Mengingat Islam muncul di benua Asia maka penyebarannya lebih banyak di Asia. Tiadanya penyebaran agama Islam di Eropa boleh jadi disebabkan oleh beberapa faktor seperti adanya perbedaan internal kaum Muslimin dan tidak terjelaskannya wajah indah Islam murni Muhammadi di daerah tersebut dan lain sebagainya.
Pasca wafatnya Rasulullah Saw, telah banyak usaha yang dilakukan untuk menyebarkan Islam. Namun karena adanya perbedaan internal di kalangan kaum Muslimin usaha itu tidak menuai hasil. Dengan usaha yang kembali dilakukan semenjak tahun 71 Hijriah hingga tahun 398 Hijriah benua Afrika dan Eropa berada di bawah kekuasaan Islam dan hingga batasan tertentu Islam tersebar di dua benua ini. Pada masa kita sekarang ini pun, tersebarnya pengaruh Islam di Eropa dan benua-benua dunia lainnya adalah sesuatu yang sangat menarik perhatian dan tidak dapat diingkari.
Hal ini merupakan pembahasan luas yang memerlukan ruang dan waktu lain untuk mengulasnya secara tuntas dan mendalam. Namun kita dapat mencukupkan diri dengan menyatakan bahwa kelahiran dan kemunculan Islam bermula di benua Asia (Hijaz, di kota Mekah). Karena itu, penyebaran Islam juga lebih besar di Asia sebagai tempat kelahiran agama ini. Tidak tersebarnya agama Islam di Eropa boleh jadi disebabkan oleh beberapa faktor seperti, adanya perbedaan (ikhtilâf) internal di kalangan kaum Muslimin dan tidak terjelaskannya wajah indah Islam murni Muhammadi dengan baik di daerah tersebut dan lain sebagainya.
Hal ini dapat dijelaskan bahwa pasca wafatnya Rasulullah Saw, kaum Muslimin mengerahkan pasukan misalnya ke arah Timur yang dikomandoi oleh Saad bin Abi Waqqas, ke arah Syam dan Palestina yang dikomandoi oleh sekelompok orang seperti Amr bin al-Ash dan Yazid bin Abi Sufyan dan Abu Ubaidah bin Jarrah, Syarjil bin Hasana ke Palestina dan Khalid bin al-Walid ke arah Syam. Lasykar kaum Muslimin tiba di tanah Persia namun pasukan yang bergerak di Barat tidak dapat melanjutkan eskalasi gerakan mereka lantaran Muawiyah bin Abi Sufyan pada masa pemerintahannya mengikat perjanjian dengan Barat (Roma) dan tiadanya kemajuan kaum Muslimin ke arah Barat, dikarenakan adanya perjanjian ini.[1]
Di samping itu, pergantian khilafah menjadi kerajaan oleh Muawiyah telah menjadi sebab Barat tidak memahami esensi Islam dan tidak memiliki gairah untuk menelaah apatah lagi condong kepada Islam. Karena itu, salah seorang cendekiawan besar Jerman berkata, “Sangat pantas apabila kita membuat patung Muawiyah dari emas dan kita pancangkan di Berlin, ibukota Jerman; kalau bukan karena pukulan Muawiyah terhadap Islam, maka Islam akan tersebar di seluruh dunia dan sekarang ini kita sebagai orang Jerman dan negara-negara Eropa lainnya telah menjadi orang Arab dan memeluk Islam.”[2]
Namun setelah masa tersebut, pada masa pemerintahan Walid bin Abdul Malik, kaum Muslimin berkuasa di negara-negara Irak, Iran, Suriah, Mesir, Afrika hingga pantai-pantai laut Atlantik dan bahkan sampai pada Jabal al-Thariq. Pada tahun 71 Hijriah, setelah memperkenalkan Islam kepada masyarakat Spanyol, seruan dan dakwah Islam telah sampai ke negara-negara Eropa lainnya.
Demikian juga, dari sisi kaum Muslimin, yang mampu melintasi Oxus dan Amu River (Asia Tengah) dan senantiasa memperkenalkan Islam kepada masyarakat dunia; pada puncaknya Imperium besar Islam terbentuk, berpusat di Damsyik, Suriah.[3]
Oleh karena itu, kira-kira pada tahun 78 Hijriah seluruh benua Eropa dan Afrika berada di bawah kekuasaan Islam dan dominasi Islam di Eropa ini berlanjut hingga tahun 398 Hijriah, pada saat wafatnya Abdul Malik Mansur, pengaruh saudaranya Abdurrahman (bergelar Al-Nasir Lidinillah) telah sampai ke pemerintahan Eropa. Seperti saudaranya, ia memerintah tanpa adanya keyakinan terhadap sistem pemerintahan khalifah, termasuk terhadap khalifah dari Dinasti Bani Umayah yang berkuasa saat itu (Hisyam bin Hakam)[4]. Ia memutuskan untuk melenyapkan pelbagai tradisi-tradisi khilafah yang tersisa.
