Kode Site
fa21210
Kode Pernyataan Privasi
42585
Ringkasan Pertanyaan
Apa pandangan al-Quran mengenai israf, berlebih-lebihan dan tabdzîr, dan apakah pengaruh-pengaruh yang ditimbulkannya?
Pertanyaan
Mohon Anda jelaskan ayat-ayat 26 dan 27 dari surah Isra tentang israf dan tabdzîr?
Jawaban Global
Agama Islam merupakan agama bagi kehidupan manusia, hukum-hukum dan ajaran-ajaran yang ada di dalamnya adalah untuk kebahagiaan dan keberuntungan manusia dan masyarakanya.
Islam memiliki program untuk seluruh dimensi kehidupan manusia, dan menyarankan keseimbangan dan proporsionalitas dalam semua persoalan kepada para pengikutnya.
Israf adalah berlebihan dan melanggar, dimana kontradiksinya adalah bertujuan dan pertengahan. Batasannya ditentukan oleh dosa-dosa, hal-hal yang diharamkan secara syar’i, hukum akal dan tolok-tolok ukur akli dan urf atau hal yang berlaku umum di tengah masyarakat.
Sedangkan tabdzîr bermakna menyebar. Tabdzîr mencakup menghamburkan dan berlebihan dalam mengkonsumsi makanan, dan segala yang berkaitan dengan kehidupan.
Al-Quran menganggap para pelaku israf sebagai saudara setan; saudara setan yang tak lain adalah para pelaku israf ini, memiliki berbagai perilaku dan pada setiap kondisi akan berbuat dengan perilaku yang berbeda-beda. Mereka yang melakukan israf secara sadar dan sengaja, berarti mereka telah menyertai setan. Seseorang yang secara sadar dan sengaja melakukan israf dalam baitul mal, umur, biaya kehidupan, akan menjadi jauh dari pancaran ma’arif agama, dan tidak akan bisa mendapatkan hidayah ke arah shirâth al-mustaqim dimana mereka yang melewatinya berada dalam lindungan kasih sayang-Nya.
Islam memiliki program untuk seluruh dimensi kehidupan manusia, dan menyarankan keseimbangan dan proporsionalitas dalam semua persoalan kepada para pengikutnya.
Israf adalah berlebihan dan melanggar, dimana kontradiksinya adalah bertujuan dan pertengahan. Batasannya ditentukan oleh dosa-dosa, hal-hal yang diharamkan secara syar’i, hukum akal dan tolok-tolok ukur akli dan urf atau hal yang berlaku umum di tengah masyarakat.
Sedangkan tabdzîr bermakna menyebar. Tabdzîr mencakup menghamburkan dan berlebihan dalam mengkonsumsi makanan, dan segala yang berkaitan dengan kehidupan.
Al-Quran menganggap para pelaku israf sebagai saudara setan; saudara setan yang tak lain adalah para pelaku israf ini, memiliki berbagai perilaku dan pada setiap kondisi akan berbuat dengan perilaku yang berbeda-beda. Mereka yang melakukan israf secara sadar dan sengaja, berarti mereka telah menyertai setan. Seseorang yang secara sadar dan sengaja melakukan israf dalam baitul mal, umur, biaya kehidupan, akan menjadi jauh dari pancaran ma’arif agama, dan tidak akan bisa mendapatkan hidayah ke arah shirâth al-mustaqim dimana mereka yang melewatinya berada dalam lindungan kasih sayang-Nya.
Jawaban Detil
Pendahuluan:
Agama Islam memiliki program dan rancangan untuk seluruh dimensi kehidupan manusia, dan menyarankan keseimbangan dalam seluruh persoalan kepada para pengikutnya. Dari satu sisi, boleh-boleh saja memanfaatkan kenikmatan Ilahi dan keindahan-keindahan kehidupan yang sah, namun dari sisi lain, israf dan berlebihan atau merusak nikmat-nikmat yang telah diberikan oleh-Nya adalah haram dan tak layak untuk dilakukan, hal ini karena setiap Muslim memiliki tanggung jawab terhadap masyarakat sesuai dengan kemungkinan, kemampuan dan kinerjanya, dan penerimaan tanggung jawab ini harus dilakukan dengan akhlak yang baik, dan selain yang demikian, berarti ia telah israf dan menghindarkan diri dari melakukan tanggung jawab dan kesepakatan sosialnya, dan terjebak dalam kebiasaan-kebiasaan moral yang buruk dimana perbuatannya ini bisa menimbulkan kerugian bagi masyarakat.
