Kriteria pernikahan dalam Islam bukanlah menerima atau memberi warisan kepada pasangan suami dan istri. Pernikahan dalam pandangan Islam terdiri dari dua bagian: Permanen (daim) dan kedua temporal (mut’ah). Terdapat kesamaan dan perbedaan pada akad temporal (mut’ah) dan permanen (daim) yang disebabkan karena falsafah dan hikmah pernikahan temporal. Mempermudah dan meringankan urusan pernikahan bagi orang-orang yang sangat membutuhkan untuk menikah namun dengan seribu satu macam alasan pernikahan permanen juga belum tersedia bagi mereka merupakan salah satu falsafah pernikahan temporal. Tiadanya warisan bagi kedua pasangan suami-istri dalam pernikahan seperti ini juga atas alasan yang sama. Namun dalam pernikahan ini, suami dan istri dapat mensyaratkan untuk memperoleh warisan dari satu dengan yang lain sebagaimana pada sebagian perkara pernikahan permanen juga demikian adanya.
Kriteria pernikahan dalam Islam bukanlah memperoleh warisan atau tidak dalam hubungan di antara pasangan suami-istri. Tiadanya warisan istri dan suami untuk satu dengan yang lain sama sekali tidak menciderai inti dan keabsahan pernikahan. Pernikahan dalam pandangan Islam terbagi menjadi dua bagian: Permanen (daim) dan temporal (mut’ah). Mut’ah adalah sebuah pernikahan yang lantaran kemudahan dan keringanannya, sebagian hukum pernikahan telah diabaikan di dalamnya.[1] Di antara hukum yang diabaikan itu adalah pemberian nafkah dan pembagian warisan antara suami dan istri.
Karena itu, suatu hal yang wajar apabila terdapat beberapa perbedaan di antara dua jenis pernikahan ini yang bersumber dari kegunaannya masing-masing.
Adapun Anda yang berkata bahwa apabila pria dan wanita, adalah pasangan suami dan istri, harus mewarisi dari keduanya, namun dalam pernikahan mut’ah suami dan istri tidak mewarisi harta dari keduanya karena itu mereka bukan pasangan suami dan istri. Namun sayang tiada satu pun dalil dari al-Quran dan riwayat yang menyokong ucapan Anda ini.
Al-Qur’an dalam ayat-ayat warisan (irts) hanya menyatakan, “istri dan suami memperoleh warisan dari salah satunya.”[2] Dan hal ini kita ketahui bahwa bahkan sekiranya Islam menetapkan warisan di antara pasangan suami dan istri secara umum dan global, meski ia merupakan hukum Ilahi namun tidak menjadi halangan pada sebagian perkara mengalami pengkhususan (takhsish) melalui sebuah dalil syariat muktabar. Oleh itu, tatkala Islam menegaskan bahwa istri dan suami memperoleh warisan dari salah satunya, maksudnya adalah pasangan istri dan suami yang terikat pernikahan permanen (daim). Namun riwayat-riwayat Rasulullah Saw dan para Imam Maksum As[3] lainnya menyatakan pasangan istri dan suami yang mengikat pernikahan temporal tidak memperoleh warisan masing-masing dari keduanya.
Sebagaimana dalil-dalil syariat pada sebagian bentuk akad permanen (daim) juga menafikan warisan antara pasangan suami dan istri. Sebagai contoh kami akan menyebutkan beberapa misal sebagaimana berikut ini:
1. Dalam pembahasan warisan ditetapkan bahwa apabila seorang wanita menikah dengan seorang pria yang berada dalam kondisi sakit dan meninggal dunia karena penyakit itu, maka wanita ini tidak memperoleh warisan dari suaminya yang sakit yang tidak menggaulinya. Demikian juga pria tersebut dalam kondisi seperti ini tidak memperoleh warisan dari istrinya.[4]
2. Apabila istri adalah pembunuh suaminya sendiri atau suami pembunuh istrinya sendiri maka pembunuh tidak mendapatkan warisan.
Apakah dalam kondisi seperti ini dapat dikatakan lantaran dua wanita ini tidak memperoleh warisan lantas keduanya bukanlah pasangan suami dan istri? Contoh-contoh serupa dapat dijumpai pada bab-bab fikih lainnya.
Di samping itu, dalam pernikahan mut’ah tidaklah demikian bahwa tidak ada sama sekali warisan antara pasangan istri dan suami melainkan apabila istri dan suami mensyaratkan semenjak pertama untuk memperoleh warisan dari salah satunya maka mereka harus memenuhi syarat ini, artinya mereka memiliki saham dari harta salah satunya.
Muhammad bin Nashr meriwayatkan dari Imam Ridha As dimana beliau bersabda, “Nikah mut’ah dapat dilaksanakan dengan atau tanpa warisan di dalamnya. Apabila disyaratkan bahwa terdapat warisan antara suami dan istri maka warisan tersebut harus dibagikan. Apabila tidak disyaratkan maka warisan juga tidak tersisa.”[5]
Akhir kata kiranya kami perlu mengingatkan bahwa kendati pertanyaan ini bersumber dari kecermatan dan ketelitian namun harap diketahui bahwa untuk memahami dan melakukan inferensi (istinbâth) hukum atau menyandarkan sebuah subyek terhadap syariat maka seluruh sisi dan referensi syariat harus diperhatikan dan bertanya kepada para ahil dalam bidang ini. [IQuest]
[1]. Al-Mizân, Muhammad Husain Thabathabai, jil. 15, hal. 15, Software Jâmi’ al-Tafâsir.
[2]. Seperti ayat 12 surah al-Nisa (4).
[3]. Jâmi’ Ahâdits Syiah, Ismail Muazzi Malayiri, jil. 26, hal. 99.
[4]. Lum’ah al-Damisyqiyyah, Makki, bâb Mirâts, Mirâts Izdiwâj, hal. 427. Intisyarat-e Samt, Qanun Madani, klausul 945.
[5]. Jâmi’ al-Ahâdits Syiah, jil. 26, hal. 99.