Dalam menjawab pertanyaan ini harus dikatakan:
Pertama: Kelompok riwayat ini dikeluarkan dengan dalil taqiyah atau dalam kondisi tertentu dimana kebangkitan bersenjata tidak terlalu memberikan manfaat dan pengaruh. Selain itu, dalam riwayat-riwayat kita, terdapat beberapa kasus dimana sebagian dari kebangkitan-kebangkitan justru dibenarkan dan mendapat penegasan.
Kedua: Riwayat di atas berkaitan dengan kebangkitan-kebangkitan dan revolusi-revolusi bersenjata, akan tetapi tidak menafikan seluruh gerak pembaruan dan reformasi, dan dalam sirah para Imam As bisa kita saksikan juga bahwa mereka menjadi pengklaim gerakan-gerakan seperti ini.
Dengan menganalisa proses terbentuknya revolusi Islam Iran, opini dan akidah pencetusnya, kita bisa menyimpulkan bahwa pada prinsipnya, beliau tidak membenarkan revolusi bersenjata, dan revolusi Iran pun tidak bisa dipersandingkan dalam barisan kebangkitan seperti ini. Dengan demikian, perpaduan segala bentuk kontradiksi revolusi ini dengan riwayat di atas, dan juga dengan riwayat-riwayat serupa, akan menjadi hilang.
Dalam mensinkronisasikan kebangkitan penting seperti revolusi Islam Iran dengan kesesuaian agama dan al-Quran, sudah selayaknya kita tidak mencukupkan diri hanya pada sebuah riwayat atau hadis, kemudian menggunakannya untuk menilai kebenaran dan ketakbenaran gerakan besar seperti ini. Sebaliknya, kita harus memiliki pandangan terhadap seluruh aspek dengan semua teks-teks agama dan sirah praktis para pendahulu kita dalam berbagai penggalan sejarah, supaya kita mampu dapat melakukan penyimpulan yang detil dan benar.
Dengan dalil di atas, kita akan menganalisa masalah ini dalam beberapa bagian dan dalam skala yang lebih umum:
- Apakah riwayat yang terdapat pada pendahuluan Shahifah Sajjâdiyyah bisa dijadikan sebagai bahan pertanyaan bagi seluruh gerakan-gerakan revolusi dan gerakan bersenjata?
- Adakah penjelasan untuk riwayat-riwayat ini dan juga riwayat-riwayat lain yang melarang segala bentuk tuntutan perubahan dan reformasi hingga kemunculan Imam Mahdi Ajf?
- Dengan memperhatikan dua kasus sebelumnya, bagaimana para ulama dan ilmuwan yang meyakini agama seperti Imam Khomeini Ra bisa memutuskan untuk bertindak melakukan kegiatan-kegiatan anti pemerintah dan revolusi?
Dengan ini kita akan menganalisa hal-hal di atas, kemudian mencari penyimpulan akhir:
- Dalam kaitannya dengan bagian pertama harus dikatakan: bahkan jika kita asumsikan bahwa riwayat yang ada dalam pendahuluan Shahifah Sajjâdiyyah tidak terdapat kecacatan dari aspek sanad dan secara tegas kita anggap berasal dari Imam Keenam As, kita tetap akan diperhadapkan pada sebuah poin dalam teks hadis tersebut dimana dengan mencermatinya kita tidak akan bisa mempertanyakan dan meragukan setiap gerakan revolusi yang terjadi sebelum kemunculan Imam Mahdi Ajf!
Dalam kaitannya dengan ini, perhatikan dua poin berikut:
- Dalam hadis tersebut dikatakan bahwa Imam Shadiq As menangis setelah mendengar peristiwa kebangkitan dan syahidnya Yahya bin Zaid, dan beliau menampakkan kesedihannya yang luar biasa!
Jika beliau sepenuhnya menganggap gerakan ini merupakan sebuah gerakan yang meragukan dan sia-sia belaka, dan beliau menilainya bertentangan dengan kepentingan Syiah, lalu apa alasan dari segala kesedihan dan tangisan beliau atas kegagalan gerakan ini?! Tentunya, mungkin saja terdapat asumsi yang bisa diutarakan untuk menjawab hal ini, misalnya kesedihan ini muncul karena rasa kasih sayang dan kedekatan beliau terhadap Yahya yang merupakan putra paman beliau, dan sama sekali bukan merupakan penegas bagi gerakan revolusinya, akan tetapi dengan asumsi bahwa jawaban seperti ini bisa diterima, jawaban apa yang kita miliki untuk poin setelahnya?
