Dalam pandangan al-Qur’an, hanya orang-orang mukhlash yang tidak dapat didominasi oleh setan. Mukhlashin (orang-orang yang diikhlaskan) adalah orang-orang yang telah sampai derajat dari beberapa makam yang tidak mampu ditembus oleh setan-setan. Untuk memerangi setan terdapat beberapa media yang harus dan mesti ada yang dengan perantara media-media ini manusia dapat memeranginya dan keluar sebagai pemenang. Kami akan menyebutkan sebagian dari media tersebut sebagai contoh berikut ini:
1. Iman: Al-Qur’an memandang iman sebagai faktor pertama dan utama penghalang dominasi setan atas manusia.
2. Tawakkal: Faktor lain kemenangan dan dominasi atas setan dan balatentaranya adalah tawakkal (berserah diri) kepada Allah Swt.
3. Isti’âdzah: Isti’âdzah bermakna mencari perlindungan ke haribaan Tuhan.
4. Dzikrullâh: Mengingat Allah Swt akan memberikan visi dan kejelian kepada manusia dan menjauhkannya dari sifat was-was serta menutup jalan penetrasi setan.
5. Takwa: Meraih takwa dan penguatannya akan membangun pandangan hati supaya lebih tajam dan menjaga manusia dari perangkap setan.
Dalam pandangan al-Qur’an, hanya orang-orang mukhlash yang tidak dapat didominasi oleh setan. Hal ini dapat kita jumpai dalam al-Qur’an tatkala setan bersumpah untuk menyesatkan seluruh hamba kecuali mukhlashin (orang-orang yang diikhlaskan) dengan pernyataannya, “Iblis berkata: Demi keagungan-Mu sesungguhnya aku akan sesatkan mereka seluruhnya kecuali hamba-hamba-Mu yang mukhlash.” (Qs. Shad [38]:82-83) atau ketika Allah Swt berfirman, “Bahwa sesungguhnya engkau tidak akan dapat menguasai hamba-hamba-Ku, kecuali orang-orang sesat yang mengikutmu.” (Qs. Al-Hijr [15]:42)
Sesuai dengan dua ayat al-Qur’an ini kelompok mukhlashin[1] berada di luar batasan dominasi setan. Hal ini merupakan sebuah hakikat yang juga diakui oleh setan sendiri dan juga ditegaskan oleh Allah Swt dan berfirman, “Inna ‘ibadiy laisa laka ‘alaihim sulthan” Sekali-kali engkau tidak akan dapat berkuasa atas mendominasi para hamba-Ku.
Cara-cara Melawan dan Memerangi Setan
Mukhlashin (orang-orang yang diikhlaskan) adalah orang-orang yang telah sampai derajat dari beberapa makam yang tidak mampu ditembus oleh setan-setan. Untuk memerangi setan terdapat beberapa media yang harus dan mesti ada yang dengan perantara media-media ini manusia dapat memeranginya dan keluar sebagai pemenang. Pada kesempatan ini kami akan menyebutkan sebagian dari media tersebut sebagai contoh berikut ini:
1. Iman: Al-Qur’an memandang iman sebagai faktor pertama dan utama penghalang dominasi setan atas manusia, “Innahu laisa lahu sulthân ‘alalladzina âmanû....” (Sesungguhnya setan tidak memiliki dominasi atas orang-orang beriman, Qs. Al-Nahl [16]:99)
2. Tawakkal: Faktor lain kemenangan dan dominasi atas setan dan balatentaranya adalah tawakkal (berserah diri) kepada Allah Swt. “Innahu laisa lahu sulthân ‘alalladzina âmanû.. wa ‘ala Rabbihim yatawakkalûn.” (Sesungguhnya setan tidak memiliki dominasi atas orang-orang beriman dan atas orang-orang yang berserah diri, Qs. Al-Nahl [16]:99)
Karena itu, iman kepada Allah Swt dan ayat-ayat-Nya akan menjadi benteng penghalang dominasi dan supremasi setan atas manusia. Mereka yang menjadikan iman sebagai bentengnya dan berserah diri kepada Allah Swt sekali-kali tidak akan didominasi oleh setan. Dominasi ini berlaku hanya bagi mereka yang menerima supremasi setan dan menyekutukan Allah Swt, “Innama sulthanuhu ‘alalladzina yatawallauna walladzina hum bihi musyrikun.” (Sesungguhnya kekuasaan setan hanyalah atas orang-orang yang mengambilnya jadi pemimpin dan atas orang-orang yang mempersekutukanya dengan Allah, Qs. Al-Nahl [16]:100)
3. Isti’âdzah: Isti’âdzah bermakna mencari perlindungan ke haribaan Tuhan. Mencari perlindungan ini, terkadang bersifat takwini dan terkadang bercorak tasyri’i. Kita harus berlindung kepada tempat perlindungan takwini Ilahi untuk menolak pelbagai keburukan natural. Tempat perlindungan takwini ini adalah sekumpulan aturan dan kebiasaan Ilahi dalam bentuk sebab-sebab dan faktor-faktor natural yang berlaku di alam semesta. Untuk berlindung dari pelbagai keburukan jiwa sebagaimana yang dinyatakan dalam surah al-Nas kita harus memanfaatkan tempat perlindungan tasyri’i Ilahi. Tempat perlindungan tasyri’i Ilahi ini berupa ajaran-ajaran Ilahi yang menjadi fondasi teologis dan agenda-agenda edukatif dalam syariat Islam, “Wa imma yanzaghannaka min al-syaithan nazghun fastaidz billah innahu sami’un alim.” (Dan jika kamu ditimpa sesuatu godaan setan, maka berlindunglah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui, Qs. Al-A’raf [17]:200); (Dan jika godaan setan datang mengganggumu, maka mohonlah perlindungan kepada Allah. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui, Qs. Fushshilat [41]:36)
Pada dasarnya, konsep tauhid menuntut manusia untuk meminta pertolongan kepada Allah Swt untuk meraih manfaat dan kebaikan. Memulai segala pekerjaannya dengan membaca “basmalah” dan untuk menjauhkan kerugian dan keburukan juga meminta pertolongan kepada-Nya dan memulai segala perbuatannya dengan membaca “‘audzubillah” karena sesuai dengan pandangan tauhid tiada yang memberikan pengaruh di alam semesta kecuali Allah Swt.