Atas dasar itu, ia meminta Hisyam untuk menjadikannya sebagai putra mahkotanya. Sebagai akibatnya mayoritas rakyat marah dan menjadi penyebab meletusnya peperangan keluarga yang telah menghabiskan energi dan biaya kaum Muslimin dan demarkasi-demarkasi tanpa pembela yang ditinggalkan begitu saja.
Di dalam pemerintahan juga, muncul kerajaan-kerajaan tribal, yang siang dan malamnya berada dalam pengamatan musuh-musuh Islam, yang saling berperang satu sama lain. Pertikaian antara kaum Muslimin dan kinerja buruk para penguasa Muslim telah menyebabkan orang-orang Kristen memanfaatkan situasi dan sebagai akibat dari peperangan, berhasil mengeluarkan Islam dari benua Eropa.[5] Namun tahun-tahun setelahnya dan khususnya pada masa kita, kebudayaan Islam telah melakukan penetrasi dalam bentuk yang besar pengaruhnya di seluruh negeri dan negara-negara lain termasuk Eropa.
Dalam masa-masa sekarang ini, kita tidak boleh melupakan peran dakwah (tabligh) dan pelbagai fasilitas modern negara-negara Eropa dalam mencitrakan Islam secara buruk dan membuat suara hakikat tidak sampai ke telinga masyarakat. Dan hal ini memerlukan pembahasan yang rinci yang akan kami alokasikan pada kesempatan lain.
Terdapat kemungkinan lainnya yang perlu kami jelaskan bahwa orang-orang Roma pada waktu itu telah menganut ajaran Kristen. Tentu saja dalam pandangan mereka agama Kristen adalah termasuk sebagai agama Ilahi yang benar dan mereka memiliki keyakinan seperti ini. Dan berperang melawan mereka berdasarkan keyakinan seperti ini menjadikan urusan bertambah rumit.
Karena itu, kaum Muslimin harus berperang dengan mereka dalam dua front. Pertama, front keilmuan dan kebudayaan serta menjelaskan kebenaran ajaran Islam dan penyimpangan agama Kristen dari ajaran yang sebenarnya. Kedua, front militer dimana musuh harus dikalahkan, padahal sudah jelas bahwa Dinasti Bani Umayah tidak memilik orang-orang terlatih sehingga mereka dapat membela agama dengan poros-poros seperti ini.
Di samping itu, terhalangnya pancaran cahaya Ahlulbait As. Lantaran pengekangan Bani Umayah terhadap mereka membuat mereka tidak mampu membawa Islam ke daerah-daerah ini. Sebaliknya Iran dan negara-negara sekutu yang mengenal pandangan cemerlang Islam ini, berhasil pada saat yang sama melakukan dua hal penting. Pertama, masuk Islam dan kerelaan berkorban dalam membela Islam, dan Kedua, menyebarkannya. Slogan “Al-Ridha min Ali Muhammad” yang dipilih oleh Bani Abbasiyah sebagai kedok dalam melawan Dinasti Umayyah adalah sebaik-baik bukti atas klaim ini. [IQuest]
[1]. Ahmad bin Ali bin A’tsam Kufi, al-Futuh, hal. 182-305, terjemahan Mustawafi Harawi, Muhammad bin Ahmad, Intisyarat-e ‘Ilmi wa Farhanggi, 1374 S.
[2]. Shalihi Najaf Abadi, Syahid Jâwid, hal. 313, Cetakan Kedelapan, Tanpa Tahun, Tanpa Tempat.
[3]. Syakib Arsalan, Târiskh-e Futuhât Islâmi dar Urupâ, terjemahan Ali Dawwani, hal. 37, Kitab Purusyi Bani Hasyim, Tanpa Tahun.
[4]. Ibnu Hisyam bukan Hisyam bin al-Hakam yang terkenal dengan Hakim Umawi melainkan ia adalah Al-Muayyid Billah salah seorang penguasa Andalusia. Al-I’lâm, jil. 2, hal. 310.
[5]. Ibid, hal. 295.