Membantu dan menolong orang yang membutuhkan bahkan non-fakir sekalipun merupakan sebuah kebaikan. Namun mengingat keterbatasan sumber-sumber finansial dan keuangan maka kita harus membuat dan mempertimbangkan skala prioritas yang mana saja yang harus didahulukan.
Dewasa ini, terdapat beberapa yayasan yang mengemban tugas untuk mengidentifikasi dan mengurus orang-orang fakir. Menolong yayasan-yayasan ini lebih baik dan lebih bernilai ketimbang menolong orang-orang yang terkadang tidak jelas status kemiskinannya dan terkadang juga ketahuan status kemiskinannya. Namun menghina para pengemis dari satu sisi dan mengabaikan rasa keprihatinan yang terdapat dalam diri manusia dari sisi lain adalah dua hal yang tidak dapat dibenarkan. Karena itu, untuk mengatasi persoalan ini kami ajukan beberapa usulan sebagaimana berikut:
1. Memberikan sejumlah uang meski sedikit yang tidak terlalu seberapa berpengaruh pada kehidupan seseorang bagi mereka yang prihatin terhadap mereka.
2. Tidak bersikap kasar terhadap setiap peminta-minta dan apabila tidak mampu memberikan derma kepada mereka maka sebaiknya kita memberikan bimbingan dan panduan kepada mereka untuk pergi ke sentral-sentral bantuan atau orang-orang baik sebagai wujud kepedulian sosial kita kepada mereka.
3. Apabila mampu menolong maka baiknya kita memasukkan bantuan (uang) kita pada kotak-kotak sedekah milik sentral-sentral bantuan yang kita percaya. Dengan tindakan seperti ini kita tetap menunjukkan seruan batin kita berupa keprihatinan dan kepeduliaan terhadap penderitaan mereka. Di samping itu, kita juga menampakkan niat baik kita di hadapan Allah Swt.
Pengemis atau peminta-minta yang sepadan dengan “sâil al-mâl” dalam bahasa Arab berbeda dengan makna fakir.
Fakir adalah seseorangyang tidak memiliki biaya untuk menutupi kebutuhan hidupnya. Terlepas dari apakah mereka memohon bantuan dari orang lain atau tidak memohon, namun pengemis adalah seseoran yang meminta pertolongan kepada orang lain terlepas dari apakah mereka memiliki biaya dan mampu menutupi biaya hidupnya atau tidak.
Terdapat beberapa bagian yang kita jumpai dalam berhadapan dengan para pengemis dan bantuan-bantuan yang diberikan kepada mereka yang akan disinggung sebagian berikut ini:
1. Terdapat banyak dalil yang melarang menolak pengemis dan peminta-minta. Pada ayat al-Qur’an, Allah Swt berfirman kepada Rasulullah Saw, “Janganlah kamu menghardik orang yang minta-minta.” (Qs. Al-Dhuha [93]:10)[1]
Pada ayat ini, tidak dibahas tentang model bagaimana berhadapan dengan orang fakir melainkan larangan untuk menolak dan menghardik peminta-minta. Telah disinggung sebelumnya bahwa pengemis juga termasuk sebagai orang fakir dan non-fakir. Terdapat banyak riwayat berisikan larangan untuk menolak peminta-minta. Dalam sebuah riwayat Imam Shadiq As dinukil bahwa Rasulullah Saw bersabda, “Jangan kalian membuat pengemis patah harapan dengan permintaannya. Dan apabila sebagian orang miskin tidak berkata dusta, tiada seorang pun yang menolaknya maka ia tidak akan bahagia.”[2] Bahkan pada sebagian riwayat telah disinggung bahwa apabila seorang pengemis yang tidak tampak fakir maka tetaplah berikan sesuatu kepadanya. Dari Imam Shadiq As diriwayatkan bahwa beliau bersabda, “Berikanlah sesuatu kepada pengemis meski sekedar menunggang kuda.”[3] Menunggang kuda yang disinyalir dalam riwayat ini nampaknya menunjukkan tidak miskinnya orang itu sedemikian sehingga ia memiliki kemampuan untuk membeli kuda sebagai kendaraan yang cocok dipakai pada masa tersebut.
