Hadhrat Zainab Kubra Sa lahir pada tahun kelima atau keenam Hijriah di Madinah. Meski kami juga tidak mendapatkan riwayat standar dari Rasulullah Saw terkait dengan Hadhrat Zainab Sa namun terdapat riwayat berhubungan dengan keturunan Hadhrat Zahra Sa yang juga mencakup wanita besar Islam ini. Hadhrat Zainab belajar dari madrasah ayah dan ibunya pelajaran iman dan takwa, sabar dan istiqamah, perlawanan dan anti kezaliman, gerak dan bangkit, membela kehormatan Islam, membela imâmah dan wilâyah, berani dan prawira, rela berkorban, fasih, dan retoris. Sebaik-baik medan untuk mengenal kepribadian Hadhrat Zainab adalah perjalanan historisnya ke Karbala dan kehadirannya pada peristiwa tragis Asyura. Demikian juga pada saat menjadi tawanan dan bagaimana beliau berkonfrontasi dengan para penjahat di masanya, yang hanya dinukil sebagian saja oleh sejarah dari peristiwa tersebut bagi kita.
Hadhrat Zainab Kubra Sa lahir pada tahun kelima atau keenam Hijriah di Madinah. Penamaan Zainab Kubra diserahkan kepada datuknya Rasulullah Saw. Rasulullah Saw melalui pesan Ilahi dan wahyu menamai putri tersebut dengan nama Zainab yang bermakna pohon yang indah atau rangkapan dari dua kalimat “zain” dan “ab” yang bermakna keindahan sang ayah.
Wanita besar ini menyelami samudera ilmu dan belajar dari para guru teladan umat manusia. Beliau tumbuh sebagai sosok yang tegar, kukuh dan tidak pernah menyerah menghadapi pelbagai kesusahan dan penderitaan hidup.
Meski kami juga tidak mendapatkan riwayat standar dari Rasulullah Saw terkait dengan Hadhrat Zainab Sa namun terdapat riwayat berhubungan dengan keturunan Hadhrat Zahra Sa yang juga mencakup wanita besar Islam ini. Sebagaimana disebutkan dalam sebuah riwayat bahwa seseorang bertanya kepada Imam Shadiq As, “Apakah Rasulullah Saw bersabda demikian, “Sesungguhnya Fatimah adalah wanita mulia. Karena itu Allah Swt mengharamkan keturunannya dari api neraka?” Imam Shadiq As menjawab, “Benar. Maksud Rasulullah Saw adalah Hasan, Husain, Zainab dan Ummu Kultsum.”[1]
Demikian juga Imam Sajjad As bersabda kepada Hadhrat Zainab Sa, “Anda, puji Tuhan, adalah seorang ‘alimah ghairu muallimah (seorang berilmu tanpa diajari) dan seorang pandai yang tiada seorang pun yang mengajarkan ilmu kepada Anda.”[2]
Boleh jadi dapat dikatakan bahwa sebab adanya banyak hadis tentang keutamaan Imam Hasan dan Imam Husain As dari Rasulullah Saw dan tiadanya hadis atau hadis-hadis ihwal anak-anak Imam Ali As lainnya adalah karena imâmah kedua manusia mulia ini.
Namun secara global harus dikatakan bahwa Hadhrat Zainab belajar dari madrasah ayah dan ibunya pelajaran iman dan takwa, sabar dan istiqamah, perlawanan dan anti kezaliman, gerak dan bangkit, membela kehormatan islam, membela imâmah dan wilâyah, berani dan prawira, rela berkorban, fasih, dan retoris.
Disini kita akan menyinggung sepenggal dari karakteristik dan tipologi yang dimiliki oleh wanita srikandi ini:
1. Iman Kokoh Hadhrat Zainab Sa:
Sifat mulia pertama dan utama Hadhrat Zainab Sa adalah kecintaannya yang membuncah kepada Allah Swt. Terkait dengan keagungan iman dan keyakinannya kepada Allah Swt cukup sebagai buktinya adalah bahwa beliau menanggung seluruh musibah yang menimpanya di jalan Allah dan melihat seluruhnya sebagai sesuatu yang indah karena berasal dari Allah Swt. Tatkala ditanya oleh Ibnu Ziyad di Kufah, “Bagaimana engkau melihat perbuatan Tuhan kepada saudaramu? Zainab menjawab dengan tegas dan tangkas, “Aku tidak melihat kecuali keindahan.”[3] Karena gerakan ini adalah sebuah upaya untuk menegakkan agama Allah, kebenaran dan keabadian. Kemudian ketika menyaksikan badan saudaranya yang tercabik-cabik di tempat pembantaian, dengan rendah hati ia berkata lirih di haribaan Tuhan, “Allahummâ taqabbal minna hadza al-qurban.” (Ya Allah! Terimalah dari kami pengorbanan ini).[4]
Ibadah Zainab sedemikian berada di puncak sehingga tatkala perpisahan tiba, Imam Husain As berkata kepada Zainab Kubra Sa, “Saudariku! Banyak-banyaklah berdoa untukku pada shalat malammu!”[5] Demikian juga diriwayatkan dari Imam Sajjad As, “Bibiku Zainab dalam perjalanan dari Kufah ke Syam sebagai tawanan tetap menunaikan shalat-shalat wajib (farâidh) dan shalat-shalat mustahab (nawâfil) dan tidak melalaikannya. Hanya pada salah satu rumah, karena saking lemah dan laparnya, beliau menunaikan shalat sambil duduk yang kemudian ketahuan bahwa tiga hari beliau tidak makan; karena setiap tawanan hanya diberi sepotong roti sehari-semalam. Dan bibiku lebih banyak menyerahkan jatah rotinya kepada anak-anak.”[6]
2. Pengetahuan Hadhrat Zainab Sa
Hadhrat Zainab Kubra Sa adalah wanita yang penuh dengan khazanah ilmu dan keutamaan. Beliau memperoleh pengetahuannya dari datuk, ayahanda, bunda dan saudara-saudaranya, orang-orang yang bersambung dengan wahyu.
