Kode Site
fa4386
Kode Pernyataan Privasi
34678
Ringkasan Pertanyaan
Menurut riwayat, apa saja yang dapat mengendurkan syaraf (emosi) dan menenangkan batin bagi seseorang yang pemarah?
Pertanyaan
Menurut riwayat, apa saja yang dapat mengendurkan syaraf (emosi) dan menenangkan batin bagi seseorang yang pemarah?
Jawaban Global
Jika seseorang dapat mengkontrol amarahnya, ia tidak akan mudah marah. Dalam banyak riwayat kemampuan itu disebut dengan Kazhm al-Ghaidh atau “menahan amarah.”
Tuhan menyebut kemampuan menahan marah dan memaafkan sesama sebagai salah satu kriteria orang-orang yang unggul dalam ketakwaan dan bermartabat tinggi di hadapan-Nya. Ia pun berfirman: “(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebaikan.” (Qs. Ali Imran [3] : 134)
Cara-cara mengkontrol amarah di antaranya adalah:
1. Berlindung kepada Allah Swt;
2. Berwudhu dengan air dingin;
3. Menjauhkan diri dari faktor-faktor penyebab kemarahan;
4. Bersabar;
5. Berdoa dan munajat;
6. Salat dan mengingat Allah Swt.
Sabar, doa, munajat, salat, zikir dan bertaubat adalah cara-cara mewujudkan ketenangan batin. Terlebih lagi salat, yang bisa dikata salat adalah penghidup ruh dan jiwa manusia.
Tuhan menyebut kemampuan menahan marah dan memaafkan sesama sebagai salah satu kriteria orang-orang yang unggul dalam ketakwaan dan bermartabat tinggi di hadapan-Nya. Ia pun berfirman: “(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebaikan.” (Qs. Ali Imran [3] : 134)
Cara-cara mengkontrol amarah di antaranya adalah:
1. Berlindung kepada Allah Swt;
2. Berwudhu dengan air dingin;
3. Menjauhkan diri dari faktor-faktor penyebab kemarahan;
4. Bersabar;
5. Berdoa dan munajat;
6. Salat dan mengingat Allah Swt.
Sabar, doa, munajat, salat, zikir dan bertaubat adalah cara-cara mewujudkan ketenangan batin. Terlebih lagi salat, yang bisa dikata salat adalah penghidup ruh dan jiwa manusia.
Jawaban Detil
Cara-cara mewujudkan ketenangan batin dalam kehidupan personal dan sosial menurut riwayat:
Untuk mewujudkan ketenangan batin, banyak sekali faktor-faktor yang dapat berpengaruh padanya, yang di antaranya adalah beberapa faktor berikut ini:
1. Bersabar: Bersabar secara leksikal (lughawi) berarti menahan diri dari kuatir (jaza') dan panik (faz’) yang dikarenakan tertimpa hal-hal yang tak diinginkan.[1] Sabar dapat melenyapkan kesedihan dan menenangkan jiwa, sebagaimana Imam Ali As bersabda: “Jauhkanlah kesedihan-kesedihan yang menimpamu dengan keinginan penuh kesabaran dan yakin yang sebaik-baiknya.”[2]
Seorang Mukmin dengan berkeyakinan pada pahala-pahala Ilahi untu bersabar, berusaha untuk menjauhkan kesedihan dari dirinya dan menenangkan diri dengannya; karena ia yakin bahwa orang-orang yang sabar bakal menerima imbalannya yang tak terhingga.”[3]
Lebih tinggi lagi, orang yang beriman yakin bahwa rahmat Allah Swt selalu meliputinya. Karena itu mereka tak punya alasan untuk bersedih-sedih. Allah Swt sendiri berfirman: “Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, yaitu (orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan,"Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji`uun".” (Qs. Al-Baqarah [2] : 155)
2. Doa dan munajat: Doa laksana hujan di musim semi yang menyirami kebun-kebun hati dan menyemikan ketenangan di jiwa. Dengan doa dan munajat orang yang beriman dapat menenangkan pikirannya. Dalam doa dan munajat, seorang Mukmin menyampaikan hajat-hajatnya kepada Tuhan dan mengeluhkan segala permasalahan hidupnya kepada-Nya. Tanpa diragukan, dengan menyampaikan masalah-masalah hidup kepada Tuhan, kegundahan di hati bakal terlampiaskan dan dengan sendirinya jiwa menjadi tenang.
