Kita tidak memiliki dalil bahwa orang-orang yang hidup semasa dengan para nabi serta-merta menjadi orang yang paling dekat di sisi Allah Swt dan sayangnya Anda juga tidak mengemukakan dalil atas klaim yang Anda lontarkan.
Namun sebagaimana ulama Syiah berulang kali umumkan, kami tidak menganggap sahabat itu kafir dan murtad sebagaimana dalam artian yang Anda bayangkan dalam benak Anda. Hanya saja dengan bersandar pada al-Quran dan tafsir-tafsir yang Anda terima, kami juga tidak menerima bahwa kemurtadan sebagian orang yang hidup pada masa wahyu maka hal itu meniscayakan kemurtadan generasi-generasi selanjutnya atau sedikitnya sahabat sejati Rasulullah Saw menjadi dalil tiadanya kebenaran dan tidak bernilainya risalah beliau.
Demikian juga berbeda dengan sebagian orientalis Barat, kami meyakini bahwa Islam tidak berkembang hanya dengan pedang, melainkan ajaran-ajaran samawi Islam, yang sesuai dengan fitrah seluruh manusia, menjadi ruang bagi kemajuan dan perkembangan Islam.
Pertanyaan Anda pada hakikatnya berkaitan dengan tema yang beragam yang harus dibahas secara terpisah:
- Apakah orang-orang yang hidup pada masa para nabi dan pewahyuan lebih bernilai dibanding dengan pengikut lainnya yang datang pada masa generasi selanjutnya. Apakah hal ini merupakan sunnah Ilahi?
- Apakah Syiah meyakini sahabat Rasulullah Saw telah kafir dan murtad?
- Apakah apabila orang-orang yang ada pada masa Rasulullah Saw, mereka yang berpaling dari Rasulullah Saw, meniscayakan para pengikutnya pada generasi selanjutnya juga akan lebih berpaling melebihi generasi sebelumnya?
- Apakah sekiranya keyakinan terhadap kemurtadan orang-orang beriman dan para pengikut akan mereduksi nilai risalah para nabi?
- Apakah Islam tersebar di seantero dunia hanya dengan kekuatan pedang sahabat?
Berdasarkan beberapa pertanyaan ini kami mengajak Anda untuk membahas dan mengkajinya secara runut sebagai berikut:
Pada permulaan pertanyaan Anda, Anda mengemukakan masalah sunnah yang berdasarkan hal tersebut, para pengikut setiap nabi adalah sebaik-baik orang yang amat disayangkan tidak satu pun dalil yang Anda kemukakan untuk menyokong klaim Anda.
Sebelum membahas pertanyaan-pertanyaan Anda, pertama-tama kami akan menyebutkan terjemahan beberapa ayat dan meminta Anda untuk mencermatinya secara seksama. “Sesungguhnya jika orang-orang munafik, orang-orang yang hati mereka berpenyakit, dan orang-orang yang menyebarkan kabar bohong di Madinah tidak berhenti (menyakitimu), niscaya Kami perintahkan kamu (untuk memerangi) mereka, kemudian mereka tidak menjadi tetanggamu (di Madinah) melainkan dalam waktu yang sebentar. Dalam keadaan terlaknat. Di mana saja mereka dijumpai, mereka ditangkap dan dibunuh dengan sehebat-hebatnya, sebagai sunah Allah yang berlaku atas orang-orang yang telah terdahulu sebelum(mu), dan kamu sekali-kali tidak akan mendapati perubahan pada sunah Allah.” (Qs. Al-Ahzab [33]:60-62)
Setelah menelaah ayat ini kita tahu bahwa, pertama, orang yang diseru oleh ayat ini adalah orang-orang yang secara lahir Muslim dan tergolong sebagai sahabat dan penolong Rasulullah Saw.[1] Kedua, orang-orang munafik dan penyebar fitnah, tidak terbatas pada orang-orang tertentu yang terkenal sebagaimana orang-orang seperti Abdullah bin Ubay yang dikenal sebagai gembong munafik, bahkan terdapat orang-orang munafik yang tersebar di antara sahabat Rasulullah Saw dalam kondisi tidak dikenali. Kemunafikan mereka sedemikian tersembunyi sehingga Allah Swt berfirman kepada Rasul-Nya bahwa bahkan engkau juga tidak dapat mengidentifikasi mereka dan hanya Kamilah yang mengenal mereka.[2]
Dengan memperhatikan kelugasan dan ketegasan ayat-ayat ini, apakah kita tetap berkukuh meyakini bahwa seluruh sahabat para nabi, hanya dikarenakan hidup pada masa pewahyuan, merupakan sebaik-baik orang pada masanya?
