Ayat-ayat al-Qur’an tidak dibeberkan jawaban yang luas terhadap pertanyaan ini. Riwayat-riwayat standar yang ada sejauh yang kami telusuri dan jelajahi juga tidak membahas masalah ini. Namun harus diketahui bahwa tiadanya jawaban terhadap pertanyaan seperti ini tidak akan menciderai seluruh keyakinan fundamental kita.
Harap diperhatikan kenyataan yang ada bahwa sekarang ini kita tidak berkediaman di surga. Kini kita tinggal dan menjadi penghuni bumi. Perilaku dan perbuatan harus kita tata dan sempurnakan sedemikian rupa sehingga kita mampu meraih surga abadi dan keridhaan Ilahi.
Namun demikian, Allamah Thabathabai berpandangan bahwa dari konteks beberapa ayat yang ada menyatakan bahwa memang Adam pada mulanya dan sejatinya sengaja diciptakan untuk hidup di bumi dan juga akan meninggal di bumi. Apabila Tuhan memberikan tempat hunian bagi Adam selama beberapa hari di surga maka hal itu dimaksudkan supaya Adam menjalani ujian. Dengan kata lain, tujuan utama penciptaan Adam adalah untuk menghuni bumi. Beberapa hal yang menegaskan bahwa Adam memang dimaksudkan untuk menjadi penghuni bumi di antaranya adalah ia harus menjadi penghuni surga, kemudian terbuktinya keunggulan Adam atas malaikat dan kelayakannya untuk menjadi khalifah.
Pertanyaan-pertanyaan seperti bahwa apakah Adam melakukan dosa atau tidak, apa yang menjadi kesalahan Nabi Adam As?[1] Surganya terdapat di bumi atau di langit?[2] Apa makna dikeluarkan (ikhrâj) dan diturunkannya (hubûth) Nabi Adam dari surga?[3] Mengapa seluruh manusia semenjak awal tidak diciptakan di surga?[4] Demikian juga seperti pertanyaan Anda bahwa apakah apabila Adam tidak melakukan kesalahan maka dimanakah gerangan kita akan berada? Kesemua hal ini merupakan tema yang boleh jadi menarik dan atraktif bagi kita. Namun dengan sedikit menyimak lebih akurat, akan kita jumpai bahwa mengetahui atau tidak mengetahui hal tersebut tidak terlalu berpengaruh pada keputusan-keputusan dan garis mazhab kita.
Boleh jadi jawaban pertanyaan ini dalam pandangan paling optimistik dan positif adalah bahwa kita juga sebagaimana malaikat surga dan makhluk-makhluk lainnya masih tetap berada di surga serta menjalani hidup yang makmur dan sejahtera tanpa adanya penderitaan dan kesusahan!
Atau dalam pandangan yang paling pesimistik dan negatif boleh jadi hal ini bahwa ujian yang tidak dapat dilalui dengan baik oleh Nabi Adam As akan berlaku bagi setiap manusia. Apabila manusia tidak lulus ujian maka alih-alih ia akan turun ke bumi; ia malah akan langsung terjerembab di dalam neraka. Atau dengan pandangan moderat, kita juga seperti Nabi Adam akan turun ke bumi; artinya kita akan menjadi apa yang kita alami sekarang ini! Silahkan Anda nilai dan jawab sendiri.
Apabila masing-masing dari jawaban ini benar adanya maka pengaruh apa yang akan ditimbulkan pada tugas-tugas kita sekarang ini?!
Pertanyaan-pertanyaan seperti ini boleh jadi juga mengemuka dalam hubungannya dengan pertanyaan-pertanyaan seperti di bawah ini:
Sekiranya Nuh As tidak mengutuk musuh-musuhnya maka taufan tidak akan diturunkan?!
Apa yang akan terjadi sekiranya Ibrahim tidak selamat dan meraih syahadah ketika dilemparkan ke dalam api?
Apa yang akan terjadi sekiranya Fir’aun tidak menerima ucapan istrinya dan tidak menerima Musa As sebagai putranya?
Apa yang akan terjadi sekiranya Imam Husain As menang secara lahir melawan Yazid dan menjalankan pemerintahan Islam?
