Kemurtadan para sahabat dalam riwayat-riwayat Ahlusunnah lebih banyak dan riwayat-riwayat yang banyak dan mutawatir, sementara pada literatur-literatur Syiah riwayat-riwayat sahih yang menjelaskan kemurtadan para sahabat tidak lebih dari dua riwayat dan meminjam istilah ilmu hadis, tidak melewati batasan kabar wahid. Karena itu, saudara-saudara Ahlusnnah harus memberikan jawaban terkait dengan kemurtadan para sahabat dalam riwayat-riwayat mutawatir ini apa maksudnya?
Adapun ulama Syiah meyakini bahwa kemurtadan yang disebutkan pada sebagian riwayat disandarkan pada sebagian sahabat dan tidak bermakna kafir dan kembali menyembah berhala, melainkan bermakna melanggar janji wilayah dan membangkang Nabi Saw dalam masalah khilafah. Oleh itu, mereka yang turut serta dalam pelbagai penaklukan Islam seluruhnya adalah muslim dan berupaya dalam menyebarkan Islam. Kendati boleh jadi mereka melakukan dosa dan kesalahan dalam kehidupan mereka.
Sebelum menjawab inti persoalan kiranya kita perlu memperhatikan beberapa poin penting. Masalah penyandaran kemurtadan para sahabat kepada Syiah merupakan satu tudingan yang tidak berdasar terhadap Syiah. Apakah mungkin satu mazhab besar seperti Syiah, mencintai Rasulullah Saw akan tetapi menuding para sahabatnya telah murtad? Jumlah sahabat Rasulullah Saw melebih ratusan ribu. Para ahli tarajim mencatat dan merekam lima belas ribu dalam kitab-kitab rijal.[1] Banyak jumlah dari mereka yang tetap sebagai Syiah dan pengikut Ali bin Abi Thalib As. Nama-nama mereka kebanyakan disebutkan pada kitab “Huwiyat Syiah” (Identitas Syiah).[2] Karena itu, apakah layak seorang Muslim yang beriman kepada Allah Swt dan hari Kiamat menuding murtad orang-orang besar ini? Terlepas dari jumlah bilangan sahabat ini, kehidupan mereka tidak diketahui dalam sejarah dan informasi tentang mereka tidak benar. Karena itu, apakah nurani manusia membolehkan orang-orang yang tidak diketahui kita melemparkan tudingan murtad kepada mereka?! Dengan demikian, kita berkata bahwa masalah ini tidak sebagaimana yang disampaikan orang-orang. Logika Syiah adalah logika imam dan pemimpin mereka Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib As yang disebutkan dalam Khutbah 98 Nahj al-Balâgha: “Saya telah melihat para sahabat Nabi, tetapi saya tak menemukan seseorang yang menyerupai mereka. Mereka mengawali hari dengan debu di rambut dan wajah (dalam kesukaran hidup) dan melewatkan malam dalam sujud dan berdiri dalam salat. Kadang-kadang mereka letakkan sujudkan dahi mereka, dan kadang-kadang pipi mereka. Dengan ingatan akan kebangkitan, mereka nampak seakan berdiri di atas bara menyala. Nampak seakan di antara mata mereka ada tanda-tanda seperti lutut kambing, akibat sujud yang lama. Bilamana nama Allah disebutkan, air mata mereka mengalir deras hingga kerah baju mereka basah. Mereka gemetar karena takut akan hukuman dan harapan akan pahala, seperti pohon gemetar pada hari angin topan. Dari hukuman yang mereka takuti atau ganjaran yang mereka harapkan.” Iya, apa yang diyakini Syiah adalah bahwa sebagian dari sahabat yang dalam hitungan jari, setelah wafatnya Rasulullah Saw memperlakukan Ahlulbait As dengan buruk. Atas dasar ini (perlakuan buruk ini) Syiah membenci mereka dan hal ini merupakan suatu hal yang wajar. Rasulullah Saw sendiri menyatakan antipati terhadap apa yang dilakukan Khalid bin Walid. Beliau bersabda, “Tuhanku! Aku berlepas dari apa yang dilakukan Khalid.” Masalah ini juga berlaku pada riwayat-riwayat yang dikenal sebagai riwayat-riwayat “haudh” dan disebutkan pada kitab-kitab Shahih Bukhari dan Shahih Muslim.