Terkait dengan masalah tidak menikahnya Nabi Isa As dalam ajaran-ajaran agama telah disinggung hal yang menyebutkan yang bahwa Nabi Isa menentang pernikahan, namun dengan memperhatikan anjuran-anjuran yang disebutkan dalam al-Qur’an dan beberapa riwayat, demikian juga telaah atas kehidupan Nabi Isa As, kita jumpai bahwa beliau tidak menentang inti pernikahan, melainkan alasan Nabi Isa tidak menikah karena kondisi-kondisi khusus kehidupan personal dan lingkungan sosial tempat Nabi Isa As hidup.
Salah satu tradisi baik dan berkembang manusia semenjak dahulu kala adalah pernikahan. Boleh jadi tiada satu pun fenomena melebihi tradisi pernikahan yang memberikan kehidupan ini; karena di samping kandungannya sejalan dengan fitrah manusia dan juga menyebabkan perkembangan serta pembinaan benar fakultas natural manusia, penyaluran libido dan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan pokoknya.
Al-Qur’an dalam banyak hal menyinggung tentang pernikahan dan mengabarkan tentang tujuan dan hasil pernikahan. Adanya pemikiran ekstrem yang menyatakan bahwa pernikahan adalah penghalang kemajuan spiritual dan moral manusia tertolak dan bertentangan dengan tradisi para nabi. Al-Qur’an dalam hal ini menyatakan, “Dan sesungguhnya Kami telah mengutus para rasul sebelum kamu dan Kami memberikan kepada mereka istri-istri dan keturunan.” (Qs. Al-Ra’ad [13]:38)[1]
Akan tetapi harus diperhatikan masalah ini bahwa hukum-hukum yang disyariatkan Tuhan kepada para hamba terdiri dari dua jenis. Pertama, hukum-hukum yang tidak mengalami perubahan, seluruh manusia memiliki taklif untuk menjalankan hukum-hukum tersebut tanpa kecuali; seperti menjalankan ibadah-ibadah wajib dan jauh dari keharaman-keharaman dan menjauhi perbuatan-perbuatan haram. Kedua, bagian lain dari amalan-amalan yang dianjurkan Tuhan adalah seperti sebagian amalan-amalan mustahab,[2] yang bergantung pada situasi personal dan sosial masing-masing setiap orang karena itu amalan-amalan ini dapat berubah.
Dalam bagian hukum-hukum ini, setiap orang dapat berhadapan dengan hukum-hukum tersebut berdasarkan kemaslahatan personal atau sosialnya. Sebagai contoh, meski pernikahan merupakan perbuatan terpuji dan telah mendapatkan penegasan dalam beberapa riwayat, namun masalah ini juga berbeda pada setiap orang. Apabila seseorang dengan tidak menikah ia akan jatuh pada perbuatan haram atau terjangkiti penyakit was-was yang berbahaya dan bertempramen panas, sedemikian sehingga apabila ia tidak menikah maka ia tidak akan dapat menjalankan aktivitas kesehariannya, tentu saja masalah pernikahan tidak hanya pantas bahkan menjadi wajib baginya. Dan kemungkinan ini tidak jauh, riwayat-riwayat yang menegaskan pernikahan, menyangkut orang-orang seperti ini.
Namun bagi orang yang apabila menikah maka tugas-tugas penting lainnya seperti menuntut ilmu, menyampaikan agama dan lain sebagainya akan terbengkalai, maka ia dapat melupakan pernikahan.
