1. Dari ayat di atas dapat dipahami bahwa pertanyaan yang akan diajukan pada hari Kiamat bersifat umum dan juga termasuk para nabi yang akan ditanya. Apabila demikian adanya lalu bagaimana memaknai ayat-ayat dan hadis-hadis yang menyatakan sebagian orang akan memasuki surga atau neraka tanpa perhitungan?
2. Apabila sebagian kaum Mukmin akan memasuki surga tanpa perhitungan, dalam kondisi seperti ini apakah derajat para nabi lebih rendah daripada mereka?
Salah satu masalah yang mengemuka ihwal hari Kiamat dalam teks-teks agama adalah tanya-jawab pada hari tersebut. Apa yang dapat disimpulkan dari ayat dan riwayat adalah bahwa tanya-jawab ini bersifat umum dan menyeluruh. Bahkan para nabi Ilahi juga tidak terkecualikan dari tanya-jawab ini.
Tanpa ragu pelbagai pertanyaan retoris Ilahi ini bersifat hakiki dan bukan bertujuan untuk menyingkap hakikat; karena tidak satu pun yang tersembunyi di alam semesta bagi Tuhan. Maksud dari pelbagai pertanyaan retoris ini adalah untuk tujuan-tujuan lain; seperti ancaman, cibiran dan pengagungan dan sebagainya.
Terdapat pelbagai tempat persinggahan dan ragam tingkatan pada hari Kiamat. Sebagian dari tingkatan ini adalah diadakannya tanya-jawab, namun pada sebagian tempat persinggahan tidak akan ada proses tanya-jawab. Sebagian ayat al-Qur’an berbicara tentang tingkatan ini. Pertanyaan Allah Swt kepada para nabi pada hari Kiamat adalah untuk mengagungkan mereka dan pertanyaan yang diajukan sekaitan dengna pelaksanaan risalah.
Salah satu tipologi hari Kiamat sebagaimana yang termaktub dalam literatur-literatur agama adalah tanya-jawab di hari tersebut. Ayat-ayat yang menyinggung masalah ini dapat dibagi menjadi dua bagian:
1. Ayat-ayat yang menyatakan bahwa pertanyaan yang diajukan bersifat umum dan menyeluruh dimana dalam hal ini kita dapat menyebut ayat-ayat berikut ini sebagai contoh:
“Maka sesungguhnya Kami akan menanyai umat-umat yang telah diutus rasul-rasul kepada mereka dan sungguh Kami akan menanyai (pula) rasul-rasul (Kami).” (Qs. Al-A’raf [7]:6); “Maka demi Tuhanmu, Kami pasti akan menanyai mereka semua (pada hari kiamat). Tentang apa yang telah mereka kerjakan dahulu.” (Qs. Al-Hijr [13]:92-93)
2. Ayat-ayat yang menandaskan bahwa dosa-dosa para pendosa tidak akan ditanya. Allah Swt berfirman: “Pada waktu itu, tak seorang pun dari manusia dan jin ditanya tentang dosanya, (karena segala sesuatu telah jelas).” (Qs. Al-Rahman [55]:39)
Sekaitan dengan dua bagian ayat di atas terdapat dua pertanyaan penting:
1. Bagaimana memecahkan pertentangan dan kontradiksi di antara dua ayat ini?
2. Bagaimana makna model pertanyaan yang diajukan kepada para nabi?
Sebelum menjawab dua pertanyaan ini kiranya kami perlu menjelaskan dua pendahuluan terlebih dahulu.
