Wilâyah mutlak fakih merupakan satu terminologi fikih yang menyoroti domain segala aktifitas wilâyah dan orang-orang yang berada di bawah naungan wilâyah dan mengingkari pelbagai batasan dalam domain ini. Dengan kata lain, terminologi ini menjelaskan bahwa domain wilâyah fakih tidak terbatas pada sebagian khusus orang seperti orang-orang gila, orang-orang tua dan sebagainya. Melainkan terkait dengan semua orang dan seluruh hukum dan sifatnya mutlak. Imam Khomeini Ra dalam hal ini berkata, “Apa saja yang bersifat tetap bagi Nabi Saw dan para Imam Maksum As dari sisi wilâyah dan kepemimpinan, maka hal itu juga tetap bagi fakih. Adapun kekuasaan-kekuasaan mereka yang lain yang tidak tetap dari sisi wilâyah dan kepemimpinan maka bagi fakih juga demikian adanya.” Seperti pelbagai kewenangan yang dimiliki oleh Rasulullah Saw dan Imam Maksum lantaran statusnya sebagai rasul dan maksum. Perlu diketahui bahwa seluruh tugas dan kewajiban yang keluar dari para maksum adalah sesuai dengan akal dan syariat. Dan sekali-kali perintah yang bertentangan dengan akal dan syariat seperti bunuh diri tidak akan pernah keluar dari lisan Rasulullah Saw dan para Imam Maksum As.
Untuk memahami hakikat wilâyah mutlak fakih kiranya kami perlu menjelaskan beberapa hal penting di bawah ini:
A. Makna wilâyah: Wilâyah dalam bahasa Arab derivasinya berasal dari klausul “wali” yang bermakna kedekatan dan kekerabatan.[1] Dan wilâyah yang tidak sepadan dengan makna ini terdapat dua pengertian: 1. Kekuasaan. 2. Kepemimpinan dan pemerintahan.[2]
B. Makna wilâyah fakih: Sebagaimana yang telah disebutkan bahwa wilâyah bermakna menjadi wali, manager dan pelaksana. Apabila disebutkan bahwa fakih dan juris memiliki wilâyah artinya adalah bahwa fakih jami’ al-syarait (baca: marja’ taklid) memiliki wewenang dan tanggung jawab dari sisi Syari’ Muqaddas (Allah Swt) untuk menjelaskan aturan-aturan Ilahi dan melaksanakan hukum-hukum agama serta mengatur masyarakat Islam pada masa ghaiba.”[3]
Akan tetapi sebagian orang mengklaim bahwa makna wali di sini adalah “pertuanan”, “kekuasaan” dan “pimpinan” yang menjelaskan “wali” (pimpinan) atau “maula ‘alaih” (yang dipimpin). Adapun yang dimaksud dengan redaksi ini adalah: “Pengelolaan urusan (atas yang dipimpin) dan pengaturan untuk melayani orang yang dipimpinnya (maula ‘alaih).”[4]
C. Makna mutlaknya wilâyah fakih:
Dalam fikih disebutkan bahwa wilâyah telah tetap bagi sebagian orang seperti wilâyah ayah dan kakek (dari pihak ayah) atas anak belianya (belum matang) atau atas orang gila atau orang yang kurang akalnya.[5] Dalam hal ini, urusan anak (putri atau putra) berada di pundak ayahnya atu kakeknya (dari pihak ayah) dimana ayah atau kakeknya mengatur dan mengelola urusan anak-anaknya untuk kemaslahatan mereka.
Demikian juga wilâyah wakil atas yang diwakilinya ini berlaku sepanjang yang diwakili ini masih hidup. Hal yang lain juga dapat ditetapkan sebagaimana disebutkan dalam kitab-kitab fikih. Dengan demikian, inti wilâyah atas orang lain merupakan hal-hal yang pasti dalam fikih Islam dimana salah satu dari wilâyah tersebut adalah wilâyah fakih.
Apa yang pasti (di sini) adalah bahwa seluruh fakih sepakat pada masalah inti tetapnya wilâyah fakih dan perbedaan mereka pada keluasan dan cakupan kekuasaan wali fakih dimana apabila pelbagai kekuasaannya merupakan jenis wilâyah yang bermakna pengaturan urusan masyarakat maka kita telah sampai pada makna wilâyah mutlak (seorang fakih).