- Dalam hadis ini, dengan menukil dari Imam Shadiq As dijelaskan bahwa “Tak seorangpun dari kami Ahlulbait yang akan bangkit dan tidak akan bangkit dari mereka untuk menentang kezaliman atau untuk menuntut hak, kecuali akan tertimpa bala dan musibah, dan kebangkitannya akan lebih menyusahkan kami dan Syiah kami.”[1]
Jika kita perhatikan dengan cermat pada teks Arabnya, maka selain Anda menemukan ibarat la yakhruj, Anda juga akan menemukan redaksi kalimat ma kharaja dimana berdasarkan hal ini dan dengan memperhatikan bahwa tidak ada sebuah indikasipun dari pengecualian kebangkitan para Maksum yang terdapat di sana, maka seluruh kebangkitan sebelum Imam Shadiq As pun patut dipertanyakan dan dianggap meragukan!
Apakah menurut keyakinan Anda, berkaitan dengan perang-perang pada masa Imam Ali As dan kebangkitan berdarah serta syahadahnya Imam Husain As, Imam Keenam As pun tidak memiliki pandangan yang positif, dan menganggap peristiwa-peristiwa di atas sebagai bertentangan dengan kepentingan para Syiah?!
Kendati riwayat di atas memiliki kemutlakan dan secara alami ruang lingkupnya mencakup kegiatan-kegiatan revolusi dan pembaruan yang dilakukan oleh kedua imam ini, akan tetapi seratus persen kami meyakini bahwa Imam Shadiq As tidak memiliki akidah seperti ini.
Berdasarkan hal ini, riwayat Shahifah tidak bisa kita jadikan sebagai tolok ukur yang rinci untuk menilai seluruh revolusi dan proses tuntutan reformasi, melainkan boleh jadi riwayat ini dikeluarkan dalam kondisi taqiyah atau dalam posisi menjelaskan poin bahwa gerakan seperti ini tidak akan mengantarkan pada tujuan akhir, dan pemerintahan yang dicita-citakan dan ideal hanya akan tercipta setelah kemunculan Imam Mahdi, sementara kebangkitan-kebangkitan sebelumnya, bahkan jika urgen dan wajib sekalipun, akan berhadapan dengan kesulitan-kesulitan dan akan menambah kendala-kendala lahiriah dan duniawi Syiah, dimana tentunya hal ini tidak bisa menjadi alasan untuk sepenuhnya bungkam dan tak melakukan tindakan apapun untuk melakukan gerakan pembaruan, karena yang menjadi kewajiban kita adalah melaksanakan tugas, bukan sampainya pada hasil, sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Khomeini Ra kepada Syahid Ayatullah Sa’idi, “Jika manusia berhasil melaksanakan tugas Ilahi, berarti sebenarnya ia telah memperoleh hasil, terlepas apakah ia telah sampai pada hasil yang dimaksud ataupun tidak sampai padanya.”[2]
Masalah ini juga akan kami bahas pada bagian-bagian setelahnya.
- Selain terdapat riwayat yang menjadi titik poin pertanyaan Anda, terdapat juga riwayat-riwayat lain dengan pemahaman yang serupa, sebagaimana misalnya, setiap bendera yang dikibarkan sebelum kemunculan Imam Keduabelas Ajf, maka pemilik bendera tersebut pastilah seorang thaghut[3] atau seperti seekor anak ayam yang ingin terbang sementara belum keluar bulu sayapnya, oleh karena itulah ia akan menjadi permainan anak-anak[4], dan lain sebagainya.[5]
Yang perlu untuk mendapatkan perhatian di sini adalah: riwayat-riwayat ini dikeluarkan saat segala bentuk gerakan anti pemerintahan khalifah-khalifah Umawi mendapatkan sambutan hangat dari khalayak umum, bahkan gerakan-gerakan dimana para pemimpinnya tidak mempunyai niat kebaikan dan Ilahi sekalipun! Sebagaimana misalnya yang dilakukan oleh sisa-sisa kelompok Khawarij, kendati mereka melintasi jalan yang salah, akan tetapi mereka juga ikut melakukan kebangkitan untuk menentang para penguasa Umawi.
