Keadilan dengan seluruh artinya adalah yang akan dibahas dan dikaji dalam teologi. Akan tetapi kebanyakan dari artinya yang mendapat kritikan dan menjadi sebab terpisahnya golongan Adliah (Imamiyah dan Mu’tazilah) dari golongan Asyairah, adalah “keadilan” yang memiliki arti: perlunya memperhatikan hak-hak mukallaf (yang memikul tugas syariat) dalam memperoleh ganjaran dan hajaran (pahala dan siksa).
Asyairah meyakini bahwa keadilan adalah segala pekerjaan yang datang dari Allah Swt dan mereka berkeyakinan walaupun seandainya seluruh nabi dan orang mukmin dimasukkan ke dalam neraka Jahannam dan seluruh orang kafir, musyrik dan munafik diantar ke dalam syurga (dan kemungkian tersebut ada) perbuatan Tuhan ini adalah sama dengan keadilan. Golongan Adliah( dengan berpegang pada kaidah kebaikan dan keburukan adalah merupakan hakikat dzat sesuatu tersebut dan juga dapat dicerna secara rasional (husn wa qubh dzati wa aqli) dan penuntutan-penuntutan bahwa dzat Tuhan adalah hanya kebaikan, kesempurnaan, mengetahu, kekuatan absolut) meyakini bahwa: datangnya hal-hal yang buruk dari Tuhan -antara lain seperti kezaliman- adalah sesuatu yang mustahil. Sementara menjaga hal-hal yang baik pada dzat Tuhan -antara lain seperti keadilan- adalah hal yang harus dan mesti.
“Keadilan” dalam bahasa adalah pertengahan dan menjauhi ifrarh dan tafrith (sangat berlebihan dan sangat kekurangan). Dan jika dia berobjek dengan huruf عن ia memiliki arti berpaling. Arti sama dan sesuai (sepadan) juga dipergunakan dalam kata ini. Terkadang juga diartikan pengganti dan pengorbanan.[1] Namun di dalam teologi, akidah dan lain-lain akan dibahas dari sisi arti-arti berikut ini:
“Keadilan” berarti seimbang, sama dan tidak diparuh, yaitu ketika hak-haknya sama dan sepadan.
“Keadilan” berarti menjaukan perbuatan dosa-dosa besar dan tidak terkenal dengan kefasikan. Tentunya makna tersebut banyak digunakan di dalam ilmu Fikih. Tetapi digunakan juga di dalam teologi, yaitu di dalam pembahasan kepemimpinan dan wilayatul faqih.
“Keadilan” dalam pandangan moral berarti menjaga hak-hak orang lain yaitu lawan kata kezaliman yang berati menginjak-injak hak-hak orang lain.
“Keadilan” dalam pandangan sosial berarti membagi rata berbagai fasilitas sosial dan memungkinkan masyarakat untuk mendapatkan manfaat yang serupa dari berbagai fasilitas, seperti pendidikan, kebudayaan, keilmuan, ekonomi dan kesejahteraan.
“Keadilan” yang berarti sepadan, seimbang dan meletakkan sesuatu pada tempatnya, dengan tujuan bahwa sesuatu tersebut dalam proses interaksi dengan seluruh perkara, akan menciptakan undang-undang yang lebih baik. Dan alam ciptaan ini akan mengarah pada tujuan tertentu. Pengertian semacam ini karena memandang pada undang-undang seluruh ciptaan, sehingga dapat dipahami dengan pemahaman filsafat.
“Keadilan” yang berarti menjaga tuntutan-tuntutan dalam tataran hukum syariat, hukum pengadilan, perhitungan dan pemberian pahala atau pembalasan atas segala bentuk perbuatan dan siksaan, dalam kata yang berlawanan seperti kezaliman yang memiliki arti memberikan upah pekerja secara tidak sesuai, menuntut atau menyiksa yang berlebihan keluar dari batas kewajaran dengan sarana kriminalitas ataupun penyelewengan.
