Kode Site
fa23602
Kode Pernyataan Privasi
73185
Tema
Akhlak Praktis
Ringkasan Pertanyaan
Apabila kita mengajarkan kebajikan kepada orang lain, kemudian mereka mengamalkan kebaikan-kebaikan yang kita ajarkan, apakah kita juga turut memperoleh pahala dalam amal perbuatan baik mereka?
Pertanyaan
Apabila kita mengajarkan kebajikan kepada orang lain, kemudian mereka mengamalkan kebaikan-kebaikan yang kita ajarkan, apakah kita juga turut memperoleh pahala dalam amal perbuatan baik mereka?
Jawaban Global
Ganjaran dan pahala ukhrawi setiap amal perbuatan baik, tergantung kepada niat seseorang. Apabila seseorang melakukan suatu perbuatan terpuji demi mendapatkan keridhaan Allah Swt, jelaslah bahwa Allah Swt akan mencatat pahala baginya dalam buku catatan amal baiknya.
Tapi apabila ia mengerjakan suatu perbuatan bukan karena untuk meraih keridhaan-Nya, terang bahwa ia tidak akan mendapatkan pahala. Yang menjadi kriteria untuk mendapatan ganjaran dan pahala dari sisi Allah Swt adalah niat seseorang. Apabila seseorang mempunyai qasd dan niat untuk mentaati perintah Allah Swt, maka Ia pasti akan memberikan pahala dan ganjaran kepadanya.
Tapi apabila ia mengerjakan suatu perbuatan bukan karena untuk meraih keridhaan-Nya, terang bahwa ia tidak akan mendapatkan pahala. Yang menjadi kriteria untuk mendapatan ganjaran dan pahala dari sisi Allah Swt adalah niat seseorang. Apabila seseorang mempunyai qasd dan niat untuk mentaati perintah Allah Swt, maka Ia pasti akan memberikan pahala dan ganjaran kepadanya.
Jawaban Detil
Ganjaran dan pahala ukhrawi setiap amal perbuatan baik, tergantung kepada niat seseorang. Apabila seseorang melakukan suatu perbuatan terpuji demi mendapatkan keridhaan Allah Swt, jelaslah bahwa Allah Swt akan mencatat pahala baginya dalam buku catatan amal baiknya. Tapi apabila ia mengerjakan suatu perbuatan bukan karena untuk meraih keridhaan-Nya, terang bahwa ia tidak akan mendapatkan pahala, dan apabila ia tidak meniatkan perbuatan baiknya itu untuk mendapat keridaan-Nya, maka tidak akan mendapat pahala dan ganjaran.
Nabi Muhammad Saw bersabda, “Barang siapa yang meninggalkan kebiasaan baik maka baginya pahala itu dan akan memperoleh pahala atas amal perbuatan orang-orang yang melakukan pekerjaan itu sampai hari kiamat tanpa mengurangi pahala orang-orang yang mengamalkan perbuatan itu.”[1]
Demikian juga Imam Ali As dalam surat yang ditujukan kepada Malik Asytar, gubernur Mesir, “Janganlah kau hilangkan cara yang telah ditempuh para pejabat sebelummu dalam mengadakan perbaikan karena di antara mereka sudah ada saling kesepakatan dan kesukaan dan jika cara-cara pada masu lalu mengandung unsur yang bahaya, maka janganlah memakai cara itu karena pahala dan balasan bagi seseorang yang membuat cara secara benar sementara dosa akan hilangnya cara itu berada di pundakmu?”[2]
Jelas bahwa pembahasan ini dimaksudkan bagi orang-orang Mukmin yang percaya kepada Tuhan, hari kiamat, pahala dan dosa, berdasarkan hal itu, mereka mengerjakan sesuatu karena Allah semata, bukan diperuntukkan bagi mereka yang hanya mempunyai tujuan duniawi.