4. Dzikrullah: Mengingat Allah Swt akan memberikan visi dan kejelian kepada manusia dan menjauhkannya dari sifat was-was serta menutup jalan penetrasi setan. Allah Swt berfirman, “Tadzakkaru faidzahum mubshirun..” (Sesungguhnya bila orang-orang yang bertakwa ditimpa waswas dari setan, mereka ingat kepada Allah, maka ketika itu juga mereka melihat kesalahan-kesalahannya, Qs. Al-A’raf [7]:201) Imam Shadiq As juga bersabda, “Setan tidak memiliki kekuasan untuk mewas-wasi manusia kecuali manusia lalai dari mengingat Allah Swt.”[2] Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib As memandang bahwa mengingat Allah Swt akan menolak setan.”[3]
5. Takwa: Meraih takwa dan penguatannya, akan membangun pandangan hati supaya lebih tajam dalam menolak was-was setan dan menjaga manusia dari perangkap setan. Allah Swt berfirman, “Innalladzinattaqu idza massahum thaifun min al-syaithan tadzakkaru faidza hum mubshirun.” (Sesungguhnya bila orang-orang yang bertakwa ditimpa waswas dari setan, mereka ingat kepada Allah, maka ketika itu juga mereka melihat kesalahan-kesalahannya, Qs. Al-A’raf [7]:201) Thaif bermakna orang-orang yang melakukan tawaf. Terkadang was-was setan laksana orang-orang yang senantiasa melaksanakan tawaf di sekeliling ruh dan pikiran manusia untuk mencari jalan masuk ke dalam ruh dan pikiran manusia. Setan tidak dapat mempengaruhi sebuah ruh yang telah dikuatkan dengan iman dan ketakwaan. Namun ia senantiasa menantikan kesempatan emas untuk menyusup ke dalam jiwa manusia. Setan membangkitkan sebagian hawa nafsu seperti syahwat, marah, hasud dan balas dendam sehingga ia menyusup pada saat yang tepat dan menyesatkan manusia.
Cara-cara lain untuk memerangi setan adalah mengingat Ahlulbait As; berbuat baik kepada Ahlulbait As; berusaha dalam barisan orang-orang yang tidak dapat ditembus setan dan sebagainya.
Kesimpulan
Keyakinan kepada Allah Swt merupakan tameng paling berpengaruh bagi manusia sehingga dapat menjauhkan manusia dari segala keburukan dan maksiat. Demikian juga perhatian terhadap keagungan dan kebijaksanaan Tuhan, mengembalikan segala urusan kepada Allah Swt akan menguatkan ruh penghambaan dalam melawan dan memerangi setan. Di samping itu, penguatan iman, tawakkal, ketakwaan pada diri dan senantiasa mengingat Allah Swt serta melakukan pelbagai perbuatan yang menyiksa dan menolak setan dan pada akhirnya melakukan isti’âdzah hakiki tatkala keburukan dan kejahatan setan datang menyerang, merupakan langkah-langkah yang mujarab untuk menghindari dan mengantisipasi penetrasinya. Disebutkan bahwa kesemua ini tidak akan dapat tercapai tanpa berperantara (tawassul) kepada Ahlulbait As dan adanya perhatian Allah Swt kepada manusia. [IQuest]
Beberapa Indeks Terkait:
Jalan-jalan Penetrasi Setan dalam Diri Manusia, Pertanyaan No. 5319 (Site: 5551).
Tujuan-tujuan dan Agenda-agenda Setan, Pertanyaan No. 6025 (Site: 6194).
[1]. Mukhlash adalah seseorang yang telah mengosongkan ruhnya dari pelbagai noda dan urusan duniawi dan menyucikan hatinya dari selain Tuhan kemudian memenuhinya dengan kecintaan kepada Allah Swt.
[2]. Mustadrak al-Wasâil, Muhaddits Nuri, jil. 1, hal. 178, Muassasah Ali al-Bait, Qum, 1408 H. Bihâr al-Anwâr, Allamah Majlisi, jil. 72, hal. 124, Muassasah al-Wafa, Beirut, 1404 H.
[3]. Ghurar al-Hikam wa Durar al-Kilam, Abdul Wahid Amadi Tamimi, hal. 188, Maktab al-A’lam al-Islami, Qum, 1366 S.