Seusai dengan beberapa laporan sejarah yang tidak mengandung secuil pun keraguan bahwa Umar melarang adanya penulisan hadis. Karena itu, tiada sanad tertulis di kalangan kaum Muslimin dan dari sisi lain, terdapat juga beberapa motivasi yang diperlukan untuk memalsukan pelbagai keutamaan-keutaman palsu dan mereka banyak menyediakan fasilitas harta benda untuk hal ini, pasar pembuatan hadis merajalela dan hadis-hadis juga setelah itu telah dikodifikasi berdasarkan riwayat-riwayat yang disebarkan oleh Bani Umayyah. Para penguasa Bani Abbasiyah juga meski meraih tampuk kekuasaan dengan dalih pembelaan terhadap Ahlulbait namun pada kelanjutannya arah yang ditujunya sama dengan arah yang dilalui oleh Bani Umayyah lantaran kalau tidak demikian seharusnya mereka menyerahkan pemerintahan dan kekuasaan kepada Ahlulbait dan para pengikutnya, bahkan sebagian ulama meyakini bahwa kejahatan Bani Abbasiyah jauh lebih besar ketimbang kejahatan Bani Umayyah.
Menyimak beberapa poin berikut ini akan dapat membantu kita menyelesaikan persoalan yang ada:
1. Penulisan hadis dilarang atas perintah Umar bin Khattab[1] dan karena itu kaum Muslimin tidak memiliki sebuah sanad yang tertulis. Di samping itu, terdapat banyak motivasi di kalangan penguasa Bani Umayyah dalam menciptakan pelbagai keutamaan buatan dan mereka banyak menyediakan fasilitas untuk teralisirinya tujuan ini. Pasar hadis tumbuh berkembang dan hadis-hadis yang setelah itu mengalami kodifikasi adalah hadis-hadis yang berdasarkan riwayat-riwayat yang disebarkan oleh Bani Umayyah.
Ibnu Abi al-Hadid menukil dari Abu al-Hasan Ali bin Muhammad bin Abu Saif Madaini dalam kitab “Al-Ihdâts”[2] bahwa Muawiyah setelah ‘Am al-Jama’ah (tahun persatuan) mengumumkan dalam sebuah surat kepada para gubernurnya bahwa ia tidak memiliki perjanjian terkait dengan siapa saya yang menyampaikan keutamaan-keutamaan Abu Turab (Baginda Ali bin Abi Thalib As) dan Ahlulbaitnya. Hingga ia berkata, “(Muawiyah) menulis kepada para gubernurnya untuk menyeru kepada masyarakat untuk menukil riwayat ihwal keutamaan Utsman, sahabat dan tiga khalifah pertama dan terkait dengan hadis yang memuji Ali As maka diajukan hadis yang bertentangan dengannya yang memuji para sahabat lainnya. Surat Muawiyah telah dibacakan kepada masyarakat, harta dibagikan untuk keperluan ini dan banyak hadis buatan yang menyebutkan keutamaan mereka diriwayatkan dan secara luas diajarkan kepada anak-anak dan putra-putra mereka dan mereka sebagaimana belajar al-Qur’an, juga belajar tentang hadis-hadis buatan tersebut. Para juris, hakim dan pemangku jabatan melanjutkan metode ini. Seburuk-buruk manusia yaitu para pembaca yang riya dan orang-orang mustadh’afin yang menyatakan zuhud dan khusyu serta membuat hadis-hadis sehingga mendapatkan kedudukan di hadapan para pemangku jabatan dan memperoleh harta melalui jalan ini sehingga riwayat-riwayat ini sampai di tangan orang-orang beragama yang memandang haram dusta dan tuduhan, lalu menerima dan meriwayatkan hadis-hadis (buatan) tersebut. Kemudian berkata, “Ibnu ‘Arafah yang dikenal dengan Nafthuyah[3] yang merupakan pembesar dan muhaddis paling pandai dalam sejarahnya, juga menukil hal-hal seperti ini.[4]
Dengan memperhatikan masalah-masalah seperti ini, mayoritas keutamaan Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib As tertutup, kendati sebagian dari keutaman tersebut tidak terjangkau oleh para musuh dan mereka tidak dapat menghalangi kaum Muslimin untuk menjangkaunya, hal ini merupakan inayah Tuhan kepada wali-Nya dan agama hanif Islam. Apa yang ditunjukkan dari penyembunyian selaksa keutamaan Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib As adalah masalah yang dinukil Bukhari dari Abu Ishak, “Seseorang bertanya kepada Bara’a - pada waktu itu juga saya mendengarnya - : Apakah Ali hadir pada waktu perang Badar? Katanya, “Terang dan nyata.”[5] Apa engkau mengira kedudukan Amirul Mukminin pada perang Badar, tersembunyi sebagaimana pada awal-awal kemunculan Islam sehingga harus ditanyakan? Perang Badar di pundak Ali dan berkat pedangnyalah tercapai kemenangan.” Hal ini menunjukkan usaha orang-orang untuk menyembunyikan selaksa keutamaan Imam Ali yang berada pada tataran semaksimal mungkin untuk menutupinya dan apabila mereka meriwayatkannya dalam hal ini maka riwayat tersebut tidak sempurna dan menyeluruh.[6]