Kata adil dalam al-Qur’an al-Karim[2] baik secara bahasa ataupun istilah, dipakai dalam bentuk yang berbeda-beda, akan tetapi kebanyakan dipakai di dalam bentuk negatif yaitu menafikan kezaliman dari Allah Swt dalam tataran pemberian pahala dan siksa baik di dunia maupun di akhirat.
Dalam hal-hal lainnya, diyakini bahwa keadilan memiliki tujuan penting untuk pengutusan para nabi. Dan seluruh manusia dipanggil untuk menjaga keadilan dan menghormati hak-hak masing-masing dan tidak menginjak-injak hak-hak orang lain, dan diperintahkan untuk menghukumi secara adil dan berperasaan. Selain itu juga, langit dan bumi diciptakan berdasarkan keadilan dan keseimbangan.
Pengertian di atas, keadilan Tuhan dalam posisi pemberian pahala dan balasan adalah hal yang akan dikaji dan dibahas lebih banyak ketimbang yang lainnya, karena hal tersebut banyak mendapatkan tanggapan yang negatif.
Asy’ariah (pengikut mazhab Abul Hasan Asy’ari) meyakini bahwa: tidak ada suatu hal yang wajib bagi Tuhan dan keyakinan akan kewajiban sesuatu atas Dzat Tuhan itu melazimkan batasan dan penentuan taklif untuk-Nya, padahal tidak ada seorang hamba pun yang berhak untuk menentukan tugas taklif untuk Tuhan dan tidak mempunyai hak untuk membatasi daerah kekuatan, kehendak dan aktifitas Dzat Yang Maha Suci. Oleh karena itu, seorang pun tidak berhak berkata: “Keluarnya keadilan atas Tuhan adalah hukumnya wajib dan perbuatan jelek seperti kezaliman atas-Nya adalah terlarang”. Namun yang harus diyakini adalah bahwa segala sesutu yang dilakukan Tuhan merupakan keadilan, meskipun seluruh orang beriman digiring ke neraka Jahannam, dan seluruh orang kafir dikirim ke dalam Surga! Dan hal tersebut tidak mustahil.
Sumber kesalahan kelompok ini dikarenakan cara penjelasan yang keliru dari kalangan kelompok Mu’tazilah dalam hal keharusan atas Tuhan untuk bersifat adil; karena Mu’tazilah (pengikut mazhab Wasil bin Atha) dengan berpegang pada kaidah kebaikan dan keburukan itu adalah hakikat yang sesungguhnya (dzati) dan juga secara akal (akli), meyakini bahwa wajib bagi Tuhan menjaga keadilan baik di dunia mau pun di akhirat, penjelasan mereka sedikit memberikan batasan dan penentuan taklif bagi Tuhan.
Sementara itu Imamiah (pengikut para dua belas imam) meyakini bahwa: dengan memperhatikan pada kaidah kebaikan dan keburukan itu adalah hakikat yang sesungguhnya (dzati) dan juga secara akal (akli), dan dengan memperhatikan tuntutan-tuntutan kesempurnaan yang hakiki Dzat Tuhan, maka hal-hal yang buruk seperti: ingkar janji, dusta dan zalim, mustahil keluar dari Tuhan. Dan ketika segala sesuatu yang buruk itu mustahil dari Tuhan, maka apa saja yang keluar dari Tuhan adalah baik dan sama dengan keadilan. Oleh karena itu, dengan memperhatikan janji-janji yang telah diberikan oleh al-Qur’an al-Karim dan dengan memperhatikan bahwa ingkar janji dari-Nya adalah sesuatu yang mustahil, maka sesuatu yang tidak mungkin terjadi jika orang-orang kafir, munafik dan musyrik yang mati dalam keadaan ingkar, akan dibawa ke Surga. Dan sebaliknya para nabi dan para wakil Allah serta kaum mukmin akan dijatuhkan ke dalam neraka Jahanam.