Boleh jadi Anda berkata bahwa ayat-ayat ini terkhusus orang-orang munafik dan tidak mencakup para sahabat! Dalam hal ini, harus kami katakan bahwa hingga kini ulama Sunni, tidak menyuguhkan definisi yang akurat terkait dengan sahabat sehingga dengan bersandar padanya dapat kita ketahui siapa saja sahabat yang wajib dihormati? Apabila sahabat mencakup seluruh orang yang secara lahir Muslim yang hidup pada masa pewahyuan, maka kita tidak dapat memandang wajib penghormatan kepada mereka, karena sebagian mereka, sesuai dengan ayat di atas menjadi obyek laknat Allah Swt!
Apabila sahabat kita tafsirkan sebagai penolong khusus dan tulus Rasululah Saw, maka pertama pertanyaannya adalah bagaimana kita harus mengenal mereka? Sementara sesuai dengan penegasan Allah Swt, bahkan Rasulullah Saw sendiri tidak memiliki kemampuan untuk mengidentifikasi mereka! Mereka tersebar di kalangan kaum Muslimin dan ketiga, kami juga orang-orang Syiah memandang wajib untuk menghormati sahabat-sahabat khusus seperti ini meski dalam obyek-obyek dan jumlahnya kita berbeda dengan mazhab Islam lainnya.
Dengan menelaah sejarah umat-umat terdahulu, kita jumpai kondisi yang mirip dengan apa yang terjadi pada umat Islam. Sebagai contoh, dalam al-Quran dan tafsirnya kita membaca bahwa Nabi Musa As menyampaikan titah kepada Bani Israel untuk memasuki kota suci dan karena mereka membangkang dari titah ini, mereka tidak murtad meski mereka membangkangkan (tentu saja telah murtad dalam satu artian), sedemikian sehingga Musa As berkata kepada Allah Swt bahwa saya tidak memiliki seseorang yang berada dalam kekuasaanku kecuali saudaraku dan Allah Swt atas dalil ini membuat mereka terlunta-lunta (diaspora) selama empat puluh tahun di padang Tih.[3] Musa dan Harun As sendiri wafat di padang ini, namun setelah empat puluh tahun, Yusya’ bin Nun bersama sekelompok Bani Israil berhasil menaklukkan kota suci. [4]
Kami menghimbau kepada Anda untuk bersikap fair dalam memberikan pendapat. Apakah para pengikut Nabi Musa As yang membangkang harus dihormati dan dimuliakan hanya karena mereka hidup semasa dengan Nabi Musa As? Atau para pengikut yang kemudian datang bersama Yusya’ yang menunaikan titah Nabi Musa As yang notabene empat puluh tahun sebelumnya seharusnya dilaksanakan?
Demikian juga, kami dan Anda meyakini bahwa Mahdi akhir zaman akan datang memenuhi dunia dengan keadilan, aksi yang tidak dapat dilakukan oleh sahabat yang semasa dengan Nabi Saw! Kami memandang pengikut setia Mahdi lebih unggul dari sebagian sahabat ingkar dan pembangkang Rasulullah Saw.
Dalam kaitannya dengan pertanyaan selanjutnya, harus dikatakan bahwa apabila yang Anda maksud kemurtadan itu adalah sesuatu yang dilakukan Musa ketika memperingatkan para sahabatnya,[5] namun mereka tetap terjerembab dalam kubangan kemurtadan. Apabila yang Anda maksud kekufuran itu adalah sebagaimana Nabi Isa As yang mencium aroma kekufuran dari kebanyakan sahabatnya,[6] kami juga meyakini bahwa sebagian sahabat mengalami ketergelinciran yang kebanyakan dari mereka kemudian bertobat.