Salah seorang pakar psikologi mengatakan: “Kini, salah satu ilmu pengetahuan, yakni psikiatrik, mengajarkan kepada kita hal-hal yang sebelumnya pernah diajarkan para nabi. Mengapa? Karena para pakar psikologi mengakui bahwa doa dan munajat serta memiliki iman kuat terhadap agama dapat mengusir kegelisahan yang menjadi bibit penyakit jiwa kita.”[4]
Doa ke hadirat Allah Swt dapat menciptakan ketenangan batin dan meluluhkan kesedihan hati. Dengan berdoa manusia merasa memiliki tempat perlindungan yang kuat yang bakal mendukung serta melindunginya. Imam Shadiq As berkata: “Ayahku, Imam Baqir As, setiap kali ada masalah yang membuatnya bersedih, beliau mengumpulkan para wanita dan anak-anak lalu mereka berdoa.”[5]
3. Salat: Allah Swt dalam Al-Quran menjelaskan bahwa obat kegelisahan adalah zikir dan mengingat Tuhan. Allah Swt berfirman: “...(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram.”(Qs. Al-Ra’d [13] : 28)
Salah satu bentuk mengingat Allah (zikir) yang terbaik adalah salat. Sebagaimana yang dijelaskan Allah, salat dapat menumbuhkan zikir dalam hati. Dia berfirman: “...maka sembahlah Aku dan dirikanlah salat untuk mengingat Aku.” (Qs. Thaha [20] : 14)
Orang yang hatinya kuat dan tenang karena zikir pasti memiliki ketenangan jiwa dan tak takut selain Tuhan. Ia pun memiliki harapan yang kuat pula; karena ia bersandar pada kekuatan agung yang Mahabesar dan tersinari dengan cahaya Ilahi. Mengenai rahasia salat, Allah Swt dalam surah Al-Ma’arij ayat 20 menjelaskan: “Sudah jadi watak manusia untuk lepas kontrol dalam kesusahan-kesusahan. Jika ada kebaikan yang menimpanya, ia berusaha untuk membatasi kebaikan itu untuknya saja tanpa memberinya kepada orang lain. Jika ia tertimpa kesusahan, ia akan berkeluh kesah dan kehilangan kuasa atas dirinya, kesabaran pun hilang dari pikirannya. Jika ia mendapat manfaat dan kebaikan, ia kikir. Kecuali orang-orang yang melakukan salat; mereka berlawanan dengan watak sepeti itu dan menghidupkan fitrah mereka. Ya, salah satu rahasia khas salat adalah menghidupkan fitrah.”[6] Oleh itu, salat dan mengingat Tuhan-lah yang merupakan penghidup hati dan batin manusia yang dapat melenyapkan kegelisahan dan membawa ketenangan.
4. Taubat: Merasa berlumuran dosa membuat jiwa ini lelah. Rasa seperti itu membuat hidup menjadi suram. Orang yang berdosa merasa hina dan kehilangan motivasi untuk menjalankan hidup karena gelisah. Imam Ali As berkata: “Betapa buruknya kalung-kalung yang terbuat dari untaian dosa.”[7]
Merasa berdosa membuat pikiran terus sibuk sendiri. Seorang pendosa selalu berpikir bagaimana caranya untuk melepaskan diri dari belenggu dosa-dosanya. Pikiran-pikiran itulah yang membuatnya terus gelisah. Taubat adalah jalan terbaik untuk melepaskan diri dari belenggu dosa. Karena Tuhan telah menjanjikan hambanya ampunan dosa dengan taubat. Dengan bertaubat sang hamba terus memiliki harapan untuk semakin dekat kepada Tuhan. Oleh itu taubat dapat menjauhkan kegelisahan dari diri kita.[8]
Cara-cara mengkontrol emosi:
Jika seseorang dapat mengkontrol amarahnya, ia tidak akan mudah marah. Dalam banyak riwayat kemampuan itu disebut dengan Kazhm al-Ghaizh atau “menahan amarah.” Tuhan menyebut kemampuan menahan marah dan memaafkan sesama sebagai salah satu kriteria orang-orang yang unggul dalam ketakwaan dan bermartabat tinggi di hadapan-Nya. Allah Swt berfirman: “(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebaikan.”(Qs. Ali Imran [3] : 134)
Kazhm secara leksikal berarti “menutup mulut kantung yang penuh air di dalamnya.” Kata itu digunakan untuk orang yang menahan diri yang penuh amarah agar tidak melakukan perbuatan tak terkontrol karena amarahnya.