Lebih jelasnya, keluarnya keadilan, kebenaran dan penepatan janji dari Tuhan adalah sebuah keharusan. Sementara keluarnya kejelekan dari Tuhan adalah hal yang mustahil. Namun bukan berarti keluarnya keadilan dari Tuhan adalah wajib dan keluarnya kezaliman atas Tuhan adalah sesuatu yang haram. Yang dimaksud dengan “wajib” di sini adalah keharusan secara filsosofis sebagai lawan dari kemustahilan, dan bukan berati kewajiban secara akal atau syariat sebagai sebuah hukum yang lazim bagi Tuhan. Dari sini dapat diketahui bahwa peranan akal adalah menyingkap hakikat dan kenyataan, bukan mengeluarkan suatu hukum atas Tuhan. Akal akan membedakan bahwa pasti Tuhan itu adil dan tidak akan pernah menzalimi seorang pun baik di dunia atau pun di akhirat. Namun ia tidak akan mampu untuk menentukan taklif dan membatasi gerak-Nya.
Dalam menelusuri perselisihan ini, kelompok Imamiah dan Mu’tazilah -yang dikenal dengan golongan Adliah- menambahkan konsep keadilan sebagai salah satu dasar-dasar agama. Sedangkan Asy’airah meyakini bahwa hanya Tauhid (ketuhanan), Kenabian dan Ma’ad (hari akhir) lah yang merupakan dasar-dasar agama. Tentunya antara pandangan Mu’tazilah dan Syi/ah memiliki perbedaan-perbedaan yang banyak. Dan pandangan Syi’ah berbeda dengan pandangan Mu’tazilah yang ifrath (berlebihan) dan pandangan Asy’airah yang tafrith (berkekurangan).
Hal yang harus disebut adalah bahwa keadilan dengan arti seperti ini, memiliki pelbagai keniscayaan yang akan dikaji dan digunakan dalam hukum syariat dan teologi atau dalam kedua hal tersebut. Dan hal tersebut sebagai berikut:
A. Keadilan dalam alam penciptaan:
Setiap makhluk telah diciptakan secara sama dan seimbang, dan bagian-bagiannya telah disiapkan begitu rupa sehingga secara global makhluk tersebut dapat mencapai kesempurnaan yang layak. Dari sisi itulah telah diberikan peranan khusus pada setiap makhluk di alam penciptaan ini, sehingga seluruh alam ciptaan ini bergerak secara rapi dan teratur menuju sebuah tujuan yang telah ditentukan sebelumnya.
B. Keadilan dalan alam syariat.
Keadilan secara undang-undang memiliki dua keniscayaan:
1. Kaidah “Memberikan siksa tanpa ada penjelasan adalah (tindakan) buruk”[3]: Tuhan tidak akan menyiksa seseorang yang meninggalkan beban tugas (taklif) disebabkan ketidaktahuan. Oleh karena itu, jika seseorang tidak bertemu dengan seorang mubaligh atau seorang yang memberi peringatan padanya sampai ia mengenal agama dan tidak memiliki kemampuan untuk berhijrah atau mencari kebenaran, maka dia terhitung orang-orang yang lemah dan dengan beragumen pada prilaku ketidaktahuannya, ia tidak akan mendapat siksa. Selain itu pada hal-hal yang belum ditemukan perintah khusus dari Tuhan, maka hukumnya adalah boleh mengerjakannya.
2. Kaidah “Memberikan tugas sesuatu di atas kadar kemampuan adalah (tindakan) buruk”[4]: Tuhan tidak hendak memberikan beban taklif kepada manusia di luar kemampuannya dan mengangkat kesulitan dan kesukaran dari orang-orang yang memiliki uzur.[5] Dan diharapkan dari setiap orang hanya dalam batas kemampuannya, dan perbuatannya juga akan dihitung berdasarkan kemampuan yang ia miliki. Jika perbuatannya baik, akan diberikan pahala dan jika buruk, akan dibalas dengan siksa.
C. Keadilan di padang Mahsyar
Tuhan pada hari Kiamat akan menghukumi dengan adil sesuai dengan hal-hal yang disebut di atas.
