Seluruh hidayah, kemajuan dan kesempurnaan umat manusia berhutang budi pada seorang pemimpin yang cakap dan ketaatan kepadanya. Dalam pandangan Syiah, pemimpin masyarakat pada masa okultasi Imam Zaman Ajf, yaitu pada sebuah masa ketika tangan-tangan semua orang tidak dapat mencapai Imam Maksum As, maka kepemimpinan masyarakat berada di pundak para juris adil dan memiliki selaksa syarat kefakihan.
Mereka harus memenuhi syarat-syarat seperti iman, keadilan, takwa, kefakihan dan kepakaran dalam masalah Islam. Di samping itu, mengetahui dan menguasai masalah-masalah yang berkembang di suatu zaman, memiliki kemampuan dan perencanaan yang baik. Kebalikannya, ia tidak memiliki sifat-sifat serakah, bakhil, tamak, cinta kekuasaan, opurtunis dan berpandangan lemah. Memilih orang seperti ini untuk menduduki posisi penting pemimpin dan pengayom (wali) masyarakat Islam merupakan sebuah perkara yang sangat pelik yang tidak dapat dipenuhi oleh setiap orang.
Atas dasar itu, dalam Konstitusi Republik Islam Iran, tugas ini berada di pundak para ahli dan pakar yang bertakwa yang dipilih oleh rakyat dengan suara mayoritas. Pada hakikatnya, pemilihan ini, dengan satu perantara, adalah pemilihan yang dilakukan oleh rakyat; karena rakyatlah yang memilih para pakar dengan suara mayoritas dan kemudian para pakar ini yang memilih Pemimpin Agung (Rahbar Mua’zzham) dengan suara mayoritas.
Karena itu, meski terdapat kemungkinan adanya kesalahan namun sistem yang ada telah dicanangkan sedemikian rupa supaya dapat meminimalisir kesalahan ini. Dan jelas bahwa selama kesalahan masyarakat dan para pakar belum terbukti maka setiap orang memiliki tugas untuk mematuhi dan menjalankan aturan yang ada.
Salah satu kebutuhan urgen umat manusia adalah memiliki pemimpin yang cakap dan kapabel. Ketaatan dan kepatuhan terhadapnya yang diakui dan disepakati oleh seluruh orang berakal. Karena tanpa pemimpin, tidak hanya kondisi chaos dan anarkis bakalan terjadi, juga kesatuan dan persatuan dalam masyarakat juga tidak akan pernah terwujud lantaran setiap jenis kemajuan dan kebahagiaan tidak pernah dapat tercipta dalam kehidupan masyarakat.
Dalam pandangan Syiah, kepemimpinan umat pada derajat pertama berada di pundak para pemimpin Ilahi (para nabi dan imam maksum) yang telah dipilih oleh Allah Swt untuk mengemban tugas mahapenting ini. Namun pada masa okultasi ketika umat tidak dapat mengakses dan berhubungan langsung dengan imam maksum, tanggung jawab ini berada di pundak para juris adil yang memenuhi selaksa syarat kefakihan. Imam Shadiq As bersabda, “Kapan saja (seorang fakih) mengeluarkan hukum berdasarkan hukum kami kemudian (ada) seseorang yang tidak mematuhinya maka sesungguhnya ia telah memandang enteng hukum Tuhan dan telah menentang kami. Barang siapa yang menentang kami maka ia telah menentang Allah Swt yaitu berada pada batasan syirik.”[1]
Syaikh Shaduq As, dari sanad muktabar dari Ishak bin Yakub, meriwayatkan bahwa, dari Muhammad bin Usman Amri (deputi khusus kedua Imam Mahdi Ajf pada masa okultasi minor), saya ingin menyampaikan sebuah surat yang di dalamnya terkandung beberapa pertanyaan pelik kepada Imam Zaman Ajf. Sebagai jawabannya terkirim surat yang ditulis oleh tuanku Imam Zaman Ajf menyebutkan, “Wa amma al-hawadits al-waqia’ farju’ fiha ila ruwat haditisna. Fainnahum hujjati ‘alaikum wa ana hujjatulahi ‘alaikum...”[2] (Adapun terkait dengan pelbagai peristiwa yang terjadi maka hendaklah kalian merujuk kepada para periwayat hadis kami (fakih) karena mereka adalah hujjahku bagi kalian dan aku adalah Hujjah Tuhan bagi kalian).[3]
Karena itu, disebabkan tiadanya akses kepada seorang pemimpin maksum maka juris yang memenuhi selaksa persyaratan kefakihan sebagai wali fakih yang mengemban pos wilayah, kepemimpinan, dan pengaturan urusan umat Islam pada masa okultasi. Mengingat bahwa banyaknya sentra-sentra pengambilan keputusan di dalamnya akan berujung pada chaos dalam segala urusan dan masalah kepemimpinan dan pengaturan urusan umat Islam berpijak di atas keteraturan dan keselarasan maka akal menuntut bahwa satu orang yang harus menjabat sebagai pemimpin.