Ghaizh dalam bahasa Arab berarti “amarah yang berapi-api.” Amarah dan emosi tersebut meluap lantas seseorang tertimpa perkara yang tak diinginkannya.
Keadaan marah dan emosi adalah keadaan yang paling berbahaya bagi seorang manusia. Jika amarah dibiarkan begitu saja, emosi akan lepas kendali dan akan berujung pada kejahatan-kejahatan yang tak terhingga contohnya, bahkan kejahatan terburuk sekalipun yang pelakunya bakal menyesalinya seumur hidup atau dihukum berat karenanya. Karena itu ayat di atas menyebut kesabaran (menahan marah) sebagai salah satu sifat orang yang beriman.[9]
Dalam Quran dan riwayat, amarah itu sendiri tidak dinilai buruk. Amarah Ilahi bukanlah hal yang buruk, namun justru merupakan salah satu sifat Tuhan yang luhur. Ada beberapa sifat Allah yang mengandung amarah seperti Jabbâr dan Qahhar. Amarah jika pada tempatnya, dan di jalan yang benar, bukan hanya tidak tercela, bahkan terpuji.
Dalam sirah nabi, yang dinukil dari Imam Ali As, dijelaskan: “Rasulullah Saw sama sekali tidak pernah marah karena urusan dunia; namun jika beliau marah karena urusan kebenaran, maka ia tak mengenal siapapun untuk dibedakan dalam amarahnya, dan marahnya tak kunjung reda sebelum kebenaran ditegakkan.”[10]
Seorang insan bertakwa hanya akan marah di jalan kebenaran dan karena kebenaran diinjak-injak, begitu pula saat hak-hak Tuhan dan umat manusia bersama tidak dipedulikan. Amarah dalam hal seperti itu juga tidak keluar dari batasan iman dan aturan Tuhan.
Al-Quran menyebut amarah tak terkontrol sebagai sifat orang-orang jahiliah; sedangkan kemampuan menahan amarah sebagai sifat Rasulullah Saw, itu pun karena karunia Ilahi. Menurut Al-Quran, amarah dan fanatisme jahiliah timbul karena pemikiran-pemikiran yang salah kaum kafir. Allah Swt berfirman: “Ketika orang-orang kafir menanamkan dalam hati mereka kesombongan (yaitu) kesombongan jahiliah lalu Allah menurunkan ketenangan kepada Rasul-Nya, dan kepada orang-orang mukmin dan Allah mewajibkan kepada mereka kalimat takwa dan adalah mereka berhak dengan kalimat takwa itu dan patut memilikinya. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Qs. Al-Fath [48] : 26)
Dalam ayat tersebut Allah Swt menjelaskan bahwa fanatisme dan amarah yang membabi buta adalah kriteria budaya jahiliah, sedangkan ketenangan dan kemampuan mengendalikan diri merupakan kriteria budaya Islam.
Jika seseorang mampu menguasai diri dan emosinya, lambat laun emosi tersebut akan jinak dan mudah dikendalikan. Selain penjelasan di atas, dapat ditambahkan bahwa ada beberapa hal yang dapat dijadikan obat amarah:
A. Untuk mengobati amarah yang berlebihan, kita harus sadar bahwa setan selalu berusaha untuk menguasai diri kita. Dengan demikian kita harus berlindung kepada Tuhan atas gangguannya. Ketika berbicara tentang amarah, Imam Baqir As menjelaskan: “Sesungguhnya seseorang jika mulai marah, ia tidak bisa memadamkan amarah tersebut sebelum menjerumuskan dirinya ke dalam api yang lebih besar (dosa dan perbuatan keji karena amarah itu). Karena itu jika salah satu di antara kalian marah, supaya tidak dikuasai setan, jika saat marah kalian berdiri maka duduklah. Dengan demikian bisikan setan tidak akan terdengar. Jika kalian marah terhadap salah satu anggota keluarga kalian, peluklah ia, karena dengan memeluknya amarahmu bakal reda.”[11]
B. Berwudhu dengan air dingin: Rasulullah Saw pernah bersabda: “Setiap kali kalian marah, maka berwudulah atau mandilah; karena amarah dari api.”[12]
C. Bertafakur pada hadis-hadis yang memuji menahan amarah, saling memaafkan, kesabaran dan lain sebagainya. Salah satunya riwayat dari nabi yang berbunyi: “Barang siapa menahan amarahnya, maka Tuhan akan menahan siksaan terhadapnya.”[13]
D. Menjauhkan faktor-faktor yang menimbulkan amarah, seperti memusuhi orang lain, rakus, iri, sombong dan lain sebagainya.[14] [iQuest]