D. Keadilan dalam menerapkan hukum:
Tuhan dalam menerapkan hukum juga bertumpu pada keadilan. Orang-orang yang baik akan mendapat pahala dan orang-orang yang jahat akan mendapat siksa.
Sesuatu yang patut diperhatikan adalah bahwa dalam doa-doa para Imam maksum as selalu berlindung kepada-Nya dari keadilan Tuhan dan di dalam Al-Qur’an juga sifat adil ditampilkan berupa menafikan kezaliman yang disandarkan pada Tuhan. Rumusnya adalah bahwa taat kepada Yang Maha Haq dan menyembah-Nya sebagaimana Ia layak dan patut untuk ditaati dan disembah, dan mensyukuri nikmat-nikmat-Nya sebagaimana tiada seorang pun yang mampu untuk membalas dan mengganti seluruh nikmat dan pemberian Tuhan; sebagaimana taufik untuk taat dan mensyukuri-Nya juga adalah sebuah keutamaan lain dan pemberian lainnya yang telah dilimpahkan kepada kita yang hal tersebut meminta kita untuk bersyukur kembali pada-Nya.
Dari sisi lain, ketaatan dan bersyukur ini dikerenakan kenikmatan-kenikmatan di dunia yang telah diserahkan kepada kita. Oleh karena itu pahala di akhIrat tidak lain kecuali hanya keutamaan dan pemberian yang berlipat; yakni sebagaimana rahmat Tuhan lebih didahulukan dari pada marahnya dan Tuhan mewajibkan dzat-Nya untuk memberikan rahmat pada hambaNya[6], sunnatullah adalah memberikan pahala berlipat ganda bagi orang-orang yang taat dan bersyukur. Dengan tujuan inilah, Ia memberikan pahala berlipat ganda bagi orang-orang mukmin yang melakukan amal baik, bukan hanya sekedar tuntutan-tuntutan mereka, bahkan siksaan akhIrat atas orang-orang yang berbuat jahat dengan berbagai macam ragamnya: musibah dan malapetaka di dunia, sakaratul maut, liang kubur, padang mahsyar dan syafa’at pun terkurangi, mereka diberikan keringanan dan mereka tidak disiksa sesuai dengan tuntutan-tuntutan yang seharusnya mereka terima.
Dengan demikian Tuhan pada posisi-Nya sebagai pemberi pahala dan siksa adalah sebagai Dzat yang memiliki Keutamaan, Kepemurahan, sifat Pengasih, Pemaaf dan Pengampun. Namun bukan berarti orang yang berlaku adil, pengasih, utama, mulia dan pemurah dari sisi nilai moral lebih utama dari orang-orang yang adil. Kesimpulannya adalah, Dia di atas keadilan; karena Dia adalah Hakim, Maula (pemimpin) secara mutlak, kebaikkan murni dan rahmat-Nya meliputi segalanya.
Di sini sangat pantas disebut bahwa meyakini akan keadilan Ilahi pada setiap dimensinya, memiliki pengaruh keilmuan, keyakinan dan pelbagai perbuatan. Keyakinan ini dapat digunakan dalam menyodorkan argumentasi-argumentasi pembuktian akan Kenabian (Nubuwwah), Kepemimpinan (Imamah) dan Hari Akhir (Ma’ad). Dan juga memiliki peranan yang sangat agung dalam menyimpulkan hukum-hukum. Dengan berharap pada keadilan Ilahi pada hari Kiamat, lebih mudah bersabar dalam menghadapi kezaliman dan kelaliman orang lain (ketika dalam keadaan tidak mampu untuk melawan dan menghalau kezaliman), dan bisa mendorong orang-orang mukmin untuk melaksanakan kebaikan, berlomba-lomba dalam menjalankan kebaikan-kebaikan, menegakkan keadilan dan kesetaraan di tengah-tengah masyarakat serta menjaga hak-hak orang lain.[]
Referensi untuk telaah lebih jauh:
1. Ja’far Subhani, Ilahiyat, jilid 1-3, hal. 273-290 dan hal. 301-310, Markaz Jahani Ulum Islami, Cetakan Kedua, 1409 HQ.
