Tiadanya informasi dan pemberitahuan pendahuluan terkait dengan masa kapan ajal manusia tiba merupakan salah satu karunia besar Ilahi; karena kebanyakan orang apabila ia mengetahui bahwa esok hari ia akan meninggalkan dunia ini (mati) maka hal ini akan sangat getir bagi mereka. Dan apabila mereka mengetahui bahwa ia akan hidup untuk beberapa waktu lama lagi maka ia akan melupakan kematian dan memandang dirinya akan hidup abadi dan selamanya di dunia. Ia akan berbuat aniaya dan jahat kepada orang lain serta menginjak-injak hak orang lain dan mengumpulkan sebanyak-banyaknya harta benda untuk kepentingan dirinya sendiri.
Hadis mulia ini dan hadis-hadis lainnya disebutkan semakna dengan makna ini. Hadis tersebut menyiratkan pada satu poin moral dan pendidikan yang sangat akurat bahwa dalam perspektif Islam, pandangan manusia terhadap kehidupan, usia, keselamatan, pelbagai karunia dan sebagianya harus sedemikian ditata sehingga ia harus memanfaatkan waktu yang minim dan sangat terbatas ini semaksimal mungkin.
Salah satu karunia besar yang dianugerahkan Tuhan kepada manusia adalah tidak mengabarkan manusia tentang kapan mereka meninggal; karena kebanyakan orang berlaku demikian bahwa apabila mereka mengetahui esok hari ia akan meninggalkan dunia ini selamanya maka hal itu akan menjadi sesuatu yang getir baginya dan sebagai konsekuensinya ia tidak lagi akan berusaha dan berupaya dalam hidupnya. Demikian juga, apabila ia mengetahui bahwa ia akan hidup untuk masa yang lama maka ia akan melupakan kematian sedemikian sehingga ia memandang bahwa ia akan hidup selamanya di dunia. Dengan sikap aniaya dan berbuat jahat ia akan berusaha melanggar hak orang lain dan mengumpulkan sebanyak-banyaknya harta benda untuk kepentingan dirinya sendiri. Ia sama sekali tidak akan berderma dan membantu orang lain serta memenuhi hak-hak mereka. Sedemikian sehingga membuatnya senantiasa menunda-nunda untuk melakukan kebaikan.
Islam memiliki ajaran-ajaran yang sangat subtil dan sublim untuk menciptakan ekuilibrium dan keseimbangan dalam perilaku manusia. Imam Musa Kazhim As bersabda, “Sedemikian kalian menata agenda-agenda pekerjaan dunaiwi sehingga seolah kalian hidup selamanya. Dan sedemikian kalian menata pekerjaan-pekerjaan ukhrawi kalian sehingga seolah kalian akan meninggalkan dunia ini esok hari.”[1] Hadis mulia ini dan hadis-hadis lainnya yang semakna yang dikutip dalam kitab-kitab hadis menunjukkan pada satu masalah moral dan edukasional bahwa dalam perspektif Islam, pandangan manusia terhadap hidup, usia, keselamatan, pelbagai karunia dan lain sebagainya sedemikian ditata sehingga ia harus memanfaatkan waktu yang minim dan sangat terbatas ini semaksimal mungkin. Menyegarakan dalam menunaikan perbuatan-perbuatan baik, yang lebih abadi dan lestari. Mengakhirkan pekerjaan-pekerjaan duniawi karena tidak terlalu memiliki bobot nilai sehingga selalu saja ada kesempatan untuk melakukannya.
Dan sebagai kebalikannya bersegera dalam mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang mengandung nilai ukhrawi dan lestari serta memandang bahwa kesempatan untuk melakukan hal tersebut sangat singkat.
Demikian juga, apabila ia melakukan dosa atau kesalahan maka ia harus memandang bahwa kesempatan untuk bertaubat dan menebus kesalahan tersebut sangat pendek dan harus secepat mungkin menebus kesalahan tersebut. Karena itu, apabila manusia terdidik di bawah ajaran-ajaran seperti ini senantiasa menghitung-hitung seluruh perbuatannya dan memanfaatkan dengan baik pelbagai kesempatan hidupnya maka ia akan senantiasa bersikap optimis dan penuh harapan menghadapi hari esok.
Apabila ada seseorang yang hingga kini tidak memanfaatkan dengan baik pelbagai kesempatan dalam hidupnya dan bersikap optimis tanpa dasar, bahkan berusaha untuk menebus pelbagai ketertinggalan pada kesempatan yang tersisa maka tanpa ragu mengikut ajaran moral Islam ini akan menyebabkan kemajuan dan kesempurnaan manusia. Apakah apabila seorang guru tidak memberitahu tentang jadwal ujian dan berkata kepada para muridnya, “Kapan saja saya akan menguji kalian.”
Dengan metodenya ini apabila ia meminta kepada para muridnya untuk berusaha dan berupaya untuk setiap saat siap diuji oleh gurunya bukankah mereka akan lebih banyak berharap dan optimis terhadap masa depan dan ingin melihat hasil usaha dan upaya yang selama ini mereka kerjakan? Apakah bila dalam beberapa waktu lama pikiran mereka tidak disibukkan dengan ujian hal itu tidak akan menjadi penyebab mereka akan menghabiskan waktu mereka secara percuma? [IQuest]
[1]. Man La Yahdhurhu al-Faqih, jil. 3, hal. 156.
رُوِیَ عَنِ الْعَالِمِ ع أَنَّهُ قَالَ اعْمَلْ لِدُنْیَاکَ کَأَنَّکَ تَعِیشُ أَبَداً وَ اعْمَلْ لآِخِرَتِکَ کَأَنَّکَ تَمُوتُ غَدا