Disebutkan dalam riwayat bahwa Hadhrat Zainab Sa memberikan pelajaran tafsir untuk kaum wanita.[7] Dari Ibnu Abbas diriwayatkan bahwa ia berkata, “Wanita berakal dari golongan kami adalah Zainab Sa.”[8] Dan cukup bagi kita bahwa di kalangan Bani Hasyim Zainab Kubra dikenal sebagai ‘Aqilah yaitu Wanita Yang Berakal.
Berdasarkan kalimat dan ucapan yang disampaikan Hadhrat Zainab Sa selama dalam perjalanan Karbala, Kufah, Syam, dan khutbah-khutbah serta pidato-pidato yang disampaikan dalam pelbagai kesempatan di hadapan orang-orang zalim pada masa tersebut, maka dapat diketahui bahwa tingkatan ilmu, pengetahuan dan kesempurnaan wanita besar tersebut bukan diperoleh dari jalan menuntut ilmu dan pengetahuan yang didapat bukan sebagai hasil belajar dari orang lain. Pengetahuan yang dimiliki oleh Hadhrat Zainab merupakan anugerah Ilahi dan memiliki sisi adikodrati. Bukti persoalan ini adalah sabda Imam Sajjad As setelah khutbah Kufah, “Bibiku! Tenanglah. Diamlah. Engkau adalah seorang yang berilmu tanpa diajari. Engkau adalah seorang yang pandai tanpa ada orang yang mengajarkannya kepadamu.”[9]
3. Pengorbanan Aqilah Bani Hasyim
Sebaik-baik medan untuk mengenal kepribadian Hadhrat Zainab adalah perjalanan historisnya ke Karbala dan kehadirannya pada peristiwa tragis Asyura. Di samping itu juga tatkala menjadi tawanan dan bagaimana berkonfrontasi dengan para penjahat di masanya yang hanya dinukil sebagian saja oleh sejarah dari peristiwa tersebut kepada kita. Tatkala merasa tanggung jawab besar jihad di jalan Allah dan melawan orang-orang tak beragama jatuh ke pundaknya, dan Zainab Kubra harus mengorbankan harta benda, suami, dan anak-anaknya, bahkan apabila diperlukan pengorbanan jiwa sekalipun, maka ia takkan pernah ragu untuk mempersembahkannya. Dengan segala keberanian dan pengorbanan, ia menyingsingkan lengan baju meninggalkan rumah, kediaman, suami dan kehidupan untuk hadir di padang Karbala dan mempersembahkan anak-anaknya dengan sukarela di Nainawa.
Di setiap episode epik Karbala, Zainab Kubra Sa adalah penolong setia bagi pemimpin agung revolusi suci Aba Abdillah al-Husain As. Dan tatkala waktu Ashar Asyura tiba dan Imam Husain telah syahid, beban dan tanggung jawab baru diletakkan di pundak wanita besar ini yang tetap berdiri tegar dan kukuh laksana gunung baja di hadapan musuh-musuh.[10]
Manifestasi dan peran vital Hadhrat Zainab sedemikian sentral sehingga sampai kini pun, setelah sekian abad berlalu, peran tersebut sedemikian tetap bersinar. Maka sangat wajar apabila masyarakat Muslim menjadikan hari kelahirannya sebagai hari perawat untuk mengenang dan mengapresiasi semangat pengorbanan dan perjuangannya. [IQuest]
[1]. Allamah Majlisi, Bihâr al-Anwâr, jil. 43, hal. 231, Muassasah al-Wafa, Beirut, 1404 H.
مع، [معانی الأخبار] أَبِی عَنْ سَعْدٍ عَنِ الْبَرْقِیِّ عَنْ أَبِیهِ عَنِ ابْنِ أَبِی عُمَیْرٍ عَنْ جَمِیلِ بْنِ صَالِحٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ مَرْوَانَ قَالَ قُلْتُ لِأَبِی عَبْدِ اللَّهِ ع هَلْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ص إِنَّ فَاطِمَةَ أَحْصَنَتْ فَرْجَهَا فَحَرَّمَ اللَّهُ ذُرِّیَّتَهَا عَلَى النَّارِ قَالَ نَعَمْ عَنَى بِذَلِکَ الْحَسَنَ وَ الْحُسَیْنَ وَ زَیْنَبَ وَ أُمَّ کُلْثُومٍ ع.
[2]. Bihâr al-Anwâr, jil. 45, hal. 164.
[3]. Bihâr al-Anwâr, jil. 45, hal. 116.
[4]. Allamah Sayid Abdurazzaq Muqarram, Maqtal al-Husain, hal. 379.
[5]. Zainab Kubrâ, hal. 62-63.
[6]. Riyâhin al-Syariah, jil. 3, hal. 62.
[7]. Majalah Didâr-e Âsynâ, No. 25, Sayid Shadiq Sayidnejad.
[8]. Safinat al-Bihâr, jil. 1, hal. 558.
[9]. Bihâr al-Anwâr, jil. 45, hal. 146.
[10]. Silakan lihat, Majalah Didâr-e Âsynâ, No. 117, Laila Dzulfaqari, dengan sedikit
erubahan.