1. Apa yang dapat disimpulkan dari pembahasan tauhid bahwa takdir para hamba hanya berada di tangan Tuhan dan apa yang disampaikan pada mimbar-mimbar masjid dan media tersebut adalah bermakna bahwa Allah Swt mendelegasikan pengelolaan alam semesta kepada para Imam Maksum As.
2. Dengan adanya malam Qadar pada umat-umat sebelumnya, apabila klaim ini diterima, misalnya interval dan selang 500 tahun jarak Nabi Isa As dan Nabi Muhammad Saw, dalam rentang waktu ini catatan-catatan perbuatan manusia ditandatangani oleh siapa?
Minimal dari hasil kajian dan penelitian saya pada tafsir al-Mizân dan Nemune pada ayat terkait, pada surah al-Qadar dan Dukhân, kedua kitab tafsir monumental ini tidak menyinggung masalah penentuan takdir oleh Imam Mahdi Ajf dan apa yang dinukil tentang hal ini tanpa menyebutkan sanad riwayatnya. Karena itu, saya meminta kepada Anda untuk menjelaskan persoalan ini?
Sebuah riwayat muktabar menyatakan bahwa seluruh urusan hamba Allah diturunkan kepada Nabi Saw, Imam Maksum dan Hujjah Allah di muka bumi. Dan hujjah Allah Swt di muka bumi sekarang yang hidup adalah Imam Zaman (Imam Mahdi Ajf) maka segala yang berkenaan dengan urusan takdir dihadapkan kepadanya. Akan tetapi terkait dengan kritikan yang mengemuka harus dikatakan bahwa:
1. Malam Qadar tidak terdapat pada umat sebelumnya.
2. Apabila kita tidak menerima hal ini dan meyakini tentang adanya malam Qadar pada umat terdahulu maka kita harus tahu sandarannya sesuai dengan dalil-dalil rasional dan referensial, bahwa bumi sekali-kali tidak akan pernah kosong dari hujjah Tuhan (nabi atau imam) meski pada masa interval (fatrat). Masa interval fatrat) ini tidak bermakna kosongnya bumi dari hujjah Tuhan melainkan bermakna tiadanya rasul dan nabi dalam masa interval selama enam ratus tahun ini. Tidak bisa diragukan bahwa pada masa interval ini para wali dan khalifah Nabi Isa adalah hujjah Tuhan di muka bumi; dengan demikian dapat dikatakan bahwa turunnya para malaikat atas hujjah Tuhan di malam Qadar pada masa interval ini bermakna turunnya mereka kepada washi Nabi Isa As.
3. Persetujuan (tanda tangan) imam pada malam qadar tidak berseberangan dengan konsep tauhid; karena seluruh kekuasaan imam dapat terlaksana dengan izin Allah Swt dan pengaruh kekuasaan imam tesebut modelnya bersifat vertikal, atas-bawah.
Nampaknya, pertanyaan Anda ini terdiri dari empat bagian pertanyaan:
1. Apakah setiap tahun pada malam-malam Qadar para malaikat mempersembahkan catatan-catatan amal perbuatan kita ke hadapan Imam Hujjah (Imam Mahdi Ajf) dan Imam menandatanganinya?
2. Apakah malam Qadar juga ada sebelum Islam?
3. Apabila ada, bagaimana kedudukan para malaikat ini pada masa interval (fatrat)?
4. Apakah penandatangan takdir seluruh perbuatan setahun para hamba pada malam Qadar sejalan dengan konsep tauhid?
1. Sebuah riwayat muktabar menyatakan bahwa seluruh urusan para hamba diturunkan kepada Nabi Saw dan para Imam Maksum. Dengan demikian hujjah Tuhan yang hidup itu adalah Imam Zaman (Imam Mahdi) maka penentuan (takdir) seluruh urusan itu dihadapkan kepada beliau.
Imam Jawad As menukil dari Amirul Mukminin As dimana Amirul Mukminin bersabda kepada Ibnu Abbas: Malam Qadar terjadi setiap tahunnya dan Allah Swt menurunkan seluruh perkara pada tahun tersebut. Setelah Rasulullah Saw juga terdapat orang-orang yang memikul urusan ini. Ibnu Abbas bertanya kepada Imam As: Siapakah mereka itu? Imam Ali As bersabda: Aku dan sebelas putraku yang merupakan imam dan kami bercakap-cakap dengan para malaikat."[1]
2. Apakah terdapat malam Qadar pada umat-umat sebelumnya?
Terdapat banyak riwayat yang secara tegas menyebutkan asbabun nuzul ayat "khairun min alfi syahrin"[2] dimana ayat ini merupakan anugerah Ilahi atas umat ini, sebagaimana yang disebutkan dalam hadis dari Nabi Saw yang bersabda: "Sesungguhnya Allah Swt menganugerahkan lailatul qadar kepada umatku yang tidak dianugerahkan pada umat sebelumnya."[3]
Akan tetapi secara lahir ayat-ayat surah al-Qadr ini menunjukkan bahwa malam Qadar tidak terkhusus pada masa pewahyuan al-Qur'an dan masa Nabi Saw, melainkan setiap tahunnya (semenjak masa nabi) hingga akhir masa akan terus-menerus berulang.