Sebagai contoh peritistiwa ini dapat dijadikan sebagai contoh, Muawiyah menyerahkan sebanyak empat ratus ribu Dirham dari Baitul Mal kepada Samra bin Jundab supaya ia berceramah di hadapan masyarakat Syam (Suriah) dan berkata kepada mereka bahwa ayat, “Dan di antara manusia ada orang yang ucapannya tentang kehidupan dunia menarik hatimu, dan ia mempersaksikan kepada Allah (atas kebenaran) isi hatinya, padahal ia adalah penantang yang paling keras. Dan apabila ia berpaling pergi (darimu), ia berjalan di muka bumi untuk mengadakan kerusakan padanya, dan merusak tanam-tanaman dan binatang ternak, dan Allah tidak menyukai kerusakan.” (Qs. Al-Baqarah [2]:204-205) Diturunkan berkenaan dengan Ali bin Abi Thalib As dan demikian juga Samrah harus berkata bahwa ayat, “Dan di antara manusia ada orang yang rela menjual (mengurbankan) dirinya karena mencari keridaan Allah; dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya.” (Qs. Al-Baqarah [2]:207) diturunkan berhubungan dengna Ibnu Muljam.”[7]
Dalam hal ini ada baiknya Anda, pengguna budiman, merujuk pada dua kitab[8] Mahmud Abu Rayyah yang merupakan ulama terkemuka Ahlusunnah di Universitas al-Azhar, dan menelaah dua kitab tersebut dengan baik. Beliau dalam kitab “Adhwâ’ ‘ala al-Sunnah al-Muhammadiyah menulis, “Para peneliti bersepakat bahwa permulaan penetapan hadis dilakukan pada akhir-akhir masa pemerintahan Utsman dan karena khilafah jatuh di tangan Ali As maka penetapan hadis mencapai puncaknya pada masa pemerintahan bani Umayyah.” [9]
Untuk telaah lebih jauh atas orang-orang yang membuat hadis, silahkan lihat, Indeks: Keperibadian Abu Hurairah dalam Pandangan Sahabat, Pertanyaan 8972 (Site: 8953)
2. Para penguasa Bani Abbasiyah juga meski meraih tampuk kekuasaan dengan dalih “pembelaan” terhadap Ahlulbait namun pada kelanjutannya arah yang ditujunya sama dengan arah yang dilalui oleh Bani Umayyah lantaran kalau tidak demikian seharusnya mereka menyerahkan pemerintahan dan kekuasaan kepada Ahlulbait dan para pengikutnya, bahkan sebagian ulama meyakini bahwa kejahatan Bani Abbasiyah jauh lebih besar ketimbang kejahatan Bani Umayyah. [10]
Akhir kata ada baiknya kita ketahui bahwa Allamah Amini Ra, dalam kitabnya Al-Ghadir, jil. 10, mengemukakan pembahasan yang menarik dan menyeluruh. Beliau menghitung kurang lebih tujuh ratus orang periwayat Ahlusunnah yang merupakan pendusta dan pembuat hadis (palsu). Dan hanya empat puluh tiga orang dari mereka telah menukil sebanyak lima ratus ribu hadis buatan.[11]
Di samping itu, mereka menukil kurang lebih seratus hadis palsu melalui jalur Ahlusunnah yang di dalamnya, tidak hanya khilafah dan pelbagai keutamaan para khalifah, so called, al-rasyidun, tetapi juga kedudukan mulia Muawiyah, Yazid, Manshur Dawaniqi dan para khalifah Bani Umayyah dan Bani Abbasiyah lainnnya mendapatkan penghormatan dan pengagungan!!![12] [IQuest]
Indeks-indeks Terkait:
1. Riwayat Hidup Bukhari dan Kritik atas Al-Jâmi’ al-Shahih (Shahih Bukhari), Pertanyaan 622 (Site: 680).
2. Ahlusunnah dan Hadis-hadis ihwal Pelbagai Keutamaan Muawiyah dan Yazid, Pertanyaan 2928 (Site: 3186)
[1]. Rincian peristiwa ini Anda dapat telaah pada Kitab al-Ghadir, jil. 6, hal. 417-428, Karya Allamah Amini atau terjemahan al-Ghadir fi al-Kitâb wa al-Sunnah wa al-Âdâb, jil. 12, hal. 192-208. Silahkan lihat software Nur al-Wilâyah, Markaz Tahqiqat Komputeri ‘Ulum Islami.
