Salah satu adab membaca al-Qur’an diam dan mendengarkan ayat-ayat al-Qur’an yang dibacakan untuk bertadabbur dan menelisik makna-maknanya. Secara lahir ayat ini menandaskan bahwa hukum ini berlaku secara umum dan general namun dari sebagian riwayat dan konsensus ulama dapat disimpulkan bahwa hukum secara global merupakan sebuah hukum mustahab dan layaknya pada setiap kondisi di manapun dan bagaimana pun kondisinya al-Qur’an dibacakan maka yang lainnnya harus diam sebagai penghormatan kepada al-Qur’an dan mendengarkan pesan-pesan Ilahi serta menjadikannya sebagai sumber inspirasi dalam kehidupannya. Lantaran al-Qur’an bukan semata-mata kitab bacaan melainkan kitab yang harus dipahami dan diserap kemudian diamalkan. Namun dalam majelis-majelis qirâ’ah (bacaan) al-Qur’an, membaca al-Qur’an secara bersamaan dan mengikuti bacaan pembaca al-Qur’an, senada dengan penghormatan al-Qur’an bahkan merupakan model sempurna penghormatan terhadap al-Qur’an. Satu-satunya hal yang wajib harus dilakukan tatkala mendengarkan bacaan pembaca al-Qur’an dan tidak berkata sepatah kata pun adalah ketika pembaca itu adalah imam jamaah shalat dimana dalam hal ini Anda sebagai ma’mun harus mengikut imam jamaah dan mendengarkan bacaan sang imam.
Al-Qur’an menyatakan salah satu adab membaca al-Qur’an sebagai berikut,”Dan apabila dibacakan Al-Qur’an, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat.” (Qs. Al-A’raf [7]:204)[1]
Sebagian penafsir, dengan memperhatikan tuturan Ibnu Abbas terkait dengan sebab-sebab pewahyuan ayat ini, berkata, “Kaum Muslimin dalam awal pekerjaannya, terkadang berbicara dalam shalat, dan terkadang orang-orang yang baru masuk, tatkala shalat dimulai, bertanya kepada yang lain, sudah berapa rakaat Anda shalat? Mereka juga menjawab pertanyaan tersebut, sekian rakaat, kemudian ayat di atas turun dan melarang mereka untuk berbuat demikian.
Demikian juga Zuhairi menukil, “Tatkala Rasulullah Saw membaca al-Qur’an, seorang pemuda Anshar bersamanya membaca al-Qur’an dengan suara keras. Kemudian turun ayat dan melarang perbuatan ini.”
Secara lahir ayat ini menandaskan bahwa hukum ini berlaku secara umum dan general namun dari sebagian riwayat dan konsensus ulama dapat disimpulkan bahwa hukum secara global merupakan sebuah hukum mustahab (dianjurkan) dan layaknya pada setiap kondisi di manapun dan bagaimana pun kondisinya al-Qur’an dibacakan maka yang lainnnya harus diam sebagai penghormatan kepada al-Qur’an dan mendengarkan pesan-pesan Ilahi serta menjadikannya sebagai sumber inspirasi dalam kehidupannya.Lantaran al-Qur’an bukan semata-mata kitab bacaan melainkan kitab yang harus dipahami dan diserap kemudian diamalkan. Hukum mustahab ini sedemikian ditegaskan pada sebagian riwayat sehingga dipandang sebagai wajib.
Dalam sebuah hadis yamg dinukil dari Imam Shadiq As kita membaca, “Wajib bagi kalian pada shalat dan di luar shalat untuk diam dan mendengarkan al-Qur’an tatkala al-Qur’an dibacakan di sekitarmu.”[2]
Bahkan dari sebagian riwayat dapat disimpulkan bahwa apabila imam jamaah sibuk membaca dan orang lain membaca al-Qur’an maka hukumnya mustahab untuk diam hingga orang itu mengakhiri bacaannya kemudian imam menyempurnakan bacaannya, sebagiamana diriwayatkan dari Imam Shadiq As bahwa Ali As pada waktu shalat Subuh dan “Ibnu Kawa” (seorang munafik) yang shalat di belakang Imam Ali As, tiba-tiba pada shalat ini ia membaca ayat, “Wa laqad uhiyyah ilaika wa ilaladzina min qablika lainisytaraka layahbatanna ‘amaluka wala takunanna min al-khasirin.”[3] Tujuan dari membaca ayat ini adalah secara kiasan bahwa ia memprotes Imam Ali As lantaran menerima arbitrase pada perang Shiffin. Namun Imam berdiam diri untuk memberikan penghormatan kepada al-Qur’an hingga ia sampai pada akhir ayat. Kemudian Imam Ali As melanjutkan bacaan shalatnya. Namun Ibnu Kawa mengulangi membaca ayat tersebut dan Imam Ali As diam. Kemudian Ibnu Kawa untuk ketiga kalinya mengulangi ayat tersebut dan Imam Ali As kembali diam sebagai penghormatan kepada al-Qur’an. Lalu Imam Ali As membaca ayat ini, “Fashbir inna Wa’daLlahi haqqun wala yastakhiffannakalladzina la yuqinun.”[4] (Qs. Ghafir [40]:55) (Isyarat terhadap azab pedih Ilahi yang menanti orang-orang munafik, tanpa iman dan kesabaran dalam menghadapi mereka). Kemudian Imam Ali As mengakhiri surah dan melanjutkan shalatnya dengan melakukan ruku.[5]
Dari keseluruhan pembahasan ini menjadi jelas bahwa mendengarkan dan diam tatkala dibacakan ayat-ayat al-Qur’an sangat terpuji namun tidak wajib secara keseluruhan. Dan boleh jadi sesuai dengan consensus dan riwayat, redaksi ayat “La’allakum turhamun” (Boleh jadi Anda mendapatkan rahmat Tuhan). Juga merupakan isyarah terhadap kemustahaban masalah ini.