Oleh itu, niat memberi pelajaran, menciptakan sesuatu, penemu dan lain sebagainya adalah penting. Sebagai contoh apabila seseorang mendirikan sebuah yayasan pendidikan hanya dengan niat memperoleh uang dan penghidupan yang layak, atau riya dan ingin menunjukkan diri dalam masyarakat, atau bahkan pekerjaannya merupakan pekerjaan mengajar dan mendidik, maka ia tidak akan turut mendapatkan pahala ukhrawi anak didiknya, walaupun amal perbuatan anak didiknya itu merupakan perbuatan baik, hal ini karena tujuan yang ingin dicapainya adalah duniawi dan memperoleh kekayaaan dan kedudukan, apakah ia sampai ke tujuan yang diinginkan ataupun tidak. Atau seseorang yang memberi pelatihan perang kepada para tentara, mendidiknya untuk terjun ke medan peperangan dan kemudian tentara itu pergi ke medan perang dan memerangi musuh Islam sampai akhirnya ia mendapatkan kesyahidan. Maka pengajar tentara ini tidak akan memperoleh pahala berjuang di jalan Allah kecuali apabila pengajar itu meniatkan pengajarannya hanya untuk menggapai ridha Allah, di mana dalam keadaan ini, maka di sisi Tuhan pengajar itu akan mendapat pahala sebagaimana pahalanya tentara yang berada pada medan peperangan yang berada di garis terdepan.
Jelaslah bahwa menurut pandangan al-Quran dan riwayat syarat diterima dan dikabulkan sebuah amal perbuatan manusia itu, entah secara personal atau sosial, dengan syarat niat dalam melakukan suatu perbuatan, “Sesungguhnya Allah hanya menerima (kurban) dari orang-orang yang bertakwa.“ (Qs. Al-Maidah [5]:27)
Ayat mulia ini menjelaskan bahwa seseorang yang pantas menerima pahala adalah apabila perbuatannya itu didasarkan atas ketaatannya kepada aturan Allah Swt, bukan untuk maksud yang lain.
Imam Shadiq ditanya, “Pekerjaan mana yang lebih baik dan lebih utama di sisi Tuhan? Beliau menjawab, “Tidak ada suatu amal perbuatan yang diterima kecuali amal perbuatan itu didasari keimanan kepada Allah Swt.”[3]
Pembahasan yang sudah dijelaskan terkait dengan amalan-amalan baik di masyarakat, namun dari sisi bahwa orang-orang yang terlibat dalam perbuatan-perbuatan tidak terpuji, berlawanan dengan hukum-hukum syar’i, dan bertentangan dengan maslahat-maslahat kemasyarakat, apabila ia mengetahui tentang salahnya perbuatan-perbuatan itu, mereka juga akan turut serta mendapat azab atas perbuatan itu. Sebagai contoh, dalam sebuah riwayat yang berasal dari Imam Baqir, beliau meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad Saw melaknat 10 kelompok tentang khamr, beliau bersabda, “Petani yang menanam (anggur), pengair dan tukang kebun, tukang peras anggur, orang yang meminum minuman keras, menuangkan anggur, pembawa anggur, seseorang yang membawakan anggur untuk seseorang, penjual, pembeli dan orang-orang yang menggunakan uang itu.”[4]
Jelaslah bahwa petani yang menanam anggur, atau penjaga kebun anggur pada dasarnya bukanlah orang-orang yang berbuat salah sehingga dilaknat Nabi Muhammad Saw. Di sini sama dengan masalah niat. Apabila niat petani menanam anggur itu dengan niat untuk menggunakan anggur sebagai hal-hal yang dihalalkan, jelaslah bukan hanya tidak bermasalah, namun justru sangat ditekankan dalam agama dan akan diberikan pahala baginya, namun apabila maksud menanam pohon anggur itu untuk membuat minum-minuman keras, jelaslah ia akan dilaknat.