Untuk menjelaskan masalah israf dan tabdzîr, pertama kita akan membahas tentang definisi dua kata ini dan perbedaan yang ada pada keduanya, setelah itu akan kita lanjutkan dengan membahas tentang dimensi-dimensinya dengan memperhatikan ajaran-ajaran agama.
Israf
Israf berarti berbuat berlebihan dan melanggar, dimana makna kontradiksinya adalah bertindak dengan bertujuan dan melakukan yang pertengahan. Raghib Ishfahani mengenai makna israf mengatakan, “Israf adalah segala perbuatan dan amalan yang dilakukan oleh manusia dan keluar dari batas, melanggar kelayakannya dan dilakukan seecara berlebihan.”[1]
Oleh karena itu bisa dikatakan bahwa israf adalah segala bentuk perbuatan yang sia-sia, berlebihan dan keluar dari batasan yang wajar, baik dalam kualitas maupun kuantitasnya. Dari penjelasan ini menjadi jelas bahwa israf tidak hanya berkaitan dengan makan, minum atau dalam masalah-masalah perekonomian saja, melainkan israf memiliki makna yang lebih luas dan universal.
Pada hakikatnya bisa dikatakan, israf adalah segala bentuk yang melanggar batas kewajarannya, ekstrim, kondisi yang tak sesuai untuk kondisi jiwa dan ruhani, atau sifat yang tak seimbang dalam akhlak, budaya dan sosial seseorang dalam masyarakat.[2]
Definisi ini akan membuat kewajiban menjadi sangat berat, karena israf selain ada dalam lingkup perekonomian, makan dan minum, juga memasuki zona-zona lain dalam perbuatan manusia.
Dari perkataan-perkataan para linguist dan ahli tafsir terkait dengan kata israf , bisa disimpulkan bahwa batas yang benar dalam israf - dimana memperhatikannya berarti wajar atau proporsional, dan melanggarnya bisa menyebabkan manusia berada dalam posisi musrifin- bisa ditentukan dalam tiga tolok ukur berikut:
Agama Islam memiliki program dan rancangan untuk seluruh dimensi kehidupan manusia, dan menyarankan keseimbangan dalam seluruh persoalan kepada para pengikutnya. Dari satu sisi, boleh-boleh saja memanfaatkan kenikmatan Ilahi dan keindahan-keindahan kehidupan yang sah, namun dari sisi lain, israf dan berlebihan atau merusak nikmat-nikmat yang telah diberikan oleh-Nya adalah haram dan tak layak untuk dilakukan, hal ini karena setiap Muslim memiliki tanggung jawab terhadap masyarakat sesuai dengan kemungkinan, kemampuan dan kinerjanya, dan penerimaan tanggung jawab ini harus dilakukan dengan akhlak yang baik, dan selain yang demikian, berarti ia telah israf dan menghindarkan diri dari melakukan tanggung jawab dan kesepakatan sosialnya, dan terjebak dalam kebiasaan-kebiasaan moral yang buruk dimana perbuatannya ini bisa menimbulkan kerugian bagi masyarakat.
Untuk menjelaskan masalah israf dan tabdzîr, pertama kita akan membahas tentang definisi dua kata ini dan perbedaan yang ada pada keduanya, setelah itu akan kita lanjutkan dengan membahas tentang dimensi-dimensinya dengan memperhatikan ajaran-ajaran agama.
Israf
Israf berarti berbuat berlebihan dan melanggar, dimana makna kontradiksinya adalah bertindak dengan bertujuan dan melakukan yang pertengahan. Raghib Ishfahani mengenai makna israf mengatakan, “Israf adalah segala perbuatan dan amalan yang dilakukan oleh manusia dan keluar dari batas, melanggar kelayakannya dan dilakukan seecara berlebihan.”[1]
Oleh karena itu bisa dikatakan bahwa israf adalah segala bentuk perbuatan yang sia-sia, berlebihan dan keluar dari batasan yang wajar, baik dalam kualitas maupun kuantitasnya. Dari penjelasan ini menjadi jelas bahwa israf tidak hanya berkaitan dengan makan, minum atau dalam masalah-masalah perekonomian saja, melainkan israf memiliki makna yang lebih luas dan universal.