Adapun sehubungan dengan kekufuran dan kemurtadan sahabat; yang bermakna syirik dan penyembahan berhala mereka; tidak kami terima dimana dalam hal ini Anda dapat merujuk pada beberapa pertanyaan terkait pertanyaan 1015 (Site: 1167) dan 1970 (Site: 2755), 2791 (Site: 3500) dan 2792 (Site: 3275) pada site ini. Namun harus Anda ketahui bahwa bukan hanya Syiah yang meyakini adanya ketergelinciran dan kesalahan ini yang dilakukan oleh sebagian sahabat, bahkan literatur-literatur Sunni juga penuh dengan nukilan kisah-kisah tentang masalah ini. Salah satunya, sebagai contoh, kami akan sebutkan berdasarkan apa yang disebutkan pada salah satu literatur paling klasik Sunni: Periwayat menjelaskan: Suatu waktu pasca penaklukan Mekah (Fathu Mekah), bersama kaum Muslimin lainnya, kami bersama Nabi Saw bertolak menunju Hunain. Kami menyaksikan di sekeliling tempat yang kami lalui terdapat sebuah pohon cedar yang bernama Dzat Anwath dan orang-orang kafir berkumpul di samping pohon itu yang menggantung pedang mereka pada pohon tersebut. Kami juga menjumpai pohon cedar besar dan rindang lalu kami katakan kepada Rasulullah Saw untuk menjadikan pohon ini bagi kami sebagaimana Dzat Anwath bagi mereka! Rasulullah Saw bersabda, Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya! Bani Israel berkata kepada Musa As untuk menjadikan bagi kami Tuhan sebagaimana tuhan-tuhan orang kafir… kalian mengemukakan masalah yang sama (dengan apa yang dikemukakan Bani Israel)!! Sadarlah. Seluruh peristiwa Bani Israel akan berulang pada kita!![7] Apakah peristiwa ini yang terjadi pada masa pewahyuan merupakan ketergelinciran kecil? Dan apakah orang-orang Syiah yang menukilnya sehingga Anda menstempel label permusuhan atas mereka dengan para sahabat? Kami, dengan segala penghormatan bagi para sahabat, namun hal ini tidak membuat mereka kebal kritik.
Pada bagian lain dari pertanyaan Anda, Anda mengemukakan kaidah prioritas (awlawiyat) yang sama sekali tidak dapat diterima. Nalar Anda seperti ini bahwa apabila para sahabat Nabi Saw telah kafir dan murtad, orang-orang yang akan datang setelanya, tentu akan lebih murtad mengikut kaidah prioritas (awlawiyat)! Kami tidak tahu, mengapa kami orang-orang Syiah senantiasa dituding sebagai orang-orang yang jauh dari al-Quran, sementara orang lain tanpa menelaah kitab samawi ini; melemparkan tuduhan dan kritikan tidak berdasar kepada kami?!
Allah Swt secara tegas mengancam para sahabat dan berfirman kepada mereka, “Hai orang-orang yang beriman, barang siapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (Qs. Al-Maidah [5]:54) Orang-orang yang diancam sesuai dengan ijma para ahli tafsir (mufassir) adalah orang-orang yang hidup pada masa pewahyuan dan terdapat perbedaan pendapat terkait dengan orang-orang baru yang menurut hemat kami adalah orang-orang yang berada di samping Imam Ali berperang melawan Nakitsin, Qasithin dan Mariqin[8] dan kebanyakan Ahlusunnah meyakini bahwa mereka adalah orang-orang yang berperang melawan Ahlu Riddah pada masa Abu Bakar[9] dan penilaian dalam hal ini merupakan pembahasan terpisah dan harus dibahas pada tempatnya. Namun kritikan kami berdasarkan dua penafsiran ini menggugurkan kaidah prioritas yang Anda klaim!
Meski kami memandang sahabat Rasulullah Saw sebagai sebaik-baik umat, namun demikian, kami meyakini bahwa bahkan sekiranya mereka semua telah kafir dan murtad, tidak akan menciderai kandungan dan pesan risalah Rasulullah Saw karena risalah para nabi tidak dapat dibandingkan dan diukur dengan jumlah para pengikutnya, melainkan kebenaran senantiasa tetap menjadi kebenaran meski kurang pengikutnya. Dengan menelaah al-Quran dan menyimak kehidupan para rasul Ilahi akan memandu kita pada kenyataan ini. Beberapa hal berikut kami kemukakan sebagai contoh:
- Nilai dan standar risalah Nabi Nuh As tidak berkurang meski setelah 950 tahun hanya berhasil mengajak beberapa gelintir orang untuk beriman.[10]
- Risalah Nabi Luth As setelah tabligh intensif dan ekstensif tidak mampu membimbing kaumnya bahkan istrinya sendiri yang menjadi orang yang menolaknya dan pada akhirnya azab Ilahi diturunkan kepada mereka, namun demikian risalahnya tetap bernilai![11]
- Nabi Hud, Nabi Saleh, Nabi Syuaib, Nabi Yunus adalah orang-orang yang bukan tidak berhasil, meski hanya beberapa gelintir orang yang memperoleh petunjuk dari mereka!
