Pernikahan sementara merupakan salah satu tradisi (sunnah) dalam Islam yang dibolehkan secara syar'i dalam al-Qur'an yang menegaskan kehalalalan pernikahan ini. Sebagaimana hal ini disebutkan dalam surah al-Nisa (4) ayat 24. Sedemikian sehingga berdasarkan ayat tersebut orang-orang beriman dapat memanfaatkan pernikahan seperti ini sekiranya dipandang perlu dan ada keinginan untuk mempraktikan hal tersebut.
Tradisi baik atau sunnah hasanah ini dipraktikkan di tengah masyarakat Muslim pada zaman Rasulullah Saw dan khalifah pertama serta sebagian pada masa khalifah kedua hingga ia melarang praktik pernikahan semacam itu. Para Imam Maksum senantiasa memotivasi masyrakat untuk memanfaatkan praktik pernikahan semacam ini; karena pada masa itu sunnah Ilahiah ini diharamkan sebagai sebuah bid'ah dan pelaksanaan sunnah ini merupakan jenis penentangan terhadap bid'ah (larangan dari khalifah kedua) ini. Oleh karena itu, dianjurkannya pernikahan ini dari golongan Syiah dengan alasan bahwa praktik pernikahan ini dipandang sebagai suatu yang haram dan merupakan jenis penentangan terhadap larangan khalifah kedua. Masalah ini juga telah disebutkan dalam riwayat-riwayat.
Terdapat sebagian riwayat yang menyebutkan bahwa Nabi Saw dan Imam Ali As melakukan praktik nikah mut'ah,[i] dan tidak dinukil riwayat yang menyebutkan bahwa para imam maksum melakukan praktik pernikahan ini. Jelas bahwa ketika mereka tidak melakukan praktik nikah mut'ah maka mereka pun tidak memiliki anak-anak dari pernikahan model ini.
[i].Diadaptasi dari pertanyaan 2965 (Site: 3467), Pernikahan Sementara dalam al-Qur'an dan Sirah Para Maksum.
Islam sebagai agama yang paling sempurna mensyariatkan dan melegalkan pernikahan mut'ah (lantaran pelbagai problematika yang boleh jadi dihadapi oleh sebagian orang dalam melaksanakan pernikahan tetap) yang dapat digunakan oleh kaum Muslimin sebagai remedi (obat sementara).Hal ini merupakan salah satu nilai positif dan progressif agama Islam yang di samping menjawab kecendrungan libido seksual dalam bentuk pernikahan tetap (daim), juga menawarkan solusi berupa pernikahan temporal dan legal.[1] Al-Qur'an terkait dengan pernikahan ini berkata: "Dan (diharamkan juga kamu menikahi) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak wanita yang kamu miliki, (karena budak sama dengan wanita yang telah diceraikan). (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagimu selain wanita-wanita yang telah disebutkan itu, (yaitu) mencari istri-istri dengan hartamu untuk dinikahi, bukan untuk berzina. Maka istri-istri yang telah kamu nikahi secara mut'ah di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna) sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah dosa bagimu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana." (Qs. Al-Nisa [4]:24)
Ayat ini tergolong ayat-ayat Madani yang diwahyukan kepada Rasulullah Saw pada awal-awal hijrah di Madinah. Pada masa itu, kaum Muslimin memiliki pernikahan temporal akan tetapi sebagian mereka tidak menyerahkan mahar pernikahan tersebut. Setelah ayat ini diturunkan yang memerintakan mereka untuk menyerahkan mahar setelah mendapatkan manfaat dari pernikahan ini.[2]
