Meski terdapat beberapa riwayat yang menunjukkan bahwa Allah Swt menyebarkan kecintaan-Nya kepada seorang hamba saleh di hati manusia namun harap diketahui bahwa sokongan mayoritas masyarakat terhadap seseorang tidak serta merta bermakna bahwa ia adalah seseorang yang dicintai oleh Allah Swt. Demikian juga, permusuhan bersama masyarakat terhadap seseorang tidak selamanya bermakna bahwa ia tercela dan tidak bernilai di sisi Allah Swt, bahkan pada kebanyakan urusan hal ini berlaku sebaliknya.
Benar! Apabila kecintaan seseorang bersemayam pada diri orang-orang beriman dan bertakwa dapat disimpulkan bahwa hal itu merupakan salah satu petunjuk atas perhatian Allah Swt kepada orang tersebut.
Allah Swt dalam al-Qur’an berfirman, “Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh, kelak Allah Yang Maha Pemurah akan menanamkan dalam (hati) mereka rasa kasih sayang.” (Qs. Maryam [19]:96)
Sebuah hadis dari Rasulullah Saw juga diriwayatkan seperti ini, bahwa tatkala Allah Swt mencintai seorang hamba, Dia befirman kepada Jibril, “Aku mencintai seseorang.” Maka cintailah ia. Dengan demikian, ia mendapatkan sambutan luas dari masyarakat di muka bumi.[1] Terdapat riwayat serupa yang juga menegaskan masalah ini.[2]
Sekelompok riwayat ini tidak memerlukan pengkajian sanad secara serius; karena riwayat ini tampaknya tengah menengarai ayat yang disinggung di atas. Namun apa yang penting di sini adalah mengenal secara lebih akurat ayat dan riwayat yang dimaksud.
Apakah makna ayat dan riwayat adalah bahwa setiap orang yang mendapatkan sambutan di tengah masyarakat dan mendapatkan sokongan oleh mayoritas masyarakat adalah kekasih Allah Swt dan apabila ia jauh dari masyarakat atau masyarakat menjauhinya maka ia adalah musuh Allah Swt!?
Tentu saja tidak demikian adanya; karena sesuai dengan penegasan beberapa ayat al-Qur’an, terdapat banyak nabi yang tentu saja tidak dapat diragukan kecintaan mereka kepada Allah Swt namun tidak mendapat sokongan dari masyarakat secara umum.
Lihatlah Nabi Nuh! Dia adalah hamba yang bersyukur,[3] pilihan Allah Swt,[4] mendapatkan petunjuk Allah Swt,[5] wahyu disampaikan kepadanya,[6] namun dengan masa tabligh mendekati seribu tahun,[7] dia tidak mendapatkan banyak pengikut kecuali sedikit.[8] Apakah atas dasar ini dia dapat dinilai sebagai musuh Allah Swt?
Benar! Apabila kecintaan seseorang bersemayam pada diri orang-orang beriman dan bertakwa dapat disimpulkan bahwa hal itu merupakan salah satu petunjuk atas perhatian Allah Swt kepada orang tersebut.
Dengan mencermati ayat-ayat al-Qur’an, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa yang dimaksud tersebarnya kecintaan masyarakat kepada para kekasih Allah Swt di hati-hati masyarakat tidak bermakna adanya dukungan mayoritas terhadapnya. Karena itu, mungkin ada baiknya Anda memperhatikan poin berikut ini:
Para penguasa yang mengambil secara paksa dan penuh intrik pemerintahan pasca Rasulullah Saw dan sepanjang masa hidup para Imam Maksum As dan secara lahir, para imam terpinggirkan dan memutuskan hubungan mereka dengan masyarakat kecuali dengan beberapa kelompok orang beriman yang setia, berupaya mengukuhkan fondasi-fondasi kekuasaan tiran mereka dengan landasan-landasan teologis dan agamis.
Atas dasar itu, dengan memanfaatkan sebagian kecil ajaran agama dan dengan melupakan sebagian besarnya, dengan penuh intrik berusaha menampakkan dukungan lahir masyarakat kepadanya dan menempatkan para Imam Maksum As pada jajaran kaum minoritas, sebagai tanda kebenaran di pihak mereka dan kebatilan jalan Syiah. Usaha penuh intrik ini sedemikian maju sehingga dapat menghentakkan dan membuat sangsi sebagian Syiah.
Dalam kondisi seperti ini, salah seorang Syiah berkata kepada Imam Shadiq As bahwa terdapat beberapa orang di sisi kami yang akidahnya – menyatakan bahwa apabila Allah Swt mencintai seorang hamba maka juru bicara langit akan berseru bahwa Allah Swt mencintai hamba ini maka cintailah mereka dan dengan perantara ini Allah Swt menanamkan kecintaan kepada kekasih-Nya ini dalam hati para hamba-Nya. Namun apabila Allah Swt membenci seseorang maka juru bicara langit akan berseru bahwa Allah Swt membenci orang ini maka bencilah mereka dan dengan perantara ini Allah Swt menempatkan kebenciannya terhadap orang ini dalam hati masyarakat!“
Imam Ja’far Shadiq yang bersandar di dinding dengan mendengar ucapan ini, lalu meninggalkan sandarannya dan duduk dengan serius dan menggerakkan lengan bajunya (dan tanpa mendustakan riwayat di atas secara lugas) bersabda, “Tidaklah demikian, melainkan (terkadang) Allah Swt mencintai seorang hamba namun masyarakat membencinya. Mereka berkata-kata untuk menentangnya sehingga mendapatkan bayaran dan berbuat dosa untuk menyenangkan musuh-musuhnya. Namun terkadang seorang hamba memiliki seorang musuh namun kecintaan terhadapnya disebarkan di tengah masyarakat sehingga dengan mendukungnya mereka berbicara dusta dan di samping pembicara dan musuh Allah itu juga semakin bertambah dosanya! Kemudian Imam Shadiq As menyuguhkan bukti-bukti atas tuturannya ini dan mengimbuhkan, “Siapakah yang melebihi kecintaan Nabi Yahya As di sisi Allah Swt sementara Allah Swt menanamkan kebencian terhadapnya di hati masyarakat dan bagaimana perlakuan masyarakat terhadap Nabi Yahya As?