- Tatkala Musa As menghadapi kaum pembangkang dan ingkar dari kalangan sahabatnya hanya saudaranya Harun yang tetap setia dan memandang sahabat-sahabatnya sebagai orang fasik,[12] namun toh hal itu tidak dapat membuat kita meragukan pesan risalahnya.
- Isa As merasakan adanya kekufuran dari para sahabatnya[13] dan kebanyakan sahabatnya yang hidup semasa dengannya telah terjerembab dalam ibadah trinitas sehingga Tuhan bertanya kepadanya apakah engkau berkata kepada manusia bahwa jadikan aku dan ibuku sebagian tuhan kalian! [14] Apakah kita dapat menyatakan bahwa Isa As tidak menjalankan tugasnya dengan baik?!
- Pada akhirnya apakah apabila sebagaimana yang dijelaskan, sebagian sahabat ingin menentukan sebuah pohon untuk disembah atau sebagian lainnya dari mereka, menghalangi Rasulullah Saw menulis wasiat saat-saat terakhir beliau menjelang wafatnya! [15] Apakah kemudian kita meragukan risalah beliau?!
Tidak, tentu tidak demikian, melainkan kami memandang risalah seluruh nabi dan khususnya Nabi Muhammad Saw, berita gembira dan peringatan mereka, sebagai sebuah hujjah dari Allah Swt, sehingga manusia tidak berdalih lagi di hadapan Tuhan[16] dan sedikit-banyaknya pengikut setia beliau tidak dapat menjadi dalil kebenaran risalah tersebut! [17]
Sehubungan dengan pertanyaan terakhir Anda yang menyatakan bahwa pedang para sahabat dan jihad mereka adalah dalil atas kesucian dan kelurusan seluruh sahabat, harus dikatakan bahwa:
Pertama: Apabila sesuai dengan apa yang Anda klaim bahwa barang siapa yang lebih banyak menyabetkan pedang di jalan Islam maka ucapan mereka adalah kebenaran. Namun di antara firkah-firkah Islam tidak ada keraguan bahwa pada masa hidup Rasulullah Saw, Alilah yang paling banyak berjihad di jalan Allah dan fondasi-fondasi Islam semakin kukuh dengan sabetan pedangnya. Dengan menelaah sejarah, akan menjadi jelas bahwa kebanyakan sahabat, bahkan orang-orang yang paling terkenal di kalangan sahabat, tidak memiliki resistensi yang cukup di medan perang[18] dan kebanyakan mereka mendapat celaan dari Allah Swt terkait dengan setiap masa keluar perintah jihad, kalian mencampakkannya?![19] Namun Ali sekali-kali tidak pernah kabur dari medan perang. Gelar yang disematkan di pundak Ali adalah Karrâr ghairu Farrâr (Menerjang terus dan tidak pernah kabur) sebagai bukti atas hal ini. Karena itu apabila jihad dan keberanian yang menjadi kriteria maka tentu saja setiap orang harus menaati Ali As dan kebenaran terletak ketika orang mendukungnya sesuai dengan sabda Rasulullah Saw bahwa Ali adalah Harun umat ini.[20] dan kita tahu bahwa Imam Ali As pasca wafatnya Rasulullah Saw; selama Fatimah Sa bersamanya; tidak berjalan dan bersama sahabat yang lain dan Anda harus apakah menjadi pendukung keyakinannya atau mencelanya dalam masalah ini dan mendahulukan akidah sahabat lainnya yang kita tahu dalam bandingannya dengan Ali As mereka tidak begitu banyak berjuang demi menjaga Islam.