Pada satu klasifikasi umum, pertanyaan dalam al-Qur’an terdiri dari dua bagian:
A. Pertanyaan hakiki: Terkadang pertanyaan yang diajukan merupakan pertanyaan hakiki; artinya penanya tidak mengetahui sebuah persoalan dan mengajukan pertanyaan untuk mencari tahu; seperti pertanyaan yang diajukan para penyihir kepada Fir’aun: “Tatkala ahli-ahli sihir datang, mereka bertanya kepada Fira‘un, “Apakah kami sungguh-sungguh mendapat upah yang besar jika kami adalah orang-orang yang menang?” (Qs. Al-Syu’ara [26]:41)
B. Pertanyaan figuratif (majâzi): Terkadang pertanyaan yang diajukan merupakan pertanyaan figuratif; artinya penanya tidak mengajukan pertanyaan untuk mencari tahu melainkan memiliki maksud lain, seperti untuk mengancam, mencibir, mengolok-ngolok atau mengagungkan dan sebagainya, meski redaksi kalimatnya diekspresikan dalam bentuk pertanyaan. Boleh jadi penanya mengetahui sendiri jawaban atas pertanyaan itu. Seperti tatkala Allah Swt berfirman untuk mencibir para penyembah berhala, “Apakah kamu menghendaki sembahan-sembahan selain Allah dengan jalan berbohong?” (Qs. Shaffat [37]:86)
Pertanyaan Tuhan terdiri dari dua bagian: Lantaran tiada yang tersembunyi di alam semesta ini bagi Tuhan dan Dia mahamengetahui segala sesuatu karena itu sekali-kali Tuhan tidak pernah mengajukan pertanyaan untuk mencari tahu: “Tidak luput dari pengetahuan Tuhanmu biar pun sebesar zarah (atom) di bumi atau pun di langit.” (Qs. Yunus [10]:61) Meski pertanyaan yang dilontarkan Tuhan merupakan pertanyaan figuratif akan tetapi semua ini tidak bercorak satu jenis. Pertanyaan-pertanyaan tersebut memiliki ragam bagian. Terkadang pertanyaan tersebut adalah untuk mengambil pengakuan, terkadang untuk menafikan dan terkadang dimaksudkan untuk mencibir, menyalahkan dan terkadang untuk sebab-sebab lainnya.
Pertanyaan yang diajukan pada hari Kiamat adalah bersifat umum. Hanya saja jenis pertanyaan akan berbeda-beda. Meski seluruh pertanyaan yang dilontarkan Tuhan bersifat figuratif dan bertanya bukan untuk mengetahui, pada saat yang sama pertanyaan-pertanyaan figuratif juga memiliki ragam dan jenis yang berbeda-beda. Pertanyaan yang diajukan Tuhan kepada manusia bukan untuk mengeruk informasi dan menyingkap hakikat; lantaran Allah berfirman, “Pada waktu itu, tak seorang pun dari manusia dan jin ditanya tentang dosanya, (karena segala sesuatu telah jelas).” (Qs. Al-Rahman [55]:39) Melainkan pertanyaan yang diajukan Tuhan kepada para pendosa adalah pertanyaan yang berisi teguran dan untuk mencibir mereka, mengapa dengan adanya ayat-ayat dan pelbagai penjelasan (bayyinat) namun mereka tetap membangkan dan berlaku maksiat.
Proses Tanya-Jawab di Hari Kiamat bersifat umum dan menyeluruh
Sekaitan dengan apa yang disebutkan pada sebagian ayat dimana Allah Swt memasukkan sebagian orang ke dalam surga atau neraka tanpa melalui proses tanya-jawab; akan tetapi pada sebagian ayat lainnya; seperti ayat 6 surah al-A’raf (7) dimana Allah Swt berfirman, ““Maka sesungguhnya Kami akan menanyai umat-umat yang telah diutus rasul-rasul kepada mereka dan sungguh Kami akan menanyai (pula) rasul-rasul (Kami).” Secara sepintas yang nampak dua bagian ayat ini berseberangan dan bertentangan satu dengan yang lain.
Karena itu, para penafsir menyodorkan beberapa jawaban untuk menyelesaikan pertentangan sepintas ini yang akan dijelaskan dengan dua contoh dari beberapa jawaban tersebut:
- Kapan saja disebutkan bahwa Allah Swt tidak akan bertanya maka pertanyaan yang dimaksud adalah pertanyaan hakiki; artinya bahwa Tuhan tidak akan bertanya ihwal dosa-dosa para pendosa dan perbuatan baik orang-orang budiman; karena Allah Swt mahamengetahui segala sesuatu.[1] Adapun masalah bahwa Allah Swt berfirman bahwa setiap orang akan ditanya maka pertanyaan yang dimaksud adalah pertanyaan figuratif.
- Di hari Kiamat terdapat beberapa tempat persinggahan dan ragam tingkatan. Pada beberapa tingkatan ini tidak seorang pun yang memiliki hak untuk berkata-kata, tidak ada proses tanya-jawab sebagaimana yang disinggung pada sebagian ayat al-Qur’an. Namun pada tempat persinggahan dan ragam tingkatan lainnya terdapat proses tanya-jawab sebagaimana yang disinggung pada sebagian ayat lainnya.
