Kedudukan dan posisi akal mencerap segala sesuatu yang bersifat universal. Adapun kedudukan dan posisi indra adalah mencerap segala sesuatu yang bersifat partikular. Karena itu akal tidak dapat mencerap “partikular qua partikular” secara langsung dan tanpa media. Tugas mencerap segala sesuatu yang partikular (juz’i) qua partikular (juz’i) berada di pundak indra yang melakukannya. Namun masalah ini, tidak berarti bahwa akal tidak mampu mencerap segala yang berbau indrawi. Akal dapat mencerap segala yang bercorak indrawi (mahsusat) melalui perantara universal (kulli).
Pada dasarnya pencerapan manusia terdiri dari dua jenis.
Pertama: Pencerapan dan pemahaman partikular (juz’i): Pencerapan dan pemahaman partikular sendiri terdiri dari dua bagian. Terkadang pencerapan ini bergantung pada entitas luaran sesuatu. Dalam hal ini manusia mencerap dan memahami hal tersebut dengan perantara indranya. Dan terkadang pencerapan partikular tidak bergantung pada entitas luaran sesuatu. Dalam hal ini manusia mencerap dan memahami sesuatu dengan media dan fakultas fantasinya (khiyâl).”[1]
Kedua: Pencerapan dan pemahaman universal (kulli): “Manusia tatkala menyaksikan pelbagai ragam partikular dan melakukan analogi diantara mereka, satu sama lain, ia menyaksikannya dalam satu barisan tunggal. Sebagai hasilnya, bentuk pemahaman dan konseptual yang dapat diselaraskan dan dicocokkan dengan masing-masing dari hal partikular tersebut kemudian diabstraksikan dalam benaknya.”[2] Proses abstraksi ini adalah tugas akal. Karena itu, akal adalah sebuah fakultas yang pekerjaannya melakukan pencerapan universal. Nah, konsep universal atau layak dipredikasikan atas urusan-urusan luaran—laksana konsep dan pahaman manusia atas Hasan dan Husain, dan lain sebagainya. Dan kemudian dikatakan Hasan adalah manusia atau Husain adalah manusia. Atau tidak dapat dipredikasikan atas urusan-urusan luaran, melainkan hanya dapat dipredikasikan pada konsep-konsep atau bentuk-bentuk mental (dzihni).”[3]
Karena itu, manusia memiliki dua jenis media pencerapan dan pemahaman. Yang pertama adalah indra dan yang kedua adalah akal. Manusia dengan media indranya ia mencerap segala sesuatu yang dapat dipahami secara partikular. Dengan perantara akalnya, ia memahami pelbagai subyek secara universal. Karena tabiat akal adalah bercorak universal.
Nah, sekarang boleh jadi terlintas sebuah pertanyaan dalam benak, apakah dengan media akal yang mencerap segala sesuatu yang bersifat universal ini, manusia tidak dapat memahami segala yang partikular (serba indrawi)? Dalam menjawab pertanyan ini, perlu dijelaskan bahwa makna ungkapan ini bukan berarti akal tidak memahami dan mencerap segala sesuatu yang bercorak indrawi, melainkan akal memahami segala sesuatu yang bercorak indrawi melalui perantara hal-hal universal. Sebagaimana akal mampu memahami aksiden-aksiden bendawi namun bukan esensi-esensinya, melainkan melalui jalan menguasai sebab-sebab universalnya.”[4]
Karena itu, “pemahaman partikular qua partikular hanya dapat diperoleh dengan perantara indra, fantasi atau segala sesuatu yang melalui media-media bendawi.”[5] Dan posisi akal, mencerap segala yang berkarakter universal (bukan partikular), meski pada saat yang sama dengan perantara universal akal juga dapat memahami hal-hal yang partikular.
Untuk menerangkan masalah ini; ihwal mengapa akal tidak mampu mencerap segala sesuatu yang serba indrawi, menyitir Farabi, “Segala sesuatu yang indrawi qua indrawi tidak dapat dirasionisasi. Karena mustahil sesuatu menjadi obyek rasionisasi, kecuali sesuatu tersebut terlepas dari sifat-sifat material dan asumsinya adalah bahwa segala yang indrawi qua indrawi tidak dapat terlepas dari sifat-sifat material. Kesimpulannya, adalah mustahil segala yang indrawi dan bendawi dapat menjadi obyek rasionisasi (ta’aqqul). Hubungan ini, juga berlaku dari sisi yang berlawanan; artinya indra tidak dapat mencerap dan memahami segala sesuatu yang bersifat rasional qua rasional; karena mustahil sesuatu menjadi obyek pencerapan indra kecuali sesuatu tersebut memiliki aksiden-aksiden material.”[6]
Alhasil bahwa akal tidak memiliki kemampuan untuk mencerap partikular (qua partikular) namun demikian akal dapat memahami segala yang indrawi (mahsusât) dengan perantara universal. [IQuest]
[1]. Jarir Jahami, Mausu’ât Musthalahât al-Falsafah ‘inda al-‘Arab, al-Nash, hal. 31, Maktab Lubnan Nasyuran.
[2]. Muhammad Ridha Muzhaffar, al-Manthiq, hal. 63, Cetakan Pertama, Intisyarat-e Pasdar-e Islam, 1420 H.
[3]. Muhammad Taqi Mishbah Yazdi, Âmuzesy Falsafeh (Daras Filsafat), jil. 1, hal. 188-189, Cetakan Keenam, Intisyarat-e Amir Kabir, Zemistan, 1383 S.
[4]. Abu al-Hasan al-‘Amiri, Rasâil Abu al-Hasan al-‘Amiri, hal. 294, Markaz Nasyr-e Danesygahi.
[5]. Mausu’ât Musthalahât al-Falsafah ‘inda al-‘Arab, al-Nash, hal. 31.
[6]. Abu Nashr al-Farabi, Fushush al-Hikmat wa Syarhihi, Fash fi Imtinâ’ Ta’aqqul al-Mahsusat wa Ihsâs al-Ma’qul, hal. 178, Anjuman-e Atsar wa Mafakhir Farhanggi.