Kedua, kami tidak memandang kemajuan Islam terbatas dengan pedang para sahabat,[21] melainkan dengan hikmah, nasihat dan dialog ahsan[22] yang menyebarkan Islam di seluruh penjuru dunia dan bahkan sebagai contoh, sekarang ini Ali dan pedangnya tidak bersama kita pada masa kini, namun sabda-sabda beliau yang tersisa yang terekam sebagian kecil pada Nahj al-Balâghah, menjadi pemandu dan pembimbing kehidupan kita. [iQuest]
[1]. Abu Ja’far Thabari, Jâmi’ al-Bayân fi Tafsir al-Qur’ân, jil 22, hal. 34, Dar al-Ma’rifah, Beirut, 1412 H.
[2]. “Di antara orang-orang Arab Badui yang di sekelilingmu itu, ada orang-orang munafik; dan (juga) di antara penduduk Madinah ada sekelompok orang yang keterlaluan dalam kemunafikannya. Kamu (Muhammad) tidak mengetahui mereka, (tetapi) Kami-lah yang mengetahui mereka. Nanti mereka akan Kami siksa dua kali kemudian mereka akan dikembalikan kepada azab yang besar.” (Qs. Al-Taubah [9]:101)
[3]. “Dan (ingatlah), ketika Musa berkata kepada kaumnya, “Hai kaumku, ingatlah nikmat Allah atasmu ketika Dia mengangkat nabi-nabi di antaramu, menjadikanmu penguasa, dan memberikan kepadamu apa yang belum pernah Dia berikan kepada seorang pun di antara umat-umat yang lain. Hai kaumku, masuklah ke tanah suci (Palestina) yang telah ditentukan Allah bagimu, dan janganlah kamu lari ke belakang (karena takut kepada musuh), maka kamu menjadi orang-orang yang merugi.” Mereka berkata, “Hai Musa, sesungguhnya dalam negeri itu ada orang-orang yang gagah perkasa lagi zalim. Sesungguhnya kami sekali-kali tidak akan memasukinya sebelum mereka ke luar darinya. Jika mereka ke luar darinya, pasti kami akan memasukinya.” Berkatalah dua orang di antara orang-orang yang takut (kepada Allah) dan Allah telah memberi nikmat (akal, iman, dan keberanian) atas keduanya, “Serbulah mereka dengan melalui pintu gerbang (kota) itu. Bila kamu memasukinya, niscaya kamu akan menang. Dan hanya kepada Allah hendaknya kamu bertawakal, jika kamu benar-benar orang yang beriman.” Mereka (Bani Isra’il) berkata, “Hai Musa, kami sekali-sekali tidak akan memasukinya untuk selama-lamanya selagi mereka ada di dalamnya. Karena itu, pergilah kamu bersama Tuhanmu dan berperanglah, sesungguhnya kami hanya duduk menanti di sini saja.” Musa berkata, “Ya Tuhan-ku, aku tidak menguasai kecuali diriku sendiri dan saudaraku. Sebab itu pisahkanlah antara kami dan orang-orang yang fasik itu.” Allah berfirman, “(Jika demikian), sesungguhnya negeri itu diharamkan atas mereka selama empat puluh tahun. (Selama itu) mereka akan berputar-putar kebingungan di bumi (padang Tîh) itu. Maka janganlah kamu bersedih hati (memikirkan nasib) orang-orang yang fasik itu.”(Qs. Al-Maidah [5]:20-26)
[4]. Abu Ja’far Thabari, Jâmi’ al-Bayân fi Tafsir al-Qur’ân, jil 6, hal. 118.
[5]. “Hai kaumku, masuklah ke tanah suci (Palestina) yang telah ditentukan Allah bagimu, dan janganlah kamu lari ke belakang (karena takut kepada musuh), maka kamu menjadi orang-orang yang merugi.” (Qs. Al-Maidah [5]:21)
[6]. “Tatkala Isa mengetahui keingkaran mereka (Bani Isra’il), berkatalah ia, “Siapakah yang akan menjadi penolong-penolongku untuk (menegakkan agama) Allah?” Para hawariyyin (sahabat-sahabat setia) menjawab, “Kamilah penolong-penolong (agama) Allah. Kami beriman kepada Allah; dan saksikanlah bahwa sesungguhnya kami adalah orang-orang yang berserah diri.” (Qs. Ali Imran [3]:52)
[7]. Musnad Ahmad bin Hanbal, jil. 5, hal. 218, Dar Shadir, Tanpa Tahun.
[8]. Muhammad Baqir Majlisi, Bihâr al-Anwâr, jil. 36, hal. 32-33, Muassasah al-Wafa, Beirut, 1404 H.