[3] Setelah menyampaikan pendahuluan ini kami meminta Anda memperhatikan beberapa poin di bawah ini: Pertama, kemurtadan para sahabat dalam riwayat-riwayat Ahlusunnah sangat banyak dan dikemukakan secara mutawatir dimana kami hanya mencukupkan diri dengan menyebut referensinya saja: 1. Syarh Shahîh Muslim, Nawawi, jil. 15-16, hal. 5 dan 59 2. ‘Umdat al-Qâri, 23/135. 3. Syarh Shahîh Bukhâri, Kermani, 23/63. 4. Al-Tamhid, Ibn ‘Abdilbarr, 2910/2. 5. Shahîh Bukhâri, Kitâb Riqâq, bab 53, hadis-hadis 6212; 2114. 6. Shahîh Muslim, Kitâb Fadhâil, bab 9. 7. Mishbâh al-Sunnah, 5370/3. 8. Al-Targhib wa al-Tarhib, Mindzari, 4/422. 9. Al-Nihâyat fii Gharib al-Hadits, Ibnu Atsir, 5/274. 10. Fath al-Bâri, Ibnu Hajar, 11/475. 11. Umdat al-Qâri, ‘Aini, 23/142. 12. Irsyâd al-Sâri, Qasthalani, 9/342. Di sini kami hanya akan menyebutkan satu riwayat sebagai contoh di antara beberapa riwayat yang terdapat pada literatur-literatur Ahlusunnah dan kami persilahkan kepada ahli makrifat untuk merujuk pada literatur-literatur yang lain: Abu Hurairah menukil dari Rasulullah Saw yang bersabda: “Aku berdiri di atas telaga Kautsar. Pada saat itu, sekelompok orang yang aku kenal datang. (salah seorang petugas dari petugas-petugas Allah yang menjagai mereka) keluar dan berkata kepada mereka: Marilah! Aku bertanya, “Kemana?” Jawabnya, “Demi Allah! Ke neraka. Aku bertanya, “Apa dosa mereka?” Jawabnya, “Mereka kembali kepada pikiran dan keyakinan mereka sebelumnya (jahiliyah). Kemudian ia membawa sekelompok orang lainnya yang aku kenal. (salah seorang petugas dari petugas-petugas Allah yang menjagai mereka) keluar dan berkata kepada mereka, “Marilah kita pergi!” Aku bertanya, “Kemana?” Jawabnya, “Ke neraka.” Aku bertanya, “Apa dosa mereka?” Jawabnya, “Mereka kembali kepada pikiran dan keyakinan mereka sebelumnya (jahiliyah). Aku pikir tidak ada yang dapat menyelamatkan mereka kecuali bilangan kecil unta yang terpisah dari kelompoknya lantaran tiadanya penggembala, hilang dan tak-terurus.[4] (kiasan bahwa orang-orang yang selamat jumlahnya sangat sedikit). [5] Kedua, makna kemurtadan (irtidâd) yang mengemuka dalam hadis-hadis ini: Mengingat banyaknya dan mutawatirnya hadis-hadis irtidâd (kemurtadan) para sahabat dalam literatur-literatur Ahlusunnah maka saudara-saudara kita Ahlusunnah harus memberi jawaban apa yang dimaksud dengan irtidâd (kemurtadan) para sahabat dalam riwayat-riwayat ini? Apa pun makna yang mereka sodorkan dan terima maka makna itu pun yang kita akan terima. Akan tetapi ulama Syiah berpandangan bahwa irtidâd (kemurtadan) yang disandarkan sebagian riwayat kepada para sahabat tidak bermakna kekufuran dan kembalinya mereka kepada penyembahan berhala, melainkan bermakna pelanggaran terhadap ikrar wilayah dan pembangkangan terhadap Rasulullah Saw dalam urusan khilafah. Ayatullah Subhani berpandangan bahwa kemurtadan ini tidak bermakna kekufuran dan kembalinya mereka kepada jahiliyah, melainkan tidak loyalnya mereka terhadap ikrar yang mereka nyatakan pada hari Ghadir