Tauhid merupakan salah satu asas terpenting agama-agama Ibrahimi (Nabi Ibrahim). Tauhid adalah sebuah pandangan dan keyakinan yang menegaskan bahwa Tuhan itu Esa. Kebalikan dari tauhid adalah syirik kepada Tuhan. Tauhid artinya menafikan segalah bentuk syirik, keserupaan dan permisalan bagi Tuhan dan segala jenis rangkapan rasional (aqli), eksternal (khariji) dan imaginal (wahmi) bagi Tuhan. Penetapan simpelitas (besâthat) Tuhan berada pada cakupan penetapan keesaan Tuhan dan bermuara pada keesaan Allah Swt.
Terdapat banyak dalil rasional untuk menetapkan tauhid dan keesaan Tuhan yang telah dikemukakan para filosof dan teolog seperti burhân wahdat (argumen kesatuan), burhân nazhm (argumen keteraturan), burhân wahdat para nabi, burhân negasi keserupaan, kesamaan; burhân tiadanya kebutuhan Tuhan, burhân simplelitas, dan burhân nir-batasnya Tuhan.
Di antara beberapa argumen (burhân) itu apa yang dapat menyampaikan kita pada penetapan keesaan Tuhan dengan lebih mudah adalah mengenal poin bahwa Tuhan itu adalah wujud murni. Wujud murni lantaran nir-batasnya wujud Tuhan, ia tidak memiliki kuiditas (mahiyyah) dan batasan. Apabila ada mitra dan sekutu bagi Wajib (Tuhan), masing-masing dari sekutut tersebut memiliki kesempurnaan tersendiri dan hampa kesempurnaan bagi yang lain, dan hal ini berseberangan dengan hipotesa dan asumsi nir-batasnya Tuhan dan wujud murni-Nya. Karena itu, asumsi adanya tuhan yang lain adalah absurd dan Tuhan tidak memiliki sekutu dan mitra.
Tauhid merupakan salah satu asas terpenting agama-agama Ibrahimi. Tauhid secara leksikal bermakna memandang esa dan secara terminologis teologis adalah sebuah pandangan yang menegaskan bahwa Tuhan itu Esa. Kebalikan dari tauhid adalah syirik kepada Tuhan. Syirik kepada Tuhan dalam al-Qur’an dipandang sebagai kezaliman terbesar[i] dan dosa yang tidak terampunkan.[ii]
Tauhid memiliki tingkatan dan derajat, di antaranya adalah: tauhid zati (esensi), tauhid sifati (sifat), tauhid af’ali (tauhid dalam penciptaan dan pengaturan), tauhid ibadi (ibadah), tauhid malikiyah (kepemilikan) dan hakimiyyah (kepenguasaan), penetapan hukum dan aturan, dan tauhid dalam ithâ’at (ketaatan). Berikut ini adalah uraian global dan selintasan tentang tauhid zati dan beberapa argumentasinya.
Tauhid Zati
Tingkatan tauhid ini terbagi menjadi dua tingkatan tauhid wahidi dan tauhid ahadi. Tauhid ahadi artinya adalah tauhid wujub dan adanya keniscayaan satu wujud dan penafian segala bentuk syirik, keserupaan dan kesamaan. Tauhid wahidi adalah menafikan segala bentuk rangkapan rasional, eksternal dan imaginal bagi Tuhan serta penetapan simpelitas Tuhan; artinya Tuhan adalah bukan satu sosok dari konsep universal Wajib al-Wujud (Wujud Wajib) yang tidak memiliki tandingan dan sosok lainnya (konsep universal yang terbatas pada satu sosok individu [fard]), bahkan konsepsi adanya invidividu lainnya adalah sesuatu yang absurd (muhal). Dalam Filsafat, jenis wahdah (kesatuan) ini disebut sebagai wahdat haqqih haqiqiyah (kesatuan ril); sebagai lawan dari wahdat adadi (kesatuan bilangan), wahdat jinsi (kesatuan genus), wahdat nu’i (kesatuan spesies) dan sebagainya.
