Esensi ajaran Zoroaster, dengan memperhatikan nyanyian-nyanyian religiusnya, adalah esensi ajaran tauhid (monoteisme). Akan tetapi dengan menelisik pada ajaran-ajarannya dalam kitab “Avesta” terdapat pelbagai indikasi yang menandaskan pada dualisme. Penampakan pelbagai indikasi ini, dilakukan oleh para pengikut ajaran Zoroaster setelahnya dan “Mani”.
Karena itu, dengan memperhatikan ajaran-ajaran Avesta yang ternodai dengan politeisme, ajaran Zoroaster terjerembab pada kubangan penyimpangan. Kendati memiliki nabi Ilahi dan akar samawi, akan tetapi mereka terlontar jauh dari ajaran-ajaran wahyu dan ajaran tauhid nabinya.
Banyak riwayat dari para Imam Maksum yang dinukil tentang akar monotheisme dan Ilahinya ajaran pertama Zoroaster dan pada saat yang sama menegaskan bahwa agama ini mereupakan agama yang menyimpang.“Ajaran Zoroaster merupakan salah satu ajaran (agama) Ilahi.”
Dalil:
1. Esensi pelbagai ajaran Zoroaster
2. Afirmasi al-Qur’an terkait revelasionalnya ajaran Zoroaster
Esensi pelbagai ajaran Zoroaster
1. Esensi ajaran Zoroaster
Menurut Gathas[1] ajaran Zoroaster seratus persen adalah ajaran monotheisme. Ghalibnya, para peniliti Zoroaster, tatkala mengkaji Gathas mereka menemukan bahwa Zoroaster berbicara tentang tauhid murni. Pelbagai legenda yang ternodai dengan kemusyrikan belakangan muncul. Pada Avesta belakangan dan Mani kontaminasi syirik ini muncul.
Sejatinya, para pengikut Zoroaster mengganti ajaran tauhid yang agung itu sebagaimana agama Kristen yang menerima beberapa tuhan. Dapat diambil kesimpulan bahwa ajaran Gathas pandangan ini mendapatkan validitasnya tentang ajaran tauhid. Akan tetapi pada kitab Avesta, kitab suci para penganut agama Zoroaster, tanda-tanda politheisme muncul dan termasuk ruh tuhan mandiri.[2] Dengan demikian, ajaran yang kita sandarkan kepada Zoroaster adalah ajaran yang telah mengalami penyimpangan dan telah jauh dari ajaran-ajaran pertama pembawanya.
2. Ajaran-ajaran keyakinan Zoroaster
a. Tuhan dalam ajaran Zoroaster: Tuhan dalam pandangan Gathas adalah Tuhan yang Esa dan Pencipta seluruh semesta. Sosok Pencipta yang tidak terangkum oleh ikatan ruang dan waktu serta tidak bergantung pada satu kaum. Tuhan, dalam Gathas, diperkenalkan sebagai Ilmu Mutlak, Pencipta seluruh fenomena, Agung, Pengasih, Adil, Berkuasa atas segala sesuatu. Dengan kesimpulan sedemikian maka tidak tersisa ruang bagi berhala, patung dan tuhan rangking kedua.[3] Yang patut diperhatikan adalah bahwa dalam Gathas, Zoroaster As dipuji sebagai sosok nabi Ilahi dan mengenakan busana tauhid yang berada di puncak seorang monotheis sejati dan memulai ungkapan perasaannya: “Wahai Tuhan Sang Pencipta! Aku menyembah-Mu dengan sepenuh hati. Apakah orang yang melabuhkan perasaannya kepada-Mu bagaimana dapat menyampaikan penghambaan-Nya kepada-Mu? Wahai negeri cinta! Penuhi hatiku dengan kasih-Mu sehingga kami dapat berjalan di atas rel yang benar dan lurus dan terangi hati-hati kami dengan pendaran Cahaya-Mu.”[4]
b. Semesta dalam ajaran Zoroaster: Alam semesta merupakan ciptaan Tuhan. Dialah Penjaga dan Penguasa alam semesta. Alam semesta bergantung sepenuhnya kepada Tuhan, sedemikian sehingga tanpa kehendak dan ilmu-Nya, tiada satu pun fenomena yang akan terjadi. Ahruzmada (Tuhan) menciptakan semesta ini dengan tujuan moral.[5]
c. Manusia dalam ajaran Zoroaster: Agama Zoroaster memandang manusia memiliki kedudukan yang tinggi. Manusia yang suci dan tanpa dosa – berbeda dengan keyakinan Kristen bahwa manusia adalah pendosa semenjak lahirnya – serta merdeka sehingga ia dengan kebebasan itu ia dapat memilih jalan yang baik atau buruk.[6]