Nah sekarang mari kita mengkaji beberapa alasan mengapa Nabi Isa As tidak menikah:
- Menjauh dari sifat cinta dunia yang mendominasi pikiran masyarakat
Terdapat beberapa dalil dalam literatur-literatur riwayat yang menjelaskan alasan mengapa Nabi Isa tidak menikah, di antaranya:
- Imam Shadiq As bersabda, “Nabi Isa As ditanya ihwal mengapa Anda tidak menikah?” Nabi Isa As menjawab, “Menikah untuk apa?” Orang-orang berkata, “Supaya Anda kelak memiliki keturunan.” Nabi Isa bertanya lagi, “Keturunan buat apa? Kalau hidup akan menyebabkan kesengsaraan dan kalau meninggal akan menimbulkan kesedihan dan kegundahan.”[3]
- Nabi Isa berkata kepada para sahabatnya, “Makananku tumbuh-tumbuhan dan minumanku dari air sungai dan mata air yang aku minum dengan tanganku. Lampu penerangku adalah cahaya bulan, karpetku adalah bumi dan bebatuan menjadi bantalku. Pakaianku dari rambut-rambut hewan. Saya tidak memiliki anak yang kemudian mati. Aku tidak memiliki istri yang harus bersedih. Aku tidak memiliki rumah yang kemudian rusak. Aku tidak memiliki harta yang harus dihabisi. Karena itu aku adalah manusia yang paling tidak membutuhkan.”[4]
Berdasarkan apa yang telah diuraikan di atas, riwayat-riwayat ini tentu tidak menyoroti tentang inti pernikahan; karena berdasarkan apa yang dinyatakan dalam surah al-Ra’ad ayat 38, “Dan Kami memberikan kepada mereka istri-istri dan keturunan.” Karena itu, tuturan dan sabda Nabi Isa harus dijelaskan berdasarkan orang-orang yang mendengarkannya dan situasi-kondisi yang berkembang pada masa itu.
Para obyek bicara Nabi Isa As adalah orang-orang yang sangat ekstrem mencintai dunia dan sangat susah bagi mereka meninggalkan dunia. Sabda-sabda Nabi Isa As juga tengah menyoroti adanya kemampuan seperti ini pada diri manusia, bukan bahwa Nabi Isa ingin mengatakan bahwa inti pernikahan dan memiliki keturunan merupakan perbuatan tidak terpuji.
Menariknya bahwa al-Qur’an juga dengan segala penegasan atas pernikahan, menyatakan bahwa istri, anak-anak dan harta, dari beberapa sisi, adalah fitnah. Al-Qur’an menyatakan, “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya di antara istri-istri dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah terhadap mereka. Jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Sesungguhnya harta dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu). Hanya di sisi Allah-lah pahala yang besar.” (Qs. Al-Taghabun [64]:14-15) Ayat-ayat ini tentu saja tidak bermakna adanya penentangan terhadap pernikahan dan memiliki anak-anak dan juga memperoleh harta dan kekayaaan, melainkan yang dicela adalah ketergantungan dan keterikatan hati terhadapnya.
- Usia pendek dan Kesibukan Safari Tabligh
Di antara sebab mengapa Nabi Isa disebut sebagai Masih adalah karena beliau senang bepergian (sayyâh). Akar kata sayyâh berasal dari siyâhat yang bermakna berkeliling dan bersafari di bumi untuk beribadah dan memutuskan diri dari khalayak.[5] Karena itu disebutkan bahwa Nabi Isa melakukan perjalanan dan safari di muka bumi kemudian bangun ketika tiba waktu malam dan mengerjakan salat hingga pagi.[6] Dalam sebuah riwayat yang dinukil oleh Thabarsi dari Imam Ali As dalam menjawab pertanyaan seorang Yahudi, beliau membenarkan bahwa Nabi Isa As adalah seorang sayyâh.[7]
Dengan demikian, hal ini dapat menjadi dalil lainnya terkait dengan alasan mengapa Nabi Isa As tidak menikah bahwa beliau karena usianya yang pendek dan sibuk melakukan perjalanan dan safari tabligh ke pelbagai tempat, sehingga tidak tersedia kesempatan baginya untuk menikah. Dan meski pernikahan merupakan sebuah perbuatan terpuji namun ia bukanlah sebuah amalan wajib dan tidak ada halangan bagi seseorang untuk tidak menikah tatkala menikah dapat menghalangi pekerjaan yang lebih penting dari menikah. Tanggung jawab dan pekerjaan Nabi Isa lebih penting daripada menikah dan identifikasi persoalan ini sepenuhnya berada di tangan beliau yang nota-bene adalah seorang nabi Allah.
- Keyakinan Orang-orang Kristen terhadap Pernikahan
Sehubungan dengan hal ini, Ustad Muthahhari Ra berkata, “Salah satu keyakinan menyimpang orang-orang Kristen dan mazhab-mazhab lainnya yang terdapat di dunia, karena Nabi Isa As tidak memiliki istri dan wanita adalah unsur dosa dan setan kecil. Mereka berpandangan bahwa pernikahan dan masalah seksual adalah penghalang bagi kemajuan dan kesempurnaan manusia. Mereka yakin bahwa kaum pria dengan sendirinya tidak akan melakukan dosa dan wanita yang merupakan setan kecil mewas-wasi kaum pria dan menggiringnya untuk melakukan perbuatan dosa.
