Terdapat ragam makna yang disebutkan terkait dengan tahrif (distorsi). Ulama Islam sepakat tentang tidak terjadinya tahrif (distorsi), pengurangan dan penambahan terhadap al-Qur’an. Hal ini bermakna bahwa tiada sesuatu yang berkurang dari al-Qur’an juga tiada sesuatu yang ditambahkan dari luar pada al-Qur’an yang tadinya tidak terdapat pada al-Qur’an asli. Akan tetapi terkait dengan pengurangan dan penambahan harâkat (tanda baca), dan bunyi (phonetic, shaut), harus dikatakan bahwa (juga) tidak terjadi penyimpangan dan distorsi pada huruf-huruf dan bunyi-bunyi al-Quran. Karena bacaan yang digunakan secara umum oleh kaum Muslimin adalah sama dengan bacaan yang digunakan pada awal-awal masa kemunculan Islam. Adapun bacaan-bacaan yang jarang digunakan yang merupakan hasil ijtihad tidaklah berkembang di kalangan kaum Muslimin semenjak dulu hingga sekarang.
Bahkan apabila kita tidak menerima ucapan ini maka sudah pasti bahwa al-Qur’an asli adalah yang dibacakan sekarang ini dan sama sekali tidak menciderai keabadian al-Qur’an.
Terdapat ragam makna yang disebutkan terkait dengan tahrif (distorsi). Untuk menjelaskan masalah ini pertama-tama kami akan membahas satu per satu makna yang dikemukakan oleh kaum Muslimin terkait dengan masalah ini:
1. Tahrif maknawi: Tahrif maknawi adalah menafsirkan makna ayat berbeda dengan makna dan arti faktualnya.[1] Oleh itu, sesuai dengan makna ini, segala bentuk tafsir bi al-ray, takwil-takwil keliru dan tidak benar yang akan dan dilakukan hingga kini termasuk jenis tahrif maknawi al-Qur’an.[2]
2. Tahrif yang bermakna bertambahnya huruf-huruf dan tanda-tanda baca dengan tetap menjaga keasilan al-Qur’an dan tiadanya kehilangan huruf-huruf tersebut sedemikian sehingga pada dunia luaran tidak jelas al-Qur’an asli yang mana. Seperti yang terdapat pada ragam bacaan al-Qur’an. Tentu saja salah satu bacaan ini adalah benar dan apakah ia menambahkan sesuatu pada al-Qur’an atau menguranginya.[3]
Sebagian ulama Syiah berpandangan bahwa bacaan Hafsh dari Ashim yang digunakan secara umum dewasa ini adalah bacaan al-Qur’an yang asli yang digunakan secara turun temurun, berpindah dari generasi ke generasi, dada ke dada dan al-Qur’an yang digunakan dan mutawatir di kalangan masyarakat Muslim itu adalah al-Qur’an yang sebenarnya. Adapun bacaan-bacaan lainnya merupakan hasil dari ijtihad (pembacanya).[4] Al-Qur’an yang disandarkan kepada Hafsh juga tidak bermakna bahwa Hafsh sedemikian membacanya dan masyarakat mengikut cara bacanya, melainkan bermakna bahwa Hafsh mengikut bacaan yang digunakan secara umum oleh masyarakat Muslim.[5] Demikian juga terdapat beberapa riwayat yang dinukil dari para Imam Maksum bahwa al-Qur’an “’ala harfin wahid min ‘indi al-Wahid” (dengan satu huruf [bacaan] dan turun dari sisi Tuhan Yang Mahaesa). telah turun dan riwayat-riwayat semacam ini menetapkan kekeliruan bacaan-bacaan lain dan kebenaran salah satu dari bacaan yang ada.[6]
Apabila riwayat-riwayat semacam ini kita lampirkan dengan riwayat-riwayat yang menitahkan kepada masyarakat bahwa bacalah al-Qur’an sebagaimana yang dibaca oleh masyarakat,[7] maka kita akan memahami bahwa al-Qur’an asli adalah apa yang ada di tengah masyarakat yang secara mutawatir dan telah mentradisi. Karena itu, sama sekali tidak terjadi penyimpangan dan distorsi (tahrif) dalam huruf dan bunyi-bunyi al-Qur’an.