[2]. Siyar A’lâm al-Nubalâ’i, 10/400. Târikh Baghdâd, 12/54, Mirât al-Jinân, 2/83, Mu’jam al-Âdâb, 14/124. Al-Kâmil fi al-Târikh, 6/516 dan sebagainya.
[3]. Siyar A’lâm al-Nubalâ’i, 15/75. Juga pada Târikh Baghdâd, 6/159, Wafayât al-A’yân, 1/47, al-Muntazhim 6/277, al-Wâfi bil Wafayât, 6/130, Mu’jam al-Âdâb, 1/254 dan sebagainya.
[4]. Syarh Nahj al-Balâghah Ibnu Abi al-Hadid, jil. 11, hal. 44, Software Manhaj al-Nur, Markaz Tahqiqat Komputeri ‘Ulum Islami. Terjemahan Persia al-Ghadir fi al-Kitâb wa al-Sunnah wa al-Âdâb, jil. 21, hal. 43-46. ‘Abaqât al-Anwâr fi Imâmat al-Aimmah al-Athar, jil. 12, hal. 24. Software Nur al-Wilâyah Markaz Tahqiqat.
[5]. Shahih Bukhâri, jil. 3, Kitâb al-Maghâzi, Bâb Qatl Abi Jahl.
[6]. Terjemahan Dalâil al-Shidq, jil. 1, hal. 5 & 6.
[7]. Syarh Nahj al-Balâghah Ibnu Abi al-Hadid, jil. 4, hal. 72.
[8]. Silahkan lihat surat-surat pada Syaikh al-Mudhirah Abu Hurairah dan Adhwâ’ ‘ala al-Sunnah al-Muhammadiyah.
[9]. Adhwâ’ ‘ala al-Sunnah al-Muhammadiyah, hal. 118-119 dan 126-135, al-Thaba’at al-Khamisah, Muassasah Mathbu’ati Ismailiyyan, Iran, tanpa tahun. Imam Muhammad Abduh dalam “Risâlah Tauhid,” hal. 7 dan 8, cetakan pertama, juga menekankan masalah ini.
[10]. Allamah Mir Hamid Husain Ra dalam hal ini berkata:
و لم یزل الأمر على ذلک سائر خلافة بنی أمیّة حتى جاءت الخلافة العباسیة، فکانت أدهى و أمرّ و أضرى و أضرّ، و ما لقیه أهل البیت علیهم السّلام و شیعتهم من دولتهم أعظم ممّا مضوا به فی الخلافة الامویة کما قیل: و اللّه ما فعلت أمیّة فیهم معشار ما فعلت بنو العباس ثمّ شبّ الزمان و هرم، و الشأن مضطرب و الشنآن مضطرم، و الدهر لا یزداد إلّا عبوسا، و الأیام لا تبدی لأهل الحق إلّا بؤسا، و لا معقل للشیعة من هذه الخطّة الشنیعة فی أکثر الأعصار و معظم الأمصار إلّا الانزواء فی زوایا التقیّة، و الانطواء على الصبر بهذه البلیة”.
Silahkan lihat al-Darajât al-Râfi’ah fi Thabaqât al-Syiah, hal. 5-8. ‘Abaqât al-Anwâr fi Imâmat al-Aimmah al-Athar, jil. 12, hal. 24. Nafahât al-Azhâr fi Khulâsha ‘Abaqât al-Anwâr, jil. 15, hal. 42-45.
[11]. Namun hal ini bukan sesuatu yang mengejutkan karena Ibnu Hajar dalam Mukaddimah Fath al-Bâri, hal. 4 mengatakan, Aba Ali Ghasani meriwayatkan dari Bukhari bahwa ia berkata, “Aku mengeluarkan riwayat ini dari kumpulan 600 Ribu hadis dan saya tahu bahwa jumlah riwayat tanpa pengulangan Shahih Bukhâri seluruhnya tidak melebihi 2761 riwayat.
[12]. Terjemahan Persia al-Ghadir fi al-Kitâb wa al-Sunnah wa al-Âdâb, jil. 10, hal. 8.