2. Dari sebagian riwayat disebutkan bahwa kita dapat memberikan batasan dalam membantu para pengemis.
Dalam sebuah riwayat Ibnu Shabih menukil bahwa saya berada di sisi Imam Shadiq As. Seorang pengemis datang dan Imam Shadiq As memberikan sesuatu kepadanya. Kemudian pengemis lainnya datang dan Imam Shadiq As memberikan sesuatu kepadanya. Kembali kejadian ini berulang. Imam Shadiq kembali melakukan hal yang sama kepada pengemis ketiga. Kemudian setelah itu, seorang pengemis datang lagi. Imam Shadiq As bersabda kepadanya, Semoga Allah Swt memberikan kelapangan kepadamu.” Imam Shadiq As tidak memberikan sesuatu kepadanya. [4]
Dalam riwayat lain disebutkan bahwa apabila pada suatu hari kalian telah menolong tiga pengemis maka kalian telah menunaikan kebenaran dan apabila kalian mau kalian dapat menolong lebih banyak lagi. [5]
Karena sumber-sumber yang diberikan Tuhan kepada manusia terbatas maka manusia tidak dapat menolong siapa saja yang meminta pertolongan. Dan riwayat-riwayat ini adalah berada pada tataran anjuran untuk menempatkan sesuatu yang minimal supaya membantu minimal tiga orang pengemis.
3. Sebagian riwayat menyebutkan syarat lainnya yang menyaratkan riwayat-riwayat bagian pertama. Riwayat-riwayat ini menyebutkan larangan untuk membantu sebagian orang. Salam sebuah riwayat Imam Shadiq As bersabda supaya tidak memberikan siapa saja yang meminta.”[6]
Di tempat lain disebutkan bahwa Imam Shadiq As bersabda untuk menolong pada anak-anak, para wanita, orang-orang yang terlantar, orang-orang lemah, orang-orang tua dan melarang memberikan bantuan kepada orang-orang gila.[7] Dalam riwayat juga disebutkan untuk tidak membantu orang-orang yang menentang kebenaran atau memenuhi ajakan untuk melakukan pekerjaan salah dan batil.[8]
4. Apabila pengemis adalah seseorang yang tidak dikenal maka ia dapat membantu sekedarnya kepada orang itu. Dalam sebuah riwayat, Imam Shadiq As ditanya ihwal seorang pengemis yang datang dan meminta ulurna bantuan. Apabila saya tidak tahu yang sebenarnya (apakah ia benar-benar seorang pengemis atau berlagak pengemis saja) apa yang harus saya lakukan?” Imam Shadiq As menjawab, “Tolonglah orang yang Anda merasa prihatin terhadapnya.” Imam Shadiq menimpali kemudian, “Berikan kurang dari satu Dirham kepadanya.”[9] Periwayat bertanya, “Paling banyak berapa yang harus diberikan kepadanya?” Imam Shadiq As menjawab, “Empat Dâng.”[10]
5. Dari sisi lain, terdapat beberapa riwayat yang menyatakan bahwa engkau tidak punya harta untuk disedekahkan kepada pengemis maka berkata-kata dan berperilaku baiklah dengannya.” Diriwayatkan dari Imam Shadiq As bisikan-bisikan Allah Swt kepada Nabi Musa As adalah wahai Musa! Hormatilah peminta-minta dengan sesuatu yang sedikit atau berperilaku baiklah terhadapnya. Karena terkadang orang-orang yang datang kepadamu yang bukan manusia juga bukan jin; melainkan seorang malaikat rahman yang ingin mengujimu dengan posisi yang Aku berikan kepadamu. Malaikat itu meminta kepadamu sesuatu yang telah Aku berikan kepadamu. Maka waspadalah pada saat-saat tersebut karena engkau adalah Musa apa gerangan yang akan engkau lakukan.[11]
Sebagai kesimpulan dan konkulusi kiranya kami harus menyebutkan beberapa poin penting sebagai berikut:
A. Bersikap moderat dalam berinfak: Bersikap moderat dalam segala hal termasuk dalam berfinfak dan membantu orang lain adalah sebuah syarat. Allah Swt menegaskan masalah ini dalam al-Qur’an dan berfirman, “Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya untuk berinfak melebihi batas), karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal.” (Qs. Al-Isra [17]:29)[12]
Ungkapan ini merupakan bahasa kiasan lembut yang harus dimiliki oleh pemberi infak dan supaya tidak seperti orang-orang bakhil yang tangannya terbelenggu lehernya dengan rantai dan gulungan dan tidak mampu mengulurkan bantuan dan infak kepada orang lain.