3. Tahrif (distorsi) yang bermakna berkurang atau bertambahnya kalimat atau beberapa kalimat disertai dengan terjaganya keaslian al-Qur’an. Disebutkan bahwa penyimpangan dan distorsi (tahrif) seperti ini terjadi pada masa-masa awal kemunculan Islam dan dokumen-dokumen sejarah sebagai penjelas masalah ini. Namun dengan penyatuan mushaf-mushaf (lembaran-lembaran) Utsman Thaha maka problem ini terpecahkan. Utsman setelah mengumpulkan al-Qur’an menitahkan kepada para gubernurnya untuk membakar lembaran-lembaran yang berbeda dengan lembaran-lembaran yang telah dikumpulkan. Akan tetapi mushaf Utsman sesuai dengan keyakinan Syiah adalah al-Qur’an yang mentradisi pada masa Rasulullah Saw. Karena itu, penyimpangan dan distorsi (tahrif) makna ketiga ini telah terputus (sirna) secara praktis semenjak masa Utsman dan setelahnya. Namun sebelumnya, pada masa Utsman, makna tahrif ini digunakan.[8]
4. Tahrif yang bermakna bertambah atau berkurangnya ayat, ayat-ayat atau surah disertai dengan terjaganya al-Qur’an asli dan sepakat dengan bacaan Rasulullah Saw. Seperti yang terdapat di kalangan Ahlusunnah yang sebagian dari mereka berpandangan bahwa “Bismillahi al-Rahman al-Rahim” merupakan bagian pertama setiap surah sebagai bagian dari surah yang diwahyukan. Sementara sebagian lainnya tidak memandangnya sebagai bagian dari wahyu. Akan tetapi, seluruh kaum Muslimin bersepakat bahwa Rasulullah Saw setiap sebelum membaca satu surah selain surah al-Taubah dimana Rasulullah Saw memulainya dengan membaca “Bismiillah.”[9]
5. Tahrif yang bermakna adanya pengurangan dan penambahan: Artinya bahwa al-Qur’an yang berada di tangan kita dewasa ini bukan merupakan keseluruhan al-Qur’an atau telah ditambahkan sesuatu dari luar kepadanya. Terjadinya tahrif (distorsi) dan penyimpangan semacam ini dalam al-Qur’an telah diingkari oleh Syiah dan kaum Syiah telah menyodorkan selaksa dalil yang telah dan harus dibahas pada tempatnya tersendiri.[10]
Karena itu, dalam bidang bunyi-bunyi (phonetic) dan tanda baca (harâkat) al-Qur’an selain yang mentradisi digunakan oleh kaum Muslimin terdapat bacaan-bacaan lainnya namun bacaan-bacaan tersebut merupakan hasil ijtihad dan tidak bersifat mutawatir. Namun di antara ulama bidang Ulum al-Qur’ân (Qur’anic Studies) juga dinukil telah menetapkan kriteria untuk menentukan benar atau kelirunya bacaan tersebut.[11] Akan tetapi, apabila kita menerima penyimpangan dan distorsi (tahrif) semacam ini pada al-Qur’an maka harus dikatakan bahwa tahrif dalam artian ini sama sekali tidak menciderai keabadian dan kebenaran al-Qur’an lantaran bacaan asli juga tetap ada. Tahrif yang menciderai dan melukai keabadian al-Qur’an adalah penyimpangan dan distorsi yang bermakna bertambahnya huruf-huruf atau kalimat-kalimat atau ayat-ayat dari luar al-Qur’an kepada al-Qur’an yang dalam pandangan seluruh ulama Islam tidak terjadi pada al-Qur’an.
Indeks Terkait:
1. Tiadanya Tanda Baca dan Distorsi al-Qur’an, Pertanyaan 1114 (Site: 1158)
2. Al-Qur’an Kitab Yang Tidak Akan Pernah Mengalami Penyimpangan, Pertanyaan 6952 (Site: 7053).
3. Pengumpulan al-Qur’an, Pertanyaan 4309 (Site: 4576)
[1]. Nashir Makarim Syirazi, Tafsir Nemune, jil. 11, hal. 29, Dar al-Kutub al-Islamiyah, Teheran, 1374.
[2]. Sesuai nukilan dari al-Bayân fi Tafsir al-Qur’ân, Sayid Abu al-Qasim Khui, hal. 197-199, Nasyr Amid. Seluruh klasifikasi ini dinukil dari Ayatullah Khui.
[3]. Ibid.
[4]. Talkhish al-Tamhid, Muhammad Hadi Ma’rifat, hal. 399-400, Muassasah al-Nasyr al-Islami.
[5]. Ibid, hal. 375.
[6]. Ibid, hal. 378.
[7]. Ibid, hal. 379.
[8]. Al-Bayân fi Tafsir al-Qur’ân, Abu al-Qasim Khui, hal. 197-199, Nasyr Amid.
[9]. Ibid.
[10]. Silahkan lihat, al-Bayân fi Tafsir al-Qur’ân, Sayid Abu al-Qasim Khui, hal. 200-259. Shiyânat al-Qur’an min al-Tahrif, Muhammad Hadi Ma’rifat, Muassasah al-Nasyr al-Islami, demikian juga Dalil-dalil Syiah atas Tiadanya Distorsi pada jawaban No. 453 (Site: 486).
[11]. Silahkan lihat, Talkhish al-Tamhid, Muhammad Hadi Ma’rifat, hal. 399-400.