Keadilan artinya menempatkan sesuatu pada tempatnya. Keadilan dalam hubungannya dengan Tuhan bermakna dua jenis: Keadilan takwini (penciptaan) yang bermakna bahwa seluruh alam semesta mulai dari bumi hingga tujuh petala langit berdiri tegak di atas keadilan. Keadilan tasyri’i (hukum dan undang-undang).
Keadilan tasyri’i ini memiliki dua cabang. Pertama, undang-undang atau hukum, yang bermakna bahwa seluruh instruksi dan taklif Ilahi berpijak di atas keadilan. Dan yang kedua bahwa Allah Swt pada hari Kiamat akan mengadili para hamba-Nya berdasarkan keadilan.
Adapun rahmat pada Tuhan bermakna kebaikan dan karunia. Arhâm al-Râhimin berarti derajat kebaikan (ihsan) yang paling tinggi dan kepemurahan Ilahi kepada seluruh makhluk.
Wâhid (Tunggal) bagi Tuhan memiliki dua makna: 1. Bahwa tiada satu pun makhluk dan entitas yang serupa dengan Tuhan. 2. Allah Swt sama sekali tidak memiliki sekutu atau tandingan. Tidak pada entitas luaran, tidak pada akal, tidak juga pada ilusi.
Pertanyaan akan kami jawab dalam tiga bagian:
A. Keadilan:
Sebelum menjelaskan keadilan Allah Swt, maka yang terlebih dahulu harus menjadi jelas adalah tentang makna keadilan dan bagian-bagiannya. Baru kemudian kita membahas ihwal keadilan Ilahi.
Keadilan bermakna menempatkan sesuatu pada tempatnya. Dengan penjelasan ini keadilan Ilahi terbagi menjadi dua bagian:
Pertama: Keadilan Takwini
Fokus pembahasan—dalam hal ini terkait dengan masalah keadilan Ilahi pada sistem dan hukum dasar penciptaan—bahwa seluruh alam semesta, mulai dari bumi hingga tujuh petala langit, berdiri tegak di atas keadilan. Keseimbangan dan ekuilibrium pada masing-masing rangkaiannya juga telah diperhatikan. Para ilmuan dengan pelbagai kajian dan penelitian ilmiah yang telah dilakukan mampu menetapkan dan membuktikan jenis keadilan ini melalui argumen keteraturan alam semesta. Allah Swt terkait dengan bagian keadilan Ilahi ini berfirman, “Dan Allah telah meninggikan langit dan meletakkan neraca (keadilan)” (Qs. Al-Rahman [55]:7)
Karena itu, dalam definisi keadilan takwini harus dikatakan bahwa, keadilan artinya kesesuaian, keseimbangan dan menunaikan segala yang layak untuk menerima emanasi wujud. Kebalikan dari jenis keadilan ini adalah tiadanya kesesuaian, dan bukan kezaliman. Jenis keadilan ini adalah sebuah keniscayaan dari kemahabijaksanaan dan kemahapandaian Allah Swt.
Kedua: Keadilan Tasyri’i
Jenis keadilan ini harus ditelusuri pada dua persoalan:
Pertama, dalam pensyariatan hukum-hukum. Hal itu bermakna bahwa instruksi-instruksi dan tugas-tugas Ilahi berpijak di atas keadilan. Artinya Allah Swt menimbang kekuasaan, kemampuan dan batasan para hamba. Lalu berdasarkan hal itu Dia menentukan tugas-tugas dan taklif-taklif bagi mereka. Sebagaimana al-Qur’an menyatakan, “Kami tidak membebani seseorang melainkan menurut kesanggupannya.” (Qs. Al-Mukminun [23]:62)
Kedua, pada hari Kiamat manusia akan diadili berdasarkan keadilan sebagaimana al-Qur’an menyatakan, “Dan di sisi Kami terdapat suatu kitab yang (mencatat seluruh amal para hamba dan) berbicara dengan benar, sedangkan mereka tidak dianiaya.” (Qs. Al-Mukminun [23]:62)
Dengan deskripsi ini, dalam definisi keadilan kategori ini, harus dikatakan bahwa, keadilan bermakna menunaikan hak-hak setiap orang, memberikan hak kepada ahlinya dan menafikan segala bentuk diskriminasi. Kebalikan dari jenis keadilan ini adalah kezaliman yang maknanya adalah menginjak-injak hak-hak, melanggar dan menggunakan hak orang lain tanpa izin.
Dengan deskripsi ini pula, tiada satu pun mazhab dalam Islam yang mengingkari keadilan Ilahi. Bahkan seluruh mazhab dalam Islam menerima adil sebagai salah satu sifat Tuhan. Syahid Muthahhari berkata dalam masalah ini, “Tiada seorang pun yang berkata bahwa Tuhan tidak adil, perbedaan antara Muktazilah dan Asyariah hanyalah dalam hal penafsiran dan penjelasan tentang keadilan. Asyariah sedemikian menafsirkan keadilan sehingga penafsiran seperti ini sepadan dengan mengingkari keadilan menurut Muktazilah, kalau tidak maka Asyariah sekali-kali tidak akan pernah mau disebut sebagai kelompok yang mengingkari dan menentang keadilan Ilahi.”[1]
B. Makna Arhâm al-Râhimin
Arhâm (mahakasih) dan râhim (pengasih) derivatnya dari kata ra-hi-ma. Arhâm adalah bentuk kalimat superlatif yang bermakna mahakasih dan paling pengasih. Râhim berarti pengasih dan pemurah. Dan rangkaian frase ini bermakna mahakasih dari seluruh pengasih.