Demikian juga bagi seorang penjaga kebun yang mengetahui bahwa hasil panen dari kebun anggur itu untuk membuat khamar, demikian juga bagi kelompok-kelompok lain (tukang peras anggur dan seterusnya). [iQuest]
Nabi Muhammad Saw bersabda, “Barang siapa yang meninggalkan kebiasaan baik maka baginya pahala itu dan akan memperoleh pahala atas amal perbuatan orang-orang yang melakukan pekerjaan itu sampai hari kiamat tanpa mengurangi pahala orang-orang yang mengamalkan perbuatan itu.”[1]
Demikian juga Imam Ali As dalam surat yang ditujukan kepada Malik Asytar, gubernur Mesir, “Janganlah kau hilangkan cara yang telah ditempuh para pejabat sebelummu dalam mengadakan perbaikan karena di antara mereka sudah ada saling kesepakatan dan kesukaan dan jika cara-cara pada masu lalu mengandung unsur yang bahaya, maka janganlah memakai cara itu karena pahala dan balasan bagi seseorang yang membuat cara secara benar sementara dosa akan hilangnya cara itu berada di pundakmu?”[2]
Jelas bahwa pembahasan ini dimaksudkan bagi orang-orang Mukmin yang percaya kepada Tuhan, hari kiamat, pahala dan dosa, berdasarkan hal itu, mereka mengerjakan sesuatu karena Allah semata, bukan diperuntukkan bagi mereka yang hanya mempunyai tujuan duniawi.
Oleh itu, niat memberi pelajaran, menciptakan sesuatu, penemu dan lain sebagainya adalah penting. Sebagai contoh apabila seseorang mendirikan sebuah yayasan pendidikan hanya dengan niat memperoleh uang dan penghidupan yang layak, atau riya dan ingin menunjukkan diri dalam masyarakat, atau bahkan pekerjaannya merupakan pekerjaan mengajar dan mendidik, maka ia tidak akan turut mendapatkan pahala ukhrawi anak didiknya, walaupun amal perbuatan anak didiknya itu merupakan perbuatan baik, hal ini karena tujuan yang ingin dicapainya adalah duniawi dan memperoleh kekayaaan dan kedudukan, apakah ia sampai ke tujuan yang diinginkan ataupun tidak. Atau seseorang yang memberi pelatihan perang kepada para tentara, mendidiknya untuk terjun ke medan peperangan dan kemudian tentara itu pergi ke medan perang dan memerangi musuh Islam sampai akhirnya ia mendapatkan kesyahidan. Maka pengajar tentara ini tidak akan memperoleh pahala berjuang di jalan Allah kecuali apabila pengajar itu meniatkan pengajarannya hanya untuk menggapai ridha Allah, di mana dalam keadaan ini, maka di sisi Tuhan pengajar itu akan mendapat pahala sebagaimana pahalanya tentara yang berada pada medan peperangan yang berada di garis terdepan.
Jelaslah bahwa menurut pandangan al-Quran dan riwayat syarat diterima dan dikabulkan sebuah amal perbuatan manusia itu, entah secara personal atau sosial, dengan syarat niat dalam melakukan suatu perbuatan, “Sesungguhnya Allah hanya menerima (kurban) dari orang-orang yang bertakwa.“ (Qs. Al-Maidah [5]:27)
Ayat mulia ini menjelaskan bahwa seseorang yang pantas menerima pahala adalah apabila perbuatannya itu didasarkan atas ketaatannya kepada aturan Allah Swt, bukan untuk maksud yang lain.