Terkait dengan masalah bahwa apakah para Imam Maksum As juga melakukan tradisi dan sunnah ini atau tidak? Dalam kitab-kitab Syiah terdapat riwayat yang hanya menyebutkan dua maksum yang melakukan praktik nikah temporal ini:
1. "Abdullah bin Atha Makki bertanya kepada Imam Baqir As ihwal ayat "Ingatlah ketika nabi membicarakan suatu rahasia kepada salah seorang dari istri-istrinya. Tatkala istri itu membocorkan rahasia itu dan Allah memberitahukan hal (pembocoran rahasia) itu kepada Muhammad, Muhammad memberitahukan sebagian (yang diberitakan Allah kepadanya) dan menyembunyikan sebagian yang lain (kepada istri tersebut)." Imam Baqir As bersabda: "Rasulullah Saw melakukan praktik nikah temporal (mut'ah) dengan seorang wanita merdeka, sebagian istri Nabi Saw mendengar berita ini dan melancarkan tudingan tidak senonoh kepada Nabi Saw. Nabi Saw bersabda: "Pernikahan ini adalah pernikahan temporal. Jangan engkau bocorkan hal ini." Akan tetapi sebagian wanita telah mengetahui berita ini.[3]
2. Demikian juga dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Imam Ali As melakukan praktik nikah mut'ah dengan seorang wanita dari suku Bani Nahsyal di Kufah.[4] Akan tetapi terkait dengan para Imam Maksum lainnya tidak disebutkan; lantaran kondisi yang diciptakan oleh para khalifah Ahlusunnah yang memperlakukan masalah ini sebagaimana kemungkaran maka untuk menjaga kehormatan dan jiwa mereka melakukan taqiyyah dan tidak melakukan praktik nikah temporal ini. Akan tetapi dalam banyak hal, mereka menganjurkan para sahabatnya untuk melakukan praktik nikah temporal ini sehingga mereka dapat mengidupkan sunnah Rasulullah Saw ini dan tidaklah pantas seorang muslim meninggalkan dunia ini namun sekali pun tidak mengerjakan sunnah Rasulullah ini. Adapun masalah yang terkait dengan anak-anak mut'ah harus dikatakan bahwa meski praktik mut'ah merupakan sebuah pekerjaan yang dianjurkan dan hukumnya mustahab namun memiliki anak buah dari pernikahan mut'ah dipandang bukan sebagai perbuatan yang dianjurkan sebagaimana yang disebutkan dalam riwayat. Dan bahkan pada sebagian masalah hal ini dilarang. Karena itu, tidak ada satu pun riwayat yang menukil tentang adanya putra salah seorang maksum yang berasal dari pernikahan mut'ah.[5][]
Untuk telaah lebih jauh silahkan Anda merujuk pada indeks:
Sunnah praktis Nabi Saw dan para Imam Maksum dalam pernikahan mut'ah, pertanyaan 3350 (Site: 3775)
[1]. Diadaptasi dari pertanyaan 347 (Site: 353), Indeks: Problematika Pelaksanaan Pernikahan Sementara dalam Masyarakat.
[2]. Muhammad Ridha Dhamiri, Dars Nameh Fiqh Muqaran, Pasukh be Syubhat-e Fiqhi, hal. 285, cetakan pertama, Muassaseh Amuzesy wa Pazuhesy Mazhahib Islami, Qum, 1384.
[3]. Wasâil al-Syiah, jil. 21, hal. 10, hadis ke-26377.
[4]. Wasâil al-Syiah, jil. 21, hal. 10, Qala wa Rawa Ibnu Babawaih Biisnadihi Anna 'Aliyyan As Nakaha Imra'atan bil Kufah min Bani Nahsyal Mut'atan. Ibnu Babawaih berkata dan meriwayatkan bahwa sesungguhnya Ali As menikah dengan seorang wanita dari Bani Nahsyal di Kufah secara mut'ah.
[5]. Mustadrak al-Wasâil, jil. 14, hal. 479, Hadhrat Shadiq As menukil dari Rasulullah Saw yang bersabda: "Allah Swt mengambil ikrar dari kaum Mukminin supaya (mereka) tidak mendapatkan anak dari pernikahan mut'ah."