Siapakah yang lebih dicintai oleh Allah Swt melebihi Husain bin Ali As? Bukankah masyarakat membencinya dan mensyahidkannya?”[9]
Imam Shadiq As dengan tuturannya ini menegaskan bahwa berkebalikan dengan ucapan para penguasa tiran, dukungan mayoritas rakyat terhadap seseorang tidak serta merta bermakna bahwa mereka mendapatkan dukungan dari Allah Swt. Sebaliknya, permusuhan bersama masyarakat terhadap seseorang tidak selamanya bermakna bahwa ia tercela dan tidak bernilai di sisi Allah Swt, bahkan pada kebanyakan urusan hal ini berlaku sebaliknya.
Namun dalam sebagian catatan sejarah, kebanyakan rakyat suatu tempat, telah menjadi pendukung kebenaran. Salah satu contohnya adalah kerajaaan Baginda Sulaiman, Rasululah Saw dan Imam Ali As.
Kiranya kita harus mencermati satu poin bahwa pada kebanyakan hal kedudukan para insan Ilahi juga mampu menembus hati para musuh dan kaum munafik.
Salah satu doa Rasulullah Saw untuk Amirul Mukminin Ali As adalah “Tuhanku! Kukuhkanlah kecintaan pada Ali pada hati-hati orang-orang beriman dan tebarkanlah kehebatan dan keagungannya dalam hati-hati orang-orang munafik!”
Dengan baik kita melihat bahwa doa Rasulullah Saw untuk Imam Ali As dan anak-anaknya telah dikabukan dan dipenuhi (terijabah), para imam, bahkan ketika mereka dalam keadaan minoritas, memiliki tempat di hati kawan dan lawan sedemikian sehingga Farazdaq, pujangga dalam menjawab pertanyaan Imam Husian ihwal bagaimana pendapatnya tentang rakyat Kufah? Farazdaq menjawab, “Qulubuhum ma’ak wa suyufuhum ‘alaik” (hati-hati mereka bersamamu dan pedang-pedang mereka melawanmu).[10] [iQuest]
[1]. Al-Hasan bin Abi al-Hasan al-Dailami, Irsyâd al-Qulûb, jil. 1, hal. 170, Dar al-Syarif al-Radhi linnasyr, Qum, 1412 H.
“إن الله إذا أحب عبدا قال لجبرائیل إنی أحب فلانا فأحبوه و یوضع له القبول فی الأرض"
[2]. Misalnya Muhammad bin Muhammad al-Asy’ats al-Kufi, al-Ja’fariyât, hal. 11, Maktabat Nainawa al-Haditsiyah, Teheran, Tanpa Tahun.
[3]. “Sesungguhnya dia adalah hamba (Allah) yang banyak bersyukur.” (Qs. Al-Isra [17]:3)
[4]. “Sesungguhnya Allah telah memilih Adam, Nuh, keluarga Ibrahim, dan keluarga ‘Imran melebihi segala umat.” (Qs. Ali Imran [3]:33)
[5]. “Dan Kami telah menganugerahkan Ishaq dan Ya‘qub kepada Ibrahim. Kepada keduanya masing-masing telah Kami beri petunjuk; dan kepada Nuh sebelum itu (juga) telah Kami beri petunjuk, dan kepada sebagian dari keturunan Nuh, yaitu Dawud, Sulaiman, Ayub, Yusuf, Musa, dan Harun. Demikianlah kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.” (Qs. Al-An’am [6]:84)
[6]. “Sesungguhnya Kami telah memberikan wahyu kepadamu sebagaimana Kami telah memberikan wahyu kepada Nuh dan nabi-nabi yang (datang) setelahnya.” (Qs. Al-Nisa [4]:163)
[7]. “Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya, laly ia tinggal di antara mereka seribu tahun kurang lima puluh tahun. Maka mereka ditimpa banjir besar, dan mereka adalah orang-orang yang zalim.” (Qs. Al-Ankabut [29]:14)
[8]. “Dan tidak beriman bersama dengan Nuh kecuali sedikit.” (Qs. Hud [11]:40)
[9]. Al-Hasan bin Abi al-Hasan al-Dailami, A’lâm al-Din, hal. 434, Muassasah Ali al-Bait, Qum, 1408 H.
Muhammad bin Mas’ud al-‘Ayyasyi, Tafsir al-‘Ayyasyi, jil. 2, hal. 141, al-Mathba’at al-‘Ilmiyah, Teheran, 1380 H.
[10]. Muhammad bin Jarir al-Thabari, Dalail al-Imâmah, hal. 75, Dar al-Dzakhair lil Mathbu’at, Qum, Tanpa Tahun.