Dalam menjawab pertanyaan pertama bisa dikatakan bahwa: ayat tathir ini berada ditengah-tengah ayat, dimana hal itu menandaskan bahwa konteksnya sejalan atau sama dengan subjek yang ada sebelum dan sesudahnya. Dan jika tidak ada bentuk pengkhususan atas istri-istri Nabi Saw maka minimalnya secara umum dapat mencakup mereka. Namun perlu diperhatikan bahwa Pertama: Anggaplah hal semacam ini bisa diterima, dimana ia tidak lebih dari sebuah bentuk atau model presentasi dan ini tidak akan mampu menghadapi argumen-argumen kuat. Mesti dan harus berlepas tangan dari indikasi semacam ini demi adanya indikasi-indikasi lain yang tentunya lebih kuat. Kedua: konteks ayat-ayat ini tidak mengarah kepada bahwa ayat tathir juga mencakup istri-istri Nabi Saw.
Poin pertama: Adanya kalimat sisipan dalam sebuah ungkapan/perkataan dan tulisan dapat merusak tulisan dan ungkapan tersebut, namun jika disertai oleh sebuah indikasi atau qarinah maka tidak hanya bertentangan dengan kaidah retorika (balaghah) dan elokuensi (fashahah) tapi justru akan lebih memperindah ungkapan atau tulisan tersebut. Dengan demikian, tidak begitu esensial untuk mengatakan bahwa apa yang ada pada ayat tathir tersebut juga mencakup istri-istri Nabi Saw dengan alasan ayat tersebut berada di antara ayat-ayat yang sedang berbicara kepada istri-istri Nabi Saw, karena mungkin saja kalimat sisipan ini menyiratkan kepada pribadi-pribadi yang jelas “ashab al kisa” dan khusus untuk mereka saja dan ada banyak indikasi-indikasi yang mendasari klaim ini, di antaranya adalah:
1. Berdasarkan substansi sekumpulan riwayat, ayat tathir turun secara sendiri dan Nabi Saw, untuk menolak adanya kecurigaan bahwa Ahlulbait dan istri-istri Nabi saw adalah dua hal yang terpisah, memerintahkan supaya ayat yang dimaksud dalam hal ini dimuat serta diketahui sehingga tidak ada lagi orang yang berangan-angan bahwa Ahlulbait As sama halnya dengan istri-istri Nabi saw dimana tidak menutup kemungkinan untuk lebih memilih kehidupan dunia yang hina ini daripada Nabi Muhammad Saw dan lain sebagainya.
2. Irama ungkapan Allah SWT dalam ayat ini berubah dan kemudian menggunakan dhamir (pronoun) bentuk plural untuk laki-laki, sementara ayat ini berbicara kepada istri-istri Nabi Saw.
3. Sesuai pandangan pakar bahasa, kata ahl dalam bahasa Arab tidak digunakan untuk istri, kecuali secara majazi saja. Berdasarkan hal ini, setelah ayat tathir turun Ummu Salamah meminta kepada Nabi saw untuk memasukkan ia sebagai bagian dari Ahlulbait As. Bukti dari klaim ini adalah Zaid bin Arqam mengatakan bahwa istilah Ahlulbait itu bukan mengenai istri-istri.
4. Tak ada satu pun dari istri-istri Nabi saw yang mengklaim bahwa ayat ini turun berkaitan dengan mereka, padahal Aisyah pada perang Jamal sangat membutuhkan dalil dan argumen semacam ini.
5. Kata turidna dalam ayat 29 surat al Ahzab mengisahkan bahwa Allah SWT tidak punya keinginan dan perhatian khusus kepada Istri-istri Nabi Saw, tapi memiliki perhatian dan kehendak takwini terhadap Ahlulbait As yang tidak bisa diingkari dimana mereka dijauhkan dari segala macam bentuk kekotoran.
6. Alif dan lam pada kata Ahlulbait, dalam istilah ilmu nahwu, disebut ‘ahd khariji atau ‘ahdi hudhuri (yakni hadir ketika dibicarakan), dimana ia menunjuk kepada peristiwa terkenal ashabul kisa. Oleh sebab itu, kata Ahlulbait sama halnya seperti alu ‘abai, ash habul kisa dan yaumuddar.
Poin kedua: Dalam ayat-ayat ini Nabi saw diposisikan sebagai lawan bicara dan supaya mengatakan kepada istri-istrinya. Al-Quran mengatakan:”ya ayyuhannabi qul liazwaajika...(wahai nabi katakanlah kepada istri-istrimu...).
Selanjutnya Allah Swt juga menujukan khitab (ungkapan) tersebut kepada baiturrisalah dan maqamunnubuwwah (maqam kenabian), untuk menginformasikan bahwa sebab dari semua perintah dan larangan kepada istri-istri Nabi Saw tersebut adalah supaya Ahlulbait As terhindar dari tudingan berbuat kekejian; karena Allah SWT telah menghendaki bahwa Ahlulbait As akan dijauhkan dari berbagai bentuk kekotoran dan keburukan. Jadi konteksnya juga tidak paradoks dengan adanya pembatasan ayat tathir hanya pada Ash habul kisa.
