Terdapat ragam pendapat para pemikir otoritatif terkait masalah ini. Sebagian berpandangan, dengan memperhatikan kemutlakan ayat 3 dan 4 surah al-Najm,[i] bahwa seluruh ucapan, perbuatan dan perilaku Nabi Saw adalah wahyu. Sebagian lainnya berkeyakinan bahwa ayat 4 surah al-Najm terkait dengan al-Qur’an dan ayat-ayat yang diwahyukan kepada Nabi Saw. Meski Sunnah Nabi Saw merupakan hujjah, ucapan, tindakan dan diamnya tidak bersumber dari hawa nafsu.
Nampaknya yang dapat dikatakan dalam masalah ini secara definitif adalah bahwa tidak satu pun perbuatan dan sirah Nabi Saw yang dilakukan tanpa izin wahyu, sebagaimana ucapan beliau demikan juga adanya. Dan obrolan keseharian dan adat kehidupan Nabi Saw tidak berasal dari hawa nafsu, pada hakikatnya mustahil terjadi perbuatan dosa pada pribadi Rasulullah Saw dalam hal ini.
[i]. “Dan dia tidak berbicara menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tidak lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (Qs. Al-Najm [53]:3-4)
Tanpa syak, para nabi Allah memiliki hubungan khusus dengan Allah Swt dan mereka menerima pelbagai hukum, aturan, ajaran Ilahi melalui hubungan ini yang kemudian disampaikan kepada masyarakat.
Realitas dan kuiditas hubungan ini merupakan perkara yang sangat pelik dan manusia tidak mampu memahami dan mencerap hubungan dengan baik. Namun hal itu tidak bermakna kejahilan mutlak manusia terhadap permasalahan ini. Dengan kata lain, masalah “wahyu” bukan merupakan sebuah permasalahan yang tidak dapat dipahami dan dikenali hakikatnya oleh manusia sehingga harus ditinggalkan dan dibiarkan begitu saja. Namun ia dapat dipahami sesuai dengan kadar dan keluasan akal, pemahaman, pencerapan, manusia yang dapat menggali wahyu dan firman Ilahi ini.
Wahyu secara leksikal
Wahyu merupakan prinsip dan kaidah yang berguna untuk menyampaikan “ilmu” dan sebagainya. Tipologi wahyu adalah sebuah isyarat cepat yang bertautan dengan tulisan dan risalah, terkadang merupakan deklarasi terhadap rumusan dan formula, terkadang dalam bentuk tunggal dan terlepas dari susunan, isyarah terhadap sebagian anggota badan, terkadang bermakna ilham dan ucapan tersembunyi. Karena itu, tersembunyi, cepat dan misterius tergolong sebagai rukun-rukun asli wahyu.[1]
Hakikat wahyu
Wahyu pada umumnya sepadan dengan ilmu, pemahaman dan pencerapan. Tidak setimpal dengan perbuatan dan pergerakan, kendati manusia tatkala melakukan perbuatan mencari bantuan dari percikan pemikiran dan pandangan. Ilmu dan pemahaman merupakan bentuk tipikal eksistensi yang jauh dan bebas dari kuiditas.
Dengan kata lain, wahyu merupakan pahaman yang disaripatikan dari “keberadaan.” Dengan demikian, wahyu tidak memiliki kuiditas dan tidak dapat dimaknakan melalui genus, differentia, definisi, gambaran (rasm). Karena itu, wahyu jauh dan terbebas dari sepuluh kategori kuiditas yang umum dikenal orang. Pahaman wahyu – seperti makna keberadaan – memiliki instanta luaran (mishdaq) dimana contoh luaran ini memiliki tingkatan yang beragam dan berbeda.[2]
Karena itu, pelbagai definisi yang dibeberkan bagi wahyu merupakan definisi syarh al-ism (alih-bahasa semata) bukan definisi hakiki. Di samping itu, wahyu bukan merupakan hubungan biasa sehingga dapat dicerap dan dipahami dengan mudah oleh siapa saja.