Satu-satunya hal yang wajib harus dilakukan tatkala mendengarkan bacaan pembaca al-Qur’an dan tidak berkata sepatah kata pun adalah ketika pembaca itu adalah imam jamaah shalat dimana dalam hal ini Anda sebagai ma’mun harus mengikut imam jamaah dan mendengarkan bacaan sang imam, karena itu sebagian juris memandang hal ini sebagai dalil gugurnya kewajiban makmum membaca al-Fatiha dan surah dalam shalat.
Perintah untuk diam tatkala dibacakan al-Qur’an dalam majelis-majelis seperti ini adalan dengan maksud supaya manusia dapat menyimak ayat-ayat al-Qur’an dengan baik.[6]
Karena itu, dalam sebuah majelis al-Qur’an, ketika al-Qur’an dibacakan dan pada sisi lain terdapat orang-orang yang sibuk bercerita ihwal pekerjaan mereka masing-masing dan tidak memperhatikan al-Qur’an maka ayat ini menyatakan kepada mereka untuk (lebih baik) diam dan mendengarkan ayat-ayat al-Qur’an. Namun apabila pada sebuah majelis bacaan ayat al-Qur’an dibacakan secara bersamaan dengan sekelompok pembaca dan orang lain seyogyanya diam.. dan sebagainya atau seseorang bersamaan dengan qari, mengulang-ngulang ayat yang dibacakan dalam rangka belajar al-Qur’an, maka hal ini selaras dengan penghormatan al-Qur’an bahkan termasuk jenis sempurna penghormatan kepada al-Qur’an.
Namun harap diperhatikan bahwa idealnya diam tatkala dibacakan al-Qur’an, karena itu tidak terdapat perbedaan antara siarang langsung atau tidak langsung. Akan tetapi mendengarkan ayat-ayat yang diwajibkan sujud ketika mendengarkannya secara tidak langsung, sebagian marja taklid tidak memandang wajib untuk hal ini, meski tidak ada masalah apabila ada orang yang melakukan sujud ketika mendengarkan ayat-ayat yang diwajibkan sujud di dalamnya.[7] [IQuest]
[1]. Wa idza quriya al-Qur’an fastami’u lahu wa anshituh la’allakum turhamun.
[2]. Tafsir Burhan, jil. 2, hal. 57, Yajib al-inshat li al-Qur’an fi al-shalat wa ghairiha wa idza qara’a ‘indaka al-qur’an wajab ‘alaika al-inshat wa al-istima’.
[3]. “Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu, “Jika kamu mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan terhapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi.” (Qs. Al-Zumar [39]:65)
[4]. “Maka bersabarlah kamu, sesungguhnya janji Allah adalah benar dan sekali-kali janganlah orang-orang yang tidak meyakini (kebenaran ayat-ayat Allah) itu menggelisahkan kamu.” (Qs. Al-Rum [30]:60)
[5]. Tafsir Burhân, jil. 2, hal. 56.
[6]. Tafsir Nemune, jil. 7, hal. 71.
[7]. Taudhi al-Masâil (al-Muhasysyâ li al-Imâm Khomeini), jil. 1, hal. 593, Masalah 1096. Apabila seseorang mendengar ayat sajadah tanpa ada niat untuk membaca al-Qur’an atau mendengarkan ayat sajadah dari gramafon maka tidak wajib baginya untuk sujud. Namun apabila ia mendengarkan al-Qur’an melalui sebuah media yang menyampaikan suara manusia kepadanya maka wajib baginya untuk sujud.