2. Ja’far Subhani, Buhust fi al-Milal wa al-Nihal, jil. 2, hal. 329-334, Markaz Mudiriyat Hauzah, Cetakan Kedua, Qom, 1366.
3. Abdul Karim Syahrestani, Al-Milal wa al-Nihal, jil. 1-2, , hal 47 -48, al-Anjelu Mesir, Cetakan Kedua, 1375 HQ, mesir.
4. Abi Sholah Halabi, Taqrib al-Ma’ârif, hal. 71, 88 dan 92, Daftar Intisyarat Islami,1336, Qom.
5. Sayid Murtadha Alamul Huda, al-Zakhirah, hal 211-255, Daftar Intisyarat Islami, 1411 Q,
6. Murtadha Mutahhari, Adlu Ilahi, hal. 59-66, Cetakan Kesepuluh, Tahun 57.
7. Khaja Nashiruddin Thushi, Kasyf al-Murâd, hal. 356-367, Syakuri, cetakan keempat, tahun 73, Qom.
8. Muhammad Taqi Mishbah Yazdi, Âmuzesy Aqâid (Imam Semesta), hal 190-199 (pelajaran 20), jil. 1-2, Sazeman Tablighat Islami, cetakan kedua belas, tahun 76, Qum.
9. Muhammad Taqi Mishbah Yazdi, Akhlâq Dar Qur’ân, jil. 1, hal 72, Muassasah Amuzesyi wa Pazyuhesyi Imam Khomaini (Qs), Qom.
10. Muhammad Saidi Mehr, Âmuzesy Kalam Islami, jil. 1, hal. 313-325, Cetakan Kedua, tahun 81, Qom.
[1]. Misbah al-Munir, jil. 1-2, hal 396-397.
[2]. Kasyful Ayat, kata-kata عدل، قسط، ظلام
[3]. “Kami tidak akan mengazab sebelum Kami mengutus seorang rasul.” (Qs. Al- Isra [17]:15)
[4]. Seseorang tidak mendapatkan beban melainkan sesuai dengan kadar kemampuannya. Allah tidak akan membebani seseorang melainkan sesuai dengan kemampuannya.” (Qs. Al-Baqarah [2]: 233 & 286); “Kami tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekadar kesanggupannya.” (Qs. Al-An’am [6]:152); “Kami tidak memikulkan kewajiban kepada diri seseorang melainkan sesuai dengan kadar kesanggupannya” (Qs. Al-Araf [7]:42); “Kami tidak membebani seseorang melainkan menurut kesanggupannya.” (Qs. Al-Mukminun [23]:62)
[5]. “Tiada dosa atas orang yang buta, atas orang yang pincang, dan atas orang yang sakit (apabila tidak ikut berperang).” (Qs. Al-Fath [48]:17); “Tidak ada larangan bagi orang buta, tidak (pula) bagi orang pincang, dan tidak (pula) bagi orang sakit (untuk makan bersama kamu).” (Qs. Al-Nur [24]:61); “Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan (kesulitan). (Qs. Al-Hajj [22]:78); “Tiada dosa (lantaran tidak pergi berjihad) atas orang-orang yang lemah, orang-orang yang sakit, dan orang-orang yang tidak memperoleh apa yang akan mereka nafkahkan (di jalan jihad).” (Qs. Al-Taubah [9]: 91); “Dan jika kamu sakit, berada dalam perjalanan, kembali dari tempat buang air (kakus), atau menyetubuhi perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan menggunakan tanah yang baik (bersih); usaplah muka dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkanmu, tetapi Dia hendak membersihkanmu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.” (Qs. Al Maidah [5]:6)
[6]. Dia telah menetapkan atas diri-Nya rahmat (kasih sayang). Tuhanmu telah menetapkan atas diri-Nya rahmat. (Qs. Al-Anam [6]: 12 & 54)