Terdapat ragam penafsiran sehubungan dengan ayat 69 surah al-Ahzab, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menjadi seperti orang-orang yang menyakiti Musa; maka Allah membersihkannya dari tuduhan-tuduhan yang mereka katakan. Dan dia adalah seorang yang mempunyai kedudukan terhormat di sisi Allah.” Peristiwa tersingkapnya aurat Nabi Musa As adalah salah satu dari penafsiran yang ada. Namun nampaknya kecil kemungkinan bagi kita untuk dapat menetapkan apatah lagi menerima penafsiran semacam ini. Sementara apabila penafsiran semacam ini ditetapkan maka toh hal itu tetap tidak akan menimbulkan masalah terhadap masalah kemaksuman; karena pertama perbuatan ini adalah perbuatan yang tidak didasari oleh ikhtiar (karena sifatnya sekonyong-konyong). Kedua, karena semua orang memandang Musa memiliki cela dan cacat maka dengan tersingkapnya aurat Nabi Musa pandangan dan anggapan masyarakat berubah. Dengan demikian, peristiwa ini tidak hanya tidak akan menimbulkan kebencian dan menciderai konsep kemaksuman bahkan justru mencegah timbulnya kebencian dan tersebarnya tuduhan masyarakat terkait dengan Nabi Musa As.
Pada ayat 69 surah al-Ahzab disebutkan tentang tuduhan yang dilontarkan Bani Israel kepada Nabi Musa As. Allah Swt berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menjadi seperti orang-orang yang menyakiti Musa; maka Allah membersihkannya dari tuduhan-tuduhan yang mereka katakan. Dan dia adalah seorang yang mempunyai kedudukan terhormat di sisi Allah.” Ayat ini memiliki ragam penafsiran. Di antara penafsiran tersebut adalah:
1. Ali As, Ibnu Abbas, dan Jabai berkata, “Musa dan Harun As pergi naik ke atas gunung dan Harun meninggal dunia di tempat itu. Kemudian Bani Israel berkata kepada Musa, “Engkau yang telah membunuh Harun. Karena itu Allah Swt menitahkan kepada para malaikat untuk mengangkat jenazahnya supaya Bani Israel dapat melihatnya dan supaya para malaikat mengabarkan bahwa Harun meninggal dunia (tidak dibunuh). Dengan cara seperti ini, Allah Swt menjauhkan Nabi Musa dari tuduhan pembunuhan Harun.
2. Nabi Musa As adalah seorang pemalu. Tatkala mandi, ia pergi ke tempat yang sepi sehingga tiada orang yang melihatnya. Bani
3. Abu al-‘Aliyah berkata, “Qarun menyewa seorang wanita yang punya reputasi buruk. Ia membayar wanita tersebut untuk menuduh Musa di hadapan khalayak ramai bahwa ia telah melakukan zina. Dan Allah Swt membongkar plot jahat wanita itu dan membebaskan Musa dari tuduhan ini.”
4. Abu Muslim berkata, “Bani Israel menggangu Nabi Musa dengan tuduhan bahwa ia telah gila dan berkata-kata dusta setelah mereka melihat ayat-ayat dan sembilan mukjizat yang didemonstrasikan Nabi Musa As.”[1]
5. Sikap suka mencari dalih yang diperagakan Bani Israel merupakan salah satu faktor penggangu bagi Nabi Musa As. Terkadang mereka meminta supaya Tuhan ditunjukkan kepada mereka. Terkadang mereka berkata bahwa makanan satu rasa (man dan salwa) tidak cocok bagi mereka. Dan acapkali mereka menyatakan tidak siap untuk memasuki Baitul Muqaddas dan berperang dengan Amalaqah, “Pergilah engkau dan Tuhanmu. Taklukkanlah tempat itu sehingga kami memasukinya.”[2]
Dengan adanya
Adapun menyandarkan sihir, magik dan semisalnya atau adanya cacat pada badannya itu pun pada Nabi Musa As, namun hal itu tidak sesuai dengan seruan ayat, “Wahai orang-orang yang beriman” sekaitan dengan Rasulullah Saw, karena orang-orang beriman tidak akan menuding Musa As dan Rasulullah Saw dengan sihir dan kegilaan. Demikian juga, tuduhan adanya cacat pada badan, dengan asumsi terdapat pada diri Musa As, dan Allah Swt melepaskannya dari tuduhan seperti itu, namun tidak ada dokumen sejarah yang menyatakan bahwa Rasulullah Saw memiliki hal yang sama. Karena itu, kemungkinan bagian kedua dan keempat tidak dapat dibenarkan dalam masalah ini.