Wilâyah mutlak fakih merupakan satu terminologi fikih yang menyoroti domain segala aktifitas wilâyah dan orang-orang yang berada di bawah naungan wilâyah dan mengingkari pelbagai batasan dalam domain ini. Dengan kata lain, terminologi ini menjelaskan bahwa domain wilâyah fakih tidak terbatas pada sebagian khusus orang seperti orang-orang gila, orang-orang tua dan sebagainya. Melainkan terkait dengan semua orang dan seluruh hukum dan sifatnya mutlak. Imam Khomeini Ra dalam hal ini berkata, “Apa saja yang bersifat tetap bagi Nabi Saw dan para Imam Maksum As dari sisi wilâyah dan kepemimpinan, maka hal itu juga tetap bagi fakih. Adapun kekuasaan-kekuasaan mereka yang lain yang tidak tetap dari sisi wilâyah dan kepemimpinan maka bagi fakih juga demikian adanya.”[6]
Syaikh Anshari terkait tugas-tugas fakih yang memenuhi syarat (marja’ taklid) berkata: “Tugas-tugas fakih yang memenuhi syarat adalah: 1. Memberikan fatwa. 2. Memerintah (mengadili). 3. Kekuasaan dalam memanfaatkan harta dan jiwa”[7] Ia melanjutkan: “Benar bahwa setiap perkara masyarakat merujuk kepada pemimpinnya, sesuai dengan tuntutan ini, para fakih adalah ulil amr, ada benarnya (laa yab’ud) kalau dalam hal ini kita berkata [bahwa masyarakat] merujuk kepada seorang fakih.”[8]
Benar bahwa sebagian fakih tidak menerima keluasan kekuasaan fakih seperti ini dan mereka memandang bahwa kekuasaan fakih hanya dapat ditetapkan pada dua pos yaitu memberikan fatwa dan mengadili.[9]
Dengan penjelasan sebelumnya menjadi terang bahwa pertama, yang dimaksud dengan wilâyah mutlak dan mutlaknya wilâyah adalah bahwa “Fakih harus menjelaskan seluruh hukum Islam (bukan sebagian). Kedua, apa saja yang tetap bagi Rasulullah Saw dan para Imam Maksum As dari sisi wilâyah dan kepemimpinan maka bagi fakih juga sifatnya tetap. Adapun kekuasaan-kekuasaan mereka yang lain yang tidak tetap dari sisi wilâyah dan kepemimpinan maka bagi fakih juga demikian adanya.”[10] Seperti pelbagai kewenangan yang dimiliki oleh Rasulullah Saw dan Imam Maksum lantaran statusnya sebagai rasul dan maksum. Perlu diketahui bahwa seluruh tugas dan kewajiban yang keluar dari para maksum adalah sesuai dengan akal dan syariat. Dan sekali-kali perintah yang bertentangan dengan akal dan syariat seperti bunuh diri tidak akan pernah keluar dari lisan Rasulullah Saw dan para Imam Maksum As. [IQuest]
Untuk telaah lebih jauh silahkan lihat beberapa indeks terkait berikut ini:
1. Indeks: Pengertian Wilâyah Fakih, Pertanyaan 20 (Site 220).
2. Indeks: Wilâyah Fakih dan Pelbagai Syubhat, Pertanyaan 32 (Site:265).
3. Indeks: Wilâyah Mutlak, Pertanyaan 5698 (Site: 5932).
[1]. Abdul Qadir Razi, Mukhtar al-Shihâh, (Shihâh Jauhari), klausul wali, hal. 631, Intisyarat-e al-Risala.h
[2]. Ibid; Mu’jam al-Wasith, hal. 1058, Intisyarat Dar al-Da’wah.
[3]. Abdullah Jawadi Amuli, Wilâyat Faqih, hal. 463, Instiyarat Isra.
[4]. Mahdi Hadawi Tehrani, Wilâyat wa Diyânat, hal. 65, Intisyarat Khane Kherad.
[5]. Muhammad Hasan Najafi, Jawâhir al-Kalâm, jil. 22, hal. 322, CD Jami’ Fiqh Ahlubait As.
[6]. Imam al-Khomeini, Kitâb al-Ba’i, jil. 2, hal. 664.
[7]. Ibid, hal. 654.
[8]. Syaikh Murtadha Ansari, al-Makâsib al-Muharramah, jil. 3, hal. 545.
[9]. Ibid.
[10]. Diadaptasi dari Pertanyaan 5698 (Site: 5932), Indeks: Wilayah Mutlak.