Sahabat adalah orang yang berjumpa dengan Rasulullah Saw, beriman kepadanya dan meninggal dalam keadaan berstatus sebagai Muslim. Dalam pandangan ulama Ahlusunnah, keadilan sahabat, adalah sesuatu yang diterima sebagai satu prinsip pasti. Mereka memandang seluruh sahabat adil.
Namun Syiah memandang para sahabat semata-mata sebagai pembawa dan penukil syariat. Kondisi sahabat dari sudut pandang keadilan sama dengan yang lain. Di antara mereka terdapat orang yang adil dan tidak adil. Kriterianya adalah perilaku dan tindakan praksisnya. Apabila tindakan mereka sesuai dengan kriteria-kriteria Islam maka ia adalah seorang yang adil dan kalau tidak demikian ia bukanlah seorang yang adil.
Makna sabda Rasulullah Saw adalah bahwa dengarkanlah tuturanku dan sampaikanlah kepada generasi mendatang. Sabda ini merupakan motivasi kepada sahabat yang mendengarkan secara langsung hadis-hadis bueliau untuk menukil hadis-hadis bukan mendukung mereka seratus per seratus.
Hadis ini termaktub pada kitab-kitab standar sejarah dan hadis Syiah dan Sunni. Seperti Sirah Ibnu Hisyâm, al-Kâfi, Khishâl Shaduq, Bihâr al-Anwâr, Tuhaf al-Uqûl, Thabaqât Ibnu Sa’âd dan lain sebagainya.[1]
Namun persoalanya di sini adalah sehubungan dengan redaksi yang disebutkan dalam pertanyaan ihwal khutbah ini ihwal apakah penggalan sabda Rasulullah Saw ini menengarai tentang sahabat atau tidak?
Sebelum menjawab pertanyaan ini, kiranya Anda perlu mengetahui beberapa hal penting sebagai berikut:
Jelas bahwa selama Rasulullah Saw hadir di tengah masyarakat dan masyarakat dapat kapan saja mengakses sumber emanasi kenabian (Nabi Muhammad Saw) dengan mudah, signifikansi hadis yang seharusnya diperhatikan, kurang mendapat perhatian. Namun tatkala Rasulullah Saw wafat, masyarakat merasakan kebutuhan yang lebih banyak kepada hadis-hadis Rasulullah Saw.
Dalam hal ini, Ahlusunnah melampirkan perbuatan sahabat (sunnah sahabat) di samping sunnah Rasulullah Saw; dengan alasan bahwa para sahabat bersama Rasulullah Saw dan mengamalkan apa yang mereka dengarkan dari Rasulullah Saw demikian juga Rasulullah Saw sendiri yang mengamati perbuatan-perbuatan mereka. Di samping itu, para sahabat dalam pandangan mayoritas kaum Muslimin adalah orang-orang adil di kalangan umat. Karena itu, perbuatan dan amalan mereka adalah hujjah (dapat dijadikan dasar dan asas dalam perbuatan) bagi orang lain; dengan demikian apa yang didengarkan oleh tingkatan thabi’in dari para sahabat, mereka nukil dan riwayatkan untuk orang lain. Dan demikian seterusnya, hadis mengalami perkembangan. Dikutip dan dinukil dari satu kepada yang lain. Kemudian menjadi selevel dan sederajat dengan al-Qur’an, menjadi kriteria amalan dan panduan umat.[2]
“Sha-ha-ba” adalah plural dari “shâhib” yang bermakna penolong. Dalam terminologi teknis ilmu Hadis, orang yang berjumpa dengan Rasulullah Saw dalam keadaan Muslim. Shahabi adalah sebuah perkataan yang disandarkan kepada sahabat. Namun mengikut urf (tradisi masyarakat) sahabat disebut bagi seseorang yang lama bersamanya.”[3]
Banyak definisi yang dikemukakan terkait dengan definisi sahabat. Ibnu Hajar ‘Asqalani menulis, “Definisi yang paling benar yang aku temukan ihwal sahabat, bahwa sahabat adalah orang yang bertemu dengan Rasulullah Saw dan beriman kepadanya dan meninggal dunia dalam keadaan beriman kepada Islam.”[4]
Di kalangan ulama Ahlusunnah, keadilan sahabat, diterima sebagai sebuah prinsip pasti; hal itu bermakna bahwa siapa pun yang bersama Rasulullah Saw adalah adil dan mereka mengharamkan setiap kritikan yang dialamatkan kepada sahabat dan menghukumi kafir orang yang berbuat demikian.[5]
Adapun Syiah, di samping meyakini kaum Muslimin yang menjaga kehormatan para sahabat dan menghargai pengorbanan mereka, mereka memandang para sahabat sebagai pembawa dan penyebar syariat. Namun Syiah berpandangan bahwa melihat dan menemani Rasulullah Saw sama sekali tidak mendatangkan kekebalan dan imunitas. Sebagian sahabat Rasulullah Saw adalah orang-orang munafik atau khawarij dan sebagian lainnya melakukan perbuatan dosa besar; seperti Abdullah bin Wahab Rasibi dan Khalid bin Walid, Abu Hurairah dan yang lainnya;[6] karena itu, Syiah tidak dapat menetapkan keadilan seluruh sahabat. Sahabat-sahabat besar seperti Ammar bin Yasir, Abu Dzar, Salman Parsi, Malik bin Nuwairah, dalam pandangan Syiah, sama sekali tidak dapat dibandingkan dengan orang-orang semisal Walid bin Uqbah peminum arak. Syiah menandaskan bahwa kita tidak dapat berpihak membela Walid hanya karena ia merupakan seorans sahabat.[7] Sementara para sahabat juga seperti manusia biasa. Tidak fair dan tidak benar kalau kita membenarkan perbuatan salah seorang sahabat yang berbuat aniaya dan kejahatan, meminum arak namun kita tetap menyebutnya sebagai seorang yang adil dan berlaku benar.