Pada hakikatnya bisa dikatakan, israf adalah segala bentuk yang melanggar batas kewajarannya, ekstrim, kondisi yang tak sesuai untuk kondisi jiwa dan ruhani, atau sifat yang tak seimbang dalam akhlak, budaya dan sosial seseorang dalam masyarakat.[2]
Definisi ini akan membuat kewajiban menjadi sangat berat, karena israf selain ada dalam lingkup perekonomian, makan dan minum, juga memasuki zona-zona lain dalam perbuatan manusia.
Dari perkataan-perkataan para linguist dan ahli tafsir terkait dengan kata israf , bisa disimpulkan bahwa batas yang benar dalam israf - dimana memperhatikannya berarti wajar atau proporsional, dan melanggarnya bisa menyebabkan manusia berada dalam posisi musrifin- bisa ditentukan dalam tiga tolok ukur berikut:
- Dosa-dosa dan haram-haram syar’i: ini dengan dalil bahwa hal-hal yang haram dan maksiat sendiri merupakan batasan-batasan Ilahi, dan keterlibatan manusia di dalamnya kendati tanpa memanfaatkan harta akan dikatakan sebagai israf dengan makna melakukan dosa dan melanggar aturan-aturan agama.
- Hukum akal dan standar-standar rasional: ini dalam kaitannya dimana akal menghukumi keburukan dan ketercelaan dalam memanfaatkan harta, sedemikian hingga melanggarnya identik dengan kejahilan dan kebodohan, seperti menhamburkan dan menyia-nyiakan kekayaan dan membelanjakannya untuk hal-hal yang tak benar dan tak bermanfaat, dimana ini menunjukkan pada ketakmatangan akal dan lemahnya pemikiran si pelaku.
- Urf atau keumuman dalam masyarakat: keumuman dalam masyarakat juga menjadi faktor penentu batasan israf; sebagai misal menggunakan kekayaan untuk kebaikan pribadi, istri dan anak, atau menginfakkannya untuk kebaikan orang lain, masing-masing memiliki batasan dimana urf dan keumuman masyarakat akan menjadi penentu dan pembatas berdasarkan pada kondisi perekonomian masa tersebut, dan berdasarkan pada kondisi keuangan, ekonomi dan kondisi yang ada dalam masyarakat setiap orang, dan kebalikannya, kurang dari batasan yang ada merupakan manifestasi dari bakhil dan pelit, dan jika menyebabkan hilangnya hak wajib, maka hal ini akan menjadi haram dan maksiat. Berlebihan dan melanggar darinya pun akan bermakna keluar dari batas kewajaran dan masuk ke lingkup para israf.
Batasan dalam penggunaan pribadi dan infak, merupakan persoalan yang bergantung pada kelayakan urf, oleh karena itu, kondisi masing-masing individu saling berbeda satu sama lain, dengan ibarat lain, batas kebolehan yang ditentukan oleh urf masyarakat untuk penggunaan pribadi dan keluarga, pada setiap individu tidaklah sama, melainkan berbeda sesuai perbedaan-perbedaan materi dan posisi-posisi sosial mereka, oleh karena itu, bisa jadi penggunaan dalam jumlah tertentu dari harta, pada satu kasus oleh fulan A akan dianggap israf, sementara penggunaan dalam jumlah yang sama dan pada kasus yang sama oleh fulan B yang memiliki kondisi keuangan dan tingkat sosial yang lebih tinggi, tidak dianggap israf.[3]
Imam Shadiq As dalam sebuah hadis bersabda, “Bisa jadi seorang fakir lebih israf dari orang kaya!” bertanya, “Bagaimana?’ Bersabda, “Orang kaya membelanjakan apa yang dimilikinya, dan fakir menginfakkan miliknya tanpa adanya kekayaan tambahan.”[4]
Tabdzîr
Tujuan dari membahas masalah israf dalam Islam sebagaimana telah dikatakan sebelumnya bukanlah dalam dimensi ekonomi, makan dan berpakaian, karena jika demikian,hal ini akan dikatakan sebagai tabdzîr.