Namun dalam hadis-hadis disebutkan tentang inti terjadinya peristiwa ini. Artinya bahwa hadis-hadis tersebut menukil ihwal telanjangnya Nabi Musa As. Seperti Tafsir (Ali bin Ibrahim) yang menukil dari Imam Shadiq As, “Bani Israel menyebarkan rumor bahwa terdapat cacat pada badan Musa. Karena setiap kali Musa ingin mandi maka ia akan pergi ke suatu tempat yang tersembunyi dan tiada seorang pun yang melihatnya. Suatu hari Musa terpaksa harus mandi di tepi sungai dan meletakkan bajunya di atas batu. Allah Swt memerintahkan pada batu tersebut untuk menjauh dan tatkala Musa mengejar batu itu, Bani Israel melihatnya dan menjadi tahu bahwa tuduhan mereka tentang Musa As sama sekali tidak benar. Kemudian Allah Swt mewahyukan ayat ini, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menjadi seperti orang-orang yang menyakiti Musa; maka Allah membersihkannya dari tuduhan-tuduhan yang mereka katakan. Dan dia adalah seorang yang mempunyai kedudukan terhormat di sisi Allah.”[3]
Hadis ini juga disebutkan pada literatur-literatur lainnya.[4] Bagaimanapun, dari ayat ini dapat ditarik kesimpulan bahwa apabila seseorang memiliki kedudukan dan maqam di sisi Allah Swt maka Allah Swt akan membelanya di hadapan orang-orang yang mengganggunya dan menyandarkan tuduhan-tuduhan keji. Hendaknya kalian menjadi hamba yang suci dan menjaga kedudukan kalian di sisi Allah Swt maka Dia juga akan memperlihatkan kesucian dan kedudukan kalian pada waktunya. Meski orang-orang jahat berupaya semaksimal mungkin melemparkan tuduhan kepada kalian.[5]
Dengan demikian, karena maksud ayat di atas telah menjadi jelas maka kiranya kita perlu membahas tidak sesuainya kejadian ini dengan maqam kenabian.
Ulama Syiah berkata bahwa para nabi dan imam harus terjauhkan dari segala jenis cacat, cela, aib, pelbagai perilaku dan gerakan yang dapat menimbulkan kebencian umat. Karena itu, para ulama memandang kemaksuman para nabi dan imam sebagai sebuah kemestian sehingga tidak menciderai kepercayaan umat kepada mereka.
Allamah Thabarsi, penyusun buku Tafsir Majma al-Bayan, sehubungan dengan tersingkapnya aurat Nabi Musa As, menyampaikan bahwa Abu Hurairah menjelaskan riwayat ini dan menyandarkan hal tersebut kepada Nabi Musa. Namun sekelompok ulama menolak riwayat ini dan memandangnya tidak boleh karena tersingkapnya aurat seorang nabi Allah Swt di hadapan orang-orang akan menyebabkan kebencian mereka terhadap nabi tersebut…[6]
Dalam hal ini harus ditegaskan bahwa pertama, tersingkapnya aurat bertentangan dengan kemaksuman tatkala perbuatan itu dilakukan dengan suka rela dan dengan ikhtiar. Sementara peristiwa ini terjadi di luar kehendak Nabi Musa. Kedua, tersingkapnya aurat Nabi Musa As terjadi ketika orang-orang memandangnya memiliki aib dan cela sehingga dengan peristiwa ini pandangan orang-orang berubah.
Karena itu, tersingkapnya aurat tidak sesuai dengan konsep kemaksuman dan kenabian tatkala menimbulkan kebencian orang-orang. Sementara peristiwa tersingkapnya aurat Nabi Musa justru dimaksudkan untuk menghilangkan kebencian ini.
Dari apa yang diuraikan di atas menjadi jelas bahwa apabila kita meninjau asumsi penafsiran tersingkapnya aurat Nabi Musa As pada ayat tersebut maka tetap saja tidak akan menimbulkan masalah dan sejatinya hal ini tidak bertentangan dengan maqam kenabian dan kemaksuman Nabi Musa As. [IQuest]
[1]. Sekelompok penerjemah, terjemahan
[2]. Nasir Makarim Syirazi, Tafsir Nemune, jil. 17, hal. 444, Dar al-Kutub al-Islamiyah, Teheran, Cetakan Pertama, 1374 S.
[3]. Silahkan lihat, Tafsir al-Qummi, jil. 2, hal. 197, Dar al-Kitab, Cetakan Keempat, Riset oleh: Sayid Thayyib Musawi Jazairi,
[4]. Nasir bin Muhammad bin Ahmad Samarqandi, Bahr al-‘Ulûm, jil. 3, hal. 76, Software Jami’ al-Tafasir, Markaz Tahqiqat-e Nur.
قال الفقیه أبو اللیث رحمه اللّه: أخبرنی الثقة، بإسناده عن همام بن منبه، عن أبی هریرة، عن النبی صلّى اللّه علیه و سلم أنه قال: «کانت بنو إسرائیل یغتسلون عراة، ینظر بعضهم إلى سوأة بعض، و کان موسى- علیه السّلام- یغتسل وحده. فقال بعضهم: و اللّه ما یمنع موسى أن یغتسل معنا إلّا أنّه آدر. فذهب موسى مرّة یغتسل. فوضع ثوبه على حجر. ففرّ الحجر بثوبه. فخرج موسى بأثره یقول: حجر ثوبی، حجر ثوبی حتّى نظرت بنو إسرائیل إلى سوأة موسى. فقالوا: و اللّه ما بموسى من بأس. فقام الحجر و أخذ ثوبه، فطفق بالحجر ضربا»
[5]. Tafsir Nemune, jil. 17, hal. 446.
[6]. Fadhl bin Hasan Thabarsi, Majma’ al-Bayân fi Tafsir al-Qur’ân, Riset dan Pendahuluan, Muhammad Jawad Balagh, jil. 8, hal. 58, Nasir Khusruw, Teheran, Cetakan Ketiga, 1372 S.