Makna Sabda Rasulullah Saw
Riwayat ini sama sekali tidak membincangkan keadilan sahabat, melainkan bermakna bahwa hendaknya kalian menghafal hadis-hadis ini dan sampaikan kepada orang lain. Kalian semata-mata adalah pengutip dan penukil. Oleh itu, tujuan supaya sabda-sabdaku disampaikan kepada orang-orang di masa mendatang dan merupakan sebuah motivasi untuk menukil hadis-hadis ini dari sisi para sahabat bukan sokongan seratus persen kepada seluruh sahabat.
Adapun Anda berkata bahwa apabila para sahabat itu tidak adil dan tidak benar lantas mengapa Rasulullah Saw mempercayai mereka sehingga beliau mengandalkan mereka untuk menyampaikan sabda beliau kepada orang-orang yang belum mendengarnya? Dalam menjawab pertanyaan ini harus dikatakan bahwa:
Pertama, dari mana kita dapat memahami bahwa ucapan Rasulullah Saw ini tengah bercerita tentang kepercayaan kepada satu per satu sahabat? Apabila Anda berkata kepada kebanyakan orang yang di antaranya mungkin terdapat beberapa orang pendosa dan tidak adil: Semoga Allah Swt menolong seorang hamba yang mendengar ucapanku dan menghafalnya kemudian menyampaikan kepada orang-orang yang belum mendengarnya. Apakah hal itu bermakna bahwa Anda mempercayai dan mengandalkan mereka semua? Apakah tidak mencukupi bahwa di antara mereka terdapat sejumlah sahabat yang dapat diandalkan? Dan kami (Syiah) juga tidak pernah menyalahkan seluruh sahabat.
Kedua, riwayat sama sekali tidak sedang bercerita tentang keadilan sahabat, melainkan menegaskan bahwa hendaklah kalian menghafal hadis-hadis ini dan sampaikanlah kepada orang lain. Boleh jadi Anda tidak memahami kedalaman ucapanku sama sekali namun orang lain yang mendengarnya, memahami hal tersebut. Kalian hanyalah seorang penukil dan pengutip. Karena itu, maksud dari ucapan Rasulullah Saw supaya sabda-sabdanya disampaikan kepada generasi-generasi mendatang lantaran boleh jadi mereka lebih baik memahami ucapan-ucapanku. Dan hal ini semata-mata merupakan motivasi kepada para sahabat untuk menukil hadis-hadis ini dan bukan untuk menyokong para sahabat seratus persen.
Karena itu, hal ini merupakan satu aturan umum bagi seluruh kaum Muslimin di dunia yang mendengar ucapan hak untuk menyampaikannya kepada orang lain. Dan pada hakikatnya, merupakan seruan untuk pergi menuntut ilmu dan pengetahuan. Dan itu pun ilmu dan pengetahuan agama, hadis-hadis nabawi dan disampaikan kepada orang lain hingga hari Kiamat.[8] Bukti dari ucapan ini dinukil di bawah riwayat, “Farubba hâmil fiqhin laisa bifaqihin wa rubba hamili fiqhin ila man huwa afqah minhu.”[9] [IQuest]
[1]. Al-Kafi, jil. 1, hal. 403. Pada sebagian nukilan disebutkan “nadhara” sebagai ganti “nashara” yang bermakna memperbaharui:
نَضَّرَ اللَّهُ عَبْداً سَمِعَ مَقَالَتِی فَوَعَاهَا وَ بَلَّغَهَا مَنْ لَمْ تَبْلُغْهُ یَا أَیُّهَا النَّاسُ لِیُبَلِّغِ الشَّاهِدُ الْغَائِبَ فَرُبَّ حَامِلِ فِقْهٍ لَیْسَ بِفَقِیهٍ وَ رُبَّ حَامِلِ فِقْهٍ إِلَى مَنْ هُوَ أَفْقَهُ مِنْه.
[2]. Ilmu al-Hadits, Mudir Syaneci Kazhim, hal. 30, Daftar-e Intisyarat-e Islami, Jame’ Mudarrisin Hauzah Ilmiah Qum, Cetakan 16, 1481 S.
[7]. Karena itu, para Imam Syiah memuji para sahabat misalnya Baginda Ali As bersabda, “Aku telah melihat para sahabat Muhammad Saw, tetapi aku tak menemukan seseorang yang menyerupai mereka. Mereka mengawali hari dengan debu di rambut dan wajah (dalam kesukaran hidup) serta melewatkan malam dalam sujud dan berdiri dalam salat. Kadang-kadang mereka letakkan (sujudkan) dahi mereka, dan terkadang pipi mereka. Dengan ingatan akan kebangkitan, mereka nampak seakan berdiri di atas bara menyala. Nampak seakan di antara mata mereka ada tanda-tanda seperti lutut kambing, akibat sujud yang lama. Bilamana nama Allah disebutkan, air mata mereka mengalir deras hingga kerah baju mereka basah. Mereka gemetar karena takut akan hukuman dan harapan akan pahala, seperti pohon gemetar pada hari angin topan.” Indeks No. 1015 (Site: 1167), Jawaban Global.
Silahkan lihat, Majmu-e Atsâr, Murtadha Muthahhari, , jil. 17, hal. 6, Cetakan Kelima, 1380 S.