Thabarsi ra, dalam kaitannya dengan masalah ini mengatakan, “Tabdzîr adalah menghambur-hamburkan kekayaan dengan israf, dan akar dari kata ini adalah menaburkan benih, dengan perbedaan, tabdzîr adalah menghamburkan atau merusak, akan tetapi jika pengeluaran ini (kendati banyak) dilakukan di jalan kebaikan sesuatu, maka tidak dinamakan tabdzîr.[5]
Dengan memperhatikan definisi tabdzîr dari Thabarsi ini, bisa diambil kesimpulan bahwa tabdzîr berada di bawah rangkaian israf. Dalam israf, menyia-nyiakan dan merusak kekayaan memiliki makna yang lebih luas dan mencakup berbagai kasus; seperti berlebihan dalam infak-infak pribadi dan urusan sosial yang tidak bisa diartikan sebagai tabdzîr, akan tetapi tabdzîr mencakup penyia-nyiaan dan berlebihan dalam menggunakan makanan dan perlengkapan kehidupan.
Dengan kata lain, bisa dikatakan setiap tabdzîr adalah israf, akan tetapi setiap israf belum tentu tabdzîr.
Imam Shadiq As bersabda, “Tabdzîr adalah dari israf.”[6]
Dalam israf terdapat berbagai asumsi cabang dimana salah satunya adalah tabdzîr.
Berdasarkan apa yang telah dijelaskan, antara kata israf dengan makna ekonominya, dengan kata tabdzîr, tidak ada perbedaan yang banyak, dan mungkin hanya untuk membedakan antara kedua kata ini dimana dengan memperhatikan karakteristik-karakteristik intepretasi yang diungkapkan oleh para linguist, dalam makna tabdzîr,yang dimaksud dengan kata ini adalah menyia-nyiakan dan merusak harta, dan berlebihan dalam infak-infak pribadi serta persoalan-persoalan yang baik, tidak tercakup di dalamnya, sementara israf lebih luas dari itu, dan mencakup semua persoalan, mulai dari menghambur-hamburkan, berlebih-lebihan dalam penggunaan pribadi dan keluarga, maupun dalam infak-infak mustahab.[7]
Imam Shadiq As dan Ajaran Keseimbangan
Imam Shadiq As saat membaca ayat ini bersabda, “Dan mereka yang tidak berlebih-lebihan dalam berinfak dan juga tidak bakhil, namun berada di antara keduanya, berarti mereka telah memelihara batas pertengahan”[8], setelah mengucapkan kalimat ini, beliau kemudian mengambil segenggam kerikil dan menggenggamnya dengan kepalan tangan, lalu bersabda, “Ini tak lain adalah kedisiplinan dan terlalu ketat yang mengerikan, dimana hal ini telah dikatakan oleh Allah Swt dalam kitab-Nya”, setelah itu beliau mengambil segenggam lainnya, dan menumpahkan semuanya, lalu bersabda, “Dan ini adalah israf”, setelah itu beliau mengambil segenggam lagi dan menumpahkan sebagiannya dan menggenggam sebagian lainnya, bersabda, “Dan inilah batas pertengahan”[9]
Perilaku Saudara Setan
Saudara setan yang tak lain adalah para pelaku israf memiliki berbagai perilaku, dan dalam setiap kondisi akan memiliki perilaku yang berbeda-beda. Mereka yang melakukan israf secara sadar dan dengan sengaja, berarti ia telah menyertai setan. Seseorang yang israf dalam baitul mal, umur, biaya kehidupan, secara sengaja dan mengetahui hal tersebut, maka ia akan terjauhkan dari makrifat agama dan tidak akan bisa terhidayahi di shiratal mustaqim tempat dimana mereka yang melewatinya berada di bawah lindungan kasih Ilahi.
Allah Swt dalam Al-Quran al-Karim berfirman, “Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat hak mereka dan kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan; dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya para pemboros itu adalah saudara-saudara setan dan setan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya.”[10]
Pada ayat di atas, orang-orang yang israf dikenal sebagai saudara dan pengikut setan. Oleh karena itu, di sini bisa dikatakan, barang siapa menggunakan kekayaan dan harta diluar persoalannya, maka ia telah terlibat dalam perbuatan setan dan melakukan sebentuk rasa ketaksyukuran. Persoalan ini telah dijelaskan dengan baik dalam riwayat dari Imam Shadiq As, dimana Imam bersabda, “Lukman berkata kepada putranya, Terdapat tiga indikasi bagi seorang pemboros: memikirkan sesuatu yang bukan miliknya (bukan dalam tingkat kemampuannya), mengenakan yang bukan ukurannya (tidak cocok untuknya), memakan yang bukan untuknya (tidak berada dalam lingkup kepatasannya).[11]
Kerugian-kerugian Israf
Imam Shadiq As dalam sebuah hadis bersabda, “Bisa jadi seorang fakir lebih israf dari orang kaya!” bertanya, “Bagaimana?’ Bersabda, “Orang kaya membelanjakan apa yang dimilikinya, dan fakir menginfakkan miliknya tanpa adanya kekayaan tambahan.”[4]
Tabdzîr
Tujuan dari membahas masalah israf dalam Islam sebagaimana telah dikatakan sebelumnya bukanlah dalam dimensi ekonomi, makan dan berpakaian, karena jika demikian,hal ini akan dikatakan sebagai tabdzîr.