Dan selaksa pertanyaan lain yang semisal dapat diajukan yang apabila kejadian ini terjadi atau tidak terjadi apa yang akan berlaku?
Atau pertanyaan-pertanyaan seperti bahwa termasuk jenis ikan apakah ikan Nabi Yunus itu? Berapa meterkah panjang bahtera Nabi Nuh As…? Dan seterusnya.
Terkait dengan hal ini, Allah Swt dalam al-Qur’an, setelah menceriterakan kisah Ashâb al-Kahf, menyinggung sebuah persoalan yang kiranya patut mendapat perhatian kita.
Pada ayat 22 surat al-Kahf (18) dijelaskan bahwa sekelompok orang “yang mengatakan, “(Jumlah mereka) adalah tiga orang yang keempat adalah anjing mereka”, dan (yang lain) mengatakan, “(Jumlah mereka) adalah lima orang yang keenam adalah anjing mereka”, sebagai terkaan terhadap hal yang gaib; dan yang lain lagi mengatakan, “(Jumlah mereka) adalah tujuh orang yang kedelapan adalah anjing mereka.” Katakanlah, “Tuhanku lebih mengetahui jumlah mereka; tidak ada orang yang mengetahui (bilangan) mereka kecuali sedikit.” Karena itu, janganlah kamu (Muhammad) berdebat tentang hal mereka, kecuali perdebatan lahir saja dan jangan kamu menanyakan tentang mereka (pemuda-pemuda itu) kepada siapa pun di antara mereka.”
Poin yang menjadi sorotan kami di sini adalah bahwa persoalan tentang berapa jumlah Ashab al-Kahf sebagai sebuah persoalan yang menarik yang dibahas dan diperbincangkan dan dijelaskan pelbagai pandangan tentangnya. Allah Swt berceritera tentang hal-hal seperti berapa lama mereka berdiam di goa dalam bentuk partikular dan akurat bahwa mereka berdiam di goa tersebut selama 309 tahun lamanya.[5] Adapun tentang jumlah bilangan mereka, Allah Swt hanya menjelaskan adanya perbedaan pendapat dan tidak menjawab keburaman ini.
Boleh jadi, dalil perbuatan seperti ini dari sisi Tuhan, dapat ditelusuri bahwa pembahasan, perbincangan lebih dari batasannya, pada sebagian hal yang bersifat partikular dan tidak diketahuinya hal tersebut tidak akan menciderai keberagamaan dan pahaman pesan-pesan Ilahi. Dan hal ini pada hakikatnya sejenis penyimpangan dan pembelokan dari masalah-masalah penting dan utama. Dengan demikian, hal tersebut tidak dipandang perlu.
Inti pesan Ilahi dalam peristiwa Ashâb al-Kahf adalah bahwa manusia tidak boleh tunduk dan menyerah di hadapan kekafiran dan kejahatan. Apabila dituntut untuk mengorbankan kepentingan dunia maka kepentingan dunia harus dikorbankan dan melakukan hijrah dari kampung halaman. Dan Allah Swt Mahakuasa atas segala sesuatu. Dia berkuasa untuk menghidupkan dan menjaga orang-orang untuk masa ratusan tahun lamanya tanpa makanan dan dalam kondisi tidur sebagai sebuah ayat dan tanda akan hari Kiamat.
Adapun mengetahui jumlah orang-orang yang terdapat dalam goa sama sekali tidak memberikan peran dalam mengenal pesan Ilahi dan hal itu dapat kita abaikan dan lupakan.
Atas dasar itu, dengan penjelasan lugas bahwa jawaban atas pertanyaan Anda, terkait dengan bagaimana nasib anak-anak Adam As apabila mereka tetap tinggal di surga, boleh jadi tiada yang tahu dan kami memandang bahwa hanya Tuhanlah yang tahu gerangan apa yang akan terjadi sekiranya anak-anak Adam tetap tinggal dan berdiam di surga.