Sembari mengisyarahkan bahwa setiap perubahan tidak meniscayakan makna reformasi dan pembaruan, para pemimpin Syiah memberikan penjelasan kepada para pengikutnya dengan melarang mereka dari berpartisipasi dalam gerakan-gerakan seperti ini, dan ini bukan dengan makna mengecam secara pasti seluruh gerakan revolusi, walau dalam tingkat yang terbatas. Perhatikanlah riwayat di bawah yang juga dinukilkan dari Imam Shadiq As, dan perhatikanlah akankah hal tersebut mengantarkan Anda pada kesimpulan di atas?!
Beliau bersabda, “Jika kalian berhadapan dengan gerakan revolusi, maka kalian sendirilah yang paling layak untuk menentukan pilihan yang tepat! Akan tetapi harus kalian perhatikan, apa tujuan akhir dari gerakan kalian ini, dan jangan mencukupkan diri dengan bersandar pada kebangkian yang dilakukan oleh Zaid bin Ali; karena Zaid adalah seorang sosok ilmuwan yang jujur dan tidak bangkit untuk tujuan-tujuan pribadinya! Yang dilakukannya hanyalah mengajak kalian untuk menjadi pengikut para Imam Ahlulbait As, dan seandainya ia memperoleh kemenangan, sudah sangat pasti ia akan mengamalkan janjinya.”
Selanjutnya, beliau menganggap kebangkitan bersenjata dalam kondisi saat itu tidak mempunyai nilai kebaikan, beliau kemudian mengungkapkan tentang masalah-masalah yang berkaitan dengan kebangkitan akhir Imam Mahdi Ajf.[6]
Apa yang bisa disimpulkan dari seluruh riwayat-riwayat ini adalah bahwa takdir Tuhan adalah bahwa pembaruan sempurna dan fundamen masyarakat global hanya bisa diterima melalui Imam Zaman Ajf, dan klaim yang diutarakan oleh selainnya hanyalah merupakan syiar belaka yang tidak akan terbusanai dengan amal dan implementasi, akan tetapi takdir seperti ini tidaklah menjadi penghalang bagi orang-orang yang beriman untuk mengamalkan kewajiban dan tugasnya, mereka akan berupaya semampu mungkin untuk menciptakan pembaruan masyarakat, karena jika tidak demikian, bahkan revolusi Imam Husain As pun akan diragukan, karena revolusi ini terjadi sebelum kemunculan Sang Juru Selamat!
Sudah pasti gerakan-gerakan pembaruan terbatas ini pun baru akan dibenarkan ketika dilakukan oleh orang-orang yang beriman kuat dan dalam rangka menggapai tujuan-tujuan Ilahi.
Imam Khomeini Ra pun memperhatikan poin ini, dalam salah satu pidatonya beliau berkata, “Benar, kita memang tidak mampu memenuhi dunia dengan keadilan, karena seandainya kita mampu, pasti hal tersebut telah kita lakukan, akan tetapi karena kita tidak mampu melakukannya itulah sehingga beliau (Imam Mahdi Ajf) harus datang. Sekarang ini, dunia telah penuh dengan kezaliman. Anda ada di dalam sebuah titik di alam, alam dan dunia yang penuh dengan kezaliman. Jika kita mampu menghalangi terjadinya kezaliman, maka kita harus melakukannya, karena ini adalah tugas dan kewajiban kita.”[7]
Riwayat di bawah ini yang telah dinukilkan dari Imam Sajjad As, pemilik Shahifah Sajjâdiyah, juga bisa dijadikan sebagai bukti dan sanad lain bagi perkataan kami:
Suatu ketika, dalam perjalanannya ke Mekah, ‘Ibad Bashri bertemu dengan Imam Sajjad As. Dengan pandangan kritis ia melihat ke arah Imam dan bertanya, “Wahai Putra Husain! Engkau telah meninggalkan jihad dengan kesulitan-kesulitan yang dimilikinya dan mencari pekerjaan-pekerjaan lebih mudah seperti haji?! (Apakah engkau tidak mendengar bahwa) Allah Swt dalam al-Quran berfirman, “Allah akan membeli jiwa dan harta para mukmin sebagai pengganti surga, dan mereka berjihad di jalan Allah, membunuh dan terbunuh ... dan ini merupakan kemenangan yang sangat besar”?!
Dalam menjawabnya, Imam bersabda, “Baca jugalah ayat selanjutnya!”