Thabarsi ra, dalam kaitannya dengan masalah ini mengatakan, “Tabdzîr adalah menghambur-hamburkan kekayaan dengan israf, dan akar dari kata ini adalah menaburkan benih, dengan perbedaan, tabdzîr adalah menghamburkan atau merusak, akan tetapi jika pengeluaran ini (kendati banyak) dilakukan di jalan kebaikan sesuatu, maka tidak dinamakan tabdzîr.[5]
Dengan memperhatikan definisi tabdzîr dari Thabarsi ini, bisa diambil kesimpulan bahwa tabdzîr berada di bawah rangkaian israf. Dalam israf, menyia-nyiakan dan merusak kekayaan memiliki makna yang lebih luas dan mencakup berbagai kasus; seperti berlebihan dalam infak-infak pribadi dan urusan sosial yang tidak bisa diartikan sebagai tabdzîr, akan tetapi tabdzîr mencakup penyia-nyiaan dan berlebihan dalam menggunakan makanan dan perlengkapan kehidupan.
Dengan kata lain, bisa dikatakan setiap tabdzîr adalah israf, akan tetapi setiap israf belum tentu tabdzîr.
Imam Shadiq As bersabda, “Tabdzîr adalah dari israf.”[6]
Dalam israf terdapat berbagai asumsi cabang dimana salah satunya adalah tabdzîr.
Berdasarkan apa yang telah dijelaskan, antara kata israf dengan makna ekonominya, dengan kata tabdzîr, tidak ada perbedaan yang banyak, dan mungkin hanya untuk membedakan antara kedua kata ini dimana dengan memperhatikan karakteristik-karakteristik intepretasi yang diungkapkan oleh para linguist, dalam makna tabdzîr,yang dimaksud dengan kata ini adalah menyia-nyiakan dan merusak harta, dan berlebihan dalam infak-infak pribadi serta persoalan-persoalan yang baik, tidak tercakup di dalamnya, sementara israf lebih luas dari itu, dan mencakup semua persoalan, mulai dari menghambur-hamburkan, berlebih-lebihan dalam penggunaan pribadi dan keluarga, maupun dalam infak-infak mustahab.[7]
Imam Shadiq As dan Ajaran Keseimbangan
Imam Shadiq As saat membaca ayat ini bersabda, “Dan mereka yang tidak berlebih-lebihan dalam berinfak dan juga tidak bakhil, namun berada di antara keduanya, berarti mereka telah memelihara batas pertengahan”[8], setelah mengucapkan kalimat ini, beliau kemudian mengambil segenggam kerikil dan menggenggamnya dengan kepalan tangan, lalu bersabda, “Ini tak lain adalah kedisiplinan dan terlalu ketat yang mengerikan, dimana hal ini telah dikatakan oleh Allah Swt dalam kitab-Nya”, setelah itu beliau mengambil segenggam lainnya, dan menumpahkan semuanya, lalu bersabda, “Dan ini adalah israf”, setelah itu beliau mengambil segenggam lagi dan menumpahkan sebagiannya dan menggenggam sebagian lainnya, bersabda, “Dan inilah batas pertengahan”[9]
Perilaku Saudara Setan
Saudara setan yang tak lain adalah para pelaku israf memiliki berbagai perilaku, dan dalam setiap kondisi akan memiliki perilaku yang berbeda-beda. Mereka yang melakukan israf secara sadar dan dengan sengaja, berarti ia telah menyertai setan. Seseorang yang israf dalam baitul mal, umur, biaya kehidupan, secara sengaja dan mengetahui hal tersebut, maka ia akan terjauhkan dari makrifat agama dan tidak akan bisa terhidayahi di shiratal mustaqim tempat dimana mereka yang melewatinya berada di bawah lindungan kasih Ilahi.