Tapi kami meyakini bahwa persoalan ini bukan merupakan perkara yang kalau tidak diketahui akan berpengaruh pada keyakinan dan tugas-tugas aktual kita. Alangkah lebih baik bahwa sekarang ini kita tidak berdiam di surga dan menjadi khalifah Tuhan di muka bumi, sedemikian kita hidup sehingga surga dan yang lebih tinggi dari itu, yaitu keridhaan Tuhan kelak akan dapat kita peroleh. Kita ketahui bahwa Allah Swt menerima taubat Nabi Adam As. Dia tetap akan dijadikan sebagai khalifah-Nya. Karena Tuhan sendiri, dalam salah satu ayat yang menjelaskan tentang peristiwa turunnya Adam, berfirman kepada kita, “Kami berfirman, “Turunlah kamu semua dari surga itu! Kemudian jika datang petunjuk-Ku kepadamu, maka barang siapa yang mengikuti petunjuk-Ku, niscaya mereka tidak akan merasa takut dan tidak (pula) bersedih hati.” (Qs. Al-Baqarah [2]:38) Dan pada ayat lain menandaskan bahwa orang-orang yang mencari petunjuk, tidak akan tersesat juga tidak akan celaka. “Allah berfirman, “Turunlah kamu berdua dari surga bersama-sama, sedang sebagian kamu menjadi musuh bagi sebagian yang lain. Maka jika datang kepadamu petunjuk dari-Ku, lalu barang siapa yang mengikut petunjuk-Ku, niscaya ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka. (Qs. Thaha [20]:123)
Namun demikian terdapat sebuah masalah yang disebutkan dalam tafsir al-Mizan yang dapat membantu Anda untuk memperoleh jawaban dari pertanyaan Anda. Allamah Thabathabai berkata, “Dari konteks beberapa ayat disebutkan bahwa Adam memang pada mulanya dan semenjak awal diciptakan untuk menjalani kehidupan di muka bumi dan juga meninggal di bumi. Apabila Allah Swt memberikan tempat hunian bagi Adam selama beberapa hari di surga maka hal itu dimaksudkan supaya Adam menjalani ujian. Dan sebagai hasil (dari ujian ini) adalah pelanggaran sehingga auratnya tersingkap kemudian setelah itu turun (hubuth) ke bumi.
Oleh itu, tujuan utama dari penciptaan Adam adalah memang untuk berkediaman di muka bumi. Beberapa hal yang menegaskan bahwa Adam memang dimaksudkan untuk menjadi penghuni bumi di antaranya adalah bermukim di surga, keunggulan atas para malaikat, ditetapkannya kelayakannya menjadi khalifah, kemudian para malaikat bertugas untuk sujud di hadapannya, lalu Tuhan memberikan Adan kediaman di surga, mendekatkannya dengan pohon surgawi tersebut dan memakan buah pohon tersebut (akibat provokasi setan) dan akibatnya aurat Adam demikian juga istrinya (Hawa) tersingkap dan pada akhirnya keduanya harus turun ke bumi.
Karena itu, nampaknya aib dalam kehidupan bumi, karena memakan buah pohon tersebut, adalah salah satu ketentuan Ilahi yang harus terjadi. Terlebih juga Allah Swt memaafkan kesalahan mereka setelah keduanya bertaubat. Akan tetapi mereka tidak dikembalikan ke surga, melainkan menurunkan mereka ke bumi supaya keduanya tinggal dan berkediaman di bumi.
Apabila hukuman berupa kehidupan di muka bumi, karena memakan buah pohon tersebut dan nampaknya aib, bukan merupakan ketentuan pasti Ilahi, dan juga kembali ke surga bukan hal yang mustahil, maka setelah bertobat dan tanpa dipandang kesalahannya seharusnya keduanya kembali (dikembalikan segera) ke surga (karena taubat akan menghilangkan pengaruh kesalahan).[6] [IQuest]
[1]. Silahkan lihat, Pertanyaan 6107 (Site: 6308).
[2]. Silahkan lihat, Pertanyaan 273 (Site: 112)
[3]. Silahkan lihat, Pertanyaan 6371 (Site: 6590).
[4]. Silahkan lihat, Pertanyaan 1801 (Site: 1784).
[5]. Sayaquluna tsalatsahu rabi’ahum kalbuhum.
[6]. Untuk telaah lebih jauh silahkan lihat, Al-Mizân (terjemahan Persia), jil. 1, hal. 196-197.