Dan ia pun melanjutkan bacaannya, “Orang-orang bertakwa yang bertobat, para pemuja yang berpuasa, mereka yang senantiasa dalam ruku’ dan sujud, mereka yang melaksanakan amar-makruf dan nahi-munkar dan menjaga batasan-batasan Ilahi ....” setelah pembacaan ayat ini selesai, Imam Sajjad As menghadap ke arahnya dan bersabda, “Ketika kita menemukan orang-orang dengan karakteristik seperti ini, maka yakinlah bahwa melakukan jihad bersama mereka akan lebih berharga daripada haji.”[8]
Penting untuk dijelaskan bahwa pada saat itu, para serdadu perang yang secara lahiriah adalah kaum Muslimin terbagi dalam dua kelompok: kelompok pertama adalah pasukan Bani Umayyah yang memiliki tujuan utama untuk menaklukkan negara, dan kelompok yang lainnya adalah orang-orang seperti Khawarij yang melakukan perang melawan khalifah Bani Umayyah dengan visi yang tak benar dan dengan niat non Ilahi, dan tak satupun dari kedua kelompok ini memiliki karakteristik-karakteristik Qurani. Oleh karena itulah tanpa harus mempertanyakan nilai dari jihad itu sendiri, Imam Sajjad As tidak menganggap setiap perang dan kebangkitan sebagai sebuah jihad, melainkan dengan menggunakan ayat-ayat al-Quran, beliau menyatakan bahwa kapanpun mereka melihat orang dengan karakteristik seperti ini, maka jihad di samping mereka sudah pasti akan sangat bernilai.
Sekarang dengan keyakinan bahwa pemimpin revolusi Iran ra dan mayoritas syuhada Revolusi Islam Iran dan perang delapan tahun yang dipaksakan (imposed war) mempunyai karakteristik-karakteristik seperti ini, kami akan mengutarakan jawaban yang terakhir:
- Untuk penyimpulan akhir dan tentang kenapa Imam Khomeini Ra memimpin revolusi Islam Iran, maka selain kita harus memperhatikan riwayat-riwayat yang telah disinggung sebelumnya, juga harus melihat beberapa topik lainnya yang akan kami utarakan sebagiannya:
3-1. Bahkan para Maksum As yang secara lahiriah tidak mendirikan sebuah pemerintahan atau memimpin sebuah revolusi, mereka tetap melakukan kegiatan-kegiatan yang mirip dengan pemerintahan, dan dengan ibarat lain mereka mempunyai sebuah sistem dengan paralelisme sistem pemerintahan tak legal. Kegiatan-kegiatan seperti memiliki para wakil dalam berbagai tingkat sosial masyarakat Islam, mengeluarkan pelarangan bagi para Syiah dari merujuk dalam urusan-urusan peradilannya ke pengadilan pemerintahan, dan keniscayaan untuk menyelesaikan kasus-kasus pengadilan melalui para perwakilan para Imam Maksum As[9], demikian juga pengumpulan berbagai pajak, merupakan di antara tindakan-tindakan yang setara dengan sistem pemerintahan, dan kegiatan-kegiatan seperti ini pun telah menyebabkan para penguasa pemerintahan saat itu tidak tahan dengan keberadaan para Imam sehingga mereka berupaya untuk menghilangkan kehadiran para pemuka agama ini dan bahkan membunuh mereka.
Telah dinukilkan dalam berbagai riwayat bahwa salah satu dari mata-mata yang kebetulan adalah keturunan Sadat Husaini, berkata kepada Harun al Rasyid, “Aku heran, seakan saat ini terdapat dua khalifah di tengah-tengah kami! Salah satu dari mereka adalah Musa bin Ja’far As dimana sebagian dari pajak-pajak dikirimkan kepadanya di Madinah, dan yang satunya lagi adalah engkau yang berada di Irak dan sibuk mengumpulkan pajak-pajak.”[10]
Pendiri Republik Islam Iran, Imam Khomeini Ra, dalam salah satu pidatonya menganalisa metode perilaku para Imam As dengan mengatakan demikian, “Jika para Imam kita berdiam diri di dalam rumah-rumah mereka dan ... mengajak masyarakat ke arah Bani Umayyah dan Bani Abbas; maka hal ini akan menjadikannya terhormat, mereka pasti akan menjunjung tinggi para Imam kita, akan tetapi mereka melihat masing-masing Imam dengan mata kepala mereka, dan kini, karena mereka tidak bisa mengerahkan laskar dari aspek karena situasi dan kondisi yang tidak mendukung, karena itu mereka melakukan pergerakan bawah tanah, sehingga para antek Bani Umayah dan Bani Abbasiyah menangkap dan memenjara para Imam. Sepuluh tahun lamanya Imam Musa berada dalam penjara mereka. Apakah beliau dipenjara karena salat dan puasanya?! Karena melakukan shalat?! Atau karena berpuasa?! Atau karena mengajak masyarakat untuk mengikuti Harun al-Rasyid dan ... bahwa kalian harus memilih salah satu dari dua pilihan, yaitu pergi ataukah bergabung dengan mereka?! Kendati mereka berbuat zalim, kalian tidak perlu mengatakan apapun?! Ataukah, yang terjadi tidaklah demikian, mereka memenjarakan para Imam karena mereka melihat adanya ancaman yang berbahaya bagi pemerintahan, bagi kekuatan dan kekuasaan, inilah yang telah menyebabkan mereka memenjara para Imam, menyiksa dan mengasingkan mereka?!”[11]
Berdasarkan analisa ini, seorang Syiah yang hakiki tidak boleh berada dalam sikap diam mutlak dan tidak melakukan tindakan apapun untuk pembaruan selama sekian dekade dan milenium dengan dalih menunggu kemunculan.