Raghib berkata, “Rahmat, sifat pengasih dan kelembutan, adalah sifat yang menyebabkan munculnya kebaikan pada seseorang yang dirahmati dan dikasihi. Terkadang hanya digunakan pada sifat pengasih dan terkadang hanya digunakan dalam kebaikan. Sifat pengasih apabila disandarkan kepada Tuhan maka yang dimaksud hanyalah kebaikan, bukan kelembutan hati. Sebagaimana yang disebutkan dalam riwayat, “Rahmat dari sisi Allah Swt adalah segala karunia dan pemberian keutamaan. Rahmat dari sisi manusia adalah afeksi dan kelembutan hati.” [2]
Dalam al-Mizan terkait dengan tafsir “Bismillah al-Rahman al-Rahim” dikatakan, “Rahmat pada sisi Allah Swt bermakna anugerah dan kebaikan.”
Thabarsi dalam banyak hal, diantaranya dalam tafsir surah Al-Fatihah, pada ayat 157 surah al-Baqarah mengartikan rahmat sebagai karunia. Dan pada surah al-Fatihah setelah menyebutkan ucapan Ibnu Abbas, “Allah Swt tidak dapat dideskripsikan dengan kelembutan dan sikap reaktif. Karena yang dimaksud dengan rahmat adalah karunia dan pemberian keutamaan. Pendeknya, bahwa rahmat terkait dengan Allah Swt bermakna kebaikan dan anugerah. Dan Arham al-Rahimin bermakna derajat puncak dan tingkatan tertinggi kebaikan dan kepemurahan.
C. Makna Wâhid:
Wâhid secara leksikal disebutkan dengan makna beragam. Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib As pada saat perang Jamal dalam menjawab pertanyaan seorang Arab yang bertanya kepadanya, Wahai Ali! Apa maksud Anda yang berkata bahwa Allah Swt itu adalah Esa? Imam Ali As bersabda, “Makna Tuhan itu Esa dapat digambarkan dalam empat bagian. Dua bagiannya tidak dibenarkan dan dua bagian lainnya harus ditetapkan bagi Tuhan. Adapun dua bagian pertama yang dilarang, disebutkan bahwa Allah Swt itu Satu dan yang dimaksud satu di sini adalah salah satu bilangan, karena segala sesuatu yang tidak ada duanya maka ia tidak akan termasuk bagian dari angka. Apakah engkau tidak mencermati bahwa apabila seseorang berkata Tsâlitsu tsalatsatin “Allah adalah salah satu dari tiga tuhan” maka ia telah kafir? Demikian juga apabila disebutkan bahwa Allah itu satu dan satu yang dimaksud itu adalah sebuah genus maka ia juga telah kafir seperti orang yang berkata Allah Swt adalah salah satu dari entitas yang ada, sebagaimana disebutkan bahwa Dia adalah salah satu dari tiga tuhan, karena dalam hal ini ia telah menyerupakan sesuatu dengan Tuhan. Adapun dua bagian makna wâhid yang dapat ditetapkan bagi Tuhan adalah pertama, wâhid bermakna bahwa tiada yang menyerupai Tuhan pada seluruh entitas. Dan kedua, yang dimaksud dengan wâhid adalah bahwa Tuhan tidak dapat dibagi pada entitas, akal dan ilusi dan demikianlah Tuhan kita.[3]
Berdasarkan riwayat, yang dimaksud bahwa Tuhan itu Wâhid (Esa) adalah simplesitas dan tiadanya rangkapan Tuhan. Atau keesaan dan tiada yang menyerupainya. Makna yang paling popular tentang tauhid adalah keesaaan zat Tuhan dan tiada sesuatu pun yang menyerupai-Nya.
Dalam buku-buku filsafat dan teologi disebutkan empat bagian tentang tauhid yaitu:
1. Tauhid zat (yang telah dijelaskan maknanya).
2. Tauhid sifat yaitu bahwa sifat Tuhan adalah identik dengan yang lainnya dan merupakan zat itu sendiri.
3. Tauhid af’ali (perbuatan-perbuatan) yaitu setiap entitas, setiap gerakan, setiap aksi di alam semesta berpulang kepada Zat Suci Tuhan.
4. Tauhid dalam ibadah yaitu satu-satunya yang harus disembah dan menjadi obyek ibadah adalah Allah Swt dan selain-Nya tidak pantas untuk disembah. Karena ibadah dilakukan untuk sosok yang merupakan kesempurnaan mutlak dan mutlak sempurna, sosok yang tidak membutuhkan kepada semuanya, pemberi seluruh anugerah dan pencipta seluruh makhluk. Dialah Allah Swt dan sifat ini hanya terhimpun pada Zat Suci Ilahi.[4] [IQuest]
[1]. Murtadha Muthahhari, Âsynâi bâ ‘Ulûm Islâmi, hal. 157.
[2]. Al-Mufradât fi Gharib al-Qur’ân, hal. 347.
[3]. Syaikh Shaduq, al-Tauhid, hal. 83, Cetakan Kedua, Intisyarat Jame’e Mudarrisin, Qum, 1398 H.
[4]. Ahmad Ali Babai, Barguzide Tafsir Nemune, jil. 5, hal. 61, Cetakan Ketigabelas, Dar al-Kutub al-Islamiyah, Teheran, 1382.