Beberapa Argumen untuk Menetapkan Tauhid Zati
Untuk menetapkan tauhid Zati Allah Swt kita dapat menyuguhkan argumen-argumen rasional yang juga disebutkan pada ayat-ayat al-Qur’an dan riwayat. Beberapa argumen itu disinggung sebagaimana berikut ini:
1. Argumen kesatuan koordinasi semesta (burhân wahdat hamâhanggi alam): Apabila dua pengaturan dan kehendak yang berkuasa di alam semesta, maka kehancuran dan ketidakteraturan (inkoordinasi) yang akan terjadi; karena itu tiadanya ketidakteraturan di alam semseta adalah dalil atas kesatuan Zat Allah Swt.[iii] Patut untuk disebutkan bahwa kendati argumen ini secara esensial menetapkan kesatuan Pencipta dan Pengatur, akan tetapi dari argumen ini kita juga dapat sampai pada wahdat Zat (Kesatuan Zat)
2. Argumen kesatuan para nabi (burhân wahdat-e anbiyâ): Apabila Zat Wajib al-Wujud lebih dari satu, maka setiap Tuhan harus mengutus para rasul atas setiap ajaran atau agama untuk membimbing manusia, akan tetapi hal ini tidak pernah terjadi di manapun di dunia ini.[iv] Dengan kata lain, tiadanya pengutusan nabi dari sisi sekutu (tuhan) yang diasumsikan dan juga tiadanya bukti-bukti sejarah tentang adanya kekuasaan kerajaan sekutu Tuhan demikian juga tidak dikenalnya perbuatan-perbuatan dan sifat-sifat sekutu Tuhan merupakan sebaik-baik dalil atas tiadanya sekutu bagi Tuhan.[v]
3. Argumen penafian kesamaan dan keserupaan (burhân nafi syabih wa mitsl): Zat Tuhan bersifat esensial (zati) yang dari pelbagai dimensi tidak terbatas dan memiliki seluruh kesempurnaan.[vi] Dia merupakan sebuah Entitas dari sisi apapun tidak terbatas. Tiada ruang tanpa keberadaan-Nya, tiada waktu tanpa kehadiran-Nya, tiada kesempurnaan yang tidak dimiliki-Nya.[vii] Dia tidak memeliki batasan dan demarkasi. Menyitir pernyataan Qur’an, “HuwaLlâh fii al-Samâwat wa fi al-Ardh,”[viii] “Fainama Tuwallu fatsamma WajhuLlâh.”[ix] Dia ada di setiap tempat dan tidak terbatas pada batasan dan demarkasi tertentu. Dia berada di luar cakupan ruang dan waktu.[x] Apabila kita berasumsi adanya tuhan yang lain, maka tuhan tersebut harus seperti Zat Wajib al-Wujud (Wujud Wajib) dan terdapat kesamaan dan perbedaan di antara keduanya; dan karena Tuhan adalah wujud murni dan tidak terbatas, dan memiliki kesempurnaan tiada batas, maka tiada yang serupa dan semisal dengannnya. Karena itu, asumsi adanya tuhan yang lain juga menjadi absurd.[xi]
4. Argumen tiadanya kebutuhan pada Tuhan: Telah ditetapkan pada pembahasannya tersendiri bahwa tiada satu pun kebutuhan yang terdapat pada wujud Tuhan. Jelas bahwa menafikan kebutuhan pada Tuhan bermakna menafikan rangkapan pada diri Tuhan; karena entitas rangkapan membutuhkan bagian-bagiannya, karena itu kita dapat menetapkan dan membuktikan tauhid Zat yang bermakna simpelitas Wujud Wajib dengan menafikan kebutuhan pada sosok Tuhan.[xii]
5. Argumen simpelitas dan tiadanya batasan pada Tuhan: Sebagaimana yang telah dijelaskan pada pembahasannya tersendiri, terdapat beberapa argumen dalam menetapakan pembahasan ini. Tuhan adalah wujud murni dan karena wujut Tuhan tidak terbatas, maka ia tidak memiliki kuiditas (mahiyyah) dan batasan wujud. Apabila ada sekutu bagi Tuhan, masing-masing tuhan memiliki kesempurnaan sendiri-sendiri dan hampa kesempurnaan khusus bagi yang lain, karena itu, masing-masing terangkap dari memiliki (wujdan) dan tidak memiliki (fiqdan) dimana bagian rangkapan ini (rangkapan dari memiliki dan tidak memiliki atau dengan kata lain ada dan tiada) merupakan seburuk-buruk bagian rangkapan.[xiii] Atas dasar ini, lantaran keterbatasan eksistensial yang dimiliki oleh wujud kontingen (mumkin al-wujud) maka ia tidak dapat bersanding di samping Wujud Wajib; karena simpelitas dan tiadanya keterbatasan Wujud Wajib yang membuat-Nya murni dan terbebas dari adanya sekutu.[xiv] [IQuest]