Dalam pandangan orang-orang Kristen, sejatinya kisah Adam, Iblis dan Hawa bermula lantaran Iblis tidak mampu mempengaruhi Adam, karena itu dengan menipu Hawa, maka ruang untuk menipu Adam tersedia. Sepanjang sejarah demikian adanya bahwa setan besar (Iblis) mewas-wasi wanita dan wanita mewas-wasi pria. Demikianlah kisah Adam, Hawa dan Iblis yang berkembang di kalangan orang-orang Kristen.
Namun al-Qur’an berkebalikan dengan apa yang mereka yakini; al-Qur’an tatkala menyebutkan kisah Adam, Hawa dan Iblis, al-Qur’an tidak berpandangan bahwa Adam yang utama dan Hawa hanyalah mengikut Adam saja. Al-Qur’an meredam dusta yang disandarkan kepada mazhab-mazhab ini dan menjelaskan bahwa kisah maksiat manusia tidak demikian bahwa Iblis pertama-tama menggoda wanita dan kemudian wanita menggoda pria. Iblis menjadikan keduanya sebagai obyek bicaranya dan bersumpah palsu. Karena itu, kadar ketergelinciran Adam dan Hawa adalah sama dan tiada yang mengungguli satu atas yang lain. Boleh jadi atas alasan inilah al-Qur’an menyebutkan di samping pria mukmin (suci) terdapat wanita-wanita suci dan memandang kedudukan tinggi wanita.[8]
Kiranya kita harus mengingat bahwa masalah ini adalah masalah ikhtilaf di kalangan Kristen. Sebagian dari mereka (meski sebatas klaim) berseberangan dengan perkataan Ustad Muthahhari sedemikian sehingga mereka memandang haram untuk menalak wanita. Adapun masalah tidak menikahnya Nabi Isa As dan para paus dan uskup kemudian mengikutinya bersumber dari sebab-sebab lain.
- Berbedanya Perhitungan terhadap Wali Allah
Masalah lain yang harus diperhatikan di sini adalah bahwa boleh jadi karena situasi dan kondisi khusus para wali Allah di tengah masyarakat, hal-hal yang bersumber dari Allah Swt atau dari para wali itu sendiri, yang tidak dituntut dari orang lain; seperti kewajiban salat malam bagi Rasulullah Saw,[9] kezuhudan Imam Ali As dalam kehidupan personalnya, sementara Imam Ali As sendiri bersabda, “Model kehidupan seperti ini tidak mampu engkau ikuti dan tidak dituntut dari kalian.”[10] Karena itu, boleh jadi, apa yang dilakukan oleh Nabi Isa As juga sama seperti kondisi Rasulullah Saw dan Imam Ali As. [iQuest]
[2]. Hukum primer pernikahan adalah mustahab (dianjurkan) kemudian menjadi wajib apabila manusia takut terjerembab dalam perbuatan haram.
[3]. Muhammad Baqir Majlisi, Bihar al-Anwar, jil. 14, hal. 238, Hadis 15, Muassasah al-Wafa, Beirut, 1404 H.
[4]. Ibid, jil. 67, hal. 314, kelanjutan hadis 19.
[5]. Ibnu Manzhur, Lisan al-‘Arab, jil. 2, hal. 492, Dar al-Fikr, Beirut, 1414 H.
[6]. Sayid Murtadha Wasithi Zubaidi, Tâj al-‘Arus min Jawâhir al-Qâmus, jil. 4, hal. 98, Dar al-Fikr, Beirut, 1414 H.
[7]. Ahmad bin Ali Thabarsi, al-Ihtijâj, jil. 1, hal. 225, Nasyr Murtadha, Masyhad Muqaddas, 1403 H.
[8]. Silahkan lihat, Murtadha Muthahhari, Majmu’e Âtsâr, jil. 17, hal. 402, Intisyarat Shadra, Qum, 1383 S.
[9]. Muhammad bin Hasan Thusi, Tahdzib al-Ahkâm, jil. 2, hal. 242, Dar al-Kutub al-Islamiyah, Teheran, 1365 S.
[10]. Silahkan lihat, Imam Ali As Nahj al-Balâghah, hal. 52, Intisyarat Dar al-Hijrah, Qum.