Dari sisi lain, ““Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya untuk berinfak melebihi batas), karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal (dan tersisih dari masyarakat).” (Qs. Al-Isra [17]:29)[13]
Demikian juga al-Qur’an dalam menjelaskan sifat kalimat “ibadurahman” yang menyebutkan masalah sikap moderat dan jauh dari sikap ifrath (terlalu berlebihan) dan tafrith (terlalu menyepelekan) dalam setiap pekerjaan dalam masalah infak. Allah Swt berfirman, “Dan orang-orang yang tidak berlebih-lebihan dan tidak (pula) kikir apabila menginfakkan (harta), dan mereka itu menunaikan sikap moderat dalam hal ini (infak).” (Qs. Al-Furqan [25]:67)
Al-Qur’an menyatakan, “Berinfak secara proporsional dan menjauhi segala bentuk berlebih-lebihan dan tidak bersikap kikir. Tidak sedemikian memberi dan mengulurkan bantuan sehingga anak dan istri menderita kelaparan dan juga tidak sedemikian kikir sehingga orang lain tidak mendapatkan kemurahan mereka. Dalam sebuah riwayat, penyerupaan menarik bagi “israf”, “iqtar” dan “had i’tidal” yaitu ketika Imam Shadiq As membacakan ayat ini dan memungut sejumput batu dari tanah dan memegangnya dengan kuat. Imam Shadiq As bersabda, “iqtar” adalah mempersulit (kikir) dan kemudian mengamil sejumput batu lainnya dan sedemikian tangan beliau dibiarkan terbuka lebar sehingga bebatuan itu jatuh ke tanah dan bersabda, hal ini adalah israf. Kemudian ketiga kalinya beliau mengambil sejumput batu lainnya dan membuka sedikit tangannya sedemikian sehingga sebagian dari bebatuan itu jatuh dan sebagian lainnya tetap berada dalam genggaman beliau. Kemudian bersabda, hal demikian ini adalah qiwam.”[14]
B. Alangkah baiknya manusia memberikan jawaban positif terhadap setiap orang yang meminta-minta meski ia tidak memerlukannya. Karena bagaimanapun jawaban ini merupakan perlambang kepemurahan dan akan menguatkan sifat pemurah pada diri manusia. Apa yang telah dikecualikan berupa uluran bantuan kepada orang-orang gila dan orang-orang yang memusuhi kebenaran dan menyeru kepada kebatilan.
C. Pada masa sekarang ini, adanya beberapa yayasan-yayasan ternama yang meladeni dan mengurusi masalah orang-orang fakir. Dari satu sisi, terdapat orang-orang fakir dan membutuhkan dan yayasan-yayasan professional yang bertanggung jawab untuk mengurus orang-orang memerlukan ini. Karena itu, lantaran adanya keterbatasan finansial maka ada baiknya mengulurkan bantuan finansial untuk membantu orang-orang yang fakir sebenarnya dan dilakukan secara sistemik dan organisatoris meski dengan adanya yayasan-yayasan tidak menafikan tugas personal, kemanusiaan dan keagamaan kita dalam membantu orang-orang membutuhkan.