Untuk mewujudkan ketenangan batin, banyak sekali faktor-faktor yang dapat berpengaruh padanya, yang di antaranya adalah beberapa faktor berikut ini:
1. Bersabar: Bersabar secara leksikal (lughawi) berarti menahan diri dari kuatir (jaza') dan panik (faz’) yang dikarenakan tertimpa hal-hal yang tak diinginkan.[1] Sabar dapat melenyapkan kesedihan dan menenangkan jiwa, sebagaimana Imam Ali As bersabda: “Jauhkanlah kesedihan-kesedihan yang menimpamu dengan keinginan penuh kesabaran dan yakin yang sebaik-baiknya.”[2]
Seorang Mukmin dengan berkeyakinan pada pahala-pahala Ilahi untu bersabar, berusaha untuk menjauhkan kesedihan dari dirinya dan menenangkan diri dengannya; karena ia yakin bahwa orang-orang yang sabar bakal menerima imbalannya yang tak terhingga.”[3]
Lebih tinggi lagi, orang yang beriman yakin bahwa rahmat Allah Swt selalu meliputinya. Karena itu mereka tak punya alasan untuk bersedih-sedih. Allah Swt sendiri berfirman: “Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, yaitu (orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan,"Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji`uun".” (Qs. Al-Baqarah [2] : 155)
2. Doa dan munajat: Doa laksana hujan di musim semi yang menyirami kebun-kebun hati dan menyemikan ketenangan di jiwa. Dengan doa dan munajat orang yang beriman dapat menenangkan pikirannya. Dalam doa dan munajat, seorang Mukmin menyampaikan hajat-hajatnya kepada Tuhan dan mengeluhkan segala permasalahan hidupnya kepada-Nya. Tanpa diragukan, dengan menyampaikan masalah-masalah hidup kepada Tuhan, kegundahan di hati bakal terlampiaskan dan dengan sendirinya jiwa menjadi tenang.
Salah seorang pakar psikologi mengatakan: “Kini, salah satu ilmu pengetahuan, yakni psikiatrik, mengajarkan kepada kita hal-hal yang sebelumnya pernah diajarkan para nabi. Mengapa? Karena para pakar psikologi mengakui bahwa doa dan munajat serta memiliki iman kuat terhadap agama dapat mengusir kegelisahan yang menjadi bibit penyakit jiwa kita.”[4]
Doa ke hadirat Allah Swt dapat menciptakan ketenangan batin dan meluluhkan kesedihan hati. Dengan berdoa manusia merasa memiliki tempat perlindungan yang kuat yang bakal mendukung serta melindunginya. Imam Shadiq As berkata: “Ayahku, Imam Baqir As, setiap kali ada masalah yang membuatnya bersedih, beliau mengumpulkan para wanita dan anak-anak lalu mereka berdoa.”[5]
3. Salat: Allah Swt dalam Al-Quran menjelaskan bahwa obat kegelisahan adalah zikir dan mengingat Tuhan. Allah Swt berfirman: “...(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram.”(Qs. Al-Ra’d [13] : 28)
Salah satu bentuk mengingat Allah (zikir) yang terbaik adalah salat. Sebagaimana yang dijelaskan Allah, salat dapat menumbuhkan zikir dalam hati. Dia berfirman: “...maka sembahlah Aku dan dirikanlah salat untuk mengingat Aku.” (Qs. Thaha [20] : 14)
Orang yang hatinya kuat dan tenang karena zikir pasti memiliki ketenangan jiwa dan tak takut selain Tuhan. Ia pun memiliki harapan yang kuat pula; karena ia bersandar pada kekuatan agung yang Mahabesar dan tersinari dengan cahaya Ilahi. Mengenai rahasia salat, Allah Swt dalam surah Al-Ma’arij ayat 20 menjelaskan: “Sudah jadi watak manusia untuk lepas kontrol dalam kesusahan-kesusahan. Jika ada kebaikan yang menimpanya, ia berusaha untuk membatasi kebaikan itu untuknya saja tanpa memberinya kepada orang lain. Jika ia tertimpa kesusahan, ia akan berkeluh kesah dan kehilangan kuasa atas dirinya, kesabaran pun hilang dari pikirannya. Jika ia mendapat manfaat dan kebaikan, ia kikir. Kecuali orang-orang yang melakukan salat; mereka berlawanan dengan watak sepeti itu dan menghidupkan fitrah mereka. Ya, salah satu rahasia khas salat adalah menghidupkan fitrah.”[6] Oleh itu, salat dan mengingat Tuhan-lah yang merupakan penghidup hati dan batin manusia yang dapat melenyapkan kegelisahan dan membawa ketenangan.