Allah Swt dalam Al-Quran al-Karim berfirman, “Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat hak mereka dan kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan; dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya para pemboros itu adalah saudara-saudara setan dan setan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya.”[10]
Pada ayat di atas, orang-orang yang israf dikenal sebagai saudara dan pengikut setan. Oleh karena itu, di sini bisa dikatakan, barang siapa menggunakan kekayaan dan harta diluar persoalannya, maka ia telah terlibat dalam perbuatan setan dan melakukan sebentuk rasa ketaksyukuran. Persoalan ini telah dijelaskan dengan baik dalam riwayat dari Imam Shadiq As, dimana Imam bersabda, “Lukman berkata kepada putranya, Terdapat tiga indikasi bagi seorang pemboros: memikirkan sesuatu yang bukan miliknya (bukan dalam tingkat kemampuannya), mengenakan yang bukan ukurannya (tidak cocok untuknya), memakan yang bukan untuknya (tidak berada dalam lingkup kepatasannya).[11]
Kerugian-kerugian Israf
- Kerugian-kerugian jasmani: berlebihan dalam makan dan minum akan banyak memberikan kerugian pada jasmani dan tubuh manusia. Menurut keyakinan para medis, saat ini, terlalu banyak makan dan tak memiliki nafsu makan menjadi kasus terpenting yang menjebak manusia ke berbagai penyakit. Dan ini merupakan poin yang banyak ditekankan oleh para Maksum As dalam perkataan-perkataan mereka. Al-Quran al-Karim juga menghalangi para mukmin dari perbuatan israf dalam makan dan minum, berfirman, “... makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.”[12]
- Murka Tuhan
Pada salah satu ayat Allah berfirman, “... dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.”[13]
Dalam kaitannya dengan hal ini, Imam Shadiq As bersabda, Israf adalah hal yang membuat Allah murka.”[14]
Dalam kaitannya dengan hal ini, Imam Shadiq As bersabda, Israf adalah hal yang membuat Allah murka.”[14]
- Mengurangi berkah: israf akan menyebabkan berkah dalam kehidupan manusia menjadi berkurang, “Sesungguhnya israf akan disertai dengan berkurangnya berkah.”[15]
- Kehilangan kesempatan untuk peroleh hidayah: kepada orang-orang yang israf, Allah berfirman, “Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang melampaui batas lagi pendusta.”[16]
- Miskin: Pengaruh terpenting dari israf dalam perekonomian adalah miskin, karena para pemboros ini telah mengancam kehidupan manusia dengan perbuatannya menyia-nyiakan sumber-sumber dan investasi-investasi yang biasanya memiliki jumlah terbatas, Imam Ali As bersabda, Israf menyebabkan kemusnahan, dan kewajaran bisa menyebabkan kaya.[17]
- Kemusnahan: Israf dari bentuk yang manapun akan memusnahkan manusia.
Al-Quran mengungkap hakikat ini demikian, “Kemudian Kami tepati janji (yang telah Kami janjikan) kepada mereka. Maka Kami selamatkan mereka dan orang-orang yang Kami kehendaki dan Kami binasakan orang-orang yang melampaui batas.”[18]
- Sanksi Ukhrawi: sanksi bagi mereka yang melanggar dari batasan Ilahi dan tidak perduli terhadap perintah-perintah dan larangan-larangan Allah adalah azab ukhrawi.
Sekaitan dengan ini, dalam salah satu ayat-Nya Allah berfirman, “Dan demikianlah Kami membalas orang yang melampaui batas dan tidak percaya kepada ayat-ayat Tuhan-nya. Dan sesungguhnya azab di akhirat itu lebih pedih dan lebih kekal.”[19]
Kerugian-kerugian Sosial yang Ditimbulkan Oleh Israf
Dari sisi kerugian-kerugian sosial, israf memiliki konsekuensi-konsekuensi berikut:
Kerugian-kerugian Sosial yang Ditimbulkan Oleh Israf
Dari sisi kerugian-kerugian sosial, israf memiliki konsekuensi-konsekuensi berikut:
- Terhamburnya sumber-sumber ekonomi masyarakat: israf akan membuat sumber-sumber besar masyarakat, seperti minyak, tambang, manfaat-manfaat nisbi ekonomi setiap negara, akan menjadi tersia-siakan, kendati sumber-sumber dan investasi-investasi yang dimiliki oleh negara dalam jumlah besar. Imam Ali As bersabda, “Israf juga akan memusnahkan kekayaan yang banyak.”[20]
- Jatuhnya Etika Sosial: Boros dan banyak pengeluaran akan mengeluarkan manusia dari lintasan yang benar, dan menyeret ke lingkaran kerusakan, sehingga membuatnya tak mempedulikan sesama, dan tak mampu merasakan kesulitan dan kesusahan orang lain.