D. Terkadang seorang miskin datang kepada seseorang dan tidak ada sesuatu untuk diserahkan kepadanya, Allah Swt menjelaskan bagaimana menghadapi mereka dalam situasi dan kondisi seperti ini, “Dan jika kamu berpaling dari mereka (orang-orang miskin) supaya memperoleh rahmat dari Tuhanmu yang kamu harapkan (dan dapat memberi bantuan kepada mereka), maka katakanlah kepada mereka ucapan yang pantas nan lembut.” (Qs. Al-Isra [17]:28) Dalam sebagian riwayat kita membaca bahwa setelah turunnya ayat, seseorang meminta sesuatu dari Rasulullah Saw dan beliau tidak memiliki sesuatu untuk diserahkan. Rasulullah Saw bersabda, “YarzuqunaLlah wa iyyakum min fadhlihi.” Semoga Allah Swt mengaruniai rezeki kepadaku dan kepadamu dari rahmat-Nya.”[15]
Bagaimanapun, menghadapi para pengemis dengan perlakuan kasar dan menghina dilarang. Dan apabila tidak mampu memberikan sesuatu kepadanya maka kita dapat membimbingnya untuk pergi ke sentral-sentral bantuan dan orang-orang dermawan, di samping kita tidak menghina kemuliaannya dan dengan bimbingan yang kita sampaikan kita telah menunaikan tanggung jawab sosial kita.
E. Sebagaimana yang telah disinggung sebagian riwayat[16] juga dapat disimpulkan perasaan concern dan prihatin terhadap sebagian kondisi para pengemis yang timbul dalam diri manusia tidak boleh dipadamkan. Karena perasaan ini adalah perasaan yang bernilai yang menunjukkan rasa kemanusiaan setiap orang. Atas dasar itu, dengan pendekatan yang disebutkan pada poin-poin sebelumnya atau dengan pendekatan lain yang harus dilakukan untuk menjawab perasaan fitrawi ini. Salah satu pendekatan ini adalah bahwa setelah melihat pengemis-pengemis ini, sejumlah uang yang disediakan berdasarkan kemampuan kita searhkan ke yayasan-yayasan terkait untuk mengulurkan bantuan kepada orang-orang ini atau memasukkan dalam kotak-kotak amal mereka. Dengan tindakan ini, kita telah menunjukkan niat baik kita di hadapan Tuhan dan juga kita telah menunaikan tugas kemanusiaan kita dan juga memenuhi kata hati kita. [IQuest]
[1]. Terjemahan Nasir Makarim Syirazi.
[2]. Muhammad bin Hasan Hurr al-Amili, Wasâil al-Syiah, jil. 9, hal. 418, Muassasah Ali al-Bait, 1409 H.
[3]. Ibid, hal. 417.
[4]. Ibid, hal. 421.
[5]. Ibid.
[6]. Ibid, hal. 415.
[7]. Ibid.
[8]. Ibid, hal. 414.
[9]. Harga setiap Dirham pada tahun 1377 kira-kira 200 Tuman. Fadhil Langkarani, Jami’ al-Masail, jil. 2, hal. 374, Site Hadhrat Ayatullah Fadhil Langkarani, www.lankarani.ir/fa
[10]. Abdu Ali Arusi Huwaizi, Tafsir Nur al-Tsaqalain, jil. 5, hal. 597, Cetakan Keempat, Intisyarat-e Ismailiyyan, 1415 H. Empat dang maksudnya adalah empat perenam dari harta.
[11] . Muhammad bin Hasan Hurr al-Amili, Wasâil al-Syiah, jil. 9, hal. 418.
[12]. Ibid.
[13]. Tafsir Nemune, jil. 12, hal. 91.
[14]. Redaksi “qiwâm” (bertimbangan ‘iwam) secara leksikal bermakna keadilan dan peristensi, moderat.
Tafsir Nemune, jil. 15, hal. 152.
[15]. Tafsir Nemune, jil. 12, hal. 90.
[16]. Riwayat No. 4.