Definisi wahyu
Allamah Thabathabai dalam mendefinisikan wahyu berkata, “wahyu merupakan pencerapan dan pemahaman khusus dalam batin para nabi dimana hal ini tidak mungkin diperoleh oleh siapa saja kecuali mereka yang mendapatkan inâyah (perhatian khusus) Allah Swt.[3]
Allamah Thabathabai pada kesempatan lain menulis, “Wahyu adalah perkara ekstraordinari (luarbiasa) yang berasal dari pencerapan-pencerapan batin dan pemahaman simbolik yang tertutup dari indera-indera lahir.”[4]
Dalam menjawab pertanyaan yang mengemuka maka harus dikatakan bahwa:
Abdurrazzaq Lahiji terkait masalah ini berkata, “Apabila ada orang yang menduga bahwa Nabi Saw pada sebuah perkara beramal berdasarkan pikiranya sendiri dan tidak menantikan wahyu maka dari sudut mana pun orang ini tidak tahu dan jahil terhadap tujuan kenabian dan hakikat nabi. Dan orang sedemikian di hadapan orang-orang berakal telah keluar dari wilayah agama, khususnya karena hal ini bertentangan dengan nash al-Qur’an “wama yanthiqu anilhawa, in huwa wahyu yuha” dan menspesifikasi (takhsis) masalah ini terhadap sebagian masalah lainnya sejatinya merupakan perbuatan yang tidak dapat diterima. Seluruh urusan yang bertalian dengan agama memerlukan izin Ilahi dan wahyu Rabbani, nah tatkala Nabi tidak berbuat berdasarkan pendapatnya sendiri maka bagaimana mungkin orang lain dapat berbuat sebaliknya.” [5]
Dalam tafsir Nemune[6] ditulis demikian bahwa firman Allah Swt dalam al-Qur’an “in wahyu yuha” tidak hanya berkaitan dengan ayat-ayat al-Qur’an, melainkan dengan indikasi ayat-ayat sebelumnya Sunnah Nabi Saw juga termasuk sebagai bagian dari “yang diwahyukan” ini. Dimana bukan hanya ucapan Nabi Saw namun perbuatan serta perilaku Nabi Saw adalah sesuai dengan wahyu Ilahi. Lantaran pada ayat 3 dan 4 surah al-Najm secara tegas dijelaskan bahwa “Dia tidak berkata-kata mengikuti hawa nafsunya, segala yang ia ucapakan adalah wahyu.”
Allamah Thabathabai dalam penafsiran ayat “Wamâ yanthiq ‘anil hawa” berkata, “maa yanthiqu” bercorak mutlak, dan tuntutan kemutlakan ini adalah bahwa hawa nafsu telah dinafikan dari seluruh ucapan Nabi Saw. Namun terkait dengan ayat-ayat yang menyebutkan “Shâhibukum”[7] ini adalah dialamatkan untuk kaum musyirikin[8] karena indikasi kedudukan yang terdapat pada ayat ini harus dikatakan bahwa apa yang diserukan kepadanya untuk kaum musyrikin dan apa yang dibacakan dari ayat-ayat al-Qur’an, ucapan-ucapannya tidak bersumber dari hawa nafsu, melainkan apa pun yang dikatakannya adalah wahyu yang diturunkan Allah Swt kepadanya.”[9]
Artinya ayat ini menetapkan bahwa seluruh hal-hal religius[10] yang dikatakannya dalam masalah-masalah bimbingan, pandangan dunia dan petunjuk bukan hal-hal partikular duniawi adalah wahyu.[11] Namun kemungkinan seperti ini tertolak dimana ucapan-ucapan biasa, perintah dan larangan Nabi Saw terkait urusan pribadi, keluarga misalnya Nabi Saw bertutur kata kepada istrinya, berikan wadah itu kepadaku, dan sebagainya berasal dari hawa nafsu.[12] Nabi Saw dalam ucapan-ucapan semacam ini maksum dan tidak melakukan kekeliruan dan kesalahan.[13] Karena itu ucapan dan perbuatan[14] Nabi Saw dalam kondisi-kondisi semacam ini, boleh dan tidak bertentangan dengan keridhaan Ilahi. Karena apabila perbuatan-perbuatan ini bermasalah maka hal tersebut tentu tidak akan dilakukan oleh Nabi Saw.[]
Untuk telaah lebih jauh silahkan Anda merujuk pada:
Silsilah Darshâ-ye Khârij Ilm Ushul, kitâb-e awwal, daftar-e Panjum, Mabâdi-ye Shudur-e Sunnat, Martaba wa Dâman-ye Ishmat, hal. 34-67, Ustad Mahdi Hadawi Tehrani.