4. Taubat: Merasa berlumuran dosa membuat jiwa ini lelah. Rasa seperti itu membuat hidup menjadi suram. Orang yang berdosa merasa hina dan kehilangan motivasi untuk menjalankan hidup karena gelisah. Imam Ali As berkata: “Betapa buruknya kalung-kalung yang terbuat dari untaian dosa.”[7]
Merasa berdosa membuat pikiran terus sibuk sendiri. Seorang pendosa selalu berpikir bagaimana caranya untuk melepaskan diri dari belenggu dosa-dosanya. Pikiran-pikiran itulah yang membuatnya terus gelisah. Taubat adalah jalan terbaik untuk melepaskan diri dari belenggu dosa. Karena Tuhan telah menjanjikan hambanya ampunan dosa dengan taubat. Dengan bertaubat sang hamba terus memiliki harapan untuk semakin dekat kepada Tuhan. Oleh itu taubat dapat menjauhkan kegelisahan dari diri kita.[8]
Cara-cara mengkontrol emosi:
Jika seseorang dapat mengkontrol amarahnya, ia tidak akan mudah marah. Dalam banyak riwayat kemampuan itu disebut dengan Kazhm al-Ghaizh atau “menahan amarah.” Tuhan menyebut kemampuan menahan marah dan memaafkan sesama sebagai salah satu kriteria orang-orang yang unggul dalam ketakwaan dan bermartabat tinggi di hadapan-Nya. Allah Swt berfirman: “(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebaikan.”(Qs. Ali Imran [3] : 134)
Kazhm secara leksikal berarti “menutup mulut kantung yang penuh air di dalamnya.” Kata itu digunakan untuk orang yang menahan diri yang penuh amarah agar tidak melakukan perbuatan tak terkontrol karena amarahnya.
Ghaizh dalam bahasa Arab berarti “amarah yang berapi-api.” Amarah dan emosi tersebut meluap lantas seseorang tertimpa perkara yang tak diinginkannya.
Keadaan marah dan emosi adalah keadaan yang paling berbahaya bagi seorang manusia. Jika amarah dibiarkan begitu saja, emosi akan lepas kendali dan akan berujung pada kejahatan-kejahatan yang tak terhingga contohnya, bahkan kejahatan terburuk sekalipun yang pelakunya bakal menyesalinya seumur hidup atau dihukum berat karenanya. Karena itu ayat di atas menyebut kesabaran (menahan marah) sebagai salah satu sifat orang yang beriman.[9]
Dalam Quran dan riwayat, amarah itu sendiri tidak dinilai buruk. Amarah Ilahi bukanlah hal yang buruk, namun justru merupakan salah satu sifat Tuhan yang luhur. Ada beberapa sifat Allah yang mengandung amarah seperti Jabbâr dan Qahhar. Amarah jika pada tempatnya, dan di jalan yang benar, bukan hanya tidak tercela, bahkan terpuji.
Dalam sirah nabi, yang dinukil dari Imam Ali As, dijelaskan: “Rasulullah Saw sama sekali tidak pernah marah karena urusan dunia; namun jika beliau marah karena urusan kebenaran, maka ia tak mengenal siapapun untuk dibedakan dalam amarahnya, dan marahnya tak kunjung reda sebelum kebenaran ditegakkan.”[10]
Seorang insan bertakwa hanya akan marah di jalan kebenaran dan karena kebenaran diinjak-injak, begitu pula saat hak-hak Tuhan dan umat manusia bersama tidak dipedulikan. Amarah dalam hal seperti itu juga tidak keluar dari batasan iman dan aturan Tuhan.
Al-Quran menyebut amarah tak terkontrol sebagai sifat orang-orang jahiliah; sedangkan kemampuan menahan amarah sebagai sifat Rasulullah Saw, itu pun karena karunia Ilahi. Menurut Al-Quran, amarah dan fanatisme jahiliah timbul karena pemikiran-pemikiran yang salah kaum kafir. Allah Swt berfirman: “Ketika orang-orang kafir menanamkan dalam hati mereka kesombongan (yaitu) kesombongan jahiliah lalu Allah menurunkan ketenangan kepada Rasul-Nya, dan kepada orang-orang mukmin dan Allah mewajibkan kepada mereka kalimat takwa dan adalah mereka berhak dengan kalimat takwa itu dan patut memilikinya. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Qs. Al-Fath [48] : 26)
Dalam ayat tersebut Allah Swt menjelaskan bahwa fanatisme dan amarah yang membabi buta adalah kriteria budaya jahiliah, sedangkan ketenangan dan kemampuan mengendalikan diri merupakan kriteria budaya Islam.