3-2. Dalam berbagai riwayat juga terdapat banyak kasus yang mengisyarahkan pada gerakan-gerakan pembaruan yang dilakukan sebelum kebangkitan Imam Zaman Ajf, dimana hal tersebut mendapatkan pembenaran. Salah satu dari riwayat-riwayat ini mengisyarahkan pada sekelompok dari masyarakat timur yang mempersiapkan pemerintahan Imam Mahdi Ajf dengan kebangkitan mereka.[12] Imam Khomeini Ra juga menyampaikan harapannya bahwa revolusi Iran, tak lain adalah kebangkitan yang ditunggu-tunggu, demikian beliau menjelaskan, “InsyaAllah dengan meluasnya revolusi tersebut, kekuatan-kekuatan setan akan menjadi terkesampingkan dan pemerintahan orang-orang yang terzalimi akan berdiri tegak untuk mempersiapkan kondisi bagi pemerintahan global Mahdi Akhiruzzaman Ajf.”[13]
Atau riwayat-riwayat yang mengisyarahkan revolusi perorangan dari warga Yaman dan mengajak Syiah untuk mendukung mereka[14] dan seterusnya.
3-3. Para Imam Maksum As memperkenalkan para fukaha dan ulama agama sebagai wakil-wakilnya di masa gaib,[15] dan secara wajar penantian yang diharapkan oleh masyarakat umum adalah bahwa mereka adalah para pelanjut sirah para Imam dan Ahlulbait As. Dalam sepanjang sejarah kegaiban, kita bisa menyaksikan bahwa para ilmuwan agama memiliki peran yang signifikan dalam pergerakan-pergerakan reformasi, dan pada zaman ini, bahkan sebagian dari mereka yang mengkritisi Revolusi Islam Iran pun berada dalam posisinya untuk menyampaikan dan membuat pembaruan-pembaruan dengan metode yang lain dalam lingkup yang lebih terbatas dan dengan membentuk institusi-institusi marja’iyyah yang merupakan sebuah institusi yang mirip dengan sebuah pemerintahan, dan mereka tidak menganggapnya berbeda dengan aturan-aturan para Imam As.
3-4. Dengan penjelasan yang lebih tegas bisa dikatakan bahwa bahkan jika jihad permulaan juga dilarang pada masa kegaiban, tak seorang pun fakih dan alim agama yang menganggap pertahanan yang dilakukan oleh orang-orang terhadap jiwa, harta dan orang-orang terdekatnya, bahkan dalam bentuk bersenjata di hadapan serangan para pelanggar, sebagai sebuah pelarangan, melainkan dianggap sebagai sebuah kewajiban yang pasti.
Revolusi Islam Iran terjadi saat seluruh hal-hal di atas berada dalam ancaman serangan para musuh internal dan eksternal. Sudah sangat pasti peristiwa pemaksaan pelepasan hijab yang dilanjutkan dengan pembunuhan masyarakat tak berdosa di halaman Haram Imam Ridha As, kapitulasi, pesta-pesta vulgar 2500 tahun dan .... tetap tak akan hilang dari ingatan kita!
3-5. Kendati demikian, selain terdapat kegiatan-kegiatan bersenjata yang kebanyakan dilakukan oleh berbagai kelompok berbeda dengan kecenderungan pemikiran yang beraneka ragam dalam tingkat negara, Imam Khomeini ra yang memegang kemudi utama revolusi, senantiasa mengikuti metode-metode damai yang senantiasa menjadi konsentrasi utama para Imam Maksum As dalam kondisi seperti ini, dan dalam peristiwa Revolusi Islam, kendati berada dalam berbagai tekanan, beliau sama sekali tidak pernah memberikan izin terhadap penggunaan cara-cara bersenjata dalam segala bentuk tuntutan.