[i]. “Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, pada waktu ia memberi nasihat kepadanya, “Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan (Allah), karena sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar.” (Qs. Lukman [31]:13)
[ii]. “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain (syirik) itu..” (Qs. Al-Nisa [4]:48)
[iii]. Silahkan lihat, “Sekiranya ada di langit dan di bumi tuhan-tuhan selain Allah, tentulah keduanya itu telah rusak binasa.” (Qs. Al-Anbiya [21]:22); “Allah sekali-kali tidak mempunyai anak, dan sekali-kali tidak ada tuhan (yang lain) beserta-Nya. Kalau ada tuhan beserta-Nya, masing-masing tuhan itu akan membawa makhluk yang diciptakannya, dan sebagian dari tuhan-tuhan itu akan mengalahkan sebagian yang lain.” (Qs. Al-Mukminun [23]:91)
[iv]. Silahkan lihat, “Katakanlah, “Terangkanlah kepadaku tentang apa yang kamu sembah selain Allah; perlihatkan kepada-Ku apakah yang telah mereka ciptakan dari bumi ini atau adakah mereka berserikat (dengan Allah) dalam (penciptaan) langit? Bawalah kepada-Ku kitab yang sebelum (Al-Qur’an) ini atau peninggalan dari pengetahuan (orang-orang dahulu yang dapat membuktikan kebenaranmu), jika kamu adalah orang-orang yang benar.” (Qs. Al-Ahqaf [46]:4); “Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya, “Bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Aku, maka kamu sekalian sembahlah Aku.” (Qs. Al-Anbiya [21]:25)
[v]. Nahj al-Balâgha, Surat 31.
[vi]. Silahkan lihat, Nashir Makarim Syirazi, Aqidah-ye Yek Musalmân, Mathbu’ti Hadaf, Cetakan Pertama, hal. 38.
[vii]. Silahkan lihat, Nashir Makarim Syirazi, Khudâ-râ Che Gune Besynâsim, Intisyarat-e Muhammadi Saw, 1343, hal. 42.
[viii]. “Dan Dia-lah Allah, baik di langit maupun di bumi; Dia mengetahui apa yang kamu rahasiakan dan apa yang kamu tampakkan dan mengetahui (pula) apa yang kamu usahakan.” (Qs. Al-An’am [6]:3)
[ix]. “Dan sungguh Kami akan berikan cobaan kepadamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.” (Qs. Al-Baqarah [2]:155)
[x]. Nashir Makarim Syirazi, Aqidah-ye Yek Musalmân, Mathbu’ti Hadaf, Cetakan Pertama, hal. 43.
[xi]. “(Dia-lah) pencipta langit dan bumi. Dia menjadikan bagi kamu dari jenismu sendiri pasangan-pasangan dan dari jenis binatang ternak pasangan-pasangan (pula). Dia menjadikan kamu berkembang biak dengan jalan itu. Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (Qs. Syura [42]:11)
[xii]. Terdapat ayat-ayat dalam al-Qur’an yang menandaskan ketidakbutuhan Tuhan, seperti “Wallahu huwa al-Ghaniyy al-Hamid,” (Hai manusia, kamulah yang memerlukan kepada Allah; dan hanya Allah-lah Yang Maha Kaya lagi Maha Terpuji. Qs. Fathir [35]:15)
[xiii]. Abdullah Jawadi Amuli, Syarh Hikmat Muta’âliyah (Asfar Arba’ah), jil. 6, hal. 433-434, Intisyarat-e Zahra.
[xiv]. Untuk telaah lebih jauh, silahkan lihat, Indeks: Asumsi Mumkin al-Wujud di samping Wajib al-Wujud, Pertanyaan 80 (Site: 1862); Indeks: Nirbatas-Nya Wujud Tuhan, Pertanyaan 1944 (Site: 1944)