Jika seseorang mampu menguasai diri dan emosinya, lambat laun emosi tersebut akan jinak dan mudah dikendalikan. Selain penjelasan di atas, dapat ditambahkan bahwa ada beberapa hal yang dapat dijadikan obat amarah:
A. Untuk mengobati amarah yang berlebihan, kita harus sadar bahwa setan selalu berusaha untuk menguasai diri kita. Dengan demikian kita harus berlindung kepada Tuhan atas gangguannya. Ketika berbicara tentang amarah, Imam Baqir As menjelaskan: “Sesungguhnya seseorang jika mulai marah, ia tidak bisa memadamkan amarah tersebut sebelum menjerumuskan dirinya ke dalam api yang lebih besar (dosa dan perbuatan keji karena amarah itu). Karena itu jika salah satu di antara kalian marah, supaya tidak dikuasai setan, jika saat marah kalian berdiri maka duduklah. Dengan demikian bisikan setan tidak akan terdengar. Jika kalian marah terhadap salah satu anggota keluarga kalian, peluklah ia, karena dengan memeluknya amarahmu bakal reda.”[11]
B. Berwudhu dengan air dingin: Rasulullah Saw pernah bersabda: “Setiap kali kalian marah, maka berwudulah atau mandilah; karena amarah dari api.”[12]
C. Bertafakur pada hadis-hadis yang memuji menahan amarah, saling memaafkan, kesabaran dan lain sebagainya. Salah satunya riwayat dari nabi yang berbunyi: “Barang siapa menahan amarahnya, maka Tuhan akan menahan siksaan terhadapnya.”[13]
D. Menjauhkan faktor-faktor yang menimbulkan amarah, seperti memusuhi orang lain, rakus, iri, sombong dan lain sebagainya.[14] [iQuest]
[1]. Lisân al-‘Arab, klausul sabar; Mulla Ahmad Naraqi, Mi’râj al-Sa’âdah, hal. 613 dan 614, Nasyr Jawidan.
[2]. Muhammad Baqir Majlisi, Bihâr al-Anwâr, jil. 74, hal. 211, Beirut, Dar Ihya al-Turats al-‘Arabi.
[3]. "Katakanlah, “Hai hamba-hamba-Ku yang beriman, bertakwalah kepada Tuhan-mu. Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini memperoleh kebaikan. Dan bumi Allah itu adalah luas, (dan berhijrahlah bila kamu ditindas oleh para pelopor kekairan). Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang memperoleh pahala mereka secara sempurna tanpa perhitungan.” (Qs. Al-Zumar [39]: 10)
[4]. Nasir Makarim Syirazi, Tafsir Nemune, jil. 1, hal. 642, Teheran, Dar al-Kutub al-Islamiah, 1363 S.
[5]. Syaikh Abbas al-Qummi, Safinat al-Bihâr, jil. 1, hal. 447, Sinai.
[6]. Abdullah Jawadi Amuli, Asrâr Ibâdat, hal. 41.
[7]. Abdul Wahid bin Muhammad Tamimi Amadi, Ghurar al-Hikam, hal. 185, Teheran, Universitas Teheran, 1373 S.
[8]. Muhammad Usman Nejati,, Qur'ân wa Rawânshenâsyi, hal. 376, Masyhad, 1373 S.
[9]. Tafsir Nemune, jil. 3, hal. 97.
[10]. Bihâr al-Anwâr, jil. 16, hal. 149; Mi’râj al-Sa’âdah, hal. 236.
[11]. Muhammad bin Ya’qub Kulaini, al-Kâfi, bab Amarah, jil. 2, hal. 302.
[12]. Al-Hikam Al-Zahirah, hal. 586; Sayid Abdullah Syubbar, Akhlâq, hal. 250, Muassasah Intisyarat Hijrat, Nasyr Sorur, Cetakan ke-12.
[13]. Bihâr al-Anwâr, jil. 70, hal. 280; Akhlâq, hal. 251.
[14]. Mi’râj al-Sa’âdah, hal. 238.