[1]. Raghib Isfahani, al-Mufradat Alfaz al-Qur’an, klausul wahy.
[2]. Untuk referensi lebih jauh, silahkan Anda lihat: Wahy wa Nubuwat dar Qur’an, Jawadi Amuli. Mabani Kalami Ijtihad dar Bardasyt az Qur’an Karim, Hadawi Tehrani, hal. 77.
[3]. Muhammad Husain Thabathabai, al-Mizan (terjemahan
[4]. Ibid, hal. 160. Untuk referensi lebih jeluk silahkan Anda lihat, Hadawi Tehrani, Mabani Kalam-e Ijtihad, hal. 76-78. Abdulhussein Khusrupanah, Qalamruye Din, hal. 117-130. Dan indeks: Wahyu dan bagaimana ia diturunkan, pertanyaan 88.
[5]. Abdurrazzaq Lahiji, Gauhar Murâd, hal. 461.
[6]. Tafsir Nemune, jil. 22, hal. 481.
[7]. Qs. Al-Najm [53]:2
[8]. Kaum Musyrikin beranggapan bahwa seruan Nabi Saw yang dibacakan untuk mereka adalah dusta dan khurafat.
[9]. Thabathabai, al-Mizan (terjemahan
[10]. Satu unsur religius adalah unsur yang memiliki peran dalam kebahagiaan hakiki manusia
[11] . Jawadi Amuli, Tafsir Maudhu’i Qur’an, Sireh-ye Rasul Akram dar Qur’an, jil. 8, hal. 32.
[12]. Harus diperhatikan bahwa ucapan kita lebih tinggi dari ucapan ini dimana sebagian orang berkata tanpa ragu bahwa keberadaan Nabi Saw di samping tipologi risalah dan wahyu yang diturunkannya kepadanya, beliau berasal dari golongan terkemuka dan berpengalaman pada masanya. Karena itu, beliau memiliki dua jenis ucapan dan sabda: Pertama, ucapan dan sabda yang merupakan wahyu seperti ayat-ayat al-Qur’an dan hadis-hadis Qudsi. Kedua, ucapan-ucapan yang sarat hikmah dan rasional yang memancar dari pribadi unggul Nabi Saw.
[13]. Kendati religiusitas dan keniscayaan di antara keduanya tidak dapat ditetapkan. Artinya disebutkan sebagai maksum dan sekali-kali tidak pernah melakukan kelalaian, kesalahan, lupa dan maksiat, baik dalam perbuatan atau pun ucapan terkait dengan urusan agama atau apa yang dikatakan dan dikerjakan, tidak ada sangkut pautnya dengan agama. Karena itu, apabila seorang maksum menjelaskan sebuah hakikat yang tidak memiliki unsur agama – misalnya menyampaikan sebuah masalah ilmiah – tentu saja ucapannya sesuai dengan realitas. Sebagaimana apabila seorang maksum menjelaskan masalah syariat dan agama, maka sekali-kali tidak terdapat kesalahan di dalamnya. Ta’ammulât dar Ilm-e Ushul Fiqh, kitâb Awwal, daftar-e Panjum, Mabâdi-ye Shudur-e Sunnat, Martabe-ye Dâmaneye Ishmat, hal. 35.
[14]. Dari ayat “wama yanthiqu ‘anil hawa” ditegaskan bahwa perbuatan dan sirah Nabi Saw di samping ucapan beliau adalah senantiasa sesuai dengan wahyu. Dan apabila dianggap makna yang meliputi ini tidak dapat kita jadikan media inferensi (istinbath) maka ayat lain seperti ayat 50 surah al-An’am dan ayat-ayat lainnya, dapat diperoleh makna yang sama. Jawadi Amuli, Tafsir Mau’dhui al-Qur’ân, Sireh-ye Rasul Akrâm Saw dar Qur’ân, jil. 8, hal. 33.