Imam Shadiq ditanya, “Pekerjaan mana yang lebih baik dan lebih utama di sisi Tuhan? Beliau menjawab, “Tidak ada suatu amal perbuatan yang diterima kecuali amal perbuatan itu didasari keimanan kepada Allah Swt.”[3]
Pembahasan yang sudah dijelaskan terkait dengan amalan-amalan baik di masyarakat, namun dari sisi bahwa orang-orang yang terlibat dalam perbuatan-perbuatan tidak terpuji, berlawanan dengan hukum-hukum syar’i, dan bertentangan dengan maslahat-maslahat kemasyarakat, apabila ia mengetahui tentang salahnya perbuatan-perbuatan itu, mereka juga akan turut serta mendapat azab atas perbuatan itu. Sebagai contoh, dalam sebuah riwayat yang berasal dari Imam Baqir, beliau meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad Saw melaknat 10 kelompok tentang khamr, beliau bersabda, “Petani yang menanam (anggur), pengair dan tukang kebun, tukang peras anggur, orang yang meminum minuman keras, menuangkan anggur, pembawa anggur, seseorang yang membawakan anggur untuk seseorang, penjual, pembeli dan orang-orang yang menggunakan uang itu.”[4]
Jelaslah bahwa petani yang menanam anggur, atau penjaga kebun anggur pada dasarnya bukanlah orang-orang yang berbuat salah sehingga dilaknat Nabi Muhammad Saw. Di sini sama dengan masalah niat. Apabila niat petani menanam anggur itu dengan niat untuk menggunakan anggur sebagai hal-hal yang dihalalkan, jelaslah bukan hanya tidak bermasalah, namun justru sangat ditekankan dalam agama dan akan diberikan pahala baginya, namun apabila maksud menanam pohon anggur itu untuk membuat minum-minuman keras, jelaslah ia akan dilaknat.
Demikian juga bagi seorang penjaga kebun yang mengetahui bahwa hasil panen dari kebun anggur itu untuk membuat khamar, demikian juga bagi kelompok-kelompok lain (tukang peras anggur dan seterusnya). [iQuest]
[1] Kulaini, Muhammad Yakub, al-Kāfi, Riset dan edit oleh Ghaffari, Ali Akbar dan Akhundi, Muhammad, jil. 5, hal. 9-10, Dar al-Kutub al-Islamiyah, Tehran, 1407 H.
«قَالَ رَسُولُ اللَّهِ (ص) مَنْ سَنَ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَ أَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يُنْقَصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْءٌ».
[2] Syarif Radhi, Muhammad bin Husain, Nahj al Balāghah, (Subhi Salehi) hal. 431, Hijrat, Qum, Cet. 1, 1414
«...وَ لَا تُحْدِثَنَ سُنَّةً تَضُرُّ بِشَيْءٍ مِنْ مَاضِي تِلْكَ السُّنَنِ فَيَكُونَ الْأَجْرُ لِمَنْ سَنَّهَا وَ الْوِزْرُ عَلَيْكَ بِمَا نَقَضْتَ مِنْهَا...».
[3] Kāfi, jil. 3, hal. 102
«سَأَلَ رَجُلٌ الْعَالِمَ عليه السلام، فَقَالَ: أَيُّهَا الْعَالِمُ، أَخْبِرْنِي أَيُّ الْأَعْمَالِ أَفْضَلُ عِنْدَ اللَّهِ؟ قَالَ: «مَا لَايُقْبَلُ عَمَلٌ إِلَّا بِهِ» فَقَالَ: وَ مَا ذلِكَ ؟ قَالَ: «الْإِيمَانبِاللَّهِ الَّذِي...».
[4] Ibid, jil. 6, hal. 429
«أَبُو عَلِيٍّ الْأَشْعَرِيُّ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ سَالِمٍ عَنْ أَحْمَدَ بْنِ النَّضْرِ عَنْ عَمْرِو بْنِ شِمْرٍ عَنْ جَابِرٍ عَنْ أَبِي جَعْفَرٍ ع قَالَ لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ ص فِي الْخَمْرِ عَشَرَةً غَارِسَهَا وَ حَارِسَهَا وَ بَائِعَهَا وَ مُشْتَرِيَهَا وَ شَارِبَهَا وَ الْآكِلَ ثَمَنَهَا وَ عَاصِرَهَا وَ حَامِلَهَا وَ الْمَحْمُولَةَ إِلَيْهِ وَ سَاقِيَهَا».