada yang berkata ketika ia melihat azab, “Kalau sekiranya aku dapat kembali (ke dunia), niscaya aku akan termasuk orang-orang berbuat baik.” (Qs. Al-Zumar [39]:53-58)
Sebagai hasilnya, faktor-faktor penyimpangan baik ia bersifat internal berkonfrontasi dengan petunjuk ekstrenal-internal. Konfrontasi hak dan batil sekali-kali tidak akan pernah usai. Terkalahkannya faktor-faktor ini atas petunjuk eksternal atau internal, termasuk dalam proses internal atau proses eksternal, dalam proses eksternal bertahan hingga akhir atau bersambung dengan proses internal, dengan demikian, meninggalkan atau bertahan padanya, seluruh dan seluruhnya bergantung pada tekad, kehendak, pilihan, kebebasan dan orientasi manusia pada pelbagai konsekuensi perbuatannya.
Akan tetapi dengan memperhatikan hubungan niscaya antara sebab dan akibat maka harus kita ketahui bahwa sepanjang penyimpangan belum terjadi, maka pencegahannya dan tidak berpengaruhnya penyimpanyan tersebut merupakan pekerjaan mudah. Akan tetapi, terjadi penyimpangan, maka tereralisirnya pengaruh penyimpangan tersebut merupakan suatu hal yang niscaya. Dan minimal hingga beberapa waktu manusia akan kehilangan taufik dan untuk melenyapkan pengaruh penyimpangan tersebut boleh jadi memerlukan waktu panjang dan sangat melelahkan. Demikian juga, apabila penyimpangan ini berlanjut hingga kematian menjemput, maka ia tidak dapat menghindar dari akibat dan konsekuensi dari perbuatan tersebut. Oleh itu, selagi ada waktu kita harus mawas diri dan pendekatan-pendekatan iman-amal mari kita obati pelbagai penyimpangan dan menghilanghkan efek duniawi dan ukhrawi penyimpangan tersebut.
Berangkat dari sini, “Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu; tiadalah orang yang sesat itu akan memberi mudarat kepadamu apabila kamu telah mendapat petunjuk. Hanya kepada Allah kamu semua kembali, lalu Dia akan menerangkan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.” (Qs. Al-Maidah [5]:105)
Bersikukuhlah pada agama hak Ilahi dan untuk meraih sukses di jalan ini dicapai melalui percaya diri, tawakkal kepada Tuhan, mencari pertolongan dari-Nya, bertawassul kepada para Imam Maksum As! Karena itu, singkirkan sikap menunda-nunda, mempermudah dan toleran dan masuklah ke
Untuk memulai pekerjaan ini mari kita cahayai diri kita dengan sabda agung Amirul Mukminin As:
“Dan ketahuilah bahwa Anda harus melewati titian di mana langkah-langkah goyah, kaki mudah terpeleset, dan ada bahaya mengancam pada setiap langkah. Bertakwaiah kepada Allah sebagai takwa orang bijaksana yang pikiran tentang (dunia akhirat) telah mengalihkannya dari hal-hal lain, takwa (kepada Allah) telah menimpa tubuhnya dengan nyeri dan kesusahan, keterlibatannya dalam salat malam telah mengubah bahkan tidurnya yang singkat menjadi jaga, harapan (akan ganjaran abadi) membuatnya terus haus di siang hari, zuhud telah memotong hawa nafsunya, dan mengingat Allah selalu menggerakkan lidahnya. la menanggung takut di hadapan bahaya. la mengelakkan jalan-jalan yang tak rata dan menyukai jalan-jalan yang terang. la menempuh jalan terdekat untuk mencapai tujuannya, hawa nafsu tidak menggeser pemikirannya dan keanekaragaman tidak membutakan matanya. la menikmati tidur nyenyak dan menjalani harinya dengan bahagia karena kebahagiaan dari berita gembira dan kesenangan nikmat (yang abadi). la melewati lorong hidup dunia ini secara terpuji. la sampai ke dunia akhirat dengan kebajikan. la bergegas (ke arah kebajikan) karena takut (akan kejahatan). la bergerak cepat di siang hari (kehidupan di dunia ini). la mengabdikan dirinya dalam mencari (kebaikan abadi), ia lari dari kejahatan. Sepanjang hari ini ia ingat akan hari esok, dan ia terus melihat ke masa depan. Sesungguhnya surga adalah ganjaran dan hasil usaha yang terbaik, sedang neraka adalah hukuman dan penderitaan yang pantas. Allah adalah Pembalas dan Penolong yang terbaik, dan Al-Qur'an adalah hujah dan penentang yang terbaik.”[11][]
Sumber telaah dan referensi:
1. Imam Khomeini, Âdab al-Shalât.
2. Abdullah Jawadi Amuli, Tafsir Tasnim, jil. 1.
3. Abdullah Jawadi Amuli, Shurat wa Shirât-e Insân dar Qur’ân.
4. Abdullah Jawadi Amuli, Fitrat dar Qur’ân.
5. Abdullah Jawadi Amuli, Mabâdi-ye Akhlâk dar Qur’ân.
6. Abdullah Jawadi Amuli, Marâhil-e Akhlâk dar Qur’ân.
7. Muhammad Husain Thabathabai, Tafsir al-Mizân, jil. 1.
8. Faidh Kasyani, Tafsir Shâfi, jil. 1.
9. Al-Qur’an Al-Karim.
10. Muhammad Taqi Misbah Yazdi, Akhlâq dar Qur’ân.
11. Muhammad Taqi Misbah Yazdi, Khudsyenâsi barâye Khudsâzi.
12. Nahj al-Balâgha.
[1]. Abdullah Jawadi Amuli, Tafsir Tasnim, jil. 1, hal. 457-458.
[2]. Ibid.
[3]. Dalam kitab Man Lâ Yahdhur al-Faqih dan Tafsir Ayyâsyi dinukil dari Imam Shadiq As yang bersabda: “al-Shirat al-Mustaqim Amirul Mukminin ‘Ali As; Silahkan lihat Tafsir al-Mizan, jil. 1, hal. 41; Tafsir Shafi, jil. 1, terkait dengan ayat 6 surah al-Fatihah.
[4]. Nahj al-Balâghah, khutbah 16
[5]. Abdullah Jawadi Amuli, Op Cit, jil. 1, hal. 466; Imam Khomeini Ra, Âdâb al-Shalat, hal. 287.
[6]. Allamah Thaba-thabai, Tafsir al-Mizân, jil. 1, hal. 38; Imam Khomeini, Op Cit, , hal. 286-294; Faidh Kasyani, Tafsir Shâfi, jil. 1, terkait ayat 6 surah al-Fatihah.
[7]. Abdullah Jawadi Amuli, Op Cit, jil. 1, hal. 466-468.
[8]. Allamah Harrani, Tuhaf al-‘Uqul, terjemahan Ahmad Jannati, hal. 450-451 dengan sedikit perubahan pada terjemahan.
[9]. Ibid.
[10]. Silahkan lihat, indeks Menyebarnya kerusakan pada pelbagai pemerintahan Islam.
[11]. Nahj al-Balaghah, khutbah 83,; ibid, Hikmah ke-31.