Redaksi ayat dinyatakan dalam bentuk present continues tense (fi'il mudhare') yang menunjukkan terus-menerusnya kejadian ini, dan demikian juga redaksi ayat diekspresikan dalam kalimat nomina "salâmun hiya hatta mathla'I al-fajr, " yang menunjukkan terus-menerusnya kejadian ini. Di samping itu, terdapat beberapa riwayat yang boleh jadi mencapai derajat tawatur yang menegaskan makna ini.[4]
3. Apabila kita tidak menerima hal ini (berdasarkan asbabun nuzul ayat di atas) dan memandang adanya malam Qadar pada umat-umat sebelumnya maka kita harus tahu bahwa sesuai dengan dalil-dalil rasional (aqli) dan referensial (naqli), bumi sekali-kali tidak akan pernah kosong dari hujjah Tuhan (nabi atau imam) bahkan pada masa interval (fatrat). Dan masa interval (fatrat) tidak bermakna kosongnya bumi dari hujjah Tuhan pada masa-masa ini, melainkan bermakna tiadanya seorang rasul dan nabi pada masa enam ratus tahun ini. Namun tidak dapat diragukan bahwa terdapat para washi dan khalifah Nabi Isa As di muka bumi.
Poin ketiga ini dapat dijelaskan sebagai berikut:
Allah Swt berfirman dalam surah al-Maidah "Hai ahli kitab, sesungguhnya telah datang kepadamu rasul Kami, menjelaskan (syariat Kami) kepadamu ketika terputus (pengiriman) para rasul, agar kamu tidak mengatakan (pada hari kiamat), “Tidak datang kepada kami, baik seorang pembawa berita gembira maupun seorang pemberi peringatan.” Sesungguhnya telah datang kepadamu pembawa berita gembira dan pemberi peringatan. Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu." (Qs. Al-Maidah [5]:16)
Jarak kurang-lebih enam ratus tahun antara Nabi Isa As dan Rasulullah Saw yang disebut sebagai masa interval (fatrat). Sebagaimana dari ayat yang disebutkan dapat dipahami bahwa dalam rentang waktu ini tidak ada seorang rasul dan seorang nabi yang diutus. Akan tetapi harus diperhatikan bahwa tidak adanya seorang nabi tidak bermakna tiadanya seorang hujjah Tuhan di muka bumi dan terputusnya hubungan antara manusia dan Tuhan. Ayat ini menyoroti poin bahwa sekali-kali bumi tidak akan pernah kosong dari hujjah Tuhan. Imam Ali As dalam sebuah sabdanya berkata kepada Kumail: "Iya. Bumi sekali-kali tak pernah kosong dari orang-orang yang memelihara hujah Allah, baik secara terbuka dan terkenal ataupun, karena takut, tersembunyi, supaya hujah dan bukti-bukti Allah tidak disangkal…. Melalui mereka Allab menjaga hujah-hujah-Nya dan bukti-bukti-Nya sampai mereka mengamanatkannya kepada orang lain seperti mereka sendiri dan menebarkan benihnya di hati orang-orang yang sama dengan mereka. "[5]
Dengan demikian kita meyakini bahwa manusia pertama adalah hujjah Tuhan dan manusia terakhir juga adalah hujjah Tuhan.
Tanpa ragu bahwa pada masa interval (fatrat), yaitu masa selang antara masa pasca Nabi Isa As hingga masa Rasulullah Saw, terdapat hujjah Tuhan di muka bumi. Dalam sebuah riwayat dari Imam Ridha As yang bersabda: "Sesungguhnya bumi sekali-kali tidak akan pernah kosong dari hujjah Tuhan atas para makhluknya."[6] Meski boleh jadi kita tidak tahu tentang nama dan biografi hidupnya sebagaimana kita hanya tahu sebagian nama dari seratus dua puluh empat ribu nabi yang pernah ada di muka bumi.
Dari sisi lain, hujjah Tuhan barangkali seorang nabi atau washinya; karena setiap nabi memiliki washi. Syiah dan Sunni meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw bersabda: "Setiap nabi memiliki seorang washi."[7] Karena itu, mazhab Syiah meyakini bahwa pada setiap zaman Tuhan memiliki hujjah di muka bumi yang menjadi media emanasi (wâsitha al-faidh), penjaga agama dan sumber untuk merujuk bagi manusia dalam ilmu pengetahuan. Atas dasar ini dapat dikatakan bahwa: Turunnya para malaikat atas hujjah Tuhan di muka bumi pada malam Qadar pada masa fatrat bermakna turunnya mereka atas washi Nabi Isa As.