Khum. Imam Khomeini Ra juga dalam kitab Thahârah-nya pada pembahasan apakah para penentang Syiah itu kafir atau tidak. Beliau berkata, “Orang-orang dikatakan Islam apabila diketahui keyakinannya terhadap uluhiyyah, tauhid, kenabian dan ma’ad (meski terdapat perbedaan ulama dalam hal ini).” Beliau berpandangan bahwa masalah imâmah merupakan prinsip (ushul) mazhab Syiah dan menentang prinsip (ushul) mazhab ini hanya akan mengeluarkan orang dari Syiah bukan Islam. Imam Khomeini dalam hal ini mengkaji riwayat-riwayat yang menyandarkan kekufuran kepada Ahlusunnah dan meyakini bahwa dalam penyandaran-penyandaran kekufuran ini bukan kekufuran dalam artian teknis. Lantaran hal ini berseberangan dengan riwayat-riwayat mustafidha bahkan mutawatir terkait dengan masalah ini dan adanya interaksi orang-orang Syiah dan para imam dengan Ahlusunnah (bahkan tidak dalam konteks taqiyyah).[6] Karena itu, dalam pandangan Syiah, kemurtadan yang mengemuka dalam riwayat-riwayat ini sama sekali berbeda dengan kemurtadan orang-orang seperti Musailamah, para pengikut Thuliha bin Khuwailid, para pengikut Aswad Ansi, dan Sujjah. Mereka pada hakikatnya telah meminggirkan Islam dan kafir. Sementara sebagian besar sahabat membangkang Rasulullah Saw dan melanggar ikrar wilayah. Dalam literatur-literatur sejarah dilaporkan bahwa Imam Ali As dalam beberapa hal tertentu bermusyawarah dengan para khalifah dan membimbing mereka sehingga mereka meraih kemenangan dalam pelbagai penaklukan (futuhât).[7] Hal ini merupakan tanda kerelaan beliau terhadap inti penaklukan; kendati apabila pelbagai penaklukan ini dilakukan dengan petunjuk dan kepemimpinan Ali bin Abi Thalib As maka hasilnya tentu akan lebih baik dan dapat mencegah sebagian kesalahan yang dilakukan. Karena itu, mereka yang turut serta dalam pelbagai penaklukan Islam seluruhnya adalah Muslim dan telah berupaya untuk menyebarkan Islam; meski boleh jadi mereka melakukan banyak kesalahan dan dosa dalam hidup mereka.[IQuest] [1]. Silahkan lihat kitab-kitab yang membahas tentang ilmu Rijal seperti, ‘Ayan al-Syiah, Rijal al-Thusi dan Mu’jam Rijal al-Hadits. [2]. Silahkan lihat, Huwiyat al-Syi’ah, al-Syaikh Ahmad al-Waili, hal. 36. [3]. Jâmi’ al-Ushûl, jil. 11, hal. 119-123. [4]. Shahîh Bukhâri, Kitâb Riqâq, bab 53, hadis 2115; Lisan al-Arab, Ibnu Manzhur, jil. 15, hal. 135; Al-Targhib wa al-Tarhib, Mindzari, jil. 4, hal. 422; Al-Nihayat fi Gharib al-Hadits, Ibnu Atsir, jil. 5, hal. 274; Fath al-Bari, Ibnu Hajar, jil. 11, hal. 475; ‘Umdat al-Qari, ‘Aini, jil. 23, hal. 142; Irsyad al-Sari, Qasthalani, jil. 9, hal. 342. «بینا أنا قائم إذا زمرة، حتی إذا عرفتهم خرج رجل من بینی و بینهم، فقال: هلم، فقلت: أین؟ قال: الی النار والله، قلت: و ماشأنهم؟ قال: إنهم ارتدوا بعدک علی أدبارهم القهقری. ثم إذا زمرة، حتی إذا عرفتهم خرج رجل من بینی و بینهم، فقال: هلم، قلت: أین؟ قال: إلی النار والله. قلت: ماشأنهم؟ قال: أنهم ارتدوا بعدک علی أدبارهم القهقری، فلا أراه یخلص منهم الا مثل همل النعم». [5]. Diadaptasi dari Pertanyaan 1589 (Site:1980), Indeks: Makna Kemurtadan Sahabat dan Dalil-dalilnya. [6]. Imam Khomeini, Kitâb al-Thahârah, jil. 3, hal. 437, cetakan pertama, Muassasah Tanzhim wa Nasyr Atsar-e Imam Khomeini, 1379 S. Diadaptasi dari Pertanyaan 2808 (Site:3501). [7]. Wawancara dengan Ayatullah Wa’izh Zadeh Khurasani, Nasyriyeh Hauzah, tahun 24.