Riwayat Shahifah Sajjâdiyah juga menjadi bukti atas hal ini dan kita menyaksikan bahwa para penguasa saat itu telah melakukan berbagai pembunuhan dan pertumpahan darah dimana sudah sewajarnya bagi mereka untuk bertanggung jawab terhadap segala tindakan ini.
Sebagai misal, pada kulminasi revolusi pada tahun 57, dalam sepanjang wawancara Imam Khomeini dengan majalah Figaro, beliau menyatakan bahwa hingga kini saya tidak akan mengubah nasehat saya mengenai prinsip perdamaian dalam tindakan-tindakan kami![16]
Dalam kesimpulan akhir harus dikatakan, kendati tindakan-tindakan berantai yang dilakukan oleh Pahlevi wajar jika ditanggapi dengan revolusi bersenjata, akan tetapi Imam Khomeini Ra dengan segala kebajikan dan kebijakannya tetap bertahan pada demo-demo damai yang pada akhirnya menciptakan Revolusi Islam. Kendati dalam peristiwa ini begitu banyak jumlah korban yang syahid, akan tetapi Anda harus memperhatikan bahwa Revolusi Islam bukan merupakan sebuah kebangkitan bersenjata, melainkan sebuah bentuk gerakan meluas yang menuntut pembaruan dan reformasi dimana tidak ada satu ayat atau riwayat pun yang bertentangan dengannya, dan jika rezim Savak Pahlevi juga telah menewaskan banyak orang, masalah inipun harus dianggap dalam lingkup kesyahidan para Imam sebagaimana Imam Musa bin Ja’far As yang kendati tanpa menciptakan revolusi bersenjata dan hanya karena perilaku-perilaku yang tidak diterima oleh para penguasa saat itu, telah menjadi korban intimidasi, penyiksaan dan berulang kali keluar masuk penjara, hingga berakhir pada kesyahidan beliau. [iQuest]
[1]. Shahifah Sajjadiyah, hal. 20, Daftar Nasyr al-Hadi, Qom, 1376 Hsy.
[2]. Shahifah Imam, jil. 2, hal. 86.
[3]. Hurr Amili, Muhammad bin al-Hasan, Wasâil asy-Syîah, jil. 15, hal. 52, Hadis 19969, Muasasah Ali al-Bait, Qom, 1409 S.
[4]. Ibid., hal. 51, Hadis 19965.
[5]. Pada halaman 50, jil. 5 Wasâil al-Syiah, terdapat pasal dengan judul “Hukm al-khuruj bissaif qabl qiyâm al-Qaim As” atau “Hukum gerakan bersenjata sebelum kemunculan Imam Mahdi Ajf” dimana riwayat-riwayat seperti ini bisa dilihat di dalamnya.
[6]. Hurr Amili, Muhammad al-Hasan, Wasâil al-Syîah, jil. 15, hal. 50-51, hadis ke 19964.
[7]. Shahifah Imâm, jil. 21, hal. 16-17, Anda juga bisa mengkaji lebih jauh tentang pernyataan-pernyataan beliau pada jil. 3, hal. 339-340.
[8]. Kulaini, Muhammad bin Ya’qub, Al-Kâfî, jil. 5, hal. 22, Dar al-Kutub al-Islamiyyah, teheran, 1365 Hsy.
[9]. Rujuklah riwayat yang terdapat pada bab pertama dari bab-bab Shifat Qadhi pada jilid ke duapuluh tujuh dari kitab Wasâil al-Syiah.
[10]. Majlisi, Muhammad Baqir, Bihâr al-Anwâr, jil. 48, hal. 239, hadis 48, Muasasah al-Wafa, Beirut, 1404 HQ.
[11]. Shahifah Imâm, jil. 4, hal. 21.
[12]. Bihâr al-Anwâr, jil. 51, hal. 87.
[13]. Shahifah Imâm, jil. 15, hal. 348-349.
[14]. Bihâr al-Anwâr, jil. 52, hal. 230.
[15]. Wasâil asy-Syîah, jil. 17, hal. 131, hadis 33401.
[16]. Shahifah Imâm, jil. 4, hal. 3.