Namun kritikan yang ditujukan untuk analisa semacam ini adalah bahwa kendati pada setiap masa terdapat hujjah Tuhan di muka bumi yang menjadi media emanasi Tuhan, penjaga agama dan marja keilmuan manusia, akan tetapi boleh jadi kita tidak dapat menunjukkan sebuah dalil yang menyatakan bahwa seluruh amal perbuatan manusia diperhadapkan pada para washi meski mereka adalah hujjah Tuhan. Hanya saja apabila kita meyakini bahwa umat-umat sebelumnya tidak memilik malam Qadar, maka kritikan ini tidak relevan.
4. Apakah penandatangan takdir seluruh perbuatan setahun para hamba pada malam qadar sejalan dengan konsep tauhid?
Hujjah Tuhan adalah khalifah dan representasi Tuhan di muka bumi. Dan apa saja yang dilakukannya mereka melakukannya atas izin dan kehendak Tuhan dan pengaruhnya bercorak vertikal dan atas-bawah atas segala urusan. Dengan demikian, hal ini tidak berseberangan dengan konsep tauhid sama sekali. Imam Mahdi Ajf bersabda: "Hati kami adalah wadah pelaksanaan kehendak dan iradah Tuhan. Apabila Dia berkehendak maka kami (dapat) berkehendak."[8] Dan apabila kita meyakini bahwa setiap tahun pada malam Qadar para malaikat mempersembahkan catatan amal perbuatan kita kepada Imam Hujjah (Imam Mahdi Ajf) dan beliau menandatanganinya maka sejatinya hal ini berlaku dengan kehendak dan keinginan Tuhan. Tentu saja hal ini tidak bertentangan dengan konsep tauhid. Sebagaimana kita jumpai hal ini dalam sabda Nabi Isa As dalam al-Qur'an: “Sesungguhnya aku telah datang kepadamu dengan membawa sesuatu tanda (mukjizat) dari Tuhan-mu, yaitu aku membuat untukmu dari tanah seperti bentuk burung; kemudian aku meniupnya, maka ia menjadi seekor burung dengan seizin Allah; dan aku menyembuhkan orang yang buta sejak dari lahirnya dan orang yang berpenyakit sopak; dan aku menghidupkan orang mati dengan seizin Allah; dan aku memberitahukan kepadamu apa yang kamu makan dan apa yang kamu simpan di rumahmu. Sesungguhnya pada yang demikian itu adalah suatu tanda (kebenaran kerasulanku) bagimu, jika kamu sungguh-sungguh beriman." (Qs. Ali Imran [3]:49) dan hal ini sama sekali tidak bertentangan dengan tauhid.[9][]
[1]. Ibid, hal. 532.
[2]. Pada sebagain kitab tafsir disebutkan bahwa Rasulullah Saw bersabda: Salah seorang Bani Israel mengenakan pakaian perang dan selama seribu tahun ia tidak melepaskan baju perang tersebut. Ia senantiasa bersiaga untuk berperang di jalan Allah. Para sahabat heran mendengarkan hal ini dan berharap dapat berlaku seperti itu. Kemudian ayat di atas turun dan menjelaskan "malam Qadar lebih baik dari seribu bulan." Pada hadis yang lain disebutkan bahwa Rasulullah Saw menyebutkan empat orang Bani Israel yang beribadah selama delapan puluh tahun tanpa melakukan maksiat. Para sahabat berharap kiranya mereka dapat memperoleh taufik seperti ini. Kemudian ayat di atas turun. Tafsir Nemune, jil. 27, hal. 183.
[3]. Tafsir Nemune, jil. 27, hal. 190, Dar al-Kitab al-Islamiyah, cetakan Teheran, 1374 S, cetakan pertama.
[4]. Untuk telaah lebih jauh silahkan lihat, Pertanyaan 312 (Site: 371), Indeks: Jumlah Bilangan Malam Qadar.
[5]. Nahj al-Balâgha, Hikmah 147.
[6]. Muhammad bin Ali Shaduq, 'Uyun Akhbâr al-Ridhâ As, jil. 2, hal. 121, Intisyarat-e Jahan, 1378 S.
[7]. Thabarani, al-Mu'jam al-Kabir, jil. 6, hal. 221, Dar Ihya al-Turats al-'Arabi, 1405 H.
[8]. Muhammad Baqir Majlisi, Bihâr al-Anwâr, jil. 52, hal. 51, cetakan pertama, Muassasah al-Wafa, Libanon, 1404 H.
[9]. Untuk telaah lebih jauh silahkan lihat, Pertanyaan 612 (Site:669), Indeks: Definisi Syirik dan Bagian-bagiannya; Pertanyaan 1594 (Site: 1589), Indeks: Tauhid dan Mencari Pertolongan kepada selain Tuhan.