Atas dasar ini, ketaatan kepada wali fakih menjadi wajib bagi semua bahkan bagi juris lainnya.[4] Dan ketika salah seorang dari fakih telah mengambil inisiatif membentuk pemerintahan dan memikul jabatan kepemimpinan maka juris lainnya bertugas untuk mematuhinya dan tidak dibenarkan untuk turut campur dalam urusan-urusan yang berhubungan dengan pemerintahan.[5]
Adapun bahwa pemimpin seperti ini pada akhirnya merupakan seorang manusia biasa yang boleh jadi salah, keliru, menyimpang dan menyalah gunakan kekuasaan dan jabatan dan seterusnya? Dalam hal ini apa yang harus dilakukan? Islam telah memikirkan persiapan-persiapan pendahuluan yang sangat bijaksana sehingga kerugian yang bersumber dari bahaya-bahaya seperti ini diminimalisir seperti dalam menentukan syarat-syarat khusus bagi seseorang yang menduduki posisi ini, misalnya, pertama, beriman, adil dan bertakwa. Kedua, fakih yang pakar dalam Islam dan cakap terhadap masalah-masalah yang berkembang pada zamannya. Ketiga, memiliki kemampuan dan perencaan baik. Keempat, tidak memiliki sifat-sifat tercela seperti tamak, bakhil, serakah, cinta kekuasaan, oportunis, bersikap lemah[6] dan lain sebagainya. Kemudian di antara orang-orang yang memenuhi persyaratan maka sebaiknya yang dipilih adalah orang yang paling baik dan paling berkuasa. Nah sekarang apa yang harus dilakukan untuk memilih pemimpin dan apa jalan terbaik untuk menunaikan pekerjaan ini?
Dengan memperhatikan bahwa pada masa ghaibat (okultasi) Imam Zaman Ajf secara langsung tidak mengangkat seseorang untuk menduduki posisi ini maka nampaknya jalan terbaik untuk memilih yang benar adalah pemilihan oleh mayoritas rakyat; karena meski setiap orang tidak terlepas dari dosa dan kesalahan dan juga mayoritas boleh jadi melakukan kesalahan, namun tatkala mayoritas rakyat dengan sadar dan bebas memilih sesuatu atau seseorang, maka kesalahan-kesalahan mereka akan berkurang.
Metode ini hari ini telah mendapat perhatian dan telah diamalkan pada masyarakat modern. Dalam Konstitusi Republik Islam Iran juga dalam pemilihan pemimpin dan wali fakih metode ini juga telah ditetapkan. Dalam konstitusi Republik Islam Iran disebutkan, “Pasca wafatnya marja agung taklid dan pemimpin besar Revolusi dunia Islam dan bapak pendiri Republik Islam Iran Ayatullah Agung Imam Khomeini yang telah diterima oleh hampir mayoritas rakyat sebagai marja dan pemimpin maka penentuan pemimpin berada di pundak dewan pakar yang dipilih dengan suara mayoritas rakyat. Dewan Pakar yang memilih pemimpin, bermusyarawah dan mengkaji seluruh juris yang memenuhi syarat sebagaimana yang disebutkan dalam prinsip kelima dan seratus sembilan bahwa kapan saja salah satu dari mereka diidentifikasi sebagai lebih pandai (a’lam) terhadap hukum-hukum dan subyek-subyek fikih atau masalah-masalah politik, sosial dan diterima secara umum atau memiliki keunggulan khusus pada salah satu karakteristik yang disebutkan pada Pasal 107 maka ia akan dipilih sebagai seorang pemimpin.”[7]
Anggota Dewan Pakar untuk memilih Pemimpin juga dipilih secara langsung di antara orang-orang ahli, spesialis, bertakwa, dan terpercaya oleh rakyat. Karena itu, mengingat bahwa pemimpin dan wali fakih adalah orang yang dipilih oleh dewan pakar rakyat dan dewan pakar juga adalah orang-orang yang dipilih rakyat pemilihan ini sangat dekat dengan kenyataan dan memiliki perhitungan tingkat tinggi sehingga urusan kepemimpinan umat diserahkan kepada sebaik-baik orang yang memiliki selaksa persyaratan pada tingkatan tertinggi untuk posisi strategis ini. Di samping tugas ini, Dewan Pakar memiliki tugas untuk mengawasi bahwa pemimpin memenuhi syarat-syarat, kinerja dan menunaikan tugasnya dengan benar dan juga bertugas kapan saja yang dipandang maslahat bahwa pemimpin telah kehilangan syarat-syaratnya, Dewan Pakar dapat memakzulkannya dan menggantikannya dengan seseorang yang lebih layak.
Dengan memperhatikan atas apa yang telah disampaikan di atas nampaknya proses pemilihan pemimpin di negara Republik Islam Iran adalah sebaik-baik proses yang dapat dilakukan. Di samping itu, apabila Anda memberikan kemungkinan bahwa terdapat sebuah metode yang lebih baik yang dapat dilakukan maka jangan sungkan-sungkan untuk menyampaikannya kepada kami sehingga kita dapat membahasnya bersama. [IQuest]
Untuk telaah lebih jauh silahkan lihat beberapa indeks terkait berikut ini:
1. Indeks: Syarat-syarat Wali Fakih, Pertanyaan 4072 (Site: 4346)
2. Indeks: Penentuan Wali Fakih, Pertanyaan 786 (Site: 845)
3. Indeks: Keluasan Wilâyah Fakih terkait dengan Negeri-negeri Lainnya, Pertanyaan 1439 (Site: 1445)
[1]. Wasâil al-Syiah, jil. 1, hal. 67.
[2]. Wasâil al-Syiah, jil. 27, hal. 140.
و اما الحوادث الواقعة فارجعوا فیها الی رواة حدیثنا، فانهم حجتی علیکم و انا حجة الله علیکم...
[3]. Untuk informasi lebih jauh seputar pembahasan riwayat ini, silahkan Anda lihat, Mahdi Hadawi Tehrani, Wilâyat wa Diyânat, hal. 94-102.
[4]. Mahdi Hadawi Tehrani, Wilâyat wa Diyânat, hal. 142.
[5]. Diadaptasi dari Pertanyaan 786, (Site: 845), Indeks: Menetapkan Wali Fakih.
[6]. Diadaptasi dari Pertanyan 920 (Site: 2975), Indeks: Wali Fakih dan Kemaksuman.
[7]. Qanun Asasi Jumhuri Islami Iran, Pasal 107.