- Kesenjangan sosial, salah satu dari penyebab munculnya kesenjangan sosial di dalam masyarakat adalah israf, karena mereka yang memiliki income tinggi merasa berhak untuk membelanjakan dengan sekehendaknya, kendati tidak sesuai dengan syariat dan urf masyarakat. Berdasarkan hal ini, ia merasa berbeda dengan yang lain dan hal ini setahap demi setahap akan membantu terjadinya kesenjangan sosial dalam masyarakat.
- Jatuhnya pemerintahan: konsekuensi sosial lain yang ditimbulkan oleh israf adalah tergulingnya pemerintahan. Menurut keyakinan Ibnu Khaldun yang merupakan salah seorang cendekiawan sosiologi Muslim, setiap pemerintahan yang terjebak dalam israf dan tabdzîr akan menyebabkannya terguling dan tersingkirkan.[21] [iQuest]
Indeks-indeks yang berkaitan:
Pengaruh Qanaah dan Perbedaannya dengan Bakhil, pertanyaan 14858, situs 14614.
[1]. Raghiib Ishfahani, Mufradât Alfâdz Qurân, dibawah kata sarf.
[2]. Rujuklah: Rastgar Jubari, Waliullah, Isrâf dar Didgâhe Islâm, Nasyr ash-Shafiya, Teheran, 1380.
[3]. Rujuklah: Musawi Kasymiri, Mahdi, Pazyuhesyyî dar Isrâf, Bustâne Kitâb, cet. Ketiga, Qom, 1385.
[4]. Kulaini, Kâfî, jil. 7, hlm. 346, Dâr al-Hadîts, Qom, cet. Pertama, 1429 HQ.
[5]. Thabarsi, Majma’ al-Bayân, jil. 6, hlm. 633, Nashir Khusru, Teheran, cet. Ketiga, 1372 Hsy.
[6]. Kulaini, Kâfî, jil. 7, hlm. 19, Dâr al-Hadîts, Qom, cet. Pertama, 1429 HQ.
[7]. Musawi Kasymiri, Mehdi, Pazyuhesyyî dar Isrâf, Bustâne Kitâb, cet. Ketiga, Qom, 1385
[8]. QS. Al-Furqan [25]: 67.
[9]. Kulaini, Kâfî, jil. 7, hlm. 345, Dâr al-Hadîts, Qom, cet. Pertama, 1429 HQ.
[10]. QS. Al Isra [17]: 26-27.
[11]. Syaikh Shaduq, Khishâl, jil. 1, hlm. 121, Intisyârât Islâmî, Qom, cet. Pertama, 1362 Hsy.
[12]. QS. Al-A’raf [7]: 31.
[13]. QS. Al-An’am [6]: 141.
[14]. Kulaini, Kâfî, jil. 7, hlm. 339, Dâr al-Hadîts, Qom, cet. Pertama, 1429 HQ.
[15]. Ibid, jil. 4, hlm. 55.
[16]. QS. Al-Ghafir [40]: 28.
[17]. Kulaini, Kâfî, jil. 7, hlm. 339, Dâr al-Hadîts, Qom, cet. Pertama, 1429 HQ.
[18]. QS. Anbiya [21]: 9.
[19]. QS. Thaha [20]: 127.
[20]. Tamimi Amadi, Abdulwahid bin Muhammad, Tashnîf Ghurar al-Hikam wa Durar al-Kalam, mushahih, Dirayati, Mushtafa, hlm. 359, 1 jilid, Daftar Tablighâte Islâmî, Qom, cet. Pertama, 1366 Hsy.
[21]. Rujuklah: Khusru, Ghulam Ali, Syenâkhte Anwâ’e Ijtimâ’at az Didgâhe Fârâbi wa Ibnu Khaldûn, Nasyre Ithilâ’âth, cet. Pertama, Teheran, 1372 Hsy.