Pertanyaan yang Diajukan kepada Para Nabi
Adapun berkenaan dengan apa yang maksud dengan pertanyaan Tuhan kepada para nabi terdapat beberapa pendapat:
1. Sebagian berpandangan bahwa pertanyaan-pertanyaan ini bukan dimaksudkan untuk menegur para nabi melainkan untuk menegur orang-orang kafir.[2] Allah Swt ingin memahamkan kepada orang-orang kafir bahwa dengan adanya para nabi yang memberikan peringatan (inzhâr) kepada mereka atas pelbagai akibat maksiat dan pembangkangan yang mereka lakukan. Meski apa yang diamanahkan Tuhan berupa risalah kepada para nabi telah dilakukan oleh para nabi dengan baik, lalu mengapa kalian tetap bermaksiat?
2. Sebagian beranggapan bahwa pertanyaan yang dilontarkan kepada para nabi maksudnya bahwa para nabi memberikan kesaksian bagaimana reaksi masyarakat terhadap propaganda (tabligh) pesan Ilahi kepada mereka? Dan jawaban apa yang mereka berikan kepada utusan Tuhan dan bagaimana mereka memperlakukan para nabi?[3] Dalam sebuah hadis dari Baginda Ali As diriwayatkan dimana beliau bersabda: “Pada hari Kiamat para nabi akan ditanya ihwal pelaksanaan tabligh dan penyampaian risalah mereka kepada masyarakat. Para nabi menjawab bahwa pesan dan risalah Ilahi telah disampaikan kepada umat dan umat-umat juga akan disoal ihwal risalah para nabi dan mereka mengingkarinya dan berkata, “Pemberi berita gembira dan peringatan tidak datang kepada kami dan Rasulullah Saw ditanya dan beliau memberikan kesaksian tentang kebenaran ucapan para nabi dan dusta para pengingkar.”[4]
3. Sebagian juga berkata bahwa karena pengagungan dan pemuliaan yang menjadi sebab diajukannya pertanyaan seperti ini.[5] Dengan adanya pertanyaan ini, kemuliaan dan keagungan para nabi akan dijelaskan bagi orang lain. Terkadang seseorang akan ditanya di hadapan orang lain bukan untuk memahami namun untuk menunjukkan keunggulan orang tersebut.
4. Terkadang juga pertanyaan yang diajukan kepada para nabi untuk mengambil kesaksian dari para nabi di hadapan umatnya dan celaan bagi para pendosa sebagaimana Allah Swt yang bertanya kepada Nabi Isa As: “Dan (ingatlah) ketika Allah berfirman, “Hai Isa putra Maryam, adakah kamu mengatakan kepada manusia, ‘Jadikanlah aku dan ibuku dua tuhan selain Allah.’ Isa menjawab, “Maha Suci Engkau, tidaklah patut bagiku mengatakan apa yang bukan hakku (mengatakannya). Jika aku pernah mengatakannya, maka tentulah Engkau telah mengetahuinya. Engkau mengetahui apa yang ada pada diriku dan aku tidak mengetahui apa yang ada pada diri-Mu. Sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui perkara yang gaib.” (Qs. Al-Maidah [5]:116) [IQuest]
[1]. Muhammad bin Hasan Thusi, al-Tibyân fi Tafsir al-Qur’ân, jil. 4, hal. 334, Cetakan Pertama, Maktab al-I’lam al-Islamiyah, 1409 H.
[2]. Fadhl bin Hasan Thabarsi , Majma’ al-Bayân, jil. 4, hal. 218, Muassasah al-I’lami, Beirut, 1415 H.
[3]. Fadhl bin Hasan Thabarsi, Jawâmi’ al-Jâmi’, jil. 1, hal. 641, Cetakan Pertama, Muassasah Nasyr Islami, Qum, 1418 H.
[4]. Faidh Kasyani, Tafsir al-Shâfi, jil. 2, hal. 180 dan jil. 1, hal. 452, Cetakan Kedua, Maktabat al-Shadr, Teheran, 1374 S.
[5]. Mullah Fathullah Kasyani, Tafsir Manhaj al-Shâdiqîn fi Ilzam al-Mukhâlifîn, jil. 4, hal. 5, Cetakan Kedua, Kitab Furusyi Islamiyah, Teheran, 1344 H.