Adapun jawaban untuk pertanyaan kedua adalah: Berdasarkan penjelasan sebelumnya, mungkin tidak perlu lagi diulangi untuk kedua kalinya dan cukup ditegaskan saja bahwa dalam beberapa riwayat mutawatir dikatakan; yang dimaksud dengan Ahlulbait As adalah Rasulullah saw, Imam Ali As, Hadrat Fathimah As, Imam Hasan As dan Imam Husein As dan juga mencakup seluruh Imam (sebagaimana yang diisyaratkan oleh ayat tathir).
Hal yang dijadikan landasan dan sandaran pada pertanyaan di atas sama seperti apa yang dituturkan oleh sebagian yang lain, yaitu dikatakan bahwa ayat tathir tersebut terletak di akhir ayat-ayat yang ada kaitannya dengan istri-istri Nabi Saw. Kalau hal tersebut tidak dikhususkan untuk istri-istri Nabi Saw, maka minimalnya secara umum bisa mencakup mereka (istri-istri Nabi saw). Klaim semisal ini tidak memiliki landasan argumen dan selain itu ada banyak dalil yang mencoba menafikan klaim di atas.
Dengan memfokuskan pikiran pada poin-poin dibawah ini akan dapat membantu kita untuk menemukan hakikat yang sebenarnya:
1. Meski kita punya keyakinan bahwa Al-Quran pada masa hidup Nabi Saw telah disusun dan dikodifikasi langsung oleh beliau, namun perlu dimaklumi bahwa substansi sebagian riwayat-riwayat menyiratkan bahwa ayat tathir itu turun secara sendiri (tanpa disertai ayat-ayat lain) dan bahkan tidak ada satu pun riwayat yang menyatakan bahwa ayat ini (ayat tathir) turun bersamaan dengan ayat-ayat yang ada kaitannya dengan istri-istri Nabi saw (ayat 28 dan 29 surah al-Ahzab). Buktinya adalah kalau ayat ini diambil dari sini maka tidak akan merusak keselarasan dan hubungannya.[1] Kalau pada bagian ini telah dimuat, itu karena Al-Quran menunjuk kepada seluruh anggota keluarga Nabi Saw dan mereka itu dibagi menjadi dua kelompok, sebagiannya adalah para istri Nabi Saw dan sebagiannya lagi adalah Ahlulbait Rasulullah saw, dan (Alquran) hendak menginformasikan bahwa seluruh sanak keluarga Nabi saw tersebut tidak berasal dari satu sumber yang sama, tapi diantara mereka ada kelompok khusus yang memperoleh anugerah serta inayah khusus langsung dari Allah SWT serta disucikan dari segala bentuk ketidaksucian. Ibarat lainnya, kalau pun kita mencoba menerima bahwa pada ayat-ayat sebelum dan sesudahnya adalah ayat-ayat yang ditujukan kepada istri-istri Nabi saw maka kita masih punya dua cara lain untuk membuktikan kalau yang dimaksud Ahlulbait As hanya ash habul kisa; yakni Rasulullah saw, Imam Ali As, Sayyidah Fathimah As, Imam Hasan As dan Imam Husein As. Pertama: Iltifât: Iltifat merupakan salah satu metode dalam menjelaskan dan membuat sebuah tulisan atau ungkapan menjadi indah, seperti apa yang ada pada surat al-Fatihah dimana disana ketika berbicara dari ihwal ghaib (Alhamdulillah) berubah ke ihwal non-ghaib (iyyaka na’budu) dan iltifat dalam ayat tathir juga untuk menginformasikan poin berikut bahwa terhindarnya Ahlulbait As dari segala kenistaan merupakan hal yang demikian penting sehingga kepada istri-istri Nabi saw juga diperintahkan serta dilarang melakukan hal seperti ini (menjauhi kenistaan dan keburukan) supaya nantinya tidak ada seorang pun mencoba menuduh dan memprotes Ahlulbait As.[2] Kedua: i’tirâdh: tumbuh berkembangnya kalimat-kalimat sisipan (mu’taridhah) pada kalam dan ucapan para pakar ilmu Balaghah dan Fashahah merupakan hal yang lumrah dan dikalangan mereka seringkali melakukan hal semacam ini guna apa yang disampaikannya bisa tertanam dan terlukis dalam benak setiap orang yang mendengarnya dengan baik dan ini telah berulangkali disebutkan dalam Al-Quran.[3] Pada ayat yang sedang dibahas, guna melenyapkan khayalan sebagian orang yang meyakini bahwa Ahlulbait As sama seperti istri-istri Nabi Saw, dilampirkanlah kalimat sisipan (mu’taridha) seperti ini; yakni jika istri-istri Nabi Saw juga tidak menutup kemungkinan untuk berbuat dosa dan kesalahan maka demikian pula Ahlulbait As tidak menutup kemungkinan untuk melakukan dan berbuat dosa dan kesalahan, padahal Ahlulbait As terhindar serta terjaga dari hal semacam ini. Oleh karena itu dalam kalimat sisipan tersebut telah diingatkan bahwa:”innamaa yuriidullahu liyuzhaba...”.[4]
2. Dalam ayat-ayat ini setelah 20 bentuk pronoun plural (dhamir jama’) untuk perempuan, irama kalam Tuhan berubah dan menggantinya dengan bentuk pronoun plural untuk laki-laki dan ini merupakan indikasi terbesar yang menyatakan bahwa kita harus angkat kaki da