[9]. Ibnu Katsir Damisyqi, Tafsir al-Qur;ân al-‘Azhim, jil. 3, hal. 123, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, Beirut, 1419 H.
[10]. “Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya, laly ia tinggal di antara mereka seribu tahun kurang lima puluh tahun. Maka mereka ditimpa banjir besar, dan mereka adalah orang-orang yang zalim. “ (Qs. Al-Ankabut [29]:14); “Hingga apabila perintah Kami datang dan dapur telah memancarkan air, Kami berfirman, “Muatkanlah ke dalam bahtera itu dari masing-masing binatang sepasang (jantan dan betina) dan keluargamu kecuali orang yang telah dijanjikan (kecelakaannya), dan (muatkan pula) orang-orang yang beriman.” Dan tidak beriman bersama dengan Nuh kecuali sedikit.” (Qs. Hud [11]:40)
[11]. "Mereka (para malaikat) berkata, “Hai Luth, sesungguhnya kami adalah utusan Tuhanmu. Mereka sekali-kali mereka tidak akan dapat mengganggumu. Sebab itu pergilah dengan membawa keluarga dan pengikut-pengikutmu di akhir malam dan janganlah ada seorang di antara kamu yang tertinggal, kecuali istrimu. Sesungguhnya dia akan ditimpa azab yang menimpa mereka. Sesungguhnya saat jatuhnya azab kepada mereka ialah di waktu pagi; bukankah waktu pagi itu sudah dekat?” (Qs. Hud [11]:81); “Dan tatkala utusan-utusan Kami (para malaikat) itu datang kepada Luth, dia merasa susah karena (kedatangan) mereka, dan (merasa) tidak mempunyai kekuatan untuk melindungi mereka dan mereka berkata, “Janganlah kamu takut da n jangan (pula) susah. Sesungguhnya kami akan menyelamatkan kamu dan pengikut-pengikutmu, kecuali istrimu. Dia adalah termasuk orang-orang yang tertinggal (dibinasakan).” (Qs. Al-Ankabut [29]:33)
[12]. “Musa berkata, “Ya Tuhan-ku, aku tidak menguasai kecuali diriku sendiri dan saudaraku. Sebab itu pisahkanlah antara kami dan orang-orang yang fasik itu.” (Qs. Al-Maidah [5]:25)
[13]. “Tatkala Isa mengetahui keingkaran mereka (Bani Isra’il), berkatalah ia, “Siapakah yang akan menjadi penolong-penolongku untuk (menegakkan agama) Allah?” Para hawariyyin (sahabat-sahabat setia) menjawab, “Kamilah penolong-penolong (agama) Allah. Kami beriman kepada Allah; dan saksikanlah bahwa sesungguhnya kami adalah orang-orang yang berserah diri.” (Qs. Ali Imran [3]:52)
[14]. “Sesungguhnya orang-orang yang kafir, baik harta mereka maupun anak-anak mereka, sekali-kali tidak dapat menolak azab Allah dari diri mereka sedikit pun. Dan mereka adalah penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.” (Qs. Al-Maidah [5]:116)
[15]. Muhammad bin Ismail Bukhari, Shahih Bukhâri, jil. 5, hal. 137-138, Dar al-Fikr, Beirut, 1401 H.
[16]. “(Mereka kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar tidak ada alasan bagi manusia untuk membantah Allah sesudah pengutusan para rasul itu. Dan adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.“ (Qs. Al-Nisa [4]:165)
[17]. Ibnu Katsir Damisyqi, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, jil. 2, hal. 120.
[18]. “Hai orang-orang yang beriman, apakah sebabnya apabila kamu diseru, “Berangkatlah (untuk berperang) di jalan Allah”, kamu merasa berat dan ingin tinggal di tempatmu? Apakah kamu merasa puas dengan kehidupan di dunia sebagai ganti kehidupan di akhirat? Padahal kenikmatan hidup di dunia ini (dibandingkan dengan kehidupan) di akhirat hanyalah sedikit?” (Qs. Al-Taubah [9]:38)
[19]. Shahih Bukhâri, jil. 4, hal. 208 dan jil. 5 hal. 129.
[20]. Ibid, jil. 5, hal. 82 dan 83.
[21]. Dalam hal ini Anda dapat merujuk pada Pertanyaan 3275.
[22]. “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan nasihat yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang terbaik.” (Qs. Al-Nahl [16]:125)