d. Kehidupan pasca kematian dalam ajaran Zoroaster: Ajaran Zoroaster sebagaimana ajaran agama lainnya meyakini bahwa ruh manusia tidak akan binasa seiring dengan datangnya kematian. Manusia dengan memperhatikan segala perbuatannya, akan memasuki surga atau neraka.[7] Dalam kitab Gathas terdapat ajaran-ajaran yang berbeda dengan ajaran-ajaran yang termaktub dalam Avesta. Salah satu rukun ajaran ini yang disebut sebagai "Agama lama Zoroaster" atau "pertama."[8] Disebutkan: "Manusia pasca kematian akan melintas Chinvat Peretum; sebuah jembatan yang tidak dapat dilalui oleh para pendosa, dan pada akhirnya orang-orang baik akan memasuki firdaus dan orang-orang buruk akan dilempar ke neraka.[9]
Terkadang juga disebutkan dalam Gathas bahwa akan terdapat sebuah alam setelah kematian.[10]
Penulis Zoroaster kiwari juga memandang keabadian jiwa dan lestarinya manusia setelah kematian, ganjaran segala perbuatan baik dan hukuman segala perbuatan buruk, di surga dan neraka, hari kiamat merupakan asas dan fondasi agama Zoroaster. Bagaimanapun redaksi "melintasi jembatan Chinvat Peretum" boleh jadi dapat disandarkan kepada keyakinan terhadap ma'ad dalam ajaran Zoroaster.
Afirmasi al-Qur’an terkait revelasionalnya ajaran Zoroaster
Al-Qur'an menyebut pengikut Zoroaster sebagai "Majus".[11] Berdasarkan beberapa riwayat yang dinukil dari para Imam Maksum As, Majus, diperkenalkan sebagai pemilik kitab dan merupakan seorang nabi." [12]Riwayat-riwayat yang menjelaskan ajaran-ajaran pertama agama Ilahi Zoroaster As melalui para pengikutnya mengalami penyimpangan. Karena itu, kesimpulan valid dari riwayat-riwayat semata-mata mengisahkan adanya proses penyimpangan dalam ajaran Zoroaster bukan hikayat tentang jenis penyimpangan tersebut.[]
Indeks yang berkaitan:
Ma'ad Jasmani dalam Pandangan Ahlulkitab, pertanyaan 1916 (Site: 1917)
[1].Gatha adalah sekumpulan nyanyian yang terhimpun semenjak 3500 tahun yang lalu dan di dalamnya dijelaskan tentang jalan hidup yang laik dalam bentuk puisi.
[2]. Jalaluddin Asytiyani, Zartusyt, Syarkat-e Sahami Intisyar, cetakan 1381, jil. 6.
[3].Din Syinâsi Tathbiqi, 107. Meski demikian sebagian ulama Zoroaster berupaya dengan takwil filosofis dan gnostis menunjukkan bahwa ajaran dualism Avesta ini adalah ajaran monoteisme dan memandang bahwa kitab suci mereka adalah kitab suci tauhid.
[4].Zartusyt, hal. 133.
[5]. Din Syinâsi Tathbiqi, 109-110.
[6].Ibid, hal. 110.
[7].Ibid, hal. 112.
[8]. Ajaran ini disebutkan dalam enam prinsip dimana poin ini yang dijelaskan adalah prinsip keenam
[9]. Adyân-e Âsyayai, hal. 42 dan 43, yang dinukil dari kitab Sairi dar Adyan-e Zendeh Jahan (non- Islam), Abdurahim Sulaimani Ardistani, hal. 112
[10]. Târikh-e Tamaddun, hal. 246. Din Syinasi Tathbiqi, hal. 112.
[11]. "Sesungguhnya orang-orang beriman, orang-orang Yahudi, orang-orang Shâbi’în (para penyembah bintang), orang-orang Nasrani, orang-orang Majusi, dan orang-orang musyrik, Allah akan memberi keputusan di antara mereka pada hari kiamat. Memisahkan yang hak dari yang batil. Sesungguhnya Allah menyaksikan segala sesuatu." (Qs. Al-Hajj [22]:17) Silahkan lihat, Nasir Makarim Syirazi, Tafsir Nemune, jil. 14., hal. 40. Muhammad Husain Thabathabai, al-Mizan fii Tafsir al-Qur'an.
[12]. Abdu 'Ali al-'Arusi al-Huwaizi, Nur al-Tsaqalain, Rasuli Mahallati, Qum, Matba'
al-Hikmah, jil. 3, hal. 475. Al-Hurr al-'Amili, Wasâil al-Syiah, hal. 96; Nasir Makarim Syirazi, Tafsir Nemune, jil. 14, hal. 46, Dar